Anda di halaman 1dari 56

A.

Tinjauan Mengenai Pendidikan Kewarganegaraan

Dalam tinjauan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan akan

dijelaskan beberapa pengertian mengenai Pendidikan Kewarganegaraan,

sejarah Pendidikan Kewarganegaraan, tujuan Pendidikan Kewarganegaraan,

ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan dan PKn sebagai Pendidikan

Karakter. Untuk itu penjelasan mengenai pengertian Pendidikan

Kewarganegaraan diuraikan sebagai berikut.

1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan menurut Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi

untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah adalah mata pelajaran

yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami

dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi

warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang

diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Kemudian menurut pendapatnya Nu’man Somantri (Cholisin

2000:1.8), memberikan pengertian PKn adalah Program pendidikan yang

berisi demokrasi politik, yang diperluas dengan sumber-sumber

pengetahuan lainnya, positive influence pendidikan sekolah, masyarakat,

orang tua, yang kesemuanya itu diproses untuk melatih pelajar-pelajar

13
14

berpikir kritis, analitis, dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan

hidup demokratis dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Dari

definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa PKn memiliki ciri-ciri (1)

merupakan program studi; (2) materi pokoknya adalah demokrasi politik

yang diperluas dengan pengaruh positif dari pendidikan sekolah,

keluarga, masyarakat, (3) bersifat interdisipliner; (4) tujuannya melatih

berpikir kritis dan analitis (intelectual skill), bersikap dan bertindak

demokratis sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Kemudian menurut Aziz Wahab (Cholisin, 2000:18) menyatakan

bahwa PKn ialah media pengajaran yang akan meng-Indonesiakan para

siswa sadar, cerdas, dan penuh tanggung jawab. Karena itu, program PKn

memuat konsep-konsep umum ketatanegaraan, politik dan hukum negara,

serta teori umum yang lain yang cocok dengan target tersebut. Berbeda

dengan pendapat diatas pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai

penyiapan generasi muda (siswa) untuk menjadi warga negara yang

memiliki pengetahuan, kecakapan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk

berpartisipasi aktif dalam masyarakatnya (Samsuri, 2011: 28).

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut peneliti lebih cenderung

dengan apa yang dikemukakan oleh Nu’man Somantri yang intinya

adalah bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu mata pelajaran

yang berisi demokrasi politik, yang diperluas dengan sumber-sumber

pengetahuan lainnya, positive influence pendidikan sekolah, masyarakat,

orang tua, yang kesemuanya itu diproses untuk melatih pelajar-pelajar


15

berpikir kritis, analitis, dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan

hidup demokratis dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

2. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan

Sejarah perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan (Cholisin,

2000: 2.11) membagi menjadi tiga periode waktu, yaitu masa sebelum

proklamasi, masa proklamasi dan perkembangan pada masa era reformasi

sampai dengan sekarang. Dan untuk lebih jelasnya akan dijelaskan di

bawah ini dari masing-masing periode waktu.

a. Sebelum Proklamasi Kemerdekaan

Pelajaran Civics sebelum kemerdekaan atau pada jaman Hindia

Belanda dikenal dengan nama Burgerkunde. Pada waktu itu ada dua buku

resmi yang digunakan, yaitu Indiche Burgerschapcunde dan Rach en

Plich, Bambang Daroeso (Cholisin, 2000: 2.11). Dari masing-masing

buku tersebut dapat dijelaskan dengan lebih rinci isi atau apa yang

dibicarakan dalam buku tersebut.

Pertama, dalam buku Indische Burgershapkunde, yang ditulis

oleh P. Tromp dengan penerbitnya: J. B, Wolter Maatschappy N.V.

Groningen, Deen Haag, Batavia tahun 1934. Yang dibicarakan dalam

buku tersebut adalah : masyarakat pribumi, pengaruh barat, bidang sosial,

ekonomi, hukum, ketatanegaraan dan kebudayaan Hindia Belanda dan

rumah tangga dunia, masalah pertanian, masalah perburuan, masalah


16

kaum menengah dalam industri dan perdagangan, masalah kewanitaan,

ketatanegaraan Hindia Belanda, perubahan maupun pertumbuhannya

dengan terbentuknya Dewan Rakyat (Volks Raad), hukum dan

pelaksanaannya, masalah pendidikan, masalah kesehatan masyarakat,

masalah pajak, tentara dan angkatan laut. Kedua, Rech en Plicht

(Indische Burgerschapcunde Vooriedereen) karangan J.B Vortman

dengan penerbitnya G.C.T van Dorp dan Co. N.V (Derde, Herzine en

Verneerderdruk) Semarang– Surabaya–Bandung, tahun 1940.

Dibicarakan dalam buku tersebut yaitu: Badan pribadi yang

mengutarakan antara lain masyarakat dimana kita hidup, dari lahir

sampai ke dewasanya, pernikahan dan keluarga serta setelah badan

pribadi itu tiada, masalah bezit dari objek hukum dimana dibicarakan

antara lain: eigendom eropah dan hak-hak atas tanah, hak-hak agrarisch

atas tanah, masalah kedaulatan raja terhadap kewajiban-kewajiban warga

negara dalam pemerintahan Hindia Belanda, masalah perundang-

undangan, sejarah alat pembayaran dan kesejahteraan.

Lewat pengajaran Burgerkende (Cholisin, 2000: 2.11) lebih lanjut

menjelaskan bahwa pelajaran ini dimaksudkan oleh pemerintah Hindia

Belanda agar rakyat jajahan lebih memahami hak dan kewajibannya

terhadap pemerintah Hindia Belanda, sehingga tidak menganggap

pemerintah Belanda sebagai musuh (My enemi is goverment) tetapi justru

memberikan dukungan dengan penuh kesadaran dalam jangka waktu

yang panjang (Diffuese support). Meskipun pada waktu itu, bangsa


17

Indonesia dijajah namun konsep tentang pendidikan politik maupun

pelaksanaannya lewat pendidikan formal dan non formal tetap

berlangsung.

Pendidikan politik lewat pendidikan formal/sekolah pada masa

pergerakan nasional, terutama dilakukan oleh guru-guru sekolah

partikelir. Sejarahwan Abdurrachman Surjomihardjo, menggambarkan

hal tersebut sebagai berikut: “sekolah partikelir memang mempunyai ciri

tersendiri”. Ada yang memang ingin memberikan pengetahuan secara

murni, tetapi ada pula yang menanamkan paham demokrasi, kesadaran

berbangsa dan bernegara. Pemerintah kolonial mengetahui hal ini

sehingga beberapa sekolah liar ditutup.

Pada tahun 1932 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan

peraturan, yang disetujui Volksraad, bahwa setiap guru harus memilki

izin. Dasar pertimbangannya adalah banyak guru sekolah partikelir

bukanlah lulusan sekolah guru sekolah partikelir, alasan larangan itu

terlalu dicari-cari. Tapi memang benar dimuka kelas guru-guru itu

memberikan pendidikan politik. Secara prinsipil guru-guru kebangsaan

menolak peraturan itu (Cholisin, 2000: 2.12).

Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa pada masa

sebelum refomasi PKn dimaksudkan oleh pemerintah Hindia Belanda

agar rakyat jajahan lebih memahami hak dan kewajibannya terhadap

pemerintah Hindia Belanda, sehingga diharapkan tidak menganggap

pemerintah Belanda sebagai musuh (My enemi is goverment), tetapi


18

justru memberikan dukungan dengan penuh kesadaran dalam jangka

waktu yang panjang (Disffusi support). Namun dalam perjalanannya

dalam sekolah partikelir selain ada yang memberikan pengetahuan secara

murni tetapi ada beberapa guru sekolah partikelir yang bertujuan

menanamkan paham demokarsi, kesadaran berbangsa dan bernegara.

Yang hasilnya dapat menumbuhkan semangat kebangsaan diantara

penduduk pribumi tersebut.

b. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan

Cholisin (2000: 2.15) secara lebih rinci melacak sejarah dan

perkembangan PKn. Sekiranya dapatlah diketengahkan sejarah PKn dan

perkembangannya secara lebih lengkap sebagai berikut.

1) Kewarganegaraan (1957)

Pendidikan moral di Indonesia secara tradisional, berisi nilai-nilai

kemasyarakatan, adat dan agama. Pada mulanya, pendidikan moral

dilaksanakan melalui pendidikan agama dan budi pekerti. Tak ada

pendidikan moral secara eksplisit. Pada tahun 1957 mulai diperkenalkan

mata pelajaran Kewarganegaraan, hak dan kewajiban warga negara. Di

samping itu, dari sudut pengetahuan tentang negara diperkenalkan juga

mata pelajaran Tata Negara dan Tata Hukum. Ketiga mata pelajaran

tersebut semata-mata beraspek kognitif (Cholisin, 2000: 2.15).


19

2) Civics sebagai pengganti Kewarganegaraan (1959)

Pada tahun 1959 terjadi arah perubahan arah politik dinegara

Indonesia, UUDS 1950, tidak berlaku oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959,

dan berlaku kembali UUD 1945. Dengan berlakunya kembali UUD 1945,

nampak dalam bidang pendidikan diadakan perubahan arah. Perubahan

ini adalah diperkenalkannya pelajaran Civics di SMP dan SMA, yang

isinya meliputi Sejarah Nasional, Sejarah Proklamasi, UUD 1945,

Pancasila, Pidato-pidato Kenegaraan Presiden. Pembinaan persatuan dan

kesatuan bangsa.

Buku sumber yang digunakan adalah “Civic Manusia Indonesia

Baru” dan “Tujuh Bahan Pokok Indokritinasi” yang lebih dikenal

dengan singkatan TUBAPI. Metode pengajarannya lebih bersifat

Indokritinasi. Buku pegangan untuk murid belum ada (Cholisin, 2000:

2.15), TUBAPI isinya meliputi. Lahirnya Pancasila, UUD 1945,

Manipol, merupakan pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang

berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, yang intinya ditegaskan

pada pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 1960 meliputi caturlogi,

yaitu: Semangat nasional, Konsepsi nasional, Keamanan nasional,

Perbuatan nasional. JAREK (Jalan Revolusi Kita), Pidato Presiden RI di

depan Sidang Umum PBB 30 September 1960 yang berjudul

“Membangun Dunia Baru” (The World A New) dinilai sebagai salah satu

tonggal sejarah berdirinya GNB (Gerakan Non Blok). MANIPOL-


20

USDEK, Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berencana di

depan DEPERNAS, tanggal 9 Januari 1960 (Cholisin, 2000: 2.16).

3) Kewargaan Negara (1962)

Lebih lanjut Cholisin, (2000: 2.16) menjelaskan bahwa pada

tahun 1962 dengan istilah Civics diganti dengan istilah Kewargaan

Negara, atas anjuran Dr. Sahardjo, S.H yang pada waktu itu menjabat

sebagai Menteri Kehakiman. Perubahan itu didasarkan atas tujuan yang

ingin dicapainya, yaitu membentuk warga negara yang baik. Kemudian

pada tahun 1965 terjadi pemberontakan G 30S/PKI, yang kemudian

diikuti dengan pembaharuan tatanan dalam pemerintah. Pembaharuan

tatanan inilah yang kemudian dibatasi oleh tonggak yang resmi dengan

diserahkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno

kepada Letnan Jenderal Suharto. Tanggal itulah yang kemudian dijadikan

tonggak pemerintahan Orde Baru, yang mengandung tekad untuk

memurnikan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Perubahan sistem ketatanegaraan/pemerintahan ini kemudian

diikuti dengan kebijaksanaan dalam pendidikan, yaitu dengan keluarnya

Keputusan Menteri P & K No. 31/1967 yang menetapkan bahwa

pelajaran Civics isinya terdiri atas: a). Pancasila, b). UUD 1945 c).

Ketetapan-ketetapan MPRS d). Pengetahuan tentang PBB (Cholisin,

2000: 2.16).
21

4) Pendidikan Kewargaan Negara (1968)

Dengan ditetapkannya Kurikulum 1968, maka mata pelajaran

Kewargaan Negara (1962) diganti dengan Pendidikan Kewargaan Negara

(PKn). Menurut Ali Emran (1976: 4) isi PKn meliputi: a). Untuk Sekolah

Dasar : Pengetahuan Kewargaan Negara, Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi,

b). Untuk SMP, Pancasila, Ketetapan-ketetapan MPRS, c). Untuk SMA :

Uraian pasal-pasal dari UUD 1945 yang dihubungkan dengan Tata

Negara, Sejarah, Ilmu Bumi, dan Ekonomi. Kemudian pada tahun 1970

PKN difusikan ke dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Mata pelajaran yang difusikan meliputi: PKn, Sejarah, Ilmu Bumi,

Ekonomi, Antropologi Budaya, Sosiologi dan Hukum.

5) Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) (1972)

Pada tahun 1972, diadakan Seminar Nasional Pengajaran dan

Pendidikan Civics, di Tawangmangu-Surakarta. Hasilnya, antara lain

menetapkan istilah Ilmu Kewargaan Negara (IKN) sebagai pengganti

istilah Civics, dan Pendidikan Kewargaan Negara (PKN) sebagai

pengganti istilah Civics Education. IKN merupakan disiplin ilmu dan

PKN merupakan program pendidikan. IKN sebagai disiplin ilmu

menyediakan deskripsi peranan warganegara, dan PKN sebagai program

pendidikan bertugas membina peranan tersebut. Dengan demikian IKN

lebih bersifat teoritis dan PKN lebih bersifat praktis. Antara keduanya

merupakan kesatuan tak terpisahkan, karena perkembangan PKN sangat

tergantung pada perkembangan IKN (Choisin, 2000: 2.17).


22

Cholisin kemudian menjelaskan bahwa Hasil Seminar

Tawangmangu tersebut, tampaknya sangat berpengaruh pada

perkembangan PKN berikutnya. Buktinya, antara lain meskipun

diberlakukannya Kurikulum 1975, PKN diganti dengan mata pelajaran

PMP, namun baik kewargaan negara dan PKN tetap dimunculkan

sebagai mata kuliah di Program S1 PMP di IKIP dan FKIP lewat

kurikulum 1982. Diberikannya mata kuliah tersebut, diharapkan dapat

memberikan kemampuan “menguasai bahan pendalaman bidang studi

PMP” (Depdikbud Ditjen Dikti, 1982: 52-55). Dengan demikian secara

implisit IKN dan PKN ada pada mata pelajaran PMP. Dengan perkataan

lain dapat dinyatakan IKN dan PKN merupakan bagian dari PMP.

6) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) (1989)

Dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang SPN (Sistem Pendidikan

Nasional). Bab IX tentang kurikulum, pasal 39 dinyatakan sebagai

berikut.

a) Isi kurikulum merupakan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai

tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam

rangka upaya mencapai tujuan pendidikan nasional.

b) Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat:

Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan

Kewarganegaraan.

c) Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan

kajian dan pelajaran tentang: 1). Pendidikan Pancasila, 2). Pendidikan


23

Agama, 3). Pendidikan Kewarganegaraan, 4). Bahasa Indonesia, 5).

Membaca dan Menulis, 6). Matematika (Termasuk berhitung), 7).

Pengantar Sain dan teknologi, 8). Ilmu Bumi, 9). Sejarah nasional dan

sejarah umum, 10). Kerajinan tangan dan kesenian, 11). Pendidikan

jasmani dan kesehatan, 12). Menggambar, serta 13). Bahasa Inggris.

d) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3)

diatur oleh Menteri.

Dalam penjelasan pasal 39 ayat (2), dinyatakan sebagai berikut:

Pendidikan Pancasila mengarahkan perhatian pada moral yang

diharapkan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku

yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Masyarakat yang dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat

kemanusiaan yang adil dan beradab. Perilaku yang mendukung persatuan

bangsa dalam masyarakat yang beraneka ragam kebudayaan dan

beraneka ragam kepentingan.

Perilaku yang mendukung kerakyatan dan mengutamakan

kepentingan bersama diatas kepentingan perorangan dan golongan

sehingga perbedaan pemikiran, pendapat atau kepentingan diatasi melalui

musyawarah dan mufakat. Serta perilaku yang mendukung kerakyatan

dan mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan

dan golongan sehingga perbedaan pemikiran, pendapat atau kepentingan

diatasi melalui musyawarah dan mufakat. Serta perilaku yang


24

mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Pendidikan Agama merupakan usaha untuk memperkuat iman

dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama

yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan

tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan

antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan

nasional.

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali

peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan

dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan

pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat

diandalkan oleh bangsa dan negara. Pada jenjang pendidikan tinggi

Pendidikan Pendahuluan Bela Negara diselenggarakan antara lain

melalui Pendidikan Kewiraan.

Sedangkan dalam penjelasan pasal 39 ayat (3) dinyatakan sebagai

berikut: Sebutan-sebutan tersebut pada ayat (3) bukan nama mata

pelajaran melainkan sebutan yang mengacu pada pembentukan

kepribadian dan unsur-unsur kemampuan yang diajarkan dan

dikembangkan melalui pendidikan dasar. Lebih dari satu unsur tersebut

dapat digabung dalam satu mata pelajaran atau sebaliknya, satu unsur

dapat dibagi menjadi lebih dari satu mata pelajaran. Usur-unsur

kemampuan pada ayat (3) dimaksudkan untuk menyatakan bahwa


25

pendidikan dasar harus mencakup sekurang-kurangnya semua

kemampuan tersebut.

Dari ketentuan pasal 39 dan penjelasannya, dapat dinyatakan

sebagai berikut.

a. PKn bersama dengan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama,

merupakan program pendidikan dasar umum.

b. PKn dapat berdiri sendiri karena misi dan skopnya ditegaskan berbeda

dengan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama (Lihat

penjelasan pasal 39 ayat (2) ).

c. PKn dimungkinkan untuk diintegrasikan dengan mata pelajaran lain

(Lihat penjelasan pasal 39 ayat (3) ).

Sekiranya peneliti setuju dengan analisis yang diungkapkan oleh

Cholisin (2000: 2.19) beliau memberikan komentar sebagai berikut:

untuk Sekolah Dasar, aspek PKn diintegrasikan dengan Pendidikan

Pancasila kiranya tepat. Sebab pendidikan dasar adalah mengajarkan isi

pendidikan umum/dasar (general education). Pertimbangan lain, bahwa

akhir-akhir ini para siswa sekolah dasar merasa sarat beban dengan

banyaknya mata pelajaran yang harus dipelajari.

Sedangkan untuk Sekolah Menengah (SMP dan SMU), karena

sudah mengarah kepada perluasan dan pendalaman serta mempersiapkan

untuk masuk ke Perguruan Tinggi sebaiknya PKn berdiri sendiri.

Sehingga lewat PKn benar-benar dapat diberikan pengetahuan dan

kemampuan yang memadai mengenai hubungan warga negara dengan


26

negara (Peranan warga negara dalam berbagai aspek kehidupan) yang

sangat penting bagi pembentukan sikap demokratis untuk mendukung

pembangunan negara yang demokratis, berkemanusiaan dan berkeadilan

sosial.

7) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) menurut

Kurikulum 1994.

Kurikulum 1994, sebagai salah satu upaya dalam melaksanakan

UU No. 2/1989, memilih mengintegrasikan antara pengajaran Pendidikan

Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan dengan nama mata pelajaran

PKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).

Menurut kurikulum 1994, fungsi PPKn, meliputi hal-hal pokok sebagai

berikut.

a) Melestarikan dan mengembangkan nilai moral Pancasila secara

dinamis dan terbuka, yaitu nilai moral Pancasila yang dikembangkan

itu mampu menjawab tantangan perkembangan yang terjadi dalam

masyarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia, yang

merdeka, bersatu dan berdaulat.

b) Mengembangkan dan membina siswa menuju manusia Indonesia

seutuhnya yang sadar politik, hukum, dan konstitusi negara kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.

c) Membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antara warga

negara dengan negara, antar warga negara dengan sesama warga

negara, dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan


27

mampu melaksanakan dengan baik hak dan kewajiban sebagai warga

negara.

d) Membekali siswa dengan sikap dan perilaku yang berdasarkan nilai-

nilai moral Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih lanjut Cholisin (2000:2.20) menganalisis bahwa Pendidikan

Pancasila (PP) lebih menekankan pada misi pendidikan moral (moral

education), maka fungsi pertama (a) merupakan fungsi Pendidikan

Pancasila. Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn) yang merupakan

pendidikan politik yang memiliki misi utama meningkatkan kesadaran

politik maupun kesadaran hukum, maka fungsi kedua (b) dan fungsi

ketiga (c) merupakan tugas yang harus diembannya. Sedangkan fungsi

keemapat (d) merupakan fungsi yang harus diemban baik oleh

pendidikan Pancasila maupun Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam

praktek fungsi keempat fungsi itu dilaksanakan secara terpadu, karena

Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan telah

diintegrasikan.

Peneliti menambahkan bahwa dalam fungsi keempat yaitu

“membekali siswa dengan sikap dan perilaku yang berdasarkan nilai-nilai

moral Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari”. Menurut

peneliti fungsi keempat ini sudah menuju kearah pendidikan karakter

namun hanya masih dalam tataran konsep dan teori. Lebih lanjut Cholisin

(2000: 2.21) menganalisis bahwa model pengembangan materi

berdasarkan pokok bahasan yang berupa nilai, memiliki kelemahan yaitu


28

tidak memiliki batang keilmuan yang jelas, sehingga sering

membingungkan di kalangan guru dan akibat lain pengajaran PKn lebih

merupakan indokritinasi dan sekedar penataran P4 yang sangat kering

dari sifat ilmiah. Inilah kelemahan yang mendasar pada PKn.

c. Perkembangan PKn di Era Reformasi sampai Sekarang

IKn-PKn sebagai pemberdayaan warga negara, akan selalu

relevan dalam masyarakat demokratis sampai kapanpun. Agenda

reformasi untuk mengembangkan masyarakat madani (Civil society)

merupakan hasil dari pemberdayaan warga negara. Oleh karena itu,

sebenarnya orientasi IKn-PKn akan memperkuat berkembangnya Civil

society. Suatu masyarakat yang terorganisir yang berdasarkan

kesukarelaan, swasembada dalam ekonomi, berswadaya dalam politik,

memiliki kemandirian tinggi dalam berhadapan dengan negara dan

memiliki keterikatan terhadap norma-norma atau nilai-nilai hukum yang

diikuti oleh warganya, Muhammad AS Hikam (Cholisin, 2000: 2.23).

Secara lebih sederhana maka perkembangan PKn adalah sebagai

berikut pada kurikulum tahun 1989, Pendidikan Kewarganegaraan diatur

dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang SPN Pasal 39 ayat 2,

yaitu pancasila yang mengarah pada moral, tentunya diharapkan

diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian kurikulum 1994

bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya.

Kurikulum 1994 sebagai salah satu upaya dalam melaksanakan UU No. 2


29

Tahun 1989, yaitu memilih mengintegrasikan antara pengajaran

pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan mejadi PPKn.

Kurikulum tahun 2004/ kurikulum KBK juga membawa perubahan nama

dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi Pendidikan

Kewarganegaraan, isinya meliputi beberapa aspek yaitu, Pancasila,

persatuan dan kesatuan, norma, hukum dan peraturan, hak asasi manusia,

kebutuhan warga negara, konstitusi negara, kekuasaan dan politik, dan

globalisasi.

Tetapi dengan adanya perubahan UU No. 2 Tahun 1989 yang

diubah dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional nama Pendidikan Pancasila tidak dieksplisitkan lagi, sehingga

berubah nama menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Perubahan ini juga

nampak diikuti dengan perubahan Isi PKn yang lebih memperjelas akar

keilmuan yakni politik, hukum dan moral.

Perkembangan paradigma PKn yang sejalan dengan tuntutan era

reformasi dan yang sekarang dikembangkan dengan standar isi.

Paradigma baru PKn antara lain memiliki struktur organisasi keilmuan

yang jelas yakni berbasis pada ilmu politik, hukum, filsafat moral/filsafat

pancasila dan memiliki visi yang kuat nation and charakter building,

citizen empowermwnt (pemberdayaan warga negara), yang mampu

mengembangkan civil society (masyarakat kewargaan) yang memiliki arti

penting dalam pembaharuan Pendidikan Kewarganegaraan yang sejalan

dengan sistem politik demokratis. Paradigma baru ini merupakan upaya


30

untuk menggantikan paradigma lama PKn (PPKn), yang antara lain

bercirikan struktur keilmuan yang tidak jelas, materi disesuaikan dengan

kepentingan politik rezim, memiliki visi untuk memperkuat (state

building) (Negara otoriter birokratis) yang bermuara pada posisi warga

negara sebagai kaula atau obyek yang sangat lemah ketika berhadapan

dengan penguasa. Akibat dari kondisi tersebut, PKn semakin sulit untuk

mengembangkan karakter warga negara yang demokratis (Cholisin,

2008: 10).

Rancangan pengembangan kurikulum 2013 yang akan diterapkan

disekolah menjadikan pososi PKn sangat diprioritaskan bahkan masuk

kedalam mata pelajaran yang wajib. Untuk siswa sekolah dasar PKn

berubah nama dari Pendidikan Kewarganegaraan menjadi Pendidikan

Pancasila dan Kewarganegaraan. Untuk tingkat SMP sama dari

Pendidikan Kewarganegaraan menjadi Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan. Untuk tingkat SMA nama PKn tetap mejadi mata

pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam (Bahan Uji Publik

Pengembangan Kurikulum 2013, Kemendikbud) terdapat penambahan

alokasi waktu pada mata pelajaran PKn yaitu untuk tingkat SD dari dua

jam mata pelajaran menjadi 3 jam pelajaran, untuk SMP juga sama dari

dua jam pelajaran menjadi 3 jam pelajaran, sementara untuk SMA tetap

dua jam pelajaran.


31

3. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Secara lebih jelas Cholisin (2000: 1.21) bahwa hakikat tujuan

IKn-PKn adalah mendeskripsikan dan membina warga negara yang baik,

dalam arti memahami dan mampu melaksanakan peranannya sebagai

warga negara untuk ikut serta membangun negara yang demokratis,

berkemanusiaan dan berkeadilan sosial, atau dalam istilah era reformasi

adalah warga negara yang mampu ikut serta membangun masyarakat

madani (Civil Society) sebagai karakter masyarakat Indonesia baru.

Kemudian PKn memiliki keunikan tersendiri yang

membedakannya dengan mata pelajaran lain. Keunikan PKn

digambarkan John Petter dalam Citizenship Education dalam (Cholisin,

2011: 4) substansinya berisikan tentang hak-hak kita, tetapi harus diakui

memiliki tiga keunikan yang membedakannya dengan mata pelajaran

lain. (1) Linked with other subject, maksudnya sekolah harus mendukung

secara eksplisit untuk mengaitkan PKn dengan mata pelajaran lain; (2)

The way of life, maksudnya PKn harus mengakar dalam pandangan hidup

dan etos sekolah secara keseluruhan; (3) Participation, maksudnya PKn

memerlukan generasi muda (Young people) untuk belajar melalui

partisipasi dan pengalaman nyata.

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan dari penjelasan UU No.2

Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 ayat 2, dapat

dinyatakan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah

mewujudkan warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan


32

negara. Warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara

setelah memperoleh pengetahuan dan kemampuan dasar hubungan warga

negara dengan negara dan PPBN yang substansinya berupa hak dan

kewajiban warga negara sebagaimana yang terdapat dalam pasal 27

sampai dengan 34 UUD 1945 tentang pasal-pasal tersebut dimaksudkan

agar setiap warga negara mampu ikut mewujudkan negara yang

demokratis, kemanusiaan dan keadilan sosial. Oleh karena itu, indikator

warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara meliputi

kemampuan : a). ikut serta/berpartisipasi dalam mewujudkan negara yang

demokratis (Demokrasi Politik); b). berpartisipasi dalam mewujudkan

kemanusiaan (Demokrasi sosial); c). berpartisipasi dalam mewujudkan

keadilan sosial (Demokrasi ekonomi).

Tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan diatur dalam Lampiran

Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah. Tujuannya adalah agar peserta didik

memiliki kemampuan sebagai berikut.

a. Berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu


kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak
secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, serta anti-korupsi.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat
hidup bersama denga bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia
secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
33

Sementara kalau menurut Byron G. Massilas dalam Cholisin

(2000:1.16) mengemukakan bahwa Citizenship Objektives For The 70s

(Tujuan PKn untuk tahun tujuh puluhan) yang dinilai sesuai kondisi dan

kebutuhan-kebutuhan generasi muda dalam masyarakat modern sebagai

warga negara yang baik. Identifikasi ini, diperoleh berdasarkan

pernyataan para guru tentang bagaimana agar supaya menjadi good

citizens. Ada 10 tujuan pokok yang perlu dikembangkan, yaitu sebagai

berikut.

a. Show concern for welfare and dignity of other, (menunjukan


perhatian pada kesejahteraan dan martabat orang lain).
b. Support rights and freedoms all individuals, (Mendukung hak asasi
dan kebebasan bagi semua individu).
c. Help maintain law and order. (Membantu memelihara hukum dan
ketertiban).
d. Know the main strukture and functions of our govenment
(Mengetahui struktur pokok dan fungsi pokok dari pemerintahan
kita).
e. Seek community improvement through active, demokratic
participation. (Mencari kemajuan masyarakat lewat aktif
berpartisipasi secara demokartis).
f. Understand problems of internasional relations, (Mengerti tentang
masalah-masalah hubungan internasional).
g. Support relationary in comunication, thought, and action on social
problems. (Mendukung rasionalitas dalam komunikasi, pemikiran,
dan pada kegiatan masalah-masalah sosial).
h. Take responsibility for our personal development and obligations,
(Mengambil tanggung jawab untuk pengembangan personal dan
kewajiban kita).
i. Help and respect their own families, (Membantu dan menghormati
keluarga mereka).
j. Narture the development of their children as future citizens (Adults),
(Memelihara pengembangan anak-anak mereka sebagai warga
negara dimasa depan/orang dewasa (Cholisin, 2000: 1.16).

Dari pemaparan diatas apabila kita kaitkan dengan PKn sebagai

pendidikan karakter. PKn sangat strategis dalam membangun karakter


34

siswa dan budaya demokrasi karena muatan atau isi PKn sesuai

pernyataan diatas yaitu memuat hak-hak kita sebagai warga negara dan

kewajiban-kewajiban kita sebagai warga negara yang sesuai diamanatkan

oleh Pancasila dan UUD 1945. Sehingga sangat wajar apabila PKn

sebagai ujung tombak yang tajam dalam membangun karakter peserta

didik. Sekolah harus mendukung tentang PKn sebagai pendidikan

karakter. PKn dijadikan dasar atau The Way of life Pkn harus mengakar

dalam pandangan hidup dan etos sekolah secara keseluruhan.

Sementara kalau dalam (Standar Isi) menyebutkan bahwa mata

pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik

memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu


kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak
secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, serta anti korupsi.
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat
hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia
secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi (Standar Isi Pkn).

Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil benang merahnya

(Inti) tujuan dari PKn itu sendiri yaitu untuk membentuk warga negara

yang baik tentunya warga negara yang baik disini warga negara yang

memahami dan mampu melaksanakan peranannya sebagai warga negara

untuk ikut serta membangun negara yang demokratis, berkemanusiaan

dan berkeadilan sosial atau yang dalam istilah reformasi adalah warga
35

negara yang mampu ikut serta membangun masyarakat madani (Civil

society) sebagai karakter masyarakat Indonesia baru yang berpedoman

dengan Pancasila dan UUD 1945.

4. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan

Untuk lebih memahami cakupan atau ruang lingkup PKn tentunya

kita harus mengetahui terlebih dahulu cakupan atau ruang lingkup dari

IKn. Cakupan IKn adalah demokrasi politik. Pendapat ini didasarkan

karena IKn atau Civics mengambil bagian isi ilmu politik yang berupa

demokrasi politik (Cholisin, 2000: 1.8). Unsur-unsur yang ada pada

demokrasi politik, yaitu sebagai berikut.

a. teori-teori tentang demokarsi politik;


b. konstitusi negara;
c. sistem politik;
d. pemilihan umum;
e. lembaga-lembaga decision maker;
f. presiden;
g. lembaga yudikatif dan legislatif;
h. out put dari sistem demokrasi politik;
i. kemakmuran umum dan pertanahan negara;
j. perubahan sosial (Somantri) dalam Cholisin (2000: 1.26).

Senada dengan pendapat bahwa IKn sebagai bagian dari ilmu

politik, Ahmad Sanusi dalam Cholisin (2000: 1.26), menyatakan bahwa

cakupan IKn meliputi kedudukan dan peranan warga negara dalam

menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dan sepanjang batas-batas

ketentuan konstitusi negara yang bersangkutan. Hasil Seminar Nasional

pengajaran dan pendidikan civics (Civics Educations) di Tawangmangu

1972, Solo (dalam Cholisin, 2000: 1.26) merumuskan bahwa cakupan


36

IKn adalah peranan warga negara negara dibidang spiritual, ekonomi,

politis, yuridis, kultural sesuai dengan dan sejauh yang diatur dalam

Pembukaan dan UUD 1945.

Hasil dari analisis Cholisin terhadap beberapa cakupan atau ruang

lingkup IKn diatas adalah pendapat pertama (Demokrasi politik sebagai

cakupan IKn) hanya menekankan peranan warga negara dibidang politik.

Sedangkan pendapat kedua (Ahmad Sanusi) dan ketiga (Seminar

ditawangmangu 1972), tidak hanya membatasi pada peranan dibidang

politik, tetapi juga dibidang lain seperti peranan di bidang ekonomi dan

sosial.

Secara lebih rinci Cholisin (2000: 1.27) mengajukan cakupan IKn

meliputi: teori hubungan warga negara dengan negara atau pemerintah,

tugas-tugas pemerintah, proses pemerintahan sendiri (Sistem politik),

peranan warga negara dalam berbagai bidang kehidupan (hak kewajiban

warga negara dan HAM) dan bagaimana pelaksanaan hak-hak tersebut

sesuai dengan sistem politik yang berlaku, dan sifat-sifat yang esensial

yang harus ada pada profil warga negara yang baik.

Peneliti menambahkan bahwa cakupan IKn tidak hanya pada

demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial.

Jadi sependapat dengan apa yang diutarakan dalam Hasil Seminar

Nasional pengajaran dan pendidikan civics (Civic Education)

ditawangmangu 1972, Solo, bahwa cakupan IKn tidak hanya peranan

dalam ranah politik saja tetapi juga peranan warga negara dalam bidang
37

spiritual, ekonomi, yuridis, kultural sesuai dengan dan sejauh yang diatur

dalam Pembukaan dan UUD 1945.

Ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan diatur dalam

Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah. Ruang Lingkup mata pelajaran PKn

untuk pendidikan dasar dan menengah secara umum meliputi aspek-

aspek sebagai berikut.

a. persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi rukun dalam perbedaan, cinta


lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah pemuda,
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam
pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia, keterbukaan dan jaminan keadilan.
b. norma, hukum, dan peraturan, meliputi tertib dalam kehidupan
keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku dimasyarakat,
peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan
peradilan internasional.
c. Hak Asasi Manusia, meliputi hak dan kewajiban anak, hak dan
kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional
HAM, pemajuan penghormatan dan perlindungan HAM.
d. kebutuhan warga negara, meliputi hidup gotong royong, harga diri
sebagai masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan
mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri,
persamaan kedudukan warga negara.
e. konstitusi negara, meliputi proklamasi kemerdekaan dan konsitusi
yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di
Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi.
f. kekuasaan dan politik, meliputi pemerintahan desa dan kecamatan,
pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan
sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat
madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi.
g. Pancasila, meliputi, kedudukan pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi negara, proses perumusan pancasila sebagai dasar negara,
pengamalan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari,
pancasila sebagai ideologi terbuka.
h. Globalisasi, meliputi: globalisasi dilingkungannya, politik luar negeri
Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan
internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi
globalisasi.
38

Berdasarkan ruang lingkup diatas, diketahui bahwa materi yang

ada dalam PKn terdiri dari diantaranya tentang materi nilai-nilai, norma

dan peraturan hukum yang mengatur perilaku warga negara, sehingga

diharapkan peserta didik dapat mengamalkan materi tersebut dalam

kehidupan sehari-hari menjadi karakter pribadi yang melekat pada setiap

individu peserta didik.

5. PKn Sebagai Pendidikan Karakter

Dalam tinjauan mengenai pendidikan karakter akan dijelaskan

beberapa pengertian tentang pendidikan karakter, PKn sebagai ujung

tombak pendidikan karakter, nilai-nilai karakter, nilai-nilai karakter

dalam PKn, dan pelaksanaan pembelajaran PKn dalam pengembangan

pendidikan karakter, evaluasi keberhasilan pendidikan karakter. Untuk

itu tinjauan pendidikan karakter dimulai dengan penjelasan tentang

pengertian pendidikan karakter.

a. Pengertian Pendidikan Karakter

Dalam Policy Brief (Pendidikan Karakter Untuk Membangun

Karakter Bangsa) (2011: 7) menekankan bahwa pengertian pendidikan

adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan akhlak mulia, serta


39

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dari pengertian tersebut sudah sangat jelas bahwa pendidikan merupakan

sebuah usaha sadar dan memang direncanakan yaitu dalam rangka

mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat,

bangsa dan negara.

Kemudian pengertian karakter itu sendiri dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia mendeskripsikan bahwa karakter, memiliki arti 1) sifat-

sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan sesorang

dengan yang lain. 2) karakter juga bisa memiliki makna huruf.

Menurut Cholisin (2011:1) pengertian karakter adalah nilai-nilai

yang melandasi perilaku berdasarkan norma agama, kebudayaan,

hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Jadi Cholisin (2011: 1)

menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman

nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang meliputi

pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan

nilai-nilai baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,

sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil

(Kemendiknas, 2010:11).

Dalam Policy Brief (Pendidikan Karakter Untuk Membangun

Karakter Bangsa) (2011: 7) menyebutkan bahwa Pendidikan karakter

adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal,


40

peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik

berperilaku sebagai insan kamil. Karakter yang baik adalah berisi

kebajikan. Kebajikan seperti kejujuran, keberanian akan keadilan, dan

kasih sayang adalah disposisi untuk berperilaku dalam cara yang baik

secara moral. Dari pemaparan tersebut dapat dikemukakan bahwa

pengertian karakter adalah serangkaian ciri-ciri psikologis manusia yang

melandasi perilakunya berdasarkan norma-norma dalam masyarakat yang

berupa nilai-nilai kebajikan sehingga tertanam dalam diri setiap manusia

dan dianggap baik dalam masyarakat.

Dari pemaparan diatas peneliti mencoba membuat kesimpulan

tentang pendidikan karakter ini. Karakter adalah nilai-nilai yang

melandasi perilaku, perilaku tersebut didasarkan pada norma agama,

kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Jadi

pendidikan karakter adalah bagaimana nilai-nilai yang melandasi

perilaku tersebut dapat ditanamkan atau diinternalisasikan melalui

pendidikan atau pengajaran sehingga akan menjadi kebiasaan peserta

didik dalam berperilaku sehari-hari.

b. Karakteristik PKn sebagai Pendidikan Karakter

Kaitannya dalam disiplin ilmu PKn memiliki beberapa predikat

atau misi dari PKn itu sendiri. Predikat tersebut seperti PKn sebagai

Pendidikan Politik, PKn sebagai Pendidikan HAM, PKn sebagai

pendidikan Hukum, PKn sebagai pendidikan anti korupsi dan PKn


41

sebagai pendidikan karakter. Sebagai pendidikan politik (Cholisin, 2005)

sudah sangat jelas bahwa PKn mengambil porsi dari ilmu politik berupa

unsur materi pokok “Hubungan Warga Negara dengan Negara”. Dikenal

dengan istilah “Kewarganegaraan atau Citizenship” materi yang

dibahasnya yaitu yang berkaitan dengan warga negara secara luas dalam

hubungannya dengan pemerintah atau negara, tetapi fokusnya pada hak-

kewajiban warga negara dalam rangka berpartisifasi dalam kehidupan

bernegara secara bertanggung jawab.

Sebagai pendidikan demokrasi Pendidikan Kewarganegaraan

merupakan komponen pendidikan demokrasi yang sangat penting, karena

menanamkan kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan

politik. Partisipasi dalam kehidupan politik (Partisipasi politik) termasuk

didalamnya berpartisipasi dalam pemilu. Namun PKn sebagai pendidikan

demokrasi tidak hanya terpaku oleh warga negara dalam pemilu tetapi

banyak sekali unsur atau materi terkait PKn sebagai pendidikan

demokrasi. Esensi PKn sebagai pendidikan demokrasi yaitu PKn

memiliki misi untuk meningkatkan kemampuan partisipasi warga negara

dalam mengembangkan dan memelihara sistem politik Demokrasi

Pancasila.

Dalam penelitian ini peneliti hanya mengambil satu dari beberapa

misi atau predikat yang dimiliki oleh PKn yaitu peneliti membatasi hanya

pada PKn sebagai Pendidikan Karakter. Seperti yang kita ketahui bahwa

sebagai disiplin ilmu PKn memiliki misi yang sangat penting yaitu
42

sebagai nation and character building. Dengan misi yang dimiliki ini

PKn diharapkan membangun karakter manusia Indonesia yang

Pancasilais, karena ideologi Pancasila merupakan identitas bagi bangsa

Indonesia. PKn sebagai pendidikan karakter maksudnya bahwa PKn

menanamkan nilai, sikap, dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila

dan UUD 1945 sehingga menjadi sikap perilaku dalam kehidupan sehari-

hari.

c. Pkn Sebagai Ujung Tombak Pendidikan Karakter

Cholisin, (2011: 1) menyatakan bahwa salah satu misi yang

diemban PKn adalah sebagai pendidikan karakter. Misi lain adalah

sebagai pendidikan politik/pendidikan demokrasi, pendidikan moral dan

pendidikan hukum dipersekolahan. Dibandingkan dengan mata pelajaran

lain, mata pelajaran PKn dan Agama memiliki posisi sebagai ujung

tombak dalam pendidikan karakter. Maksudnya dalam kedua mata

pelajaran tersebut pendidikan karakter harus menjadi tujuan

pembelajaran. Perubahan karakter peserta didik merupakan usaha yang

disengaja atau direncanakan (Instrucsional effect), bukan sekedar

dampak ikutan/pengiring (Nurturant effect). Hal ini dapat ditunjukan

bahwa komponen PKn adalah pengetahuan, keterampilan, dan karakter

kewarganegaraan.

Jadi sependapat dengan apa yang dikemukakan (Cholisin, 2011:

1) yang menyatakan bahwa tanpa ada kebijakan pengintegrasian


43

pendidikan karakter ke dalam berbagai mata pelajaran. PKn harus

mengembangkan pendidikan karakter. Lebih-lebih dengan adanya

kebijakan pengembangan pendidikan karakter yang terintegrasi, ini

merupakan tantangan untuk menunjukan bahwa PKn sebagai ujung

tombak yang tajam bukan tumpul bagi pendidikan karakter.

Selain itu dalam (Standar Isi) dijelaskan bahwa PKn merupakan

mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara

yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya

untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan

berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Dari

pemaparan di atas sudah sangat jelas bahwa PKn merupakan mata

pelajaran yang memfokuskan pembentukan warga negara yang mampu

melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara

Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh

Pancasila dan UUD 1945.

Kemudian tujuan PKn itu sendiri adalah agar peserta didik

memiliki kemampuan:1). Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif

dalam menanggapi isu kewarganegaraan; 2). Berpartisipasi secara aktif

dan bertanggungjawab dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta anti korupsi; 3).

Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri

berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup

bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; 4). Berinteraksi dengan bangsa-


44

bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung

dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Standar Isi).

Fungsi PKn adalah wahana untuk membentuk warga negara

cerdas, terampil dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara

Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan

bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 (Direktorat P-

SMP). Pendidikan karakter yang baik menurut Lickona (Darmiyati

Zuchdi, 2009: 11) harus melibatkan bukan saja aspek “Knowing the

good” (Moral Knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the

good” (Moral feeling) dan “acting the good” (moral action). Penekanan

aspek-aspek tersebut di atas, diperlukan agar peserta didik mampu

memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan,

tanpa harus didoktrin apalagi diperintah secara paksa.

d. Nilai-nilai Karakter dalam PKn

Dalam Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter Kementrian

Pendidikan Nasional (2011: 8), dijelaskan bahwa dalam rangka lebih

memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan

telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila,

budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu (1) Religius, (2) Jujur, (3)

Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8)

Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta

Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/komunikatif, (14)


45

Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli

Sosial, (18) Tanggung Jawab (Kemendiknas, 2011: 8).

Namun dalam mengimplemantasikan nilai-nilai karakter diatas

tentunya ada prioritas sesuai dengan prakondisi masing-masing sekolah

yang bersangkutan. Meskipun telah dirumuskan 18 nilai pembentuk

karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas

pengembangannya untuk melanjutkan nilai-nilai prakondisi yang telah

dikembangkan. Pemilihan nilai-nilai tersebut beranjak dari kepentingan

dan kondisi satuan pendidikan masing-masing, yang dilakukan melalui

analisis konteks, sehingga dalam implementasinya dimungkinkan terdapat

perbedaan jenis nilai karakter yang dikembangkan antara satu sekolah dan

atau daerah yang satu dengan yang lainnya. Implementasi nilai-nilai

karakter yang akan dikembangkan dapat dimulai dari nilai-nilai esensial,

sederhana dan mudah dilaksanakan, seperti: bersih, rapi, nyaman, disiplin,

sopan dan santun (Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter,

Kemendiknas, 2011: 8).

Dalam Standar Isi PKn menyebutkan bahwa Mata Pelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang

memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan

mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga

negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang

diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Dari pemaparan ini kiranya

dapat kita tekankan bahwa fungsi PKn selain untuk membentuk warga
46

negara Indonesia yang cerdas, terampil tetapi juga berkarakter sesuai

yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Dari sini sudah sangat

jelas bahwa PKn memang memiliki misi yaitu nation and character

building yaitu membentuk warga negara yang berkarakter.

Bahkan Cholisin (2011: 3) menjelaskan bahwa PKn walaupun

tanpa ada kebijakan pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam

berbagai mata pelajaran, PKn harus mengembangkan pendidikan

karakter. Lebih-lebih dengan adanya kebijakan pengembangan

pendidikan karakter yang terintegrasi, ini merupakan tantangan untuk

menunjukan bahwa PKn sebagai ujung tombak yang tajam bukan tumpul

bagi pendidikan karakter. Ini semua wajar apabila kita melihat komponen

dari mata pelajaran PKn itu sendiri yaitu pengetahuan, keterampilan dan

karakter kewarganegaraan.

Kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik

menguasai materi, juga dirancang untuk mengenal, menyadari/peduli,

dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku. Dalam

struktur kurikulum kita, ada dua mata pelajaran yang terkait langsung

dengan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia, yaitu Pendidikan

Agama dan PKn. Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata

pelajaran yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan nilai-nilai, dan

sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan

menginternalisasi nilai-nilai. Namun dikarenakan nilai-nilai karakter

yang ditanamkan terlalu banyak sehingga tidak memungkinkan untuk


47

ditanamkan seluruhnya pada setiap mata pelajaran. Penanaman nilai-nilai

karakter yang terlalu banyak dan dibebankan pada setiap mata pelajaran

dirasa terlalu berat, sehingga dipilih beberapa yang menjadi nilai-nilai

karakter yang sesuai dengan mata pelajaran PKn adalah Nasionalis, patuh

pada aturan sosial, demokratis, jujur, menghargai keragaman, sadar akan

hak dan kewajiban diri dan orang lain (Kemendiknas, 2010: 37).

Sesuai dengan tujuan PKn dalam Permendiknas tentang Standar

isi yang salah satunya adalah agar peserta didik memiliki kemampuan

berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri

berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup

bersama dengan bangsa-bangsa lain, dan berdasarkan komponen

substansi PKn yang meliputi: pengetahuan kewarganegaraan,

keterampilan kewarganegaraan, dan karakter kewarganegaraan.

Menunjukan bahwa salah satu misi yang diemban PKn adalah pendidikan

karakter.

Pendidikan karakter yang menjadi misi PKn meliputi seluruh

aspek yang dibutuhkan demi terciptanya warga negara yang cerdas,

terampil dan berkarakter sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar

1945, yaitu warga negara yang cerdas berdasarkan substansi pengetahuan

kewarganegaraan (Civic knowladge), terampil berdasarkan substansi

keterampilan kewarganegaraan (Civic skill), dan warga negara yang

berkarakter berdasarkan substansi karakter kewargaan (Civic

dispositions). Ketiga aspek inilah yang akan dibangun dalam diri peserta
48

didik manusia Indonesia, yang nantinya akan berkembang menjadi

sebuah penalaran yang akan terwujud dalam perilaku masyarakat,

berbangsa, dan bernegara sesuai dengan cita-cita membangun masyarakat

madani dengan kekuatan pemberdayaan warga negara (Citizen

empowerment), tentu saja dengan materi karakter yang bersumber pada

nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Nilai-nilai karakter yang diajarkan dalam PKn meliputi nilai-nilai

karakter pokok dan nilai karakter utama. Nilai karakter pokok mata

pelajaran PKn meliputi: kereligiusan, kejujuran, kecerdasan,

ketangguhan, kedemokratisan, dan kepedulian. Sedangkan nilai karakter

utama mata pelajaran PKn yaitu nasionalisme, kepatuhan pada aturan

sosial, menghargai keberagaman, kesadaran akan hak dan kewajiban diri

dan orang lain, bertanggung jawab, berfikir logis, kritis, kreatif, dan

inovatif dan kemandirian (Kemendiknas, 2010: 19). Nilai-nilai karakter

ini dapat dikembangkan lebih luas lagi agar dapat memperkuat fungsi

PKn sebagai Pendidikan Karakter pada peserta didik. Nilai-nilai tersebut

dapat dikembangkan secara lebih lanjut dalam indikator-indikator

tertentu.

Berdasarkan pernyataan diatas dapat dikemukakan bahwa untuk

membentuk karakter warga negara yang mampu berpikir dan bertindak

sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, selain tiga komponen yaitu civic

knowladge, civic skill, civic disposition, juga diperlukan pendidikan

karakter yang merupakan nilai-nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari


49

yang mencakup pengenalan nilai-nilai, kesadaran akan pentingnya nilai

itu secara mendalam, dan dapat diwujudkan dalam pengahayatan tingkah

laku keseharian terutama dengan pembelajaran PKn dan dengan

pengenalan nilai-nilai yang terpadu dalam mata pelajaran PKn.

e. Pelaksanaan Pembelajaran PKn dalam Pengembangan Pendidikan

Karakter

Dalam manajemen pendidikan, proses pembelajaran terdiri dari

proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Perencanaan

pembelajaran dalam standar proses yaitu silabus dan rencana pelaksanaan

pembelajaran (RPP). Sementara kalau dalam kegiatan pelaksanaan

pembelajaran yaitu proses dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti dan

penutup, dipilih dan dilaksanakan agar peserta didik mempraktikan nilai-

nilai karakter yang ditargetkan. Pelaksanaan kegiatan ini dirancang dari

silabus kemudian RPP yang didalamnya sudah didesain dalam

menerapkan pendidikan karakter. Kegiatan inti menggunakan metode

yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran,

yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi. Prinsip-

prinsip Contexstual Teacing and Learning (Kontruktivisme, bertanya,

masyarakat belajar, menemukan, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang

sebenarnya) disarankan diaplikasikan pada semua tahapan pembelajaran

karena prinsip-prinsip pembelajaran tersebut dapat memfasilitasi

terinternalisasinya nilai-nilai.
50

Pembelajaran merupakan sebuah sistem yang memiliki

komponen-komponen yang mempengaruhi keberhasilan belajar. Menurut

Wina Sanjaya, (2009:58), komponen-komponen tersebut adalah tujuan,

materi pembelajaran, metode atau strategi pembelajaran, media dan

evaluasi. Komponen-komponen tersebut diatas jika dilaksanakan dengan

baik dan sistematis, maka proses pembelajaran menjadi terarah dan fokus

pada target yang dituju serta diharapkan meningkatkan motivasi pendidik

maupun peserta didik dalam proses belajar mengajar.

Pembelajaran pendidikan karakter dalam mata pelajaran PKn

hendaknya mengarah kepada pembelajaran yang menuntut keaktifan

siswa. Lebih rinci (Cholisin, 2011: 4) menjelaskan bahwa sebuah

kegiatan belajar (Task), baik secara eksplisit atau implisit terbentuk atas

enam komponen. Komponen-komponen yang dimaksud adalah 1).

Tujuan; 2). Input; 3). Aktivitas; 4). Pengaturan (Setting); 5). Peran guru;

6). Peran peserta didik. Dengan demikian, perubahan adaptasi kegiatan

belajar yang dimaksud menyangkut perubahan pada komponen-

komponen tersebut. Secara umum, kegiatan belajar yang potensial dapat

mengembangkan karakter peserta didik memenuhi prinsip-prinsip atau

kriteria berikut (Cholisin, 2011: 4).

1. Tujuan

Dalam hal tujuan, kegiatan belajar yang menanamkan nilai

adalah apabila tujuan kegiatan tersebut tidak hanya berorientasi pada

pengetahuan, tetapi juga sikap. Oleh karenanya, guru perlu menambah


51

orientasi setiap tujuan atau sejumlah kegiatan belajar dengan

pencapaian sikap atau nilai tertentu, misalnya kejujuran, rasa percaya

diri, kerja keras, saling menghargai dan sebagainya.

2. Input

Input dapat didefinisikan sebagai bahan rujukan sebagai titik

tolak dilaksanakannya aktifitas belajar oleh peserta didik. Input

tersebut dapat berupa teks lisan maupun tertulis, grafik, diagram,

gambar, model, charta, benda sesungguhnya, film, dan sebagainya.

Input yang dapat memperkenalkan nilai-nilai adalah yang tidak hanya

menyajikan materi atau pengetahuan, tetapi yang juga menguraikan

nilai-nilai yang terkait dengan materi/pengetahuan tersebut.

3. Aktivitas

Aktivitas belajar adalah apa yang dilakukan oleh peserta didik

(Bersama dan atau tanpa guru) dengan input belajar untuk mencapai

tujuan belajar. Aktifitas belajar yang dapat membantu peserta didik

menginternalisasi nilai-nilai adalah aktifitas-aktifitas belajar aktif yang

antara lain mendorong terjadinya autonomos learning dan bersifat

learner-centered. Pembelajaran yang memfasilitasi autonomous

learning dan berpusat pada siswa secara otomatis akan membantu

siswa memperoleh banyak nilai. Contoh-contoh aktifitas belajar yang

memiliki sifat-sifat demikian antara lain diskusi, eksperimen,

pengamatan/observasi, debat, presentasi oleh siswa dan mengerjakan

proyek.
52

4. Pengaturan (Setting)

Pengaturan (Setting) pembelajaran berkaitan dengan kapan dan

dimana kegiatan dilaksanakan, berapa lama, apakah secara individu,

berpasangan atau dalam kelompok. Masing-masing setting

berimplikasi terhadap nilai-nilai yang terdidik. Setting waktu

penyelesaian waktu tugas yang pendek (Sedikit) misalnya, akan

menjadikan peserta didik terbiasa kerja dengan cepat sehingga

menghargai waktu dengan baik. Sementara itu kerja kelompok dapat

menjadikan siswa memperoleh kemampuan bekerjasama, saling

menghargai dan lain-lain.

5. Peran guru

Peran guru dalam kegiatan belajar pada buku ajar biasanya

tidak dinyatakan secara eksplisit. Pernyataan eksplisit peran guru pada

umumnya ditulis pada buku petunjuk guru. Karena cenderung

dinyatakan secara implisit, guru perlu melakukan inferensi terhadap

peran guru pada kebanyakan kegiatan pembelajaran, apabila buku

guru tidak tersedia.

Peran guru yang memfasilitasi diinternalisasinya nilai-nilai

oleh siswa antara lain, guru sebagai fasilitator, motivator, partisipan,

dan pemberi umpan balik. Mengutip ajaran Ki Hajar Dewantara, guru

yang dengan efektif dan efisien mengembangkan karakter siswa

adalah mereka yang ing ngarsa sung tuladha (Di depan guru sebagai

teladan/memberi contoh), ing madya mangun karsa (Ditengah-tengah


53

peserta didik guru membangun prakarsa dan bekerja sama dengan

mereka), tut wuru handayani (Dibelakang guru memberi daya

semangat dan dorongan bagi peserta didik).

6. Peran peserta didik

Seperti halnya dengan peran guru dalam kegiatan belajar pada

buku ajar, peran siswa biasanya tidak dinyatakan secara eksplisit juga.

Pernyataan eksplisit peran siswa pada umumnya ditulis pada buku

petunjuk guru. Karena cenderung dinyatakan secara implisit, guru

perlu melakukan inferensi terhadap peran siswa, pada kegiatan

pembelajaran.

Agar peserta didik terfasilitasi dalam mengenal, menjadi

peduli, dan menginternalisasi karakter, peserta didik harus diberi

peran aktif dalam pembelajaran. Peran-peran tersebut antara lain

sebagai partisipan diskusi, pelaku eksperimen, penyaji hasil-hasil

diskusi dan eksperimen, pelaksana proyek, dan sebagainya (Cholisin,

2011: 4-6).

Secara lebih rinci (Cholisin, 2011: 6-7) menjelaskan bahwa

sejalan dengan pengembangan karakter peserta didik, kegiatan

pembelajaran PKn tersebut menuntut guru untuk melaksanakan kegiatan

pembelajaran aktif. Pembelajaran aktif dalam PKn antara lain

dilaksanakan melalui kegiatan sebagai berikut.

a. Mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku teks, surat kabar,

majalah, tokoh masyarakat. Karakter yang dapat dikembangkan


54

melalui kegiatan pembelajaran ini antara lain: kereligiusan, kejujuran,

kemandirian, kerja keras, kedisiplinan, keingintahuan, cinta ilmu.

b. Membaca dan menelaah (Studi pustaka). Karakter yang dapat

dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran ini antara lain :

kereligiusan, keingintahuan, cinta ilmu.

c. Mendiskusikan. Karakter yang dapat dikembangkan melalui kegiatan

pembelajaran ini antara lain: kereligiusan, kecerdasan, demokratis,

berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif: kesantunan, menghargai

keberagaman, kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain.

d. Mempresentasikan. Karakter yang dapat dikembangkan melalui

kegiatan pembelajaran ini antara lain: percaya diri, kemandirian,

tanggung jawab, demokratis, kesantunan, kejujuran.

e. Memberi tanggapan. Karakter yang dapat dikembangkan melalui

kegiatanpembelajaran ini antara lain: kereligiusan, kecerdasan,

ketangguhan, demokratis, kejujuran, menghargai keberagaman,

kemandirian, kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain.

f. Memecahkan masalah atau kasus. Karakter yang dapat dikembangkan

melalui kegiatan pembelajaran ini antara lain: kereligiusan,

kecerdasan, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, kepatuhan pada

aturan-aturan sosial, ketangguhan, nasionalisme, kemandirian,

Kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, kepedulian.

g. Mengamati/mengobservasi. Karakter yang dapat dikembangkan

melalui kegiatan pembelajaran ini antara lain: kerja keras,


55

keingintahuan, kesantunan, kemandirian, kesadaran akan hak dan

kewajiban diri dan orang lain menghargai keberagaman, kejujuran.

h. Mensimulasikan. Karakter yang dapat dikembangkan melalui kegiatan

pembelajaran ini antara lain : demokratis, kejujuran, nasionalisme,

kepedulian, ketangguhan, kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan

orang lain, menghargai keberagaman, kepatuhan pada aturan-aturan

sosial.

i. Mendemonstrasikan. Karakter yang dapat dikembangkan melalui

kegiatan pembelajaran ini antara lain nasionalisme, kesadaran akan

hak dan kewajiban diri dan orang lain kedemokrasian, kejujuran,

menghargai keberagaman.

j. Memberikan contoh. Karakter yang dapat dikembangkan melalui

kegiatan pembelajaran ini antara lain: nasionalisme, kedemokrasian,

kejujuran, menghargai keberagaman, kesadaran akan hak dan

kewajiban diri dan orang lain.

k. Mempraktikan/menerapkan : Karakter yang dapat dikembangkan

melalui kegiatan pembelajaran ini antara lain: kedemokrasian,

nasionalisme, kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain,

kepatuhan pada aturan-aturan sosial, menghargai keberagaman.


56

Gambar 1. Penanaman karakter melalui pelaksanaan pembelajaran

menurut Kemendiknas.

INTERVENSI

Contekstual Teacing And Learning


57

Inti

Eksplorasi Penutup
Pendahuluan
Elaborasi
Konfirmasi

HABITUASI

(Kemendiknas, 2010: 52)

Dalam langkah-langkah kegiatan pembelajaran aktif dalam PKn

pada dasarnya menerapkan pendekatan CTL dan aktifitas pembelajaran

yang mencakup kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Dalam

langkah-langkah kegiatan pembelajaran dapat dicontohkan sebagai

berikut.

Kegiatan Pendahuluan

1. Kesiapan dalam pembelajaran (Berdoa apabila jam pertama, absensi,

kebersihan kelas, menyanyikan salah satu lagu wajib, salah satu

peserta didik memimpin mendoakan temannya yang tidak hadir

karena sakit dll) (Karakter religius).


2. Memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan

sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari (Karakter rasa ingin

tahu).

3. Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai.

4. Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai

silabus.

Kegiatan Inti

1. Peserta didik mengamati, menggali informasi tentang fakta, konsep

dan membuat catatan dari berbagai sumber seperti buku BSE, surat

kabar, internet, dan sumber yang lain (Eksplorasi).

2. Peserta didik mendalami dengan diskusi, pemecahan masalah,

mempresentasikan dan memberikan tanggapan, dsb (Elaborasi).

3. Guru memberikan informasi yang telah dilakukan peserta didik pada

kegiatan (1) dan (2) baik terkait dengan penguasaan kompetensi,

konsep, karakter (dsb) (Konfirmasi).

4. Guru melakukan penilaian proses.

Kegiatan Penutup

1. Peserta didik dengan dibimbing dan difasilitasi guru membuat

kesimpulan dan refleksi.

2. Peserta didik mencatat tugas-tugas kegiatan yang diberikan guru dan

rencana pembelajaran untuk pertemuan berikutnya.

3. Salah satu peserta didik memimpin doa untuk mengakhiri kegiatan

pembelajaran (Karakter Religius) (Cholisin, 2011: 8-9).


f. Evaluasi Keberhasilan Pendidikan Karakter

Dalam Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Kemendiknas,

2011: 17) dijelaskan bahwa untuk mengukur keberhasilan pendidikan

karakter disatuan pendidikan dilakukan melalui berbagai program

penilaian dengan membandingkan kondisi awal dengan pencapaian

dalam waktu tertentu. Penilaian keberhasilan tersebut dilakukan melalui

langkah-langkah berikut. 1). Mengembangkan indikator dari nilai-nilai

yang ditetapkan atau disepakati, 2). Menyusun berbagai instrumen

penilaian, 3). Melakukan pencatatan terhadap pencapaian indikator, 4).

Melakukan analisis dan evaluasi, 5). Melakukan tindak lanjut.

Namun secara lebih rinci tentang penilaian keberhasilan atau

evaluasi pendidikan karakter ini dalam Kerangka Acuan Pendidikan

Karakter (Kemendiknas, 2010: 34-37). Di dalamnya dijelaskan bahwa

pada dasarnya, penilaian terhadap pendidikan karakter dapat dilakukan

terhadap kinerja pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik.

Kinerja pendidik atau tenaga kependidikan dapat dilihat dari berbagai hal

terkait dengan berbagai aturan yang melekat pada diri pegawai , antara

lain: (1) hasil kerja: kualitas kerja, kuantitas kerja, ketepatan waktu

penyelesaian kerja, kesesuaian dengan prosedur; (2) komitmen kerja:

inisiatif, kualitas kehadiran, kontribusi terhadap keberhasilan kerja,

kesediaan melaksanakan tugas dari pimpinan; (3) hubungan kerja: kerja

sama, integritas, pengendalian diri, kemampuan mengarahkan dan

memberikan inspirasi bagi orang lain.


Kegiatan pendidik dan tenaga kependidikan yang terkait dengan

pendidikan karakter dapat dilihat dari portofolio atau catatan harian.

Portofolio atau catatan harian dapat disusun dengan berdasarkan pada

nilai-nilai yang dikembangkan, yakni: jujur, bertanggung jawab, cerdas,

kreatif, bersih dan sehat, peduli, serta gotong royong. Selain itu, kegiatan

mereka dalam pengembangan dan penerapan pendidikan karakter dapat

juga diobservasi. Observasi dapat dilakukan oleh atasan langsung atau

pengawas dengan bersumber pada niali- nilai tersebut untuk mengetahui

apakah mereka sudah melaksanakan hal itu atau tidak (Kemendiknas,

2010: 34).

Selain penilaian untuk pendidik dan tenaga kependidikan,

penilaian pencapaian nilai-nilai budaya dan karakter juga dapat ditujukan

kepada peserta didik yang didasarkan pada beberapa indikator. Sebagai

contoh, indikator untuk nilai jujur di suatu semester dirumuskan dengan

“mengatakan dengan sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa

yang dilihat/diamati/dipelajari/dirasakan” maka pendidik mengamati

(melalui berbagai cara) apakah yang dikatakan seorang peserta didik itu

jujur mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja peserta didik menyatakan

perasaannya itu secara lisan tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis

atau bahkan dengan bahasa tubuh (Kerangka Acuan Pendidikan Karakter,

2010: 34).

Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja memiliki gradasi dari

perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum teman sekelasnya


sampai bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum teman

sekelasnya. Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat

pendidik berada di kelas atau di satuan pendidikan formal dan nonformal.

Model catatan anekdotal (catatan yang dibuat pendidik ketika melihat

adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan)

selalu dapat digunakan pendidik. Selain itu pendidik dapat pula

memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan atau kejadian yang

memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan nilai

yang dimilikinya. Sebagai contoh, peserta didik dimintakan menyatakan

sikapnya terhadap upaya menolong pemalas, memberikan bantuan

terhadap orang kikir, atau hal-hal lain yang bersifat bukan kontroversial

sampai kepada hal yang dapat mengundang konflik pada dirinya.

Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan, dan

sebagainya pendidik dapat memberikan kesimpulan/pertimbangan

tentang pencapaian suatu indikator atau bahkan suatu nilai.

Kesimpulan/pertimbangan tersebut dapat dinyatakan dalam pernyataan

kualitatif dan memiliki makna terjadinya proses pembangunan karakter

sebagai berikut ini (Kemendiknas, 2010: 35).

BT: Belum Terlihat, apabila peserta didik belum memperlihatkan

tanda- tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator karena

belum memahami makna dari nilai itu (Tahap Anomi)

MT: Mulai Terlihat , apabila peserta didik sudah mulai

memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan


dalam indikator tetapi belum konsisten karena sudah ada

pemahaman dan mendapat penguatan lingkungan terdekat (Tahap

Heteronomi)

MB: Mulai Berkembang, apabila peserta didik sudah

memperlihatkan berbagai tanda perilaku yang dinyatakan dalam

indikator dan mulai konsisten, karena selain sudah ada pemahaman

dan kesadaran juga mendapat penguatan lingkungan terdekat dan

lingkungan yang lebih luas (Tahap Sosionomi)

MK: Membudaya, apabila peserta didik terus menerus

memperlihatkan perilaku yang dinyatakan dalam indikator secara

konsisten karena selain sudah ada pemahaman dan kesadaran dan

mendapat penguatan lingkungan terdekat dan lingkungan yang

lebih luas sudah tumbuh kematangan moral (Tahap Autonomi)

(Kemendiknas, 2010: 35).

Dalam hal ini, ada dua jenis indikator yang dapat dikembangkan;

Pertama, adalah indikator untuk satuan pendidikan formal dan

nonformal. Kedua adalah indikator untuk materi pembelajaran. Indikator

satuan pendidikan formal dan nonformal serta kelas adalah penanda yang

digunakan oleh kepala satuan pendidikan formal dan nonformal,

pendidik, dan tenaga kependidikan dalam merencanakan, melaksanakan,

dan mengevaluasi satuan pendidikan formal dan nonformal sebagai

lembaga pelaksana pendidikan karakter. Indikator ini berkenaan juga

dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan nonformal yang


diprogramkan dan kegiatan satuan pendidikan formal dan nonformal

sehari-hari (rutin).

Indikator materi pembelajaran menggambarkan perilaku

berkarakter peserta didik berkenaan dengan materi pembelajaran tertentu.

Indikator dirumuskan dalam bentuk perilaku peserta didik di kelas dan

satuan pendidikan formal dan nonformal yang dapat diamati melalui

pengamatan pendidik. Hal itu tampak ketika seorang peserta didik

melakukan suatu tindakan di satuan pendidikan formal dan nonformal,

tanya jawab dengan peserta didik, jawaban yang diberikan peserta didik

terhadap tugas dan pertanyaan pendidik, serta tulisan peserta didik dalam

laporan dan pekerjaan rumah. Perilaku yang dikembangkan dalam

indikator pendidikan karakter bersifat progresif. Artinya, perilaku

tersebut berkembang semakin kompleks antara satu jenjang kelas dengan

jenjang kelas di atasnya atau bahkan dalam jenjang kelas yang sama.

Indikator berfungsi bagi pendidik sebagai kriteria untuk memberikan

pertimbangan apakah perilaku untuk nilai tersebut telah menjadi karakter

peserta didik. Untuk mengetahui bahwa suatu satuan pendidikan formal

dan nonformal itu telah melaksanakan pembelajaran yang

mengembangkan karakter perlu dikembangkan instrumen asesmen

khusus (Kemendiknas, 2010: 34-37).

Sementara kalau dalam Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah

Menengah Pertama (Kemendiknas, 2010: 59-60) menjelaskan bahwa

evaluasi cenderung untuk mengetahui sejauhmana efeketifitas program


pendidikan karakter berdasarkan pencapaian tujuan yang telah

ditentukan. Selain itu juga diperlukan teknik dan instrumen yang dipilih

dalam mengukur keberhasilan atau ketercapaian akademik/kognitif siswa

dan juga perkembangan kepribadian siswa.

Diantara teknik-teknik penilaian tersebut, beberapa dapat

digunakan untuk menilai pencapaian akademik maupun kepribadian.

Teknik-teknik tersebut terutama observasi (Dengan lembar observasi atau

lembar pengamatan), penilaian diri (Dengan lembar penilaian diri atau

kuesioner), dan penilaian antar teman (Lembar penilaian antar teman).

Tabel 3. Teknik Penilaian dalam Pendidikan Karakter.

TEKNIK PENILAIAN BENTUK INSTRUMEN


Tes Tertulis 1) Pilihan Ganda
2) Benar – Salah
3) Menjodohkan
4) Pilihan Singkat
5) Uraian

Tes Lisan 1) Daftar Pertanyaan


Tes Kinerja 1) Tes Tulis Keterampilan
2) Tes Identifikasi
3) Tes Simulasi
4) Tes Uji Petik Kerja
Penugasan individual atau kelompok 1) Pekerjaan Rumah
2) Proyek
Observasi 1) Lembar Observasi atau
Pengamatan
Penilaian Portofolio 1) Lembar Penilaian Portofolio
Jurnal 2) Buku Catatan Jurnal
Penilain diri 3) Lembar Penilaian Diri
Penilaian Antar Teman 4) Lembar Penilain Antar Teman

Sumber: Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah

Pertama (Kemendiknas, 2010: 60).


Mengenai keberhasilan atau evaluasi pendidikan karakter apabila

kita padukan maka dalam evaluasi pendidikan karakter ada dua hal

sekiranya yang perlu kita evaluasi, diantaranya: Pertama, penilaian

terhadap kinerja pendidik atau tenaga kependidikan (Guru). Penilaian ini

dapat kita amati dengan teknik observasi dan juga penilaian antar teman.

Dengan teknik observasi kita tentukan lembar observasi atau pengamatan

sehingga kita bisa memperoleh data mengenai kinerja pendidik atau

tenaga kependidikan. Kemudian teknik penilaian teman yaitu dengan

menggunakan lembar penilaian antar teman. Misalnya sesama guru

saling memberikan penilaian mengenai kinerja selama ia mendidik

dikelas.

Kedua, penilaian terhadap peserta didik (Siswa). Penilaian ini

dapat kita amati dengan teknik observasi yaitu kita membuat lembar

observasi atau pengamatan yang berhubungan dengan ketercapaian

mengenai pendidikan karakter, teknik penilaian diri, dan juga teknik

penilaian antar teman. Misalnya teknik observasi kita membuat lembar

observasi atau lembar pengamatan, pendidik menggunakan model

catatan anekdotal (Catatan yang dibuat pendidik ketika melihat adanya

prilaku yang berkenaan dengan nilai yang dikembangkan) selalu dapat

digunakan pendidik. Teknik penilaian diri, siswa membuat lembar

penilaian diri untuk peserta didik yang nantinya siswa dapat menilai

dirinya sendiri. Kemudian teknik penilaian anarteman, kita membuat

lembar penilaian anatarteman, siswa diajak untuk menilai temannya


sendiri. Contoh ketika sudah ujian siswa disuruh menilai apakah

temannya ada yang mencontek atau tidak. Sehingga dari teknik-teknik

atau metode diatas dapat ditentukan perkembangan peserta didik, yaitu:

BT: Belum Terlihat, apabila peserta didik belum memperlihatkan

tanda- tanda awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator karena

belum memahami makna dari nilai itu (Tahap Anomi). Misalnya:

ketika ada siswa yang nakal (Bandel) sebagai contoh siswa yang

masuk ke sekolah sering terlambat. Sudah diperingatakan oleh guru

tetapi tetap saja siswa tersebut tidak memperdulikan, bahkan tetap

melanggar. Semua ini karena siswa belum memahami makna dari

peringatan tersebut yang padahal makna dari peringatan tersebut

agar siswa bisa disiplin.

MT: Mulai Terlihat, apabila peserta didik sudah mulai

memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku yang dinyatakan

dalam indikator tetapi belum konsisten karena sudah ada

pemahaman dan mendapat penguatan lingkungan terdekat (Tahap

Heteronomi). Misalnya: ketika siswa yang tadinya dilingkungan

keluarganya jarang melakukan ibadah sholat, tetapi karena

disekolah ada mata pelajaran Agama Islam siswa tersebut jadi

faham akan manfaat dari sholat tersebut. Selain itu teman-

temannya disekolah selalu sholat siswa tersebut jadi ikut sholat.

Namun ketika sudah dilingkungan keluarganya lagi siswa tersebut

tidak sholat lagi.


MB: Mulai Berkembang, apabila peserta didik sudah

memperlihatkan berbagai tanda perilaku yang dinyatakan dalam

indikator dan mulai konsisten, karena selain sudah ada pemahaman

dan kesadaran juga mendapat penguatan lingkungan terdekat dan

lingkungan yang lebih luas (Tahap Sosionomi). Misalnya: ketika

siswa membeli makanan dikantin misalnya makan gorengan tiga

siswa tersebut berusaha untuk jujur ketika bayar sama ibu kantin.

Ketika siswa tersebut jujur, siswa tersebut sudah faham bahwa

berbohong itu tidak baik dan merugikan orang lain. Selain itu siswa

tersebut sudah terbiasa dikeluarganya untuk tidak berbohong

kepada siapapun.

MK: Membudaya, apabila peserta didik terus menerus

memperlihatkan perilaku yang dinyatakan dalam indikator secara

konsisten karena selain sudah ada pemahaman dan kesadaran dan

mendapat penguatan lingkungan terdekat dan lingkungan yang

lebih luas sudah tumbuh kematangan moral (Tahap Autonomi).

Misalnya: ketika siswa tersebut melihat temannya sendiri

melakukan kesalahan, dia berusaha untuk mengingatkan. Seperti

ketika ada temannya yang membuang sampah sembarangan maka

siswa tersebut berusaha untuk mengingatkan bahwa jangan

membuang sampah sembarangan.


Dalam kaitannya sebagai pendidikan karakter, PKn sebagai

pendidikan karakter memiliki misi yang harus diemban. Hal ini dapat

ditunjukan bahwa komponen PKn adalah pengetahuan kewarganegaraan

(Civic Knowledge) , keterampilan kewarganegaraan (Civic Skills) dan

karakter kewarganegaraan (Civic Dispotisions). Dengan demkian walaupun

tanpa ada kebijakan pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam mata

pelajaran. PKn memang harus mengembangkan pendidikan karakter.

Anda mungkin juga menyukai