Setiap warga negara dituntut agar mampu menjalani kehidupan yang bermanfaat dan
bermakna bagi negara dan bangsanya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
(IPTEKS) perlu diberikan sesuai dengan nilai-nilai agama, moral dan budaya negara. Fungsinya
berperan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam
konteks kewarganegaraan, nilai-nilai budaya negara menjadi pijakan utama, karena tujuan
pembelajaran adalah menumbuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang negara, serta sikap dan
perilaku patriotik yang berlandaskan budaya bangsa.
Pendidikan Kewargaan (civic education) sesungguhnya bukanlah agenda baru di muka bumi.
Proses globalisasi yang melanda dunia dalam beberapa dekade terakhir abad ke-20 mendorong
munculnya ide-ide baru tentang pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan
merupakan mata pelajaran yang rawan terjadi perubahan nama akibat perubahan politik, ironisnya
namanya sudah berkali-kali berganti, namun secara umum cara penyampaiannya pada dasarnya
tidak berubah. Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan
dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan
bangsa, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri para calon-calon penerus bangsa.
Konfigurasi atau kerangka sistematik PKn dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut
Kosasih djahiri (1997; Kariadi, 2017: 31): Pertama, PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek
pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara
Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. Kedua, PKn secara
teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks
substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela
negara. Seharusnya di era sekarang, tujuan pendidikan tidak hanya bersumber pada penguatan
kognitif peserta didik, akan tetapi penguatan afektif dan psikomotorik juga harus dimiliki peserta
didik sebagai hasil dari proses Pendidikan (Nurizka, 2019: 191). Ketiga, PKn secara programatik
dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai
(content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experience) dalam bentuk berbagai
perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan seharihari dan merupakan tuntutan hidup bagi
warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih
lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela
negara.
Zamroni percaya bahwa pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi, yang
bertujuan untuk mempersiapkan warga negara untuk berpikir kritis dan bertindak demokratis.
Padahal, menurut Merphin Panjaitan, pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi,
yang tujuannya untuk mendidik generasi muda menjadi warga negara yang demokratis dan
partisipatif melalui pendidikan dialog. Dalam hal ini, pendidikan kewarganegaraan merupakan alat
pasif untuk membangun dan memajukan sistem demokrasi satu Nusa. Pembelajaran merupakan
bagian atau elemen yang sangat penting dari proses perwujudan dan kualitas lulusan (output). Ini
sebenarnya tergantung pada proses pengajaran.
References
Annisa, F. R., 2013. Pentinnya Pendidikan Kewarganegaraan. s.l., s.n.
Nurmalisa, Y., Mentari, A. & R., 2020. PERANAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
DALAM MEMBANGUN CIVIC CONSCIENCE. JURNAL BHINEKA TUNGGAL IKA, VII(1), pp. 34-46.