Anda di halaman 1dari 3

Tugas Resume Konsep Dasar PPKn

Nama : Alisiyah Saniatus Sabrina

NIM : 20040254058

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN SEJARAHNYA DI


INDONESIA

 Identitas Manusia sebagai Makhluk Sosial-Politik

Kewarganegaraan (citizenship) adalah bentuk identitas sosial-politik. Meskipun


hanya merupakan salah satu dari beberapa bentuk identitas sosial-politik, kewarganegaraan
memiliki tingkat keselarasan yang teruji di berbagai waktu selama two-and-three-quarter
millennia (dua dan tiga perempat milenium) sepanjang riwayatnya hingga sekarang. Kita dapat
membedakan lima bentuk identitas utama. Kelima bentuk identitas utama tersebut ada pada
sistem feodal, kerajaan, tirani, nasional, dan kewarganegaraan secara berurutan (Heater,
2004:1).Masing-masing sistem berakar pada satu hubungan dasar dan melibatkan individu yang
memiliki kedudukan dan pandangan mengenai pemahaman tersebut, serta kemampuan untuk
berperilaku sebaik-baiknya dalam konteks itu.

Yang dimaksud dengan “sistem feodal” di sini adalah hubungan yang bersifat
hierarki. Artinya, bahwa status hubungan tersebut ditentukan berdasarkan keterikatan antara
budak atau anak buah dan sang tuan, dalam hal ini yaitu raja. Di dalam “sistem kerajaan”, raja
sebagai penguasa tunggal memiliki kedudukan atas warganya, sehingga dia dikultuskan dalam
pemerintahannya. “Sistem tirani”, yang oleh kita ditujukan untuk semua bentuk pemerintahan
yang otoriter termasuk kediktatoran dan totaliterisme, adalah penjelasan menyimpang tentang
pemerintahan dalam satu tangan. Sementara itu “sistem nasional” berkenaan dengan harapan
bahwa rakyat akan setia pada negara-bangsa, dalam artian bahwa mereka mengakui kedudukan
mereka sebagai anggota dari satu kelompok budaya (apapun definisinya). Topik “sistem
kewarganegaraan”, dalam hal ini mendefinisikan hubungan individu pada dasarnya menunjukkan
hubungan antara individu dengan gagasan mengenai negara.

 Pola-pola Sejarah Kewarganegaraan di Dunia

Marshall & T. Bottomore mengenalkan tiga bentuk hak kewarganegaraan, yaitu


hak sipil (misalnya persamaan di mata hukum); hak politik (misalnya hak suara); dan hak sosial
(misalnya keadaan sejahtera), yang dinyatakan berkembang secara historis pada urutan itu.
Rincian dari analisis itu telah menjadi sasaran kritikan, terutama karena mengambil data hanya
dari pengalaman tokoh-tokoh kebangsaan Inggris. Meskipun menggunakan syarat-syarat tertentu
sesudahnya untuk meninjau maksud ceramah-ceramah T.H. Marshal & T. Bottomore yang
terbatas dengan cara yang lebih luas, gagasan utama dari isi hak-hak kewarganegaraan tripartit
tetaplah dapat digunakan (Marshall & Bottomore, 1992).

Apabila kita menggunakan tritunggal bentuk kewarganegaraan yang diusung oleh


T.H. Marshall & T. Bottomore (1992), harus kita perhatikan bahwa jika yang dimaksudkan oleh
para penulis dan politikus abad ke-18 dan ke-19 adalah hak-hak, maka yang mereka maksud
adalah hak-hak sipil dan politik, meskipun hak-hak sosial muncul pertama secara tentatif dalam
Revolusi Prancis.

 Pendidikan Kewarganegaraan: Konteks Amerika Serikat

Secara historis-epistemologis, Amerika Serikat dapat dicatat sebagai negara


perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam pengembangan konsep dan paradigma
citizenship education. R.E. Gross & J.E. Zeleny (1958) mengaitkan penggunaan istilah Civics
dan Citizenship Education itu sebagai berikut: Civics pada dasarnya berkenaan dengan
pembahasan mengenai pemerintahan demokrasi dalam teori dan praktek, sedangkan Citizenship
Education berkenaan dengan keterlibatan dan partisipasi warga negara dalam masyarakat. Kedua
aspek ini biasanya diajarkan dalam satu mata pelajaran. Di situ kita melihat penggunaan istilah
Civics dan Citizenship Education secara bertukarpakai (interchangeably), untuk menunjukkan
suatu studi mengenai pemerintahan yang diberikan di sekolah (Gross & Zeleny, 1958).

Citizenship education lebih cenderung digunakan dalam visi yang lebih luas untuk
menunjukkan instructional effects dan nurturant effects dari keseluruhan proses pendidikan
terhadap pembentukan karakter individu sebagai warga negara yang cerdas dan baik (Dimon,
1953; Gross & Zeleny, 1958; Allen, 1960;NCSS, 1972; Somantri, 1972; Cogan & Derricott,
1998).Citizenship education atau education for citizenship itu merupakan suatu konsep yang
lebih luas dimana civic education termasuk bagian penting di dalamnya.

 Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

Perkembangan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia mulai dari secara formal


munculnya mata pelajaran civics dalam kurikulum SMA pada tahun 1962. Pada saat itu,
kewarganegaraan pada dasarnya berisikan pengalaman belajar yang digali dan dipilih dari
disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi dan politik, serta pidato-pidato Presiden Soekarno,
deklarasi Hak Asasi Manusia, dan pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-bangsa. Istilah
Civics secara formal tidak dijumpai dalam Kurikulum 1946 dan Kurikulum 1957 (tahun ini
terdapat mata pelajaran Tata Negara dan Tata Hukum. Kurikulum 1946 terdapat mata pelajaran
Pengetahuan Umum. Kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah civics dan pendidikan
kewarganegaraan digunakan secara bertukar-pakai.
Di dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) digunakan beberapa istilah,
yakni Pendidikan Kewargaan Negara, Studi Sosial, serta Civics dan Hukum.

Selanjutnya, pada kurikulum tahun 1957 istilah Pendidikan Kewarganegaraan


diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana
diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Dengan berlakunya
Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan
adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib
kurikulum di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (pasal 39), Kurikulum Pendidikan Dasar
dan Menengah tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan
memperkenalkan mata pelajaran “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” (PPKn).
Dari pengertian ini dapat ditangkap dengan jelas bahwa mata pelajaran PPKn
termasuk kategori ke dalam social studies tradisi citizenship transmission dengan nilai dan moral
yang bersumber dari budaya Indonesia sebagai muatannya, yang pada gilirannya diharapkan
akan dapat diwujudkan dalam perilaku sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Namun
demikian di dalam praksis pembelajarannya ternyata misi PPKn untuk pendidikan nilai dan
moral tersebut tergelincir menjadi pembelajaran pengetahuan tentang nilai dan moral. Sementara
itu untuk mengimbangi dinamika perkembangan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni (IPTEKS) yang demikian cepat, sejak tahun 2004 dilakukan pembaruan
kurikulum persekolahan. Dan pada 2004 pembelajaran berganti menjadi Materi pengetahuan
diberikan kepada peserta didik sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Mengacu kepada pengertian tersebut, dan juga untuk merespons terhadap
keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) No.25/2000, maka salah satu kegiatan yang perlu
dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, adalah menyusun
standar nasional untuk seluruh mata pelajaran, yang mencakup komponen-komponen: (1) standar
kompetensi; (2) kompetensi dasar; (3) materi pokok; dan (4) indicator pencapaian. Dan pada
tahun 2004 PP-SNP mengamanatkan bahwa yang berwenang menyusun kurikulum adalah satuan
pendidikan yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sementara dalam
Kurikulum 2004, kurikulum masih disusun oleh pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai