Anda di halaman 1dari 20

POLITIK PENDIDIKAN DI INDONESIA (MASA ORDE LAMA, ORDE

BARU DAN REFORMASI)


A. PENDAHULUAN
Pendidikan dan politik memiliki hubungan yang dinamis. Pendidikan dan
politik berhubungan erat dan saling memengaruhi. Berbagai aspek pendidikan
senantiasa mengandung unsur-unsur politik, begitu juga sebaliknya, setiap
aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek-aspek kependidikan. Namun
demikian, tidak semua pihak mengakui dan mendukung hubungan atau
keterkaitan antara politik dan pendidikan. Banyak pihak yang resah dengan
realitas tersebut dan menginginkan upaya-upaya perubahan untuk
meminimalisasi atau mengikis elemenelemen politik dalam dunia pendidikan.
Mereka menginginkan agar pendidikan dan politik menjadi dua wilayah yang
terpisah. Mereka percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan
dapat dilakukan untuk membebaskan lembaga-lembaga pendidikan dari
berbagai kepentingan politik penguasa.
Menurut Harman (dalam M. Sirozi, 2010: 25), pandangan bahwa
pendidikan dan politik merupakan dua hal yang sama sekali terpisah tidak
mengandung kebenaran, baik di negara-negara industri seperti di Amerika
dan Australia maupun di negara-negara berkembang. Ia percaya bahwa di
belahan dunia manapun, politik dan pendidikan saling terkait dan saling
memengaruhi. Keduanya adalah dua aktivitas yang mendasar dalam semua
masyarakat manusia.
Pendidikan menyangkut proses transmisi ilmu pengetahuan dan budaya,
serta perkembangan keterampilan dan pelatihan untuk tenaga kerja. Politik
berkenaan dengan praktik kekuasaan, pengaruh dan otoritas, serta pembuatan
keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumberdaya.
Karena keduanya sarat dengan proses pengalokasian dan pendistribusian
nilai-nilai dalam masyarakat, maka tidaklah sulit untuk memahami bahwa
pendidikan dan politik adalah dua aktivitas yang akan terus terkait dan saling
berinteraksi. Lembaga-lembaga yang menyelenggarakan aktivitasaktivitas
pada dua sektor kehidupan masyarakat ini akan saling memengaruhi, apapun
karakteristik dan budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat.
B. KEBIJAKAN PENDIDIKAN MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN
REFORMASI
Di negara-negara Barat, kajian antara hubungan pendidikan dan politik
dimulai oleh Plato dalam bukunya Republic. Walaupun kajian utamanya
membahas berbagai persoalan kenegaraan, buku tersebut juga membahas
hubungan antara ideologi dan institusi negara dengan tujuan dan metode
pendidikan. Menurut Plato, para filsuf memiliki otoritas tertinggi, para
pengawas berpendidikan menengah bertindak sebagai kekuatan militer dan
polisi, dan mereka yang memasok kebutuhan ekonomi negara menempatkan
status terendah diantara semuanya. Pendidikan harus disesuaikan secara
cermat dengan reproduksi sistem; kelas yang lebih rendah dididik untuk patuh
dan diyakinkan dengan mitos-mitos politik bahwa status mereka itu terbentuk
oleh sebab-sebab alamiah; para penyair seharusnya hanya menggambarkan
tingkahlaku terpuji, pengetahuan tentang bentuk-bentuk masyarakat alternatif
ditekan dengan hatihati, kecuali dalam kalangan sangat terbatas dari elit
penguasa (Kuper & Kuper, 2000: 767).
Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa sekolah adalah
salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia
menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan
di atas kelompokkelompok elit yang secara terus menerus menguasai
kekuasaan politik, ekonomi, agama dan pendidikan. Plato menggambarkan
adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik.
Keduanya seakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan.
Walaupun sangat umum dan singkat, analisis Plato tersebut telah meletakkan
fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan.
Di dunia Islam, menurut M. Sirozi (2010: 1) gambaran tentang
keterkaitan antara pendidikan dan politik ditandai oleh kesungguhan para
ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan sebagai upaya
untuk memperkuat posisi sosial politik kelompok dan pengikutnya. Lebih
lanjut M. Sirozi mengutip analisis dari Abdurrasyid (1994) tentang
pendidikan pada masa Islam klasik dengan hasil kesimpulan dalam sejarah
perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang
dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan waktu
itu, menurut Rasyid, tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta
didik, melainkan juga dalam bidang administrasi, keuangan dan kurikulum
(1994: 3). Dia menulis sebagai berikut. “Tidak dapat dipungkiri bahwa
lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang
dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan
kekusaan politik para penguasa dapat dilihat dalam sejarah.
Di lain pihak, ketergantungan pada uluran tangan para penguasa secara
eonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan nuansa
politik yang berlaku.“ (Rasyid, 1994: 6). Di antara lembaga pendidikan Islam
yang menjadi corong pesan-pesan politik, menurut Rasyid (1994: 6), adalah
madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Dia menyimpulkan dari analisis terhadap
kasus madrasah Nizhamiyah sebagai berikut. “Kedudukan politik di dalam
Islam sama pentingnya dengan pendidikan. Tanpa otoritas politik, syari’at
Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk
mempertahankan syiar Islam. Pendidikan bergerak dalam usaha menyadarkan
umat untuk menjalankan syari’at. Umat tidak akan mengerti syari’at tanpa
adanya pendidikan. Bila politik (kekuasaan) mengayomi dari atas, maka
pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah.” (Rasyid, 1994: 15).
Kutipan di atas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan
pendidikan di dalam Islam tampak sedemikian erat. Perkembangan kegiatan-
kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para
penguasa memerlukan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk
membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini dapat
dipahami, karena tujuan pemerintahan Islam, Menurut Abdul Ghaffar Aziz
(1993: 95) dalam M. Sirozi (2010: 3), adalah “menegakkan kebenaran dan
keadilan. Tujuan itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan melaksanakan
syari’at. Syari’at tidak akan berjalan bila umat tidak memahami ajaran
Islam”. Menurut M. Sirozi (2010: 4), selain karena faktor religius bahwa
agama Islam sangat menjunjung aktivitas kependidikan, perhatian besar para
pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran
lembaga-lembaga pendidikan dalam penyampaian misi-misi politik.
Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideologi
negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Di Indonesia pada masa
awal kemerdekaan, kaum nasionalis dapat menguasai birokrasi dan sektor-
sektor strategis. Kebijakan pendidikan pada masa Orde Lama sesuai dengan
tujuan negara, yaitu pendidikan sosialisme Indonesia oleh pemerintahan Ir.
Soekarno (1961-1966).
Menteri pendidikan pertama Ki Hajar Dewantara beberapa bulan sesudah
proklamasi kemerdekaan mengeluarkan Instruksi Umum, yang isinya
menyerukan kepada para pengurus upaya membuang sistem pendidikan
kolonial dan mengutamakan patriotisme. Sosialisme Indonesia yang
dijalankan oleh pemerintah, di tingkatan kebijakan, sampai penerapannya
dilingkungan pendidikan formal, SMP, SMA, dan perguruan tinggi,
merupakan salah satu cara mensejalankan tujuan pendidikan dengan tujuan
negara. Pemerintah membuat suatu kurikulum yang sesuai dengan tujuan
tersebut, dan lahirlah mata pelajaran Ilmu Kewargaan Negara atau Civics,
yang diajarkan di tingkat SMP dan SMA.
Indonesia di era Orde Lama merupakan negara yang sarat dengan cita-
cita sosialisme. Cita-cita sosialisme ini termasuk juga dalam bidang
pendidikan. Statuta Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat tegas
menyatakan bahwa tujuan UGM adalah menyokong sosialisme pendidikan.
Namun pada tahun 1992, di bawah kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti
dengan banyak perubahan pada isinya satu perubahannya adalah
menghilangkan pasal mengenai tujuan menyokong sosialisme pendidikan
Indonesia. Kebijakan pendidikan saat itu dilakukan secara sentralistik,
sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di
masa ini diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur
budaya yang datangnya dari luar. Semangat diskriminatif di dalam sekolah
formal mulai dikikis. Anak-anak dari kalangan buruh dan tani mulai bisa
menikmati dan mengenyam bangku pendidikan.
Secara yuridis, pemikiran tentang pendidikan nasional dapat dilacak
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950
Nomor 550), yang pelaksanaannya ditegaskan dalam UU No.12 Tahun 1954,
tentang pernyataan berlakunya UU No.4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (lembaran
Negara Tahun 1954 Nomor 38. Tambahan lembaran Negara Nomor 550).
Tujuan dan dasar pendidikan pada Orde Lama dapat dilihat pada pasal 3 dan
4. Pasal 3:“ Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia
susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab
tentang kesejahteraan masyarakatdan tanah air ”Pasal 4: “Pendidikan dan
pengajaran berdasar atas asas-asas yang termaktub dalam Pancasila, UUD
Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia”.
Konsep pendidikan ini akhirnya berakhir ketika pada tahun 1965.
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai
tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif
yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan
Barat. Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat
dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Pendidikan orde baru
mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan kemajuan dalam
bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman
intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan
ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk
melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat
dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru
negeri. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan
moto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”.
Pada tahun 1969-1970 diadakan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan
(PPNP) dan menemukan empat masalah pokok dalam pendidikan di
Indonesia: pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Dan
hasilnya digunakan untuk membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K). Depdiknas di bawah Menteri
Wardiman Djojohadiningrat (kabinet pembangunan VI) mengedepankan
wacana pendidikan “link and match" sebagai upaya untuk memperbaiki
pendidikan Indonesia pada masa itu (Rianti Nugroho, 2008: 16).
Sebagaimana sistem politik yang ada pada era ini, maka manajemen
pendidikan dilaksanakan secara sentralistis. Semua kebijakan sampai detail
ditentukan oleh pusat. Sekolah sebagai lembaga yang langsung melaksanakan
proses pembelajaran tidak memiliki kewenangan yang memadai. Kebijakan
ini memiliki implikasi perencanaan dan upaya peningkatan mutu bersifat top-
down.
Akibatnya, peningkatan mutu tidak ada di sekolah-sekolah, dan hanya
ada di pusat. Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru diarahkan pada
penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan
kepada uniformalitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak.
Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat,
semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada
masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan
disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan
ekonomi yang dijadikan panglima.
Relevansi Pendidikan diperhatikan dengan penyesuaian isi pendidikan
dengan kebutuhan pembangunan terhadap sumber daya manusia yang
diperlukan. Kebijakan ini secara eksplisit muncul pada pelita I, II, III, I dan
V. Setelah perluasan kesempatan belajar, sasaran perbaikan bidang
pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Kenyataan bahwa
masih banyak penduduk yang buta huruf ditanggapi pemerintahan Soeharto
dengan pencanangan penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978.
Tekniknya adalah dengan pembentukan kelompok belajar atau ”kejar”.
Dengan mencanangkan “wajib belajar 9 tahun”, termasuk juga yang tak kalah
populer adalah dibukanya program SD Inpres untuk daerah-daerah terpencil
dan terisolir di berbagai belahan daerah di Indonesia. Program wajib belajar
dicanangkan pada 2 Mei 1984. Bank Dunia pada tahun-tahun akhir 1970-an
dan awal tahun 1980-an memberikan resep untuk meningkatkan efektivitas
pendidikan guru dengan merombak kurikulum IKIP yang semula mirip
kurikulum Universitas menjadi khas IKIP, dimana kurikulum baru ini terlalu
berlebih-lebihan menekankan pembelajaran dan mengurangi secara besar-
besaran materi bidang studi. Para pedagog yang tidak sefaham dengan resep
ini dengan sinis mengatakan bahwa “di kurikulum IKIP yang baru ini,
“bagaimana cara memegang kapur pun diajarkan”. Mutu guru lulusan IKIP
merosot tajam. Guru menguasai berbagai pendekatan dan metodologi
mengajar, tetapi tidak menguasai apa yang harus diajarkan.Kebijakan ke dua
dalam peningkatan mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan kualitas
guru lewat projek peningkatan mutu guru yang dilakukan dengan model
pelatihan guru yang sangat terencana mulai dari teori, praktik sampai on the
job training di sekolah-sekolah masing-masing.
Pendidikan dan Kebijakan Politik Masa Reformasi Era reformasi
memberi ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan pendidikan baru
yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis
kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari
sentralistik menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan
amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara.
Dengan didasarkan oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan pusat dan daerah, maka pendidikan digiring pada pengembangan
lokalitas, di mana keberagaman sangat diperhatikan. Masyarakat dapat
berperan aktif dalam pelaksanaan satuan pendidikan. Pendidikan di era
reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No
22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang
didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen
Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber
daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis
Kompetensi”. Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989,
dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai, “Usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara." (Standar Nasional Pendidikan, 2005:102).
Anggaran pendidikan ditetapkan sesuai dengan UUD 1945 yaitu 20%
dari APBN dan APBD, sehingga banyak terjadi reformasi di dunia
pendidikan, terutama dalam dalam pemberian dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), Wajib Belajar 9 tahun, dan peningkatan standar penghasilan
Guru dengan adanya sertifikasi guru, serta pemberian bantuan pendidikan
(Beasiswa) untuk peningkatan kompetensi guru, dan sebaginya. Pasal 39 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan
dosen sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya
penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas
untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh
pendidikan yang bermutu. Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru
dan dosen Pasal 2 ayat (1) Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti
bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan
persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Pasal (4) Yang
dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah
peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa
pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.

C. PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI MASA


ORDE LAMA
Pendidikan Islam di Indonesia mengalami pasang surut dalam masa
perkembangannya terutama pada masa kemerdekaan. Hal ini dikarenakan
Indonesia mengalami masa penjajahan oleh beberapa negara kolonial
sebelumnya. Perkembangan Pendidikan Islam pada masa koloni Belanda saat
itu mengalami banyak kesulitan. Hal ini disebabkan karena kebijakan-
kebijakan Belanda yang membatasi Pendidikan Agama dan menitik beratkan
pada sekolah-sekolah yang bermuatan umum saja. Setelah Belanda hengkang,
Indonesia kembali dijajah oleh Jepang yang keberadaannya membuat
perubahan dalam masalah Pendidikan Islam. Sikap Jepang terhadap
Pendidikan Islam ternyata lebih lunak sehingga ruang gerak Pendidikan Islam
lebih berkembang dan bebas, dikarenakan Jepang tidak begitu menghiraukan
kepentingan agama. Yang terpenting bagi Jepang adalah mereka ingin
memenangkan perang dan kalau perlu para pemuka agama lebih diberikan
keleluasaan dalam mengembangkan pendidikan.
Namun ketika Perang Dunia II berlangsung, kedudukan Jepang semakin
terjepit yang akhirnya Jepang mulai menekan dan menjalankan kekerasan
terhadap rakyat Indonesia. Hal ini juga berakibat kepada Pendidikan Islam di
Indonesia yang mengalami kemerosotan dan kemunduran karena ketatnya
pengaruh indoktrinasi serta disiplin mati akibat pendidikan militerisme
fascisme Jepang. Namun demikian masih ada beberapa ibrah dibalik
kekejaman Jepang tersebut diantaranya bahasa nasional Indonesia menjadi
hidup dan berkembang secara luas di Indonesia, baik dalam pergaulan, bahasa
pengantar maupun sebagai bahasa ilmiah. Dengan begitu, aktivitas-aktivitas
penerjemahan buku ilmiah kedalam bahasa Indonesia sangat pesat sehingga
lahirlah guru-guru kreatif dan berkembang dalam mendidik generasi bangsa
Indonesia Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia masa orde lama
berkaitan erat dengan peran Departemen yang Agama mulai resmi berdiri 3
Januari 1946. Lembaga ini secara intensif memperjuangkan politik
pendidikan Islam di Indonesia. Secara lebih spesifik, usaha ini ditangani oleh
bagian khusus yang mengurusi masalah pendidikan agama. Peraturan resmi
pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkankan dalam
UU Pendidikan tahun 1950 No. 4 dan UU Pendidikan tahun 1954 No. 20
yang berbunyi: 1. Pada sekolah-sekolah negeri di selenggarakan pelajaran
agama. Dan orang tua murid berhak menetapkan apakah anaknya mengikuti
pelajaran tesebut atau tidak 2. Cara menyelenggarakan PA di sekolah-sekolah
negeri di atur melalui menteri pendidikan,pengajaran dan kebudayaan (PPK)
bersama menteri agama
Pada tahun 1960 sidang MPRS menetapkan bahwa pendidikan agama
diselenggarakan di Perguruan Tinggi Umum dan memberikan kebebasan
kepada mahasiswa untuk mengikuti ataupun tidak. Namun, pada tahun 1967
(pada awal Orde Baru), ketetapan itu diubah dengan mewajibkan mahasiswa
mengikuti mata kuliah agama dan mata kuliah ini termasuk kedalam sistem
penilaian.
Keadaan pendidikan Islam di Indonesia masa Orde Lama jauh lebih maju
dibandingkan dengan keadaan pendidikan masa kolonial. Hal tersebut dapat
di lihat dari banyak berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan
organisasi yang bergerak dalam dunia pendidikan Islam. Sehingga dapat
membangun generasi penerus bangsa yang berjiwa Islami.

D. SISTEM PENDIDIKAN SENTRALISTIK DI ERA ORDE BARU


Suparno dkk. (2003: 19) mengatakan bahwa sentralisasi pendidikan
adalah proses pendidikan di mana semua hal yang mencakup pelaksanaan
aspek pendidikan diatur dari pusat. Kurikulum, guru, seragam sekolah, waktu
belajar, pelaksanaan tujuan, semuanya diatur dan ditentukan oleh pusat.
Keuntungan dari adanya sentralisasi pendidikan adalah standar mutu
pendidikan menjadi cukup jelas, yaitu beberapa sekolah yang bermutu dapat
dijadikan standar dan acuan oleh pemerintah pusat untuk memajukan sekolah
yang kurang bermutu/berkualitas.
Namun demikian sentralisme pendidikan juga menimbulkan kerugian
yang boleh jadi lebih banyak dan dampaknya sangat laten. Misalnya, sekolah
tidak memperoleh kebebasan untuk menentukan dan mengembangkan sendiri
arah dan tujuan didirikannya sekolah tersebut yang biasanya disesuaikan
dengan kebutuhan dan tuntutan idealnya masing-masing. Sekolah yang
kemajuannya pesat akan terhambat karena dipaksa mengikuti aturan main
dari pusat. Kreativitas sekolah lokal pun mati. Pihak sekolah banyak yang
memanipulasi laporan agar selalu kelihatan baik dan yang penting memenuhi
tuntutan pusat yang lebih banyak bersifat formal dan birokratis. Pemerintah
pun tidak memperhatikan kekhasan sekolah. Dalam konteks kebudayaan,
sentralisme pendidikan merupakan proses pembudayaan yang bersifat linier.
Penyelenggaraan pendidikan kebudayaan dilakukan secara satu arah, dari
pusat menuju daerah. Dengan sendirinya, model ini tidak mengakar pada
kebutuhan masyarakat tetapi menyempit pada sejumlah keinginan kekuasaan
pusat (Tilaar, 2002: 30-31).
Sentralisasi pendidikan menyuburkan praktik birokrasi pendidikan yang
kaku dan mekanis, yaitu cenderung menyamakan pendidikan dengan pabrik.
Para lulusan dicetak untuk bermental “juklak” dan “juknis” yang siap
melayani kemauan industri yang seragam, yakni profit. Semua ini bermuara
pada politik kebijakan Orde Baru tentang pentingnya pembangunan ekonomi
sebagai hal yang harus diprioritaskan. Lulusan harus siap bekerja sehingga
memenuhi standar pertumbuhan ekonomi dan mekanis karena harus dengan
mudah dapat diatur dalam rangka menciptakan stabilitas keamanan nasional.
Stabilitas selain menekankan pada aspek keamanan juga bersifat politis.
Tidak mungkin ada dinamisasi dalam stabilitas. Pertumbuhan berarti
mengarahkan kemampuan untuk mengejar target kuantitatif. Untuk dapat
mencapai stabilitas dan pertumbuhan, aparat pemerintah yang terwujud dalam
sejumlah lembaga birokrasi harus kuat dan mampu mengontrol segala potensi
dan kekuatan serta perkembangan yang ada di masyarakat. Konsekuensinya,
sentralisasi di segala bidang harus terus dipelihara dan dijalankan agar
seluruh kegiatan masyarakat dapat dikontrol termasuk kegiatan dalam bidang
pendidikan.
Lembaga politik sangat dominan mempengaruhi terhadap lembaga
pendidikan. Tidak ada politik pendidikan yang ada hanya pendidikan
merupakan alat/kendaraan politik (Zamroni, 2000: 84-85). Jika pada masa
„orba‟ telah terjadi politisasi pendidikan di Indonesia maka pada masa itu pun
telah terjadi politisasi terhadap pendidikan Islam Indonesia. Politisasi
pendidikan Islam Indonesia pascakemerdekaan sangat erat hubunganya
dengan peran lembaga Kementerian Agama Republik Indonesia yang resmi
didirikan oleh pemerintah pada tanggal 3 Januari tahun 1946 di Yogyakarta.
Lahirnya Departemen Agama didasarkan oleh adanya Penetapan Pemerintah
RI tahun 1946 No. 1/S.D. dan sesuai dengan usulan dari Perdana Menteri dan
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (Koesnodiprodjo, t.t: tanpa halaman).
Usulan pembentukan Kementerian Agama RI pertama kali diajukan
kepada BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) pada
tanggal 11 Nopember 1946 oleh K.H. Abudardiri, K.H. Saleh Su‟aidy dan M.
Sukoso Wirjosaputro, yang semuanya merupakan anggota KNIP dari
Karesidenan Banyumas. Usulan ini mendapat dukungan dari Mohammad
Natsir, Muwardi, Marzuki Mahdi dan Kartosudarmo yang semuanya juga
merupakan anggota KNIP untuk kemudian memperoleh persetujuan BP-
KNIP. Kelihatannya usulan tersebut kembali dikemukakan dalam sidang
pleno BPKNIP tanggal 25-28 Nopember 1945 bertempat di Fakultas
Kedokteran UI Salemba. Wakil-wakil KNIP Daerah Karesidenan Banyumas
dalam pemandangan umum atas keterangan pemerintah kembali
mengusulkan, antara lain: “Supaya dalam negara Indonesia yang sudah
merdeka ini jangan hendaknya urusan agama hanya disambillalukan dalam
tugas Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan atau
departemen-departemen lainnya, tetapi hendaknya diurus oleh suatu
Kementerian Agama tersendiri”. Usul tersebut mendapat sambutan dan
dikuatkan oleh tokoh-tokoh Islam yang hadir dalam sidang KNIP pada waktu
itu. Tanpa pemungutan suara, Presiden Soekarno memberikan isyarat kepada
Wakil Presiden Mohamad Hatta, yang kemudian menyatakan, bahwa “adanya
Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah”. Sebagai
realisasi dan janji tersebut, pada 3 Januari 1946 pemerintah mengeluarkan
ketetapan No. 1/S.D. yang antara lain berbunyi: “Presiden Republik
Indonesia, Mengingat: Usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Departemen Agama”.
Keputusan dan penetapan pemerintah ini dikumandangkan di udara oleh
RRI ke seluruh dunia dan disiarkan oleh pers dalam dan luar negeri, dengan
H. Rasjidi BA sebagai Menteri Agama yang pertama (Azra, 1998: 5).
Pembentukan Kementerian Agama RI segera menimbulkan kontroversi di
antara berbagai pihak di dalam masyarakat Indonesia. Kaum Muslim
umumnya memandang bahwa keberadaan Kementerian Agama merupakan
suatu keharusan sejarah. Ia merupakan kelanjutan dari instansi yang bernama
Shumubu (Kantor Urusan Agama) pada masa pendudukan Jepang, yang
mengambil preseden dari Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor untuk
Urusan Pribumi) pada masa kolonial Belanda. Bahkan sebagian Muslim
melacak eksistensi Kementerian Agama ini lebih jauh lagi, ke masa kerajaan-
kerajaan Islam atau kesultanan, yang sebagian besar memiliki struktur dan
fungsionaris yang menangani urusan-urusan keagamaan.
Akan tetapi, beberapa pengamat berargumen bahwa pembentukan
Kementerian Agama merupakan bagian dari strategi Sjahrir untuk
mendapatkan dukungan bagi kabinetnya dari kaum Muslim. Rosihan Anwar,
tokoh sosialis Muslim, misalnya, menyatakan pandangan ini berdasarkan
pada pengakuan Sjahrir bahwa kaum Muslim merupakan mayoritas penduduk
Indonesia, yang secara alamiah wajar memerlukan kementerian khusus untuk
mengelola masalah-masalah keagamaan mereka (Azra, 1998: 6). Sejumlah
pemimpin Indonesia, terutama dari kalangan non-Muslim dan nasionalis,
memandang Kementerian Agama merupakan konsesi yang terlalu besar dari
republik yang baru berdiri kepada kaum Muslim. Mereka khawatir
kementerian ini akan didominasi pejabat-pejabat Muslim dan dengan
demikian akan lebih memprioritaskan urusan-urusan Islam daripada urusan
agama-agama lain yang ada di Indonesia. Di antara mereka ada yang
menuduh bahwa Kementerian Agama merupakan langkah pertama kaum
Muslim untuk mewujudkan “negara Islam” di Indonesia, setelah mereka
gagal dalam sidang BPUPKI untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Bentuk tipikal oposisi kalangan non-Muslim terhadap eksistensi
Kementerian Agama dapat terlihat dari pandangan Bakker, pemimpin Katolik
yang bermukim di Indonesia. Bakker menyatakan bahwa sejak semula
Kementerian Agama merupakan “kubu Islam dan batu loncatan pembentukan
negara Islam”. Tuduhan ini ditanggapi oleh para pemimpin Islam seperti
misalnya oleh Wahid Hasyim, pemimpin NU yang kemudian menjabat
Menteri Agama periode 1950-1952. Ia menyatakan, adalah pantas bagi
Kementerian Agama untuk memberikan perhatian lebih besar kepada
masalah-masalah Islam, karena jumlah penduduk Muslim jauh lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah kaum non-Muslim. Karena itu, tugas-tugas
untuk pengelolaan masalah-masalah Islam dan kaum Muslim tidak sama
besarnya dengan penanganan masalah-masalah kaum non-Muslim (Azra,
1998: 7-8). Dengan demikian dasar kelahiran kementerian Agama RI
merupakan representasi kaum Muslim Indonesia dalam rangka
memperjuangkan aspirasi umat Islam di Indonesia, termasuk dalam perkara
penyelenggaraan pendidikan Islam.
Salah satu tugas Kementerian Agama RI adalah “menaruh perhatian dan
penghargaan serta memimpin madrasah-madrasah yang di masa penjajahan
tidak mendapat penghargaan sama sekali”. Untuk melaksanakan tugas ini,
Kementerian Agama membentuk Bagian Pendidikan Agama yang kemudian
diganti menjadi Jawatan Pendidikan Agama (Japenda). Berdasarkan
Peraturan Menteri Agama No. 10 Tahun 1952 bab II pasal 4, jawatan ini
memiliki enam lapangan pekerjaan, yaitu: (1) melaksanakan asas Ketuhanan
Yang Maha Esa, menjaga bahwa tiap-tiap penduduk mempunyai
kemerdekaan memeluk agama dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing, serta memelihara perkembangan aliran-
aliran agama secara sehat; (2) menyelenggarakan dan mengatur pendidikan
agama di sekolah-sekolah negeri dan partikelir; (3) menyelenggarakan,
mengatur dan menyokong pendidikan dan pengajaran di madrasah-madrasah
dan perguruan-perguruan agama lainnya; (4) menyelenggarakan dan
mengatur pendidikan guru dan hakim agama; (5) mengadakan perpustakaan,
kitab-kitab, majalah dan lain-lain yang berfaedah untuk pendidikan dan
pengajaran agama; dan (6) mempelajari soal-soal dan merencanakan hal-hal
yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran agama (Gani,1955:
18).
Di masa Orde Baru, Kementerian Agama diubah namanya menjadi
Departemen Agama. Berdasarkan Kepres No. 15 Tahun 1984 Tentang
Susunan Departemen, dinyatakan bahwa Departemen Agama merupakan
bagian integral dari Pemerintahan Negara Indonesia, yang dipimpin oleh
seorang menteri yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tugas
pokok departemen ini menyelenggarakan sebagian dari tugas umum
pemerintah dan pembangunan di bidang agama, termasuk pembangunan
pendidikan agama (Departemen Agama RI, 1996: 17). Selama Orde Baru,
beberapa pejabat telah ditunjuk sebagai Menteri Agama, mulai dari K.H.
Moh. Dahlan (1967-1971), Prof. Dr. H.A. Mukti Ali (1971-1978), H.
Alamsjah Ratu Prawiranegara (1978-1983), H. Munawir Sjadzali, M.A.
(1983-1993) dan Dr. H. Tarmizi Taher (1993-1998). Oleh karena Departemen
Agama RI merupakan bagian integral dari pemerintah Orde Baru, maka
segala tugas, fungsi dan perannya senantiasa diarahkan pada program
pembangunan Orde Baru yang bertumpu pada tiga hal, yaitu stabilitas politik,
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Dengan bertumpu pada
tiga hal tersebut, maka Departemen Agama selaku pemangku tugas
pembangunan bidang agama, telah menetapkan “Tiga Prioritas Nasional
Kehidupan Beragama”.

E. PERKEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN DI ERA


REFORMASI
Indonesia sering mengalami reformasi kurikulum, mulai dari kurikulum
1947, 1964, 1968, 1973, 1975, 1984, 1994, 1997, KBK (2004), KTSP (2006),
Kurikulum 2013, Kurikulum Revisi 2013, hingga sekarang diisukan berubah
menjadi kurikulum merdeka belajar. Kurikulum merdeka dirancang untuk
menjawab harapan dan tantangan di abad ke 21, dimana perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi informasi sekarang ini telah berbasis digital. hal
ini ditandai dengan perubahan besar pada setiap kegiatan profesi berhubungan
dengan teknologi berbasis digital atau hybrid.
Oleh karena itu perubahan ini berimbas pada proses penyediaan sumber
daya manusia (SDM), yang tentunya harus mampu menghadapi tantangan
yang dihadapi era digital. Untuk menyediakan SDM yang siap pakai di era
digital maka pemerintah berupaya melakukan reformasi kurikulum dengan
tujuan memperbaiki kurikulum sebelumnya. Pada dasarnya reformasi
pendidikan merupakan upaya pemerintah dalam mengembangkan pendidikan.
Karena dalam setiap reformasi kurikulum selalu menunjukkan usaha
perbaikan bidang pendidikan.
Artinya, kurikulum baru memiliki tugas: memperbaharui,
mengembangkan, serta memperbaiki kurikulum yang sedang berlaku.
Namun, reformasi kurikulum sering menimbulkan persoalan di kalangan
masyarakat , baik masyarakat sekolah maupun umum. Hapsari (2014)
menyatakan, “yang menjadi permasalah perubahan kurikulum adalah
bagaimana penerapannya dan alasan dibalik perubahan kurikulum tersebut.
reformasi kurikulum yang terjadi sedikit banyaknya telah merubah sistem
atau tatanan kegiatan pembelajaran di sekolah. karena kurikulum merupakan
bidang yang paling langsung berpengaruh terhadap hasil pendidikan. Arifin
(dalam Muhammedi, 2016) menyatakan kurikulum dapat juga berfungsi
sebagai media untuk mencapai tujuan sekaligus pedoman dalam pelaksanaan
pembelajaran pada semua jenis tingkat pendidikan.

F. RANGKUMAN
Indonesia di era Orde Lama merupakan negara yang sarat dengan cita-
cita sosialisme. Cita-cita sosialisme ini termasuk juga dalam bidang
pendidikan. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi
sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur
administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli
ekonomi didikan barat. Pendidikan dan Kebijakan Politik Masa Reformasi
Era reformasi memberi ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan
pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner.
Keadaan pendidikan Islam di Indonesia masa Orde Lama jauh lebih maju
dibandingkan dengan keadaan pendidikan masa kolonial. Hal tersebut dapat
di lihat dari banyak berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan
organisasi yang bergerak dalam dunia pendidikan Islam. Sehingga dapat
membangun generasi penerus bangsa yang berjiwa Islami
Sentralisasi pendidikan adalah proses pendidikan di mana semua hal
yang mencakup pelaksanaan aspek pendidikan diatur dari pusat. Kurikulum,
guru, seragam sekolah, waktu belajar, pelaksanaan tujuan, semuanya diatur
dan ditentukan oleh pusat. Di masa Orde Baru, Kementerian Agama diubah
namanya menjadi Departemen Agama. Berdasarkan Kepres No. 15 Tahun
1984 Tentang Susunan Departemen, dinyatakan bahwa Departemen Agama
merupakan bagian integral dari Pemerintahan Negara Indonesia, yang
dipimpin oleh seorang menteri yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden.
Indonesia sering mengalami reformasi kurikulum, mulai dari kurikulum
1947, 1964, 1968, 1973, 1975, 1984, 1994, 1997, KBK (2004), KTSP (2006),
Kurikulum 2013, Kurikulum Revisi 2013, hingga sekarang diisukan berubah
menjadi kurikulum merdeka belajar.

G. KEPUSTAKAAN
Abdulloh. (2010). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek.Yogyakarta:
Arruzz Media
Alhamuddin. 2014. Sejarah Kurikulum Di Indonesia. Jurnal Nur El-Islam:
Vol. 1, No. 2, Oktober 2014.
Anonim (2005). Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Cemerlang.
Arifin, Muzayyin. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi
Aksara
Daulay, Haidar Putra. 2012. Pemikiran Islam Dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Hasan, H. (2009). Evaluasi Kurikulum.Bandung: Remaja Rosdakarya
Hasbullah. 2008. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan
Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Hidayati, W. (2012). Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: Pedagogia.
Ibrahim. (2002).” Standar Kurikulum Satuan Pendidikan dan Implikasi
bagi Pengembangan Kurikulum dan Evaluasi”. Mimbar Pendidikan.
Jurnal Pendidikan. No.1 Tahun XXI Tahun 2002. Bandung: University
Press UPI.
Karim, M. Abdul. 2005. Islam dan Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta:
Sumbangsih Press Yogyakarta
Kodir, Abdul. 2015. Sejarah Pendidikan Islam Dari Masa Rasullah Hingga
Reformasi di Indonesia. Bandung: CV Pustaka
Muhammedi. 2016. Perubahan Kurikulum Di Indonesia: Studi Kritis Tentang
Upaya Menemukan Kurikulum Pendidikan Islam Yang Ideal. Jurnal
Raudhah: Vol. IV, No. 1: Januari – Juni 2016. ISSN: 2338 – 2163.
Mulyasa, E. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung:
Rosdakarya, 2013.
Mustafa. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia,
2001
Syaripudin, Tatang dan Nur’aini. 2006. Landasan Pendidikan. Bandung: UPI
PRESS.
Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Group
Riant Nugroho (2008). Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi,dan Strategi,
Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Sanaky, Hujair AH. 2015. Pembaruan Pendidikan Islam Paradigma Tipologi
dan Pemetaaan Menuju Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara
Sirozi, M., (2010). Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara
Kepentingan Kekuasaan dan Praktek Penyelenggaraan Pendidikan.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sunarto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT
Raja Grafindo
Suwito, Fauzan. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada
Media
Suwendi. 2004. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Raja
Grasindo Persada
Tilaar , H.A.R. & Riant Nugroho (2008). Kebijakan Pendidikan, Pengantar
untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan
Sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Zuhairini, dkk. 2013. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara


Zulkarnain. 2018. Kebijakan Kurikulum Pendidikan Sejarah Massa
Reformasi Di SMA. Jurnal: ISTORIA: Vol. 14, No. 2, September 2018.

Anda mungkin juga menyukai