Anda di halaman 1dari 6

M.

SIROZI, POLITIK PENDIDIKAN : Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan


Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Berbeda dengan Administrasi Pendidikan atau Manajemen Pendidikan yang lebih terfokus pada
kajian tentang efektivitas sistem pendidikan dan bentuk-bentuk pemerintahan pendidikan, Politik
Pendidikan atau The Politics of Education adalah kajian tentang relasi antara proses munculnya
berbagai tujuan pendidikan dengan cara-cara pencapaiannya. Kajian lebih terfokus pada
kekuatan yang menggerakkan perangkat pencapaian tujuan pendidikan dan bagaimana serta ke
mana perangkat tersebut diarahkan. Kajian politik pendidikan terkonsentrasi pada peranan
negara dalam bidang pendidikan, sehingga dapat menjelaskan pola, kebijakan, dan proses
pendidikan serta berbagai asumsi, maksud, dan outcome dari berbagai strategi perubahan
pendidikan dalam suatu masyarakat secara lebih baik. Kajian Politik Pendidikan dapat
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kaitan antara berbagai kebutuhan politik negara
dengan isu-isu praktis sehari-hari di sekolah, tentang reproduksi struktur dan kesadaran kelas:
tentang berbagai bentuk [hlm. IX] dominasi dan subordinasi yang sedang dibangun dan dibangun
kembali melalui jalur pendidikan, dan tentang bagaimana perkembangan dan keruntuhan suatu
hegemoni [hlm. X]
Walaupun sudah berkembang menjadi satu bidang kajian yang banyak diminati di universitas-
universitas terkemuka di Eropa, Amerika dan Australia, politik pendidikan belum begitu familiar
di kalangan ilmuwan dj negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, baik ilmuwan
pendidikan maupun ilmuwan politik. Sebagai peminat bidang kajian politik pendidikan, situasi
ini mendorong penulis untuk memperkenalkan bidang kajian ini pada para ilmuwan pendidikan
dan ilmuwan politik di tanah air. Penulis yakin bahwa belum berkembangnya kajian politik
pendidikan di Indonesia bukan karena bidang kajian ini tidak menarik atau tidak bermanfaat,
tetapi lebih banyak disebabkan oleh kurangnya penelitian dan publikasi dalam bidang kajian ini.
[hlm. X]
Minat penulis terhadap kajian politik pendidikan pertama kali muncul pada tahun 1991 ketika
penulis mengikuti program Master of Arts in Social Anthropology di School of Oriental and
African Studies (SOAS), University of London. Salah satu topik yang dibahas dalam mata kuliah
Introduction to Social Anthropology yang diasuh oleh Profesor Dr. Mark Hobart pada waktu itu
adalah Postmodernisme. Di antara belasan bahan bacaan yang tercantum dalam Reading List
untuk topik tersebut adalah Power and Knowledge, karya Mitchell Foucault. Membaca karya
Foucault itu dan beberapa bacaan lain yang melengkapinya benar-benar membuka mata penulis
tentang pentingnya hubungan antara politik dan pendidikan. [hlm. X] Membaca Power and
Knowledge meyakinkan penulis bahwa akar dari berbagai persoalan pendidikan yang muncul
dalam suatu masyarakat tidak hanya terdapat dalam ruang kelas dan lingkungan pagar sekolah,
tetapo ada juga pada pusat-pusat kekuasaan, seperti Gedung parlemen dan birokrasi. Foucault
membuat penulis yakin bahwa berbagai persoalan pendidikan yang ada di berbagai negara
berkembang, termasuk di Indonesia, tidak mungkin dapat dipahami jika hanya dilihat dari
perspektif pembelajaran semata, tetapi perlu juga dilihat dari perspektif sosial dan politik. [hlm.
XI]
BAB 1 - HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara,
baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian
yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya
bahumembahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari
itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses
pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut.
Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara membawa dampak
besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara
pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah
terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuwan. [hlm.
1]
Di dunia Islam, keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Sejarah peradaban Islam
banyak ditandai oleh kesungguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan
pendidikan dalam upaya memperkuat posisi sosial politik kelompok dan pengikutnya, Dalam
analisisnya tentang pendidikan pada masa Islam klasik Rasyid (1994) menyimpulkan bahwa
dalam sejarah perkembangan Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang
dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu, menurut
Rasyid tidak hanya sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam
bidang administrasi, keuangan, dan kurikulum (1994: 3). Dia menulis sebagai berikut: [hlm. 2]
Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu
konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah-
madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa dapat dilihat
dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan kepada uluran tangan para penguasa
secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan
nuansa politik yang berlaku (Rasyid, 1994: 6).
Di antara lembaga pendidikan Islam yang menjadi corong pesan-pesan politik, menurut Rasyid
(1994:6), adalah madrasah Nizhamiyah di Baghdad. [f. 1] Dia menyimpulkan dari analisis
terhadap kasus madrasah Nizhamiyah sebagai berikut: [hlm. 2]
Kedudukan politik di dalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan. Tanpa
otoritas politik, syariat Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan
adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam ... Pendidikan bergerak dalam
usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti
syariat tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berfungsi mengayomi dari atas,
maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah (Rasyid, 1994:15).
Footnote 1:

Madrasah Nizhamiyah didirikan oleh penguasa Bani Saljuk, Nizam al-Mulk, seorang perdana menteri dari Alp
Arselan dan Malik Syah pada tahun 457 H, setengah abad setelah berdirinya Universitas al-Azhar di Kairo. Bani
Saljuk terkenal sangat fanatik terhadap mazhab Sunni. Madrasah Nizhamiyah didirikan di setiap kota di Irak dan
Khurasan, untuk mengikis paham Syi'ah Zaidiyah yang dikembangkan pleh Dinasti Buwaih sebelumnya dan dalam
rangka menghadang paham Ismailiyah yang dipropagandakan oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir, Selain itu, tujuan
pendirian madrasah oleh Nizam al-Mulk adalah untuk mencetak birokrat-birokrat yang akan menduduki jabatan
kenegaraan, atau paling tidak, melalui lembaga tersebut akan lahir warga negara yang mengerti akan nilai-nilai yang
dianut oleh pemerintah. Singkat kata, madrasah Nizhamiyah merupakan instrumen kebijakan politik yang salah satu
fungsi utamanya adalah untuk menanamkan doktrin kenegaraan yang memperkuat kerajaan. Patronase Nizam al-
Mulk tidak hanya menyangkut masalah keuangan dan pengadaan sarana, tetapi juga kurikulum dan jabatan
“profesorship”, guru besar (Rasyid, 1994: 7-8).

Kutipan di atas menegaskan bahwa hubungan antara politik dan pendidikan di dalam Islam
tampak demikian erat. Perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh
para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk
membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini dapat dipahami, karena tujuan
pemerintahan Islam, menurut Abdul Gaffar Aziz (1993: 95), adalah “menegakkan kebenaran dan
keadilan. Tujuan itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan melaksanakan syariat. Syariat tidak
akan berjalan bila umat tidak memahami ajaran Islam”. [f. 2] [hlm. 3]
Footnote 2:

Pada periode Makkah, rumah Argam ibn Abi Argam berfungsi sebagai lembaga pendidikan pertama dalam bentuk
yang sederhana, di mana nabi mengajar sahabat-sahabatnya. Pada periode Madinah, aktivitas pendidikan berpusat di
masjid-masjid. Pada periode tersebut Khalifah Umar ibn Khattab memerintahkan Abu Musa al-Asy'ari agar setiap
suku mendirikan masjid untuk memperluas jaringan pendidikan Islam. Khalifah-khalifah Bani Umayah, baik yang di
Damaskus maupun di Spanyol berperan penting dalam mengembangkan cakrawala pendidikan Islam (Sjalabi,
1973:94).

Selain karena faktor religius bahwa agama Islam sanga menjunjung aktivitas kependidikan,
perhatian besar para pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran
lembaga-lembaga pendidikan dalam penyampaian misi-misi politik. Pendidikan sering dijadikan
media dan wadah untuk menanamkan ideologi negara atau tulang yang menopang kerangka
politik. Sjalabi mencatat bahwa Khalifah al-Makmun memolitisasi majelis munazharah di
istananya dalam rangka menyebarkan paham Mu'tazilah yang merupakan mazhab resmi negara
waktu itu. Puncak dari tindakan al-Makmun, menurut Sjalabi, adalah peristiwa inguisisi, yaitu
penyelidikan atau interogasi (alMihna) terhadap para ulama dan pejabat penting.[f. 3] Kepada
mereka ditanyakan apakah Alguran itu kadim atau hadis (dikutip dalam Rasyid, 1994:16).
Melalui inguisisi para ulama, pilar penopang lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan secara tidak langsung dipaksa menerima paham Mu'tazilah, ideologi resmi
penguasa. [hlm. 4]
Footnote 3:

Bila ditinjau dari sisi akidah, inguisisi merupakan usaha pemurnian pandangan masyarakat. Bagi golongan
Mu'tazilah menganggap Alguran itu kadim berarti kafir karena dengan demikian orang serupa jitu telah membuat
yang bersifat kadim menjadi dua. Kekufuran harus dihapus dari pandangan orang Islam. Pejabat negara dan para
ulama yang mengatakan Alguran kadim harus disingkirkan karena mereka termasuk orang kafir (Rasyid, 1994:18).
Pendidikan Islam tidak hanya berjasa menghasilkan para pejuang yang militan dalam
memperluas peta politik, tetapi juga para ulama yang berhasil membangun masyarakat yang
sadar hukum. Seiring dengan perluasan peta politik dan pertambahan pemeluk Islam, juga terjadi
perkembangan lembaga (institusi) pendidikan dalam jumlah maupun varietasnya. Di dalam
sejarah Islam tercatat bahwa pusat pendidikan yang pertama kali muncul adalah rumah Argam
ibn Abi Argam, yakni ketika nabi masih berada di Makkah [f. 4] (Rasyid, 1994:24). Selanjutnya
pada masa Bani Umayah, lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut sudah lebih variatif
dengan lahirnya Kuttab [f. 5] dan dijadikan rumahrumah pembesar kerajaan sebagai tempat
belajar. [hlm. 4]
Footnote 4:

Pada periode Makkah, pusat-pusat pendidikan difokuskan di masjid-masjid. Masjid yang pertama kali didirikan
adalah masjid Ouba. Di masjid ini diadakan lingkaran-lingkaran belajar (Halagah) sebagaimana juga di masjid nabi
di Mirbad Madinah. Untuk menunjang proses pendidikan dan pengajaran di masjid ini, lalu dibangunlah elsuffah
(semacam beranda). Di al-Suffah ini Rasulullah memberikan pelajaran kepada sahabat dan melatih beberapa orang
di antara mereka untuk menjadi guru yang mampu mengajar beberapa pelajaran yang berlainan. Di antara para
sahabat yang dilatih di al Suffah tersebut ialah Abu Abdullah ibn Rowahah, Ubadah ibn Shamit, dan Abu Ubaidah
ibn Jarrah” (Rasyid, 1994: 25).

Footnote 5:

Kuttab, menurut al-Thibawi, merupakan fenomena yang berkembang pada awal abad ke-8 M di penghujung
pemerintahan Bani Umayah. Kuttab ini berfungsi sebagai pusat pendidikan anakanak kecil, didirikan untuk
menghindari mereka dari mengotori masjid

Para penguasa Islam, Rasyid (1994:33) menyimpulkan, senantiasa terlibat langsung dalam
persoalan pendidikan. Menurutnya, ada dua alasan utama mengapa para penguasa Muslim sangat
peduli dengan pendidikan. [hlm. 5] Pertama, karena Islam adalah agama yang totaliter jam'i,
mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim mulai dari makan dan minum, tata cara
berumah tangga, urusan sosial kemasyara. katan, sampai pada ibadat semuanya diatur oleh
Syariat, Untuk mengetahui bagaimana hidup yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dengan
kegiatan pendidikan. Kedua karena motivasi politik, sebab di dalam Islam antara politik dan
agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa Muslim sering menjadikan kekuasaan sebagai alat
untuk menanamkan paham-paham keagamaan. Inilah yang dilakukan Dinasti Buwaih,
Fatimiyah, dan Khalifah al-Makmun. Dengan kekuasaan mereka menanamkan ideologi negara
dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan masyarakat umum sehingga
memudahkan pengaturan masalah-masalah kenegaraan. [hlm. 6]
Di negara-negara Barat, kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politik dimulai oleh
Plato dalam bukunya Republic. [f. 6] Walaupun utamanya membahas berbagai persoalan
kenegaraan, buku tersebut juga membahas hubungan antara ideologi dan institusi negara dengan
tujuan dan metode pendidikan [hlm. 6-7]
Berikut ini adalah kesan mendalam Allan Bloom (1987:380) tentang Republic: [hlm. 7]
For me (Republic is) the book on education, because it really enplains to me what I
experience asa man anda teacher, and I have almost always used it to point out
what we should not hope for, as a teaching of moderation and resignation.
Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah
salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa
setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tangan kelompok-kelompok elite yang
secara terus-menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. Plato
menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik.
Keduanya seakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Walaupun sangat umum
dan singkat, analisis Plato tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik
dan pendidikan di kalangan generasi ilmuwan generasi berikutnya. [hlm. 7]
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965:287), education and politics are inextricably
linked (pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan). Menurut mereka (1965:289),
hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu
pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan
peranan politik kaum cendekia (the political role of the intelligentsia). Kesempatan dan prestasi
pendidikan pada suatu kelompok masyarakat, menurut mereka, dapat memengaruhi akses
kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Perbedaan signifikan
antarberbagai kelompok masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan pendidikan dapat dilihat
pada distribusi kekuasaan politik dan ekonomi dan kesempatan kerja, khususnya pada sektor
pelayanan publik. Di negara-negara pascakolonial, kelompok masyarakat yang mendapat
privilese pendidikan lebih mampu melakukan konsolidasi kekuatan, lalu muncul menjadi
kelompok penguasa yang menguasai partai-partai politik dan sektor pelayanan publik. Privilese
atau diskriminasi pendidikan bisa terjadi karena alasan-alasan budaya atau agama. [hlm. 7-8]
Footnote 6:

Menurut Plato, “Para filsuf memiliki otoritas tertinggi, para pengawas berpendidikan menengah bertindak sebagai
kekuatan militer dan polisi, dan mereka yang memasok kebutuhan ekonomi negara menempati status terendah di
antara semuanya. Pendidikan harus disesuaikan secara cermat dengan reproduksi sistem, kelas yang lebih rendah
dididik untuk patuh dan diyakinkan dengan mitos-mitos politik bahwa status mereka itu terbentuk oleh sebab-sebab
alamiah, para penyair seharusnya hanya menggambarkan tingkah laku terpuji, pengetahuan tentang bentuk-bentuk
masyarakat alternatif ditekan dengan hati-hati, kecuali dalam kalangan sangat terbatas dari elif penguasa” (Kuper &
Kuper, 2000:767).

Diskriminasi seperti ini sangat nyata dalam kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda di
Indonesia. [f. 7] Penulis mencatat beberapa karakteristik kebijakan pendidikan pemerintah
kolonial Belanda: kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan self-seruing,
diarahkan sematamata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan pendidikan tersebut
berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, yaitu (1) menimbulkan konflik
keagamaan antara kelompok Muslim dan kelompok non-Muslim: (2) menciptakan divisi sosial
dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan muda Indonesia yang berasal dari
kelas menengah ke atas dan kelompok angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga
biasa, (3) menciptakan polarisasi sosial tanpa memedulikan kemampuan kerja mereka, dan (4)
menghambat perkembangan kaum pribumi (Sirozi, 1998: 17-29)
Footnote 7:
Diskusi lebih lanjut tentang kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda serta dampaknya terhadap
perkembangan sistem pendidikan nasional di Indonesia, lihat Muhammad Sirozi 1998. Politik Kebyakan Pendidikan
di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan LIU No. 2, khususnya Bab 2. Jakarta, INIS.

Anda mungkin juga menyukai