Anda di halaman 1dari 15

PENDIDIKAN ISLAM DAN POLITIK

DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Sistem pendidikan nasional tak dapat dilepas dari konteks politik
yang sedang berlaku di Negara kita, karena kerangka paradigma dan
konsep- konsep serta pengewantahanya memiliki latar belakang
kesejahteraan yang berbeda dengan Negara- Negara yang system
pendidikan nasionalnya tidak di campur tangani oleh pemerintah atau
kalaupun ada itu dalam derajat yang sangat rendah.
Sejak lahir dan berkembangnya pergerakan nasional menuju
Indonesia merdeka pendidikan menjadi tulang punggungnya yang utama,
karena dari sanalah proses penyadaran masyarakat akan hak- hak dan
kewajibanya sebagai manusia dan masyarakat pribumi ditanamkan. Dari
judul yang ada yaitu pendidikan Islam dan politik pada dasarnya dapat
difahami dengan dua pengertian, Pertama, pendidikan Islam dan politik
dimaksudkan suatu proses transformasi nilai-nilai sosial politik melaui
institusi pendidikan Islam. Kedua, pendidikan Islam dan politik
dimaksudkan mendeskripsikan perkembangan dan pertumbuhan pendidikan
Islam berdasarkan sejarah perpolitikan di Indonesia pada masa pra dan
pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis mencoba
focus sesuai dengan pengertian pertama yakni melihat terjadinya proses
transformasi nilai-nilai politik melalui institusi pendidikan Islam.
Pembahasan ini akan banyak menggunakan pendekatan aspek
historis, dengan mencoba menampilkan beberapa persoalan yaitu korelasi
antara pendidikan Islam dan politik, implikasi sosialisasi politik dalam
system pendidikan dan bagaimana pasrtisipasi mahasiswa dalam aktifitas
politik.

B. HUBUNGAN ANTARA PENDIDIKAN DAN POLITIK


Sering dilupakan oleh kalangan pendidik bahwa salah satu aspek
penting dalam pendidikan Islam adalah aspek politik. Dalam aspek ini di
jelaskan hubungan antara masyarakat dengan pemerintahan, hubungan antar
Negara, hubungan antarorganisasi, dan sebagainya. Atas dasar ini, antara
pendidikan islam dengan politik punya hubungan erat yang sulit untuk
dipisahkan.
Dalam sejarah, hubungan antara pendidikan dengan politik bukanlah
suatu hal yang baru. Sejak zaman Plato dan Aristoteles, para filsuf dan
pemikir politik telah memberikan perhatian yang cukup intens terhadap
persoalan politik. Kenyataan ini misalnya ditegaskan dengan ungkapan “As
is the state, so is the school ”, atau “What you want is the state, tou must put
into the school “. Selain terdapat teori yang dominant dalam demokrasi
yang mengasumsikan bahwa pendidikan adalah sebuah korelasi bagi suatu
tatanan demokratis1
Dalam sejarah Islam misalnya, hubungan antara pendidikan dengan
politik dapat dilacak sejak masa- masa pertumbuhan paling subur dalam
lembaga- lembaga pendidikan Islam. Sepanjang sejarah terdapat hubungan
yang amat erat antara politik dengan pendidikan. Kenyataan ini dapat dilihat
dari pendirian beberapa lembaga pendidikan Islam di Timur Tengah yang
justru disponsori oleh penguasa politik. Contoh yang paling terkenal adalah
madrasah Nizhamiyah di Bagdad yang didirikan sekitar 1064 oleh Wazir
Dinasti Saljuk, Nizham al- Mulk. Madrasah ini terkenal dengan munculnya
para pemikir besar. Misalnya, Al- Ghozali sempat mentransfer
pengetahuanya di lembaga ini, yakni menjadi guru.
Di Indonesia, munculnya madrasah merupakan konsekuensi dari
proses modernisasi surau yang cenderung di sebabkan oleh terjadinya tarik
menarik antara system pendidikan tradisional dengan munculnya lembaga
pendidikan modern dari Barat. Namun, disadari oleh Ki Hajar Dewantara
bahwa peran ulama telah melahirkan system budaya kerakyatan yang
bercorak kemasyarakatan dan politik, disamping spiritual. Hal ini terbukti
bayangkanya para alumni pesantren yang melanjutkan studi ke universitas
terkemuka baik di dalammupun di luar negeri2
Madrasah di Indonesia yang dikelola oleh suatu organisasi social
kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh orientasi organisasinya. Madrasah
yang didirikan oleh Muhammadiyah lebih bersifat ala Muhammadiyah.
Demikian halnya denga madrasah yang dikelola oleh NU orientasi
pendidikanya lebih menitik beratkan pada kemurnian mazhab.
Konsekuensi dari keragaman orientasi pendidikan tersebut adalah
munculnya para tokoh formal dan informal yng memiliki pemikiran dan
pergerakan politik yang berbeda3. Ada yang berfikir lebih modernis,
fundamentalis, tradisionalis dan nasionalis. Meski prilaku politik seorang
tokoh semata- mata tidak hany di tentukan oleh institusi pendidikan tertentu
dan masih ada factor lain ( lingkungan, sosiokultural, potensi berfikir, dan
1
James.S.Coleman ditulis oleh Supriyanto dalam H. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001
2
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelejensia Dan Perilaku Politik, Risalah Cendikiawan
Muslim, Bandung, Mizan, 1993, hlm. 192
3
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Yayasan Risalah, Jakarta, 1983, hlm. 6-7
sebagainya ), pengaruh suatu institusi pendidikan cukup berarti dalam
membentuk karakter dan kepribadian seseorang untuk mempunyai
paradigma berfikiryang berbeda.
Sejarah GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) juga
amat menarik untuk dijadikan sebagai sample mengenai korelasi signifikan
antara pendidikan Islam dan politik. Sebab pada kasus ini politik menjadi
mediasi untuk menumbuh kembangkan institusi pendidikan Islam. GUPPI
yang sejak awal berdirinya merupakan wadah organisasi Islam yang
terbentuk sebagai sikap peduli para tokoh muslim setelah melihat gejala
besarnya partisipasi politik para tokoh – tokoh muslim yang berakibat
kurangnya perhatian mereka terhadap pendidikan Islam.
Namun dalam perjalanan berikutnya, strategi untuk meningkatkan
perkembangan dan kualitas pendidikan Islam, para tokoh- tokoh aktivis
GUPPI lebih memilih untuk bergabung dan berafiliai pada partai politik
tertentu, dengan harapan bahwa melalui jalur ini kepentingan GUPPI untuk
mengembangakan dan meningkatkan mutu pendidikan dapat terpenuhi.
Sayangnya, peran politik yang dimainkan oleh para aktivis GUPPI di partai
Golkar kurang maksimal, akhirnya cita- cita dan impian yang di capai untuk
menyalurkan kepentingan umat Islam dalam meningkatkan pendidikan
Islam kurang memenuhi harapan.
Terlepas dari seluruh kegagalan tersebut, penulis hendak
mengatakan bahwa keterlibatan dalam berpolitik dapat menjadikan mediasi
untuk mnyalurkan kepentingannya secara individual maupun organisasi.
Secara umum bahwa pendidikan (Dalam konteks politik Indonesia)
pada masa orba jelas hanya berorietasi mengabdi kepada kepentingan
Negara dan penguasa. Penciptaan manusia penganalis sebagimana di
canangkan DR. Daud Yusuf, dalam prakteknya justru merupakan proses
pengebirian kebebasan akademik dan kreativitas mahasiswa serta
melahirkan para birokrat kampus. Sehingga hasilnya adalah generasi yang
apatis dengan lingkungan sekitar namun sangat self- centered. Mereka jelas
bukan manusia yang dicita- citakan Muhammad Hatta dan Djarir dimana
pencerahan, pemahaman, dan penyadaran akan hak dan kewajibannya
sebagi anak bangsamenjadi landasan kiprahnya.
Reformasi yang telah bergulir, semestinya dapat merintis jalan bagi
pemulihan kembali demokratisasi yang selama beberapa dasawarsa
mengalami diskontinuitas. Termasuk dalam hal ini adalah upaya
mengembalika fungsi dan peran pendidikan sebagiamana dicita- citakan
oleh para pendiri bangsa yang termaksud dalam konstitusi, yang
difomulasikan dalam kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pembenahan secara fundamental terhadap system Pendidikan Nasional
merupakan conditiosine quainin yang harus dimulai dari tataran yang paling
dasar visi sampai dengan implementasi dalam kurikulum. Pada tataran
paling dasar, tujuan pendidikan untuk membentuk kepribadian manusia
Indonesia yang tercerahkan dan memiliki tanggung jawab, merupakan
substansinya. Dengan landasan visi seperti ini, maka pendidikan tidak lagi
hanya ditujukan untuk memproduksi manusia terpelajar dan berkeahlian
demi malayani keperluan pasar tenaga kerja manusia yang di kuasai oleh
kehendak untuk mengontrol, mengekploitasi, dan berkuasa, tetapi yang di
pentingkan adalah pertumbuhannya manusia berbudaya yang dapat
menghayati dan memahami kehidupan bersama, sebagai komunitas
mengada (the community of being) yang saling terkait satu sama lain dan
karena saling menjaga dan membuahkan mengeksploitasi.
Untuk mewujudkan visi semacam itu di perlukan proses pendidikan
yang menggunakan pendekatan pendidikan demokratis. Bukan lagi proses
searah one way communication. sebagaimana yang kita temukan diruang-
ruang kelas mulai dari TK hingga keuniversitas, proses belajar mengajar
bukan lagi proses pencekokan murid/mahasiswa dengan berbagai materi
yang terkesan sangat normatif bahkan sacral, tapi marupakan proses
dialektika antara para pelakunya, dengan mempersalahkan fenomena-
fenomena yang hangat dalam masyarakat.
Akhirnya denga perombakan system pendidikan nasional itulah kita
berharap bahwa, pendidikan akan menjadi factor utama dalam proses
menjadi bangsa yang modern beradab serta tercerahkan.

C. SOSIALISASI POLITIK DALAM SYSTEM PENDIDIKAN ISLAM


Signifikansi dan implikasi politik terhadap pendidikan suatu institusi
pendidikan dan pengembangan madrasah atau pendidikan Islam pada
umumnya bagi para penguasa muslim sudah jelas. Dalam banyak kasus
madrasah- madrasah didirikan untuk menunjang kepentingan –
kepentingan politik tertentu dari penguasa muslim, di antaranya untuk
menciptakan dan memperkokoh citra penguasa sebagai orang- orang yang
mempunyai kesalehan, minat dan kepedulian terhadap kepentingan umat,
dan ini lebih penting lagi sebagai pembela ortodoksi Islam.
Semua ini pada giliranya untuk memperkuat legitimasi penguasa
vis-à-vis rakyat mereka. Persoalanya kemudian, sejauh mana madrasah dan
lembaga–lembaga pendidikan Islam lainya sebagai wahana “ pendidikan
politik” anak- anak didik atau masyarakat muslim umumnya?
Menurut Azyumardi, bahwa lembaga – lembaga pendididkan Islam
sejak masa klasik hingga masa pertengahan, atau tepatnya masa
pramodern, tidak menjadikan “ pendidikan politik” sebagai agenda.
Sebagaimana diketahui bahwa lembaga- lembaga pendidikan Islam,
dimasa- masa tersebut lebih merupakan salah satu wahana utama bagi
transmisi bahkan” pengawetan ilmu- ilmu Islam”, meski pendirian
madrasah misalnya sering dikaitkan erat dengan motif- motif politik,
namun jika ditelusuri lebih jauh terdapat indikasi yang kuat bahwa ia tidak
terlibat dalam proses- proses politik. Absolutisme politik muslim
sebagaimana terlihat dalam eksistensi berbagai macam dinasti tidak
memberikan ruang bukan hanya bagi keterlibatan komunitas madrasah,
melainkan bahkan masyarakat muslim umumnya, untuk turut serta dalam
proses – proses politik, dan mewujudkan partisipasi politik mereka4
Pendidikan politik, dengan demikian mungkin sedikit sekali
mempunyai relevansi dengan system dan kelembagaan pendidikan Islam
klasik dan abad pertengahan. Tetapi ini tidak berarti bahwa apa yang kita
sebut sebagai” pendidikan politik” – terlepas dari tingkatan intensitas dan
kedalamanya – tidak berlangsung dalam masyarakat muslim umumnya.
Bahkan “ pendidikan politik” itu mungkin menjadi salah satu concern
utama bagi para pemikir politik muslim untuk merumuskan dan
mengajarkan, misalnya, hak- hak dan kewajiban timbale balik antara
penguasa dan rakyat. Bahkan para pemikir semacam ini menerbitkan kitab-
kitab panduan, termasuk karya Al- Ghozali Nashihat al- Mulk yang di
peruntukan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaanya. Semua
hal yang bias dipandang sebagai” pendidikan politik” ini, pada umumnya
dilihat dari perspektif syari’ah atau fiqh5.
Dengan demikian, terjadi ketidak sesuaian ( incongruence) antara
sosialisasi Politik yang diperoleh melaui pendidikan dengan apa yang di
dapat dari lembaga – lembaga social lainnya. Kembali dalam konteks
Negara- Negara muslim, ketidak sesuaian itu disebabkan oleh dua factor,
pertama, tetap dominannya keutaman keluarga dalam proses sosialisasi
masyarakat yang sebagainya bermukim di wilayah pedesaan; kedua,
system pendidikan formal memikul beban sosialisasi yang cukup berat.
Terjadinya dominasi keluarga dalam proses sosialisasi di negara-
negara muslim, khususnya di pedesaan, banyak disebabkan antara lain oleh
terbatasnya mobilitas social, lemahnya penetrasi pemerintah, langkanya
fasilitas transportasi dan komunikasi, dan tidak tersedianya pendidikan
yang merata. Pada saat yang sama juga terjadi “ fragmentasi cultural”,
yakni diskontinuitas kebudayaan politik di antara system- system politik
tradisional yang ada disebabkan munculnya kebudayaan politik baru
negara- bangsa

4
Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, (sebuah pengantar) dalam
charles micheal Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Terj.H.Afandi dan Hasan Asari,
Jakarta, Logos, 1994
5
Lambton, dikutip oleh Supriyanto dalam H. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001
Pada pihak lain, system dan lembaga pendidikan bermuatan terlalu
banyak dikembangkan hampir di seluruh Negara muslim. Dalam batas
tertentu beban lembaga pendidikan yang overloading itu bisa difahami.
Pertama, negara- negara muslim yang relative baru merdeka ingin
mengukuhkan integritas dan kesatuan Negara melalui pendidikan. Dengan
pendidikan diharapkan loyalitas- loyalitas tradisional yang mulai memudar
itu akan lenyap sam sekali untuk digantikan dengan sense of mationhood
yang baru.
Kedua, lembaga pendidikan terpaksa memikul beban yang berat itu,
karena kelangkaan lembaga cultural lain, yang mampu sedikit banyak
melakukan sosialisasi politik sebagaimana di harapkan para pemimpin
Negara. Akan tetapi, harapan ini kebanyakan tidak terpenuhi karena beban
yang berat itu, pada giliranya menjadi tidak lebih dari sekadar distraction
bagi anak didik umumnya. Sosialisasi politik terhimpit oleh beban
kurikulum lain, yang dipandang anak didik lebih penting bagi pendidikan
masa depan mereka. Kenyataan ini paling jelas di Indonesia, dimana
aktivitas politik mahasiswa menyurut secara signifikan setelah
diberlakukanya system SKS sejak tahun 1970an.
Masalah besar ketiga, yakni dampak sosialisasi politik yang nyata
dan terbuka ( manifest ) melalui lembaga pendidikan juga tak kalah
rumitnya.Sosialisasi politik terbuka itu merupakan upaya sengaja untuk
menanamkan sikap politik tertentu melalui pemasukan kandungan politik
tertentu kedalam kurikulum pendidikan.semua ini bisa dilakukan dalam
bentuk penyajian subjek tertentu dalam kurikulum (seperti mata
pelajaran/kuliah pancasila); indoktrinasi atau penataran (seperti penataran
P4), atau bahkan kegiatan-kegiatan brainwashing. hasil dari sosialisasi
politik secara terbuka ini sering diragukan orang, bahkan public hari ini
tidak sampai ketidak percayaan6
Pengajaran atau penataran terbuka bisa memperkuat kesadaran
individu tentang kompetensi politik, tetapi juga dapat sekadar menjadi
formalitas dan, lebih jauh lagi menimbulkan sinisme. Hasil dari sosialisasi
politik melalui kurikulum pada kegiatan penataran P4 tidak lebih hanya
sebagai alat untuk memperkuat legitimasi penguasa. Selain itu,
menanamkan wawasan yang sama agar mempunyai loyalitas secara
bersama terhadap penguasa.
Hasil dari sosialisasi politik melalui kurikulum dalam kasus
Indonesia ini, menyebabkan wacana demokrasi politik tidak terbangun
secara ideal. Kecurigaan para penguasa terhadap aksi-aksi frontal semakin
kuat,ditambah oleh ambisius penguasa untuk tetap mempertahankan

6
Azyumardi Azra, Sosialisasi Politik dan Pendidikan Islam, dalam Jurnal Komunikasi Dunia
Perguruan Madrasah, vol.I. nomor, 02/1/1997, hlm. 22
kekuasaannya. Karena itu, sosialisasi politik melalui kurikulum pendidikan
ini merupakan strategi politik penguasa untuk mempertahankan
kekuasaannya.
Persoalan keempat, berkaitan dengan dampak lingkungan
atau”kultur” lembaga pendidikan itu sendiri dalam pembentukan sikap dan
orientasi politik.dinegara-negara berkembang umumnya termasuk Negara-
negara muslim,lembaga pendidikan menghasilkan dua dampak yang
signifikan pada sosialisasi politik, yakni orientasi prestasi (achievement)
dan elitisme. Pendidikan memberikan kepada anak didik dorongan dan rasa
berprestasi melalui penguasaan pelajaran dengan sebaik-baiknya. Prestasi
akademis yang mereka capai, pada gilirannya mendorong munculnya rasa
elistisme, yang kemudian memunculkan sikap dan gaya hidup tersendiri,
termasuk dalam kehidupan politik .
Semakin terpisah oleh lingkungan sekolah dari lingkungan
masayrakat pada umumnya,maka semakin tinggi pula sikap elitisme
tersebut.elitisme yang bersumber dari sekolah ini kemudian memunculkan
elite yang”terpisah” dari masyarakat,tetapi pada saat yang bersamaan,
mereka memegangi pendapat bahwa dengan keunggulan dan privileges
yang mereka miliki, mereka mempunyai”hak”alamiah untuk memerintah
masyarakat.

D. PERGURUAN TINGGI DAN PENDIDIKAN POLITIK


“Pendidikan politik”atau”sosialisasi politik”, sebagai mana
diharapkan, berlangsung paling intens pada tingkat perguruan tinggi
(universitas). Kenyataan ini bisa dengan mudah dapat dipahami.
Universitas memiliki mahasiswa yang sudah”matang” dan siap untuk
terlibat secara langsung dalam proses-proses politik yang berlangsung.
Kemudian,dari segi lain, mahasiswa merupakan bagian atau lapisan
masyarakat yang potensial untuk menjadi lahan rekrutmen politik, karena
itu, mereka sebenarnya sangat rawa terhadap manipulasi politik7
Akan tetapi penting untuk dicatat bahwa orang harus menahan diri
untuk tidak melakukan semacam mitologisasi tentang keterlibatan dan
peran mahasiswa dalam politik. Sejarah terpolitikan diIndonesia telah
membuktikan bahwa peralihan kekuasaan dari tangan orde lama keorde
baru adalah sebagai wujud partisipasi politik mahasiswa. Demikian pula
runtuhnya kekuatan orde baru dan selanjutnya beralih ketangan orde
reformasi disebabkan oleh kepedulian politik dan partisipasi politik
mahasiswa itu melalui pendidikan politik?
Azyumardi mengatakan bahwa aktivitas politik mahasiswa itu,
muncul terutama bukan disebabkan”pendidikan politik”atau sosialisasi
7
Ayumardi Azra, Ibid, hlm. 23
piolitik”yang berlangsung di universitas itu sendiri, melainkan lebih
bersumber dari lembaga-lembaga ekstrauniversitas, khususnya organisasi-
organisasi mahasiswa off-campus sebab penelitian yang di lakukan
disembilan Negara berkembang(Nigeria, kolombia dan panama) hanya
sepertiga dari jumlah mahasiswa secara keseluruhan yang sangat tertarik
pada politik. Bahkan mahasiswa yang redikal secara politik itu hanya
merupakan minoritas yang amat kecil, berkisar dari 0,3 persen sampai 4
persen di beberapa Negara tertentu8
Dalam kondeks Islam kenyataan ini bida dilihat dalam kemunculan
Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ) di Indonesia organisasi
kemahasiswaan Islam yang lahir di Jogyakarta pada tahun 1947 9 yang
meduduki peranan krusial dalam kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI) dalam proses pengambilan keputusan politik untuk
menumbangkan orde lama tahun 1966. para pelaku dalam proses
penumbangan rezim orde lama tersebut hingga saat ini membentuk suatu
wadah organisasi yang disebut Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera
(IKBLA) Arief Rahman Hakim. Sjarah angkatan 66 inilah sebagai symbol
partisipasi politik mahasiswa terlihat kembali secara langsung dalam aksi
menumbangkan kekuatan orde baru hingga kekuasaan berpindah menuju
Orde Reformasi. Ini menunjukkan bahwa sat ini mahasiswa sebagai
kekuatan terpenting dalam proses politik Indonesia. Dengan melihat kasus
seperti HMI inilah, Emmerson menyatakan bahwa terdapat korelasi positif
diantara religiusitas dan politisasi mahasiswa10
Dengan demikian,jelas bahwa aktivitas politik mahasiswa bukanlah
penomena yang sederhana. Seperti dijelaskan dalam empat hal
diatas,”pendidikan pilitik” atau “sosialisasi politik” berlangsung melalui
sistem dan kelembagaan pendidikan merupakan satu variable lainnya, yang
mengait satu sama lain Betapa besar peran mahasiswa dalam proses
pengambilan keputusan politik sejak tumbangnya Orde Baru. Berbagai
kelompok dan wadah yang terbentuk dikalangan mahasiswa sebagian besar
memperlihatkan sikap keperduliannya terhadap proses-proses politik
adalah suatu zaman yang tidak terjadi dimasa Orde Baru.

E. PENDIDIKAN ISLAM DAN POLITIK


Jika pada pembahasan sebelumnya lebih banyak berbicara
bagaimana internalisasi politik dalam institusi pendidikan atau lebih
8
Donal K. Emmerson, Student and Politics In Development Nations, London, Pall Mall Press,
1968, ditulis oleh Azyumardi Azra dalam Jurnal Komunikasi Dunia Madrasah, 1997
9
Konstitusi HMI, Jakarta, PB HMI, 2006, hlm. 61
10
Emmerson, Ibid, hlm. 394
terfokus pada persoalan politik, maka pada poin ini akan dibahas bagimana
pendidikan Islam memberikan dampak pada kehidupan berpolitik. Hal ini
akan diurai dalam beberapa pointer berikutnya .
1. Pendidikan Islam sebagai sarana untuk kepentingan politik penguasa.
Satudy kasus ini sangat nyata ketika pemerintah orde baru
melanggengkan kekuasaanya selama 32 tahun, intervensi pemerintah
melaui penyajian subjek tertentu dalam kurikulum (seperti mata
pelajaran/kuliah pancasila); indoktrinasi atau penataran (seperti
penataran P4), adalah bukti nyata bahwa pendidikan adalah salah satu
sarana kepentingan politik penguasa.

Mochtar Buchori11 menyatakan dalam pandanganya bahwa generasi


politik yang mengatur kehidupan bangsa selama periode orde baru
tumbuh pada waktu kondisi pendidikan kita sudah mulai menurun.
Ekspansi system pendidikan yang berlangsung sangat cepat pada waktu
itu, tanpa diketehui dan dikehendaki, telah merosotkan mutu sekolah-
sekolah. Kemerosotan ini terjadi, karena elit pendidikan yang sangat
kecil yang dimiliki saat itu, harus direntang panjang-panjang untuk
memungkinkan ekspansi system yang cepat tersebut.

Pada masa Orde Baru birokrasi sebagai sarana efektif untuk melakukan
intervensi kepada semua aspek kehidupan bernegara. Eksistensi
penguasa concern utama bagi pemerintah, sehingga intervensi yang
dilakukan oleh penguasa terhadap semua aspek kehidupan bernegara
sebagai instrumen penting untuk mendorong kelestarian dan
kelangsungan penguasa. Akibat dari system sentralis ini mebuat sikap
apatis dikalangan cendikiawan dan semua lapisan masyarakat untuk
berfikir secara demokratris, kristis, dan kreatif.

Sistem pemerintahan Orde Baru ini, menghalangi munculnya gerakan


oposisi sebagai social control terhadap pemerintahan atau penguasa.
Oposisi dalam suatu Negara yang demokratis menjadi suatu keharusan
poltik yang harus di tempatkan pada posisi yang penting. Di Indonesia
ini di gerakan oposisi di pandang oleh penguasa sebagai pendobrak
terhadap eksistensi pengauasa, sehingga munculnya oposisi selalu tidak
sepi oleh kecurigaan pengausa, di dukung oleh otoritarian.

Berbeda dengan pernyataan sebelumnya kasus yang sama terjadi dimana


masih terdapatnya pemimpin kita baik dalam skala nasional maupun

11
Mochtar Buchori “Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indonesia”,
dalam Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal.19
daerah menjadikan pendidikan (apalagi pendidikan Islam) sebagai
komoditas politik, sehingga “tema-tema” pendidikan kadang-ladang
menjadi slogan politis dalam upaya melanggengkan kekuasaanya, entah
dalam kasus masih dalam pemerintahanya maupun ketika menjelang
Pilkada.

2. Pendidikan Islam sebagai wahana kepentingan keagamaan dan sarana


mempertahankan identitas ke-Islaman.

Seluruh tujuan lembaga pendidikan Islam yang paling menonjol adalah


pewarisan nilai-nilai ajaran agama Islam. Hal ini sangat beralasan
mengingat aspek-aspek kurikulum yang ada menyajikan seluruhnya
memasukan mata pelajaran agama Islam secara komprehensif dan
terpadu (walaupun di sekolah-sekolah umum dipelajari juga mata
pelajaran agama Islam tetapi tidak komprehensif dan mendalam)
sementara di lembaga-lembaga pendidikan Islam kurikulum pendidikan
agama Islam menjadi kosentrasi dan titik tekan.

Mengingat pendidikan Islam menjadi titik fokusnya maka akan sangat


jelas perbedaan (ideology) keagamaan. Secara umum di Indonesia
terdapat dua organisasi keagamaan terbesar yakni Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah. Pendidikan Islam sebagai wahana pewarisan nilai-nilai
ajaran Islam menjadi sarana untuk kepentingan keagamaan. Misalnya
lembaga-lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah, tentu akan
mencoba mempertahankan nilai-nilai ke-Muhammadiyah-an melalui
lembaga tersebut, dengan berdirinya sekolah-sekolah dan perguruan
tinggi Muhamadiyah. Demikian juga pada kasus NU kebanyakan
pesantren yang ada di Nusantara ini memiliki sosiokultur dengan NU,
sangat wajar jika banyak pesantren yang menjadi wadah pewarisan
nilai-nilai Ahlussunah Waljama’ah.
Dalam kasus politis yang lebih luas adalah dimana ketika yang menjadi
decision maker adalah kelompok-kelompok dalam organisasi
keagamaan tertentu, maka hampir dipastikan kebijakan-kebijakan yang
dibuat akan memnguntungkan kelompok tersebut (kepentingan
kelompok keagamaan tersebut).

3. Pendidikan Islam sebagai sarana melahirkan warga Negara yang baik.


Sebagaimana halnya pendidikan baik pendidikan Islam maupun umum,
memiliki tujuan yang sangat filosofis diantaranya adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang ini juga berarti pendidikan akan melahirkan
warga Negara yang baik. Sistem pendidikan Islam sangat mendukung
terlahirnya pribadi-pribadi yang utuh tidak split personality, pribadi
yang mampu menterjemahkan ajaran-ajaran Tuhan keadalam bahasa
perilaku dan perbuatan, jika hal ini sudah dilakukan maka tujuan
tersebut dapat terwujud. Sebagai lembaga pendidikan yang memiliki
karakteristik dan cirri khusus pendidikan Islam menempatkan perubahan
moral atau etika menjadi sangat penting disamping yang lain.
Pendidikan Islam dengan ini juga memberikan kontribusi terhadap
perwujudan menjadi warga Negara yang baik dengan memiliki
kesadaran akan kemajemukan, kesadaran hokum dan sosial, kesadaran
membangun bersama.

4. Pendidikan Islam sebagai wahana melahirkan elit-elit bangsa.

Pendidikan Islam merupakan suatu wahana untuk melahirkan elit-elit


bangsa. Dalam kaitan ini dalam sejarah pergerakan politik di Indonesia
misalnya secara general tidak bisa melupakan kontribusi para kyai
pesantren, KH. Hasyim Asy’ari misalnya, yang merupakan symbol
perjuangan rakyat dalam melawan hegemoni kolonial belanda dengan
“revolusi jihad” yang dikumandangkanya, selanjutnya KH.Wahid
Hasyim putra Hasyim Asy’ari selain kyai pejuang kemerdekaan, belia
juga seorang birokrat sejati yang menduduki menteri Agama RI pertama
pasca-kemerdekaan. Sementara kyai lain yang juga pernah menjabat
menteri adalah KH.Syaifudin Zuhri, kemudian mantan Rois ‘Am NU
KH.Ahmad Siddiq adalah mantan kakanwil Depag Jawa Timur yang
memiliki kemampuan berbicara dengan bahasa pemerintah 12.

Tokoh selanjutnya adalah KH. Abdurrahman Wahid atau yang sering


dikenal Gus Dur adalah tokoh fenomenl di dalam aras perpolitikan di
Indonesia yang pernah menjabat Presiden RI adalah jebolan dari
pendidikan Islam pesantren. Kemudian tampilnya Amin Rais yang juga
pernah menjadi ketua MPR RI bahkan pada periode berikutnya ketua
MPR RI dijabat oleh jebolan pesantren yakni Hidyat Nurwahid. Tokoh-
tokoh lain yang juga merupakan “produksi” pendidikan Islam misalnya
Nurcholish Madjid, Quraish Sjihab dan yang lainya. Hadirnya beberapa
tokoh Bangsa misalnya adalah kontribusi nyata dari pendidikan Islam,
12
Imam Tolkhah,, Gelisah Politik Kyai Pesantren dalam Perspektif Pendidikan Islam, dalam
Membuka Jendela Pendidikan ; Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan
Islam, Jakartra, Raja Grafindo Persada, 2004, hal.68
ini membuktikan bahwa bagaimana produktifnya kontribusi pendidikan
Islam dalam melahirkan elit-elit bangsa yang pada ahirnya mampu
menjadi kelompok kepentingan dalam mengawal kebijakan-kebijakan
yang berpihak kepada kepentingan pendidikan Islam.

5. Pendidikan Islam sebagai wahana untu melahirkan hight politik (politik


tingkat tinggi)

Secara umum dapat dikatakan bahwa makin kokohnya atau makin


baiknya pendidikan yang diterima seseorang, makain besar pula
kemampuan orang tersebut untuk menguasai kecakapan-kecakapan
politik yang bersifat mendasar (basic political competenscies).

Hubungan antara pendidikan Islam dan politik mempunyai pengaruh tak


langsung terhadap prilaku para politikus dan terbentuknya budaya
politik. Pendidikan Islam yang baik, yang menghasilkan kemampuan
intelektual muslim yang memadai pada waktunya akan melahirkan
budaya politik yang humanistic-theosentris, humanistic-patriotik, dan
sebaliknya pula pendidikan dasar Islam yang gagal memupuk
intelektualitas pada waktunya akan melahirkan budaya politik yang
hedonistic-egoistik yang berarti low politic.

Melihat kondisi politik kita dewasa ini, pendidikan (khususnya


pendidikan Islam) harus berbuat sesuatu untuk melahirkan suatu budaya
politik baru, budaya politik yang akan mendorong para pelaku politik
untuk bertindak secara bersih, jujur dan cerdas. Sehingga dapat terwujud
perilaku politik tingkat tinggi (hight politic).

Pendidikan Islam merupakan suatu wahana yang harus dipergunakan


untuk melahirkan generasi politik baru yang kemudian akan membentuk
budaya politik baru pula. Lahirnya generasi politik yang baru dimasa
depan, generasi politik yang lebih humanistic-thesosentris, lebih
patriotik, lebih santun, lebih bersih dan lebih cerdas dari pada generasi
politik yang ada sekarang ini hanya akan terjadi bila kita berhasil
mengikatkan mutu lembaga-lembaga pendidkan Islam, peningkatan ini
terutama harus kita lakukan melalui dua jalur. Pertama, perbaikan
mendasar dari kurikulum yang sekarang berlaku di lembaga pendidikan
Islam kita dan kedua, pembaharuan system pendidikan guru mulai dari
TK/raudhatul Athfal sampai guru SLTA.
F. POLITIK DAN PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN

Banyak ahli politik sepakat bahwa proses pembentukan kebijkan adalah


integral bagi system politik yang ada. Pembentukan kebijakan
merupakan tahap penentu pada proses politik, tempat tuntutan politik
yang efektif di ubah menjadi keputusan yang berwenang[ 13

Hal ini amatlah relevan dengan cara yang dilakukan untuk mengikatkan
kualitas pendidikan, dimana politik adalah sarana yang amat tepat untuk
mencapai tujuan tersebut. Melalui keikuitsertaan dalam membuat
kebijakan dan keputusan, maka upaya tersebut dalam terlaksana. Pern-
peran nyata tersebut aklan dapat terwujud jika kita mampu masuk dalam
system yang ada, sehingga wacana pembaharuan misalnya sebagai
wujud dari upaya peningkatan kualitas pendidikan dapat di lakukan.

G. KESIMPULAN

Pendidikan Islam dan politik dimaksudkan sebagai suatu proses


transformasi nilai-nilai sosial politik melaui institusi pendidikan Islam.
Kemudian juga pendidikan Islam dan politik dimaksudkan
mendeskripsikan perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam
berdasarkan sejarah perpolitikan di Indonesia pada masa pra dan pasca
kemerdekaan Republik Indonesia.

Tarnsformasi nilai-nilai politik melalui institusi pendidikan dilakukan


dengan melakukanintervensi terhadap kebijakan pendidikan Islam di
Indonesia, sementara ada beberapa peran dan fungsi pendidikan Islam
dalam Politik diantaranya adalah Pendidikan Islam sebagai sarana untuk
kepentingan politik penguasa, Pendidikan Islam sebagai wahana
kepentingan keagamaan dan sarana mempertahankan identitas ke-
Islaman, Pendidikan Islam sebagai sarana melahirkan warga Negara
yang baik, Pendidikan Islam sebagai wahana melahirkan elit-elit bangsa,
Pendidikan Islam sebagai wahana untu melahirkan hight politik (politik
tingkat tinggi).
Kemudian juga melalui politik kebijakan-kebijakan yang mengarah
pada upaya pengikatan kulitas pendidikan dapat dilakukan dengan ikut
serta dalam system perpolitikan atau paling tidak berada dalam
lingkaran kebijakan baik berskala local maupun nasional.
13
Almond & Powell (1978) dalam M. Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia : Peran
Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989, Penerjemah Lilian D. Tedjasudhana ,
Jakarta, INIS, 2004 hal. 73
DAFTAR PUSATAKA

Azyumardi Azra (1997). Sosialisasi Politik dan Pendidikan Islam dalam Jurnal
Komunikasi Dunia Perguruan Madrasah, Vol, 1., No.1.

Azra, Azyumardi (1994). Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains,


(sebuah pengantar). Jakarta: Logos.

Azra, Azyumardi (1997). Jurnal Komunikasi Dunia Madrasah.

Donal K. Emmerson (1968). Student and Politics In Development Nations.


London: Pall Mall Press.

Nata, Abudin (2001). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-


lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta, Grasindo.

Noer , Deliar. (1993). Administrasi Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan

Rahardjo. (1993). Dawam, Intelektual, Intelejensia Dan Perilaku Politik,


Risalah Cendikiawan Muslim. Bandung: Mizan.

Risalah.Rahardjo, M. Dawam. (1993). Intelektual, Intelejensia Dan Perilaku


Politik, Risalah Cendikiawan Muslim. Bandung: Mizan.

Sindhunata (2000). Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta:


Kanisius.

Sirozi. M (2004). Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia : Peran Tokoh-


tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989. Jakarta: INIS.

Tolkhah, Imam (2004). Gelisah Politik Kyai Pesantren dalam Perspektif


Pendidikan Islam. Membuka Jendela Pendidikan ; Mengurai Akar
Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakartra: Raja
Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai