DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Sistem pendidikan nasional tak dapat dilepas dari konteks politik
yang sedang berlaku di Negara kita, karena kerangka paradigma dan
konsep- konsep serta pengewantahanya memiliki latar belakang
kesejahteraan yang berbeda dengan Negara- Negara yang system
pendidikan nasionalnya tidak di campur tangani oleh pemerintah atau
kalaupun ada itu dalam derajat yang sangat rendah.
Sejak lahir dan berkembangnya pergerakan nasional menuju
Indonesia merdeka pendidikan menjadi tulang punggungnya yang utama,
karena dari sanalah proses penyadaran masyarakat akan hak- hak dan
kewajibanya sebagai manusia dan masyarakat pribumi ditanamkan. Dari
judul yang ada yaitu pendidikan Islam dan politik pada dasarnya dapat
difahami dengan dua pengertian, Pertama, pendidikan Islam dan politik
dimaksudkan suatu proses transformasi nilai-nilai sosial politik melaui
institusi pendidikan Islam. Kedua, pendidikan Islam dan politik
dimaksudkan mendeskripsikan perkembangan dan pertumbuhan pendidikan
Islam berdasarkan sejarah perpolitikan di Indonesia pada masa pra dan
pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis mencoba
focus sesuai dengan pengertian pertama yakni melihat terjadinya proses
transformasi nilai-nilai politik melalui institusi pendidikan Islam.
Pembahasan ini akan banyak menggunakan pendekatan aspek
historis, dengan mencoba menampilkan beberapa persoalan yaitu korelasi
antara pendidikan Islam dan politik, implikasi sosialisasi politik dalam
system pendidikan dan bagaimana pasrtisipasi mahasiswa dalam aktifitas
politik.
4
Azyumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, (sebuah pengantar) dalam
charles micheal Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Terj.H.Afandi dan Hasan Asari,
Jakarta, Logos, 1994
5
Lambton, dikutip oleh Supriyanto dalam H. Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2001
Pada pihak lain, system dan lembaga pendidikan bermuatan terlalu
banyak dikembangkan hampir di seluruh Negara muslim. Dalam batas
tertentu beban lembaga pendidikan yang overloading itu bisa difahami.
Pertama, negara- negara muslim yang relative baru merdeka ingin
mengukuhkan integritas dan kesatuan Negara melalui pendidikan. Dengan
pendidikan diharapkan loyalitas- loyalitas tradisional yang mulai memudar
itu akan lenyap sam sekali untuk digantikan dengan sense of mationhood
yang baru.
Kedua, lembaga pendidikan terpaksa memikul beban yang berat itu,
karena kelangkaan lembaga cultural lain, yang mampu sedikit banyak
melakukan sosialisasi politik sebagaimana di harapkan para pemimpin
Negara. Akan tetapi, harapan ini kebanyakan tidak terpenuhi karena beban
yang berat itu, pada giliranya menjadi tidak lebih dari sekadar distraction
bagi anak didik umumnya. Sosialisasi politik terhimpit oleh beban
kurikulum lain, yang dipandang anak didik lebih penting bagi pendidikan
masa depan mereka. Kenyataan ini paling jelas di Indonesia, dimana
aktivitas politik mahasiswa menyurut secara signifikan setelah
diberlakukanya system SKS sejak tahun 1970an.
Masalah besar ketiga, yakni dampak sosialisasi politik yang nyata
dan terbuka ( manifest ) melalui lembaga pendidikan juga tak kalah
rumitnya.Sosialisasi politik terbuka itu merupakan upaya sengaja untuk
menanamkan sikap politik tertentu melalui pemasukan kandungan politik
tertentu kedalam kurikulum pendidikan.semua ini bisa dilakukan dalam
bentuk penyajian subjek tertentu dalam kurikulum (seperti mata
pelajaran/kuliah pancasila); indoktrinasi atau penataran (seperti penataran
P4), atau bahkan kegiatan-kegiatan brainwashing. hasil dari sosialisasi
politik secara terbuka ini sering diragukan orang, bahkan public hari ini
tidak sampai ketidak percayaan6
Pengajaran atau penataran terbuka bisa memperkuat kesadaran
individu tentang kompetensi politik, tetapi juga dapat sekadar menjadi
formalitas dan, lebih jauh lagi menimbulkan sinisme. Hasil dari sosialisasi
politik melalui kurikulum pada kegiatan penataran P4 tidak lebih hanya
sebagai alat untuk memperkuat legitimasi penguasa. Selain itu,
menanamkan wawasan yang sama agar mempunyai loyalitas secara
bersama terhadap penguasa.
Hasil dari sosialisasi politik melalui kurikulum dalam kasus
Indonesia ini, menyebabkan wacana demokrasi politik tidak terbangun
secara ideal. Kecurigaan para penguasa terhadap aksi-aksi frontal semakin
kuat,ditambah oleh ambisius penguasa untuk tetap mempertahankan
6
Azyumardi Azra, Sosialisasi Politik dan Pendidikan Islam, dalam Jurnal Komunikasi Dunia
Perguruan Madrasah, vol.I. nomor, 02/1/1997, hlm. 22
kekuasaannya. Karena itu, sosialisasi politik melalui kurikulum pendidikan
ini merupakan strategi politik penguasa untuk mempertahankan
kekuasaannya.
Persoalan keempat, berkaitan dengan dampak lingkungan
atau”kultur” lembaga pendidikan itu sendiri dalam pembentukan sikap dan
orientasi politik.dinegara-negara berkembang umumnya termasuk Negara-
negara muslim,lembaga pendidikan menghasilkan dua dampak yang
signifikan pada sosialisasi politik, yakni orientasi prestasi (achievement)
dan elitisme. Pendidikan memberikan kepada anak didik dorongan dan rasa
berprestasi melalui penguasaan pelajaran dengan sebaik-baiknya. Prestasi
akademis yang mereka capai, pada gilirannya mendorong munculnya rasa
elistisme, yang kemudian memunculkan sikap dan gaya hidup tersendiri,
termasuk dalam kehidupan politik .
Semakin terpisah oleh lingkungan sekolah dari lingkungan
masayrakat pada umumnya,maka semakin tinggi pula sikap elitisme
tersebut.elitisme yang bersumber dari sekolah ini kemudian memunculkan
elite yang”terpisah” dari masyarakat,tetapi pada saat yang bersamaan,
mereka memegangi pendapat bahwa dengan keunggulan dan privileges
yang mereka miliki, mereka mempunyai”hak”alamiah untuk memerintah
masyarakat.
Pada masa Orde Baru birokrasi sebagai sarana efektif untuk melakukan
intervensi kepada semua aspek kehidupan bernegara. Eksistensi
penguasa concern utama bagi pemerintah, sehingga intervensi yang
dilakukan oleh penguasa terhadap semua aspek kehidupan bernegara
sebagai instrumen penting untuk mendorong kelestarian dan
kelangsungan penguasa. Akibat dari system sentralis ini mebuat sikap
apatis dikalangan cendikiawan dan semua lapisan masyarakat untuk
berfikir secara demokratris, kristis, dan kreatif.
11
Mochtar Buchori “Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indonesia”,
dalam Sindhunata, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal.19
daerah menjadikan pendidikan (apalagi pendidikan Islam) sebagai
komoditas politik, sehingga “tema-tema” pendidikan kadang-ladang
menjadi slogan politis dalam upaya melanggengkan kekuasaanya, entah
dalam kasus masih dalam pemerintahanya maupun ketika menjelang
Pilkada.
Hal ini amatlah relevan dengan cara yang dilakukan untuk mengikatkan
kualitas pendidikan, dimana politik adalah sarana yang amat tepat untuk
mencapai tujuan tersebut. Melalui keikuitsertaan dalam membuat
kebijakan dan keputusan, maka upaya tersebut dalam terlaksana. Pern-
peran nyata tersebut aklan dapat terwujud jika kita mampu masuk dalam
system yang ada, sehingga wacana pembaharuan misalnya sebagai
wujud dari upaya peningkatan kualitas pendidikan dapat di lakukan.
G. KESIMPULAN
Azyumardi Azra (1997). Sosialisasi Politik dan Pendidikan Islam dalam Jurnal
Komunikasi Dunia Perguruan Madrasah, Vol, 1., No.1.