Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

RESUME BUKU POLITIK DAN KEBIJAKAN ISLAM


“POLITIK PENDIDIKAN ISLAM : Analisis Kebijakan Pendidikan Islam di
Indonesia Pasca Orde Baru”

Disusun Oleh
Nurika Sangidatul Umah
NIM : 801202045

PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN 2021
Judul : POLITIK PENDIDIKAN ISLAM : Analisis Kebijakan Pendidikan Islam di
Indonesia Pasca Orde Baru
Penulis : Choirul Mahfud
Penerbit : Pustaka Pelajar Yogyakarta
Tahun Terbit : 2016
Tebal : xxii + 408 Halaman
Cetakan : Cetakan 1, Februari 2016
ISBN : 9786022295693

BAGIAN PERTAMA
POLITIK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA : ANTARA IDEALITAS DAN
REALITAS
Persoalan-persoalan di negeri ini tidak bisa lepas dengan politik, tidak terkecuali
persoalan dalam pendidikan Islam. Oleh karena itu, tidak keliru bila dinyatakan bahwa politik
dan pendidikan Islam juga memiliki hubungan dan pengaruh antara satu dengan yang
lainnya. Bahkan, belakangan ini persoalan politik dan pendidikan, termasuk pendidikan
Islam, terus memperoleh perhatian besar seiring dinamika sosial politik di Indonesia pasca-
Orde Baru.

Ketika reformasi 1998 bergulir, banyak sekali perubahan terjadi di hampir semua
aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan Islam di negeri ini, salah satu wujudnya
adalah lahirnya sejumlah tata aturan kebijakan tentang pendidikan Islam dan pendidikan
keagamaan, seperti PP No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama (PA) dan Pendidikan
Keagamaan (PK), UU Sisdiknas N0. 20. Tahun 2003, lahirnya kurikulum baru tahun 2013
dan lain sebagainya. Hal ini seolah meneguhkan kebenaran ungkapan “ganti menteri ganti
kebijakan”.

Pendidikan Islam dan politik memiliki hubungan yang erat dan saling memengaruhi.
Terbukti, banyak kebijakan pendidikan Islam di negeri ini ditentukan oleh kebijakan politik
pemerintah. Belum lama ini, ada satu kebijakan yang hangat diperbincangkan banyak
kalangan, yaitu terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor
903/2429/SJ yang melarang Pemerintah Daerah (Pemda) mengucurkan dana APBD untuk
sumbangan atau bantuan madrasah dan lembaga pendidikan keagamaan, yang mendapat
protes keras dari sejumlah pihak dan pejabat daerah, termasuk Pemprov Jawa Timur dan
pusat juga memberikan protes keras.

Kementrian Agama menilai salah satu poin Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 39
Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari
APBD merupakan bentuk diskriminasi pendidikan. Poin yang dimaksud adalah bantuan
sosial dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk madrasah tidak bersifat wajib
atau mengikat. Mayoritas madrasah, baik Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP) maupun
Aliyah (SMA) di Indonesia merupakan lembaga swasta. Kalau negeri bisa diatasi oleh
Kementrian, tetapi kalau swasta tidak mendapat APBD, siapa yang mau membantu. Lembaga
pendidikan yang dikelola Kementrian Agama ini, berbeda dengan di Kementrian Pendidikan,
yang banyak berstatus negeri. Kemenag mempunyai dana yang terbatas untuk menanggung
semuanya. Lembaga pendidikan Islam juga ada yang mendapat dana Bantuan Operasional
Sekolah, namun itu belum dianggap maksimal tanpa bantuan APBD. Dari protes dan gugatan
dari sejumlah pihak dan pejabat di daerah dan pusat tersebut, kemudian Mendagri merespon
dengan mengeluarkan sikap dan surat edaran baru untuk membolehkan APBD untuk
membantu madrasah dan lembaga keagamaan lainnya.

Dunia politik sering kali dianggap dan dipahami sebagai dunia kotor yang
menghalalkan segala cara dan perlu dihindari. Sementara dunia pendidikan seolah dunia yang
berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh ideologi serta kepentingan kekuasaan. Padahal bila
dicermati, relasi antara politik dan pendidikan, termasuk pendidikan Islam, adalah saling
terkait dan saling memengaruhi, bahkan saling membutuhkan satu sama lain. Masalah
pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah politik, sebab bagaimanapun kebijakan
politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Sebaliknya pula,
pendidikan memengaruhi politik kekuasaan dan bahkan maju mundurnya suatu bangsa.
Pengalaman ini banyak negara mencatat, kualitas pendidikan suatu bangsa menentukan arah
kemajuan bangsa dan indeks pembangunan manusia.

BAGIAN KEDUA EPISTEMOLOGI POLITIK PENDIDIKAN ISLAM


A. Epistemologi Poltik
Konsepsi dan definisi politik adalah segala hal yang berkaitan dengan kekuasaan,
kebijakan, kewenangan, kepentingan, dan hubungan timbal balik antara pemerintah dengan
warga masyarakat untuk mencapai tujuan dan kebaikan bersama dalam suatu negara.
Dalam konteks pendidikan Islam, konsepsi politik semacam itu memiliki dimensi
penting dalam proses penggunaan kekuasaan dan pembuatan kebijakan yang sebaik- baiknya
sesuai dengan amanat konstitusi dalam suatu negara. Baik buruknya pendidikan Islam, dalam
konsepsi politik bergantung bagaimana kekuasaan itu digunakan dan dilaksanakan. Dalam
hal ini, praktik politik dapat dipahami melalui berbagai kebijakan yang dibuat atau yang
belum dibuat oleh pihak otoritas politik dalam suatu struktur negara.

B. Epistemologi pendidikan Islam


Pendidikan Islam merupakan usaha sadar dan terencana dalam mengajarkan nilai-nilai
pendidikan Islam oleh pendidik kepada peserta didik dalam rangka mencerdaskan kehidupan
dan membentuk manusia berkarakter sesuai ajaran agama Islam. Dalam konteks itu, maka
tugas dan fungsi pendidikan Islam sebetulnya bukan sekedar proses memindah ilmu
pengetahuan (transfer of knowledge), tetatpi juga bisa dimaknai sebagai proses mentransfer
nilai-nilai (transfer of values).
Dalam konteks yang lebih luas, konsepsi pendidikan Islam dijalankan sepanjang
hayat. Nabi Muhammad SAW dalam beberapa hadits bahkan menganjurkan pentingnya
belajar sepanjang hayat mulai lahir hingga wafat. Konsepsi ini sejalan dengan gagasan 4 Pilar
Pendidikan Universal yang dirumuskan UNESCO, yaitu : learning to know; learning to do;
learning to live together dan learning to be.

C. Konsepsi Politik Pendidikan Islam


Pendidikan Islam perlu direkonstruksi kembali, agar lebih menekankan proses edukasi
sosial, tidak semata-mata individual dan untuk memperkenalkan konsep social-contract,
sehingga pada diri peserta didik tertanam suatu keyakinan, bahwa kita semua sejak semula
memang berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah, iman/kredo, tetapi
demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan, dan kepentingan kehidupan bersama, mau
tidak mau, kita harus rela untuk menjalin kerja sama (cooperation) dalam bentuk kontrak
sosial antara sesama kelompok warga masyarakat di muka bumi ini.
D. Genealogi Sejarah Politik pendidikan Islam
Sejarah politik pendidikan Islam dalam suatu negara sangat penting, karena akan
menentukan arah dan dinamika peradaban suatu bangsa melalui penyelenggaraan pendidikan
yang baik bagi semua warganya. Dalam sudut pandang yang lebih luas, sejarah politik
pendidikan Islam mencakup bahasan tentang peta perjalanan pendidikan Islam pada situasi
dan kondisi politik dalam kurun waktu tertentu yang dipengaruhi oleh aspek politik
kekuasaan.
E. Ideologi-ideologi Pendidikan Islam di Indonesia
Dalam kontek pendidikan Islam, ada beberapa semangat ideologi yang dapat
dipahami sebagai warisan ideologi pendidikan Islam, diantaranya : pertama, ideologi
pendidikan Islam salafiayah tradisionalis, yaitu ideologi yang dibangun atas dasar dan
prinsip- prinsip salafus sholih. Hal ini bisa dilacak dari tumbuh suburnya pondok pesantren
salafiyah di berbagai daerah di pulau Jawa, Bali, NTB hingga Sumatera. Kedua, ideologi
pendidikan Islam salafiyah fundamentalis, yaitu sebuah ideologi yang mengarah pada
keinginan mempraktikkan ajaran Islam yang fundamental dan radikal melalui sekolah Islam
di negeri ini. Ketiga, ideologi pendidikan Islam tradisionalis, yaitu sebuah ide dan gagasan
yang sederhana tapi progresif dengan memegang tradisi disatu sisi, tetapi di sisi lain juga
menerima kemajuan untuk lebih baik. Hal ini bisa dilihat dari tumbuh suburnya lembaga
pendidikan Islam seperti madrasah-madrasah di negeri ini. Keempat, ideologi pendidikan
Islam modernis, yaitu ide dan gagasan yang berorientasi pada kemajuan dunia industri, ilmu
pengetahuan, tehnologi dan informasi. Karakteristik lembaga pendidikan Islam semacam ini
sangat mempertimbangkan kepentingan pasar, industri dan kemajuan peradaban yang
berkemajuan. Hal ini bisa dilihat dari adanya pondok pesantren modern dan lembaga
pendidikan Islam berbasis tehnologi dan entrepreneurship. Kelima, ideologi pendidikan Islam
multikultural, ide dan gagasan penyelenggaraan pendidikan Islam yang menghargai
perbedaan untuk kemajuan peradaban Islam rahmatan lil alamin. Keenam, ideologi
pendidikan Islam kosmopolitanis, yaitu ide dan gagasan penyelenggaraan pendidikan Islam
melewati batas-batas teritorial negara bangsa. Seperti menjamurnya lembaga pendidikan
Islam kosmopolitan ala fethullah Gullen dari Turki di Indonesia.

BAGIAN KETIGA
RELASI PENDIDIKAN ISLAM, POLITIK DAN KEKUASAAN
A. Pola Relasi Politik dan Pendidikan Islam
Kuatnya hubungan politik dan pendidikan, termasuk dalam aspek pendidika Isla,
mampu melahirkan kebijakan yang mendorong lebih baik atau sebaliknya. Oleh karena itu,
membangun dan menciptakan hubungan yang lebih positif bagi kemajuan pendidikan untuk
kemajuan negara menjadi penting. Sebab, banyak yang meyakini bahwa kemajuan negara
selalu diiringi dengan kemajuan pendidikannya. Tanpa ada kemajuan dan perhatian dalam
bidang pendidikan, maka eksistensi politik sebuah bangsa tidak akan bisa bertahan lama
dalam menyangga kemajuan peradabannya.
B. Faktor Politik dalam Reformasi Politik Pendidikan Islam
Dalam konteks pendidikan Islam, reformasi pendidikan Islam pada dasarnya memiliki tujuan
agar pendidikan Islam dapat berjalan lebih baik, efektif dan efisien untuk mencapai tujuan
pendidikan yang dicita-citakan. Untuk itu, biasanya, ada dua hal yang perlu dilakukan dalam
reformasi : pertama, mengidentifikasi atas berbagai problem yang menghambat
terlaksanannya pendidikan; kedua, merumuskan reformasi yang bersifat strategis dan praktis
sehingga dapat diimplementasikan di lapangan.
C. Posisi Pendidikan Islam di Indonesia
Penyelenggaraan pendidikan tidak lepas dari kebijakan politik. Posisi dan eksistensi
pendidikan Islam masih kuat karena tata aturan memberikan jaminan hukum. Hal itu terlihat
dari penyelenggaraan pendidikan mulai tingkat dasar, menengah, atas hingga perguruan
tinggi diberikan secara penuh kepada dua kementrian, yaitu Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementrian Agama (Kemenag). Namun, pemerintah juga
memberikan otoritas penyelenggaraan pendidikan kedinasan kepada Kementrian yang terkait
langsung denga dinas/bidangnya. Namun hal itu hanya berlaku hanya di tingkat perguruan
tinggi, bukan ditingkat sekolah dasar, menengah dan atas. Sementara posisi pendidikan Islam
yang dikelola oleh Kemenag bisa dikatakan cukup strategis dengan posisi pendidikan umum
yang dikelola oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
D. Pendidikan Islam dan Tanggung Jawab Negara
PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
mengatur Pendidikan Agama di sekolah umum dan Pendidikan Keagamaan yaitu Islam,
Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan,
“Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan Khonghucu”. Pasal ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan ruang lingkup
pendidikan keagamaan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan tentang siapa
yang menjadi pengelola pendidikan keagamaan baik yang formal, non-formal dan informal
tersebut, yaitu Menteri Agama.
Dari sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan dan pengembangan
pendidikan Islam menjadi tanggung jawab menteri agama. Mengingat posisi menteri agama
bukan hanyak untuk kalangan Islam saja, maka beban menteri agama juga melebar pada
penyelenggaraan pendidikan agama lainnya (nonislam), disamping beban administratif terkait
dengan ruang lingkup penyelenggaraan agama dan prosesi keagamaan untuk seluruh agama-
agama yang diakui di Indonesia.

E. Urgensi Politik Pendidikan Islam


Politik pendidikan Islam memiliki posisi penting dalam praktik pendidikan di suatu
negara, termasuk Indonesia. Pendidikan agama setelah diwajibkan di sekolah-sekolah,
meskipun masih perlu disempurnakan terus, menunjukkan bahwa pengaruhnya dalam
perubahan tinkah laku remaja adalah relatif lebih baik dibandingkan dengan kondisi sebelum
pendidikan agama tersebut diwajibkan. Sekurang-kurangnya pengaruh pendidikan agama
tersebut secara minimal dapat menambah benih keimanan yang dapat menjadi daya prefentif
terhadap perbuatan negatif remaja atau bahkan mendorong mereka untuk bertingkah laku
susila dan sesuai dengan norma agamanya. Kebijakan politik pendidikan yang dibuat oleh
pemimpin dalam suatu negara akan membawa dampak secara langsung atau tidak bagi
terciptanya tatanan kehidupan dalam berbangsa, beragama dan bernegara.
F. “Visible” vs “Invisible Hands” dalam Kebijakan Pendidikan Islam
Dalam konteks kebijakan pendidikan Islam juga bisa dipahami bahwa mekanisme dan
dinamika pendidikan Islam di Indonesia tidak selamanya bisa didekati dengan teori “visible
hand” di mana peran dan tanggung jawab masalah pendidikan berada di tangan negara atau
pemerintah. Bahkan, terkadang urusan dan kebijakan pendidikan Islam di negeri ini berjalan
delam mekanisme teori “Invisible Hands”. Hal itu bisa ditandai dengan peran dan kontribusi
banyak pihak di luar struktur negara dan pemerintah. Kebijakan-kebijakan pendidikan Islam
yang berjalan di negeri ini justru dipelopori dan digerakkan oleh pasar atau masyarakat sipil.
Munculnya lembaga pendidikan pesantren, madrasah dan lembaga pendidikan lainnya
misalnya, sedari awal sebelum negara ini merdeka merupakan salah satu bukti nyata praktik
kebijakan pendidikan Islam di Indosesia masih didominasi oleh teori “invisible hands”
ketimbang teori “visible hand”.

BAGIAN KEEMPAT
POLITIK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DARI MASA KE MASA
A. Inspirasi Politik Pendidikan Islam di era Rasulullah
Metode keteladanan dalam praktik pendidikan Islam sangat ditonjolkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Dalam konteks inilah, sumbangan paling besar dalam praktik
pendidikan Islam era Rasullah adalah metode keteladanan. Hingga hari ini, metode
keteladanan menjadi salah satu metode yang sangat dahsyat dalam menjawab segala
persoalan dalam pendidikan kontemporer.
Sebagai seorang nabi dan rasul sekaligus juga kepala negara ketika di Madinah,
kebijakan pendidikan Islam semakin membaik dan sistemik dibanding ketika Rasulullah
berada di Makkah. Dari sisi materi pendidikan yang menjadi fokus kajian juga berbeda.
Misalnya saja, pada saat di Makkah, Rasullullah lebih memfokuskan pada aspek materi
pendidikan ketauhidan dan aqidah akhlak yang meliputi rukun Iman dan Rukun Islam.
Sementara pada saat di Madinah, Nabi Muhammad berupaya memngembangkan aspek
materi pendidikan Islam pada pembentukan dan pembinaan masyarakat baru atau
pendidikan peradaban Islam yang holistik.
B. Potret Politik Pendidikan Islam Indonesia di era Kolonial
secara umum dapat dipahami bahwa potret pendidikan Islam pada masa kolonial,
umumnya dalam bentuk pesantren dan madrasah. Pesantren dan madrasah merupakan jenis
sekolah yang coraknya bertolak belakang dengan sekolah yang diperkenalkan pemerintah
kolonial, baik dari sudut isi pengajaran maupun cara pendidikan. Pendidikan Islam masa
kolonial dibedakan menjadi dua, yakni Pendidikan Islam Muhammadiyah dan Pendidikan
Islam NU (Nahdlatul Ulama). Lembaga pendidikan Muhammadiyah yang muncul pada masa
kolonial antara lain Hollands School (sekolah guru) di Yogyakarta, 32 buah Sekolah Dasar
Lima Tahun, sebuah schakel School, 14 buah Madrasah. Lembaga pendidikan ini juga
mendirikan HISP Muhammadiyah, Mulo Muhammadiyah, Madrasah Ibtidaiyah dan
Tsanawiyah Muhammadiyah.

Sementara kontribusi Pendidikan islam NU (Nahdlatul Ulama). Diantaranya membangun


pesantren dan madrasah yang berdasarkan agama Islam. Lembaga pendidikan yang didirikan
oleh organisasi NU pada msa kolonial antara lain : a) Madrasah Alawiyah, dengan lama
belajar 2 tahun. b) Madrasah Ibtidaiyah, dengan lama belajar 3 tahun. c) Madrasah
Tsanawiyah, dengan lama belajar 3 tahun. d) Madrasah Mu’alimin Wustha, dengan lama
belajar 2 tahun. Dan e) Madrasah Mu’alimin Lilya, dengan belajar 3 tahun.
C. Politik Pendidikan Islam di era Kemerdekaan dan Orde Lama
Penyelenggaraan pendidikan Islam setelah Indonesia merdeka mendapat perhatian
serius dari pemerintah, usaha ini dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga
sabagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27
Desember 1945 menyebutkan bahwa “Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah
satu alat dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat
Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tuntutan
dan bantuan material dari pemerintah”/ Berbagai kebijakan Pemerintah Republik Indonesia
dalam bidang Pendidikan Islam antara lain yaitu : Pada 17-8-1945 Indonesia merdeka. Akan
tetapi musuh-musuh Indonesia tidak diam saja, bahkan berusaha untuk menjajah kembali.
Pada bulan 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Pengajran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan
mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Pemerintah
membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin
oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof. Drs. Abdullah Sigit dari
Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan menteri pengajaran agama
yang diberikan di sekolah umum.
Pada 1966 MPRS bersidang lagi. Dalam keputusannya, bidang pendidikan agama telah
mengalami kemajuannya dengan menghilangkan kalimat terahir dari keputusan yang
terdahulu. Dengan demikian, maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib
bagi Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.
D. Kebijakan Politik Pendidikan Islam di era Orde Baru
Orde Baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga
terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi pada 21 Mei
1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan strategi
politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah suatu korelasi
total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah menyelewengkan
Pancasila.

Kebijakan pemerintah Orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks madrasah
di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terahir 1980- an
sampai dengan 1990-an. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan bersifat otonom di bawah
pengawasan Menteri Agama.
Pendidikan Islam di Indonesia pada era Orde Baru mengalami perbaikan dan perubahan
ke arah yang lebih baik dibanding era penjajahan dan era awal kemerdekaan serta Orde
Lama. Hanya saja, masih ada nuansa diskriminasi dan dikotomi antara pendidikan Islam dan
pendidikan umum yang berimplikasi pada input, proses dan output pendidikan Islam pada
masa itu yang memengaruhi pula pada kebijakan politik pendidikan Islam pada masa
berikutya.
BAGIAN KELIMA
TANTANGAN LOKAL DAN GLOBAL KEBIJAKAN POLITIK\
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A. Realitas Politisasi Pendidikan Islam
A Politisasi pendidikan berbeda dengan politik pendidikan itu sendiri. Politisasi
pendidikan cenderung bermakna usaha penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Dalam
konteks pendidikan Islam, politisasi pendidikan dimaknai sebagai penyalahgunaan
wewenang, dan kebijakan untuk kepentingan politik tertentu, dan menjadikan pendidikan
Islam sebagai objek sasaran politisasi. Dalam hal ini, pendidikan menjadi lahan subur bagi
semua pihak dalam upaya untuk mewujudkan kepentingan masing-masing.
B. Korupsi, Kemiskinan dan Output Pendidikan Islam
Menurut penulis, karena latar belakang masalah terjadinya korupsi ibarat lingkaran
setan, sudah tentu cara mengatasinya harus memutuskan lingkaran setan korupsi itu. Jihad
melawan korupsi dengan cara memutus lingkaran setan tersebut tentu harus dilakukan
bersama-sama. Tanggung jawab lembaga pendidikan Islam cukup besar dalam upaya
pemecahan masalah semacam ini. Selain itu, pemerintah beserta aparatnya wajib mengusut
tuntas dengan tidak tebang pilih terhadap pelaku korupsi di negeri ini. Apalagi, sebagai
anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani deklarasi Millennium Development Goals
(MDGs) yang salah satunya berkomitmen terhadap penghapusan kemiskinan.
C. Terorisme, Fundamentalisme dan radikalisme dalam Pendidikan Islam di
Indonesia

Masalah terorisme dan kekerasan atas nama agama masih menjadi pekerjaan rumah
yang perlu diwaspadai semua pihak. Usaha pencegahan yang komprehensif tanpa kekerasan
disinyalir lebih efektif dan humanis ketimbang melawan kekerasan denga kekerasan. Dalam
konteks inilah, peran pendidikan Islam diiringi dengan kebijakan negara memiliki fungsi
strategis dalam menciptakan kehidupan damai di bumi pertiwi ini. Langkah-langkah yang
dilakukan atau tidak melakukan dengan pembiaran, memiliki dampak yang tidak dapat
disepelekan.

D. Globalisasi dalam Pendidikan Islam


Problematika globalisasi tentu saja menjadi bahasan penting dalam studi kebijakan
pendidikan Islam di Indonesia kontemporer. Hal itu sejalan dengan semangat konstitusi
negara kita sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4, yang berbunyi :
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Oleh karena itu, bagaimana usaha dan strategi pendidikan Islam melihat persoalan
globalisasi sebagai bagian dari dinamika zaman yang perlu diletakkan dalam konteks
dinamika ilmu-ilmu pendidikan Islam terkini. Harapannya, tentu saja, pendidikan Islam yang
berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dewasa ini mampun memainkan
peranannya secara dinamis, kritis, solutif da kontributif.

Anda mungkin juga menyukai