Mohammad Kosim
Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan
Jl. Panglegur KM 04 Pamekasan, 69371.
E-mail: kosim@stainpamekasan.ac.id
Abstrak:
Artikel ini mendeskripsikan kebijakan pemerintah tentang mata pelajaran Pendi-
dikan Agama Islam (PAI) di sekolah negeri selama masa Orde Lama (1945-1965).
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kedudukan mata pelajaran PAI di
sekolah negeri selama pemerintahan Orde Lama? Melalui pendekatan historis
dengan analisis dokumen terhadap sejumlah kebijakan terkait, diketahui bahwa
di masa Orde Lama, pendidikan agama telah ditetapkan sebagai salah satu mata
pelajaran yang diajarkan di sekolah negeri, sesuatu yang hanya menjadi ke-
inginan selama masa penjajahan. Namun, selama Orde Lama kedudukan mata
pelajaran PAI belum kokoh karena tidak menjadi mata pelajaran wajib, bahkan
orang tua siswa dan murid dewasa bisa memilih apakah anaknya atau murid
dewasa tersebut akan mengikuti pelajaran agama atau tidak. Demikian pula,
mata pelajaran agama tidak menentukan kenaikan kelas, dan nilai pelajaran
agama tidak dalam bentuk angka, melainkan secara kualitas dalam bentuk
pernyataan baik, sedang, kurang.
Abstract:
The article describes the policy of government concerning the course of
Pendidikan Agama Islam (Islamic Religion Education) taught in the state-schools
during Old Order period (1945-1965). The problem goes around of how the
position of the course of Pendidikan Agama Islam (Islamic Religion Education)
during the Old Order period. The study employs historical approach using
document analysis on the related policies. The result shows that the course of
Pendidikan Agama Islam (Islamic Religion Education) had been decided as one of
courses taught in state-schools in the Old Order. It was some kind of dream come
true as it would never been realized in colonization time. However, the course
was not a well established one for it was not a compulsory subject even the adult
students and their parents were able to avoid this course by unprogramming
WKLV )XUWKHUPRUH ,VODPLF 5HOLJLRQ (GXFDWLRQ GLG QRW GHWHUPLQH WKH VWXGHQWV·
education level and the evaluation was not stated in form of number but stated
qualitatively³good, moderate, poor.
Kata-kata Kunci:
Kebijakan, orde lama, sekolah, Pendidikan Agama Islam
baik sesuai harapan pemerintah.1 Bahkan, kan (ayat 1); Setiap warga negara wajib
untuk memastikan terwujudnya keingi- mengikuti pendidikan dasar dan peme-
nan tersebut, banyak negara menerapkan rintah wajib membiayainya (ayat 2);
kontrol sangat ketat terhadap program- Pemerintah mengusahakan dan menye-
program pendidikan, baik yang diseleng- lenggarakan satu sistem pendidikan na-
garakan sendiri oleh negara maupun sioQDO« D\DW µ Atas dasar ini, pemerin-
yang dilakukan masyarakat.2 Alasan lain tah Indonesia sejak merdeka hingga kini
intervensi pemerintah terhadap pendi- telah banyak melakukan kebijakan dalam
dikan warganya karena pendidikan yang bidang pendidikan untuk meningkatkan
diselenggarakan oleh masyarakat, teruta- kualitas warganya. Arah kebijakan pendi-
ma dalam hal pendidikan makro, tidak dikan nasional selalu diperbaharui sei-
akan memadai lebih-lebih di era kehi- ring dengan perkembangan zaman.
dupan masyarakat yang kian kompleks. Bagaimana dengan kebijakan peme-
Di samping itu, proses pendidikan yang rintah terkait pendidikan Islam? Di
dilakukan masyarakat tanpa keterlibatan Indonesia, dengan penduduk mayoritas
pemerintah, berpeluang terjadinya kon- muslim, hubungan agama dan negara
flik dan pertentangan dalam masyarakat cukup unik. Negara Indonesia dibangun
yang heterogen. Sejumlah masalah yang berdasarkan Pancasila, tidak berdasar
bisa menimbulkan konflik ketika diterje- agama tertentu. Karena itu, Indonesia
mahkan dalam praktik pendidikan bukan negara agama. Kendati demikian,
adalah keragaman agama dan keper- Indonesia tidak pula disebut sebagai
cayaan, adat istiadat, suku, daerah dan negara sekuler. Karena, Pancasila sebagai
ras, pengaruh budaya asing, respons atas dasar negara sangat apresiatif terhadap
kemajuan, organisasi, dan status sosial.3 agama dan penganutnya. Indonesia, me-
Oleh karena itu, untuk menghindari nurut Mahfud MD, lebih tepat disebut
konflik dan pertentangan yang tajam negara kebangsaan yang religius.4 Hal ini
antar warga masyarakat, maka dibutuh- tercermin dari sila pertama dalam Panca-
kan keterlibatan negara dalam mengelola VLOD \DQJ EHUEXQ\L ¶.HWXhanan Yang
pendidikan. 0DKD (VD · 'HQJDQ VLOD LQL QHJDUD PHOLQ-
Di Indonesia, keterlibatan pemerin- dungi semua penganut agama yang dia-
tah dalam bidang pendidikan selain kui di Indonesia. Perlindungan peme-
karena alasan di atas, juga merupakan rintah diwujudkan dalam bentuk membe-
amanat konstitusi, sebagaimana tertuang rikan kebebasan kepada setiap pemeluk
dalam batang tubuh UUD 1945, khusus- agama untuk melaksanakan ajaran aga-
nya pasal 31, yang berbunyi: ´6HWLDS manya dan pemberian bantuan agar
warga negara berhak mendapat pendidi- setiap penganut agama dapat mengem-
bangkan kehidupan beragama dengan
baik. Simbol apresiasi negara terhadap
1Kartini Kartono, Wawasan Politik Mengenai Sistem agama dan penganutnya ditunjukkan de-
Pendidikan Nasional (Bandung: Mandar Maju,
1990), hlm. 71.
ngan dibentuknya Kementerian Agama
2M. Saerozi, Politik Pendidikan Agama dalam Era
Pluralisme (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hlm. 4Mahfud MD: Indonesia bukan negara sekuler
tidak termasuk dalam kajian ini. Karena pada Pluralisme (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007).
umumnya sekolah swasta, terutama yang dikelola 8Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik
umat Islam, pendidikan agama lebih leluasa Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.
diajarkan. 26-29.
sekolah (negeri), uraian berikut akan dalam Kurun Setengah Abad (Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Agama, 1996), hlm.
33; Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, hlm. 17.
13Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah, hlm. 15Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia
Seksi IV (Balai Bahasa dan Himpunan Pendidik), Pendidikan (Bandung: Tjerdas, 1961), hlm. 166.
Seksi V (Konsentrasi Rencana Pelajaran, 28Dalam website berikut, misalnya, dapat dilihat
Desentralisasi, Biaya Pendidikan dan Pengajaran), tentang daftar pelajaran di SMA yang tidak
Seksi VI (Susunan Sekolah), Seksi VII (Perguruan mencamtumkan mata pelajaran agama:
Tinggi), dan Seksi VIII (Pendidikan Umum). Baca http://repository.upi.edu/866/5/T_PU_609_Cha
dalam Ibid., hlm. 40-45. pter3.pdf (diakses 25-9-2014)
Bahtiar Effendy untuk menunjuk sejumlah per- Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), hlm.
aturan pemerintah yang cenderung pro umat 358.
Islam. Baca lebih lanjut dalam Effendy, Islam dan 33Suryosubroto, Beberapa Aspek Dasar-Dasar
Negara, hlm. 278-302. Kependidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 46.
manusia susila yang cakap dan warga ´'DODP SDVDO LQL VDMD XVXONDQ
negara yang demokratis serta bersusila supaja tudjuan pendidikan dan
serta bertanggungjawab tentang kesejah- pengadjaran ini adalah untuk mem-
teraan masyaUDNDW GDQ WDQDK DLUµ 'DODP bentuk manusia jang tjakap sadja.
rumusan tujuan pendidikan tersebut Adapun jang mengenai susila itu,
tidak menyebut pentingnya membentuk supaja dihilangkan sadja, sebab me-
´PDQXVLD EHULPDQ GDQ EHUWDNZDµ nurut pendapat saja susila itu
Tentang hal ini tidak ada perdebatan matjam-matjam pokoknja. Umpama
pendapat di kalangan anggota BP KNIP sadja susila djelata dan susila
sebagai perumus undang-undang ketika pradja, maka kedua-keduanja susila
itu, walaupun anggota BP KNIP banyak itu bertentangan sama sekali. Djadi
yang berasal dari kalangan Islam (Masyu- kalau dalam pendidikan ini akan
mi dan Nahdlatul Ulama).34 Tidak dipakai kata-kata susila, maka itu
diketahui pasti mengapa para anggota BP seharusnja djuga dijelaskan apa
KNIP tidak mencanWXPNDQ NDWD ´PDQX- dasar kesusilaan jang akan dila-
VLD EHULPDQµ GDODP UXmusan tujuan kukan ini. Maka untuk tidak mem-
pendidikan nasional ketika itu. Padahal perpandjang rangkaian soal jang
dalam sila pertama Pancasila sangat jelas mengenai pasal ini dan djuga,
menyatakan bahwa Negara berdasar supaja tidak perlu diadakan pendje-
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. lasan, susila ini, supaja dihilangkan
Justru, perdebatan yang menge- VDGMD µ
muka dalam perumusan tujuan pendidi- Menanggapi pernyataan Kobarsih
kan nasional ketika itu adalah istilah itu, Menteri PP&K, S. Mangunsarkoro,
´PDQXVLD VXVLODµ GDQ ´ZDUJD QHJDUD memberikan penjelasan sebagai berikut:
yang demokUDWLVµ 35 3HQJHUWLDQ ´PDnusia ´$SD MDQJ GLPDGMXNDQ 6GU
VXVLODµ GLSHUGHEDWNDQ GDQ GLSHUWDQ\DNDQ Kobarsih memang kesusilaan berbe-
oleh beberapa anggota BP KNIP, di da. Tetapi djuga di situ segala
antaranya oleh Asarudin dan Kobarsih. perkataan mempunjai matjam-
Sedangkan anggota lainnya, seperti M.L. matjam arti. Maka dalam formu-
Latjuba, Sadjarwo, Kasman Singodi- laering terpaksa kita pakai arti jang
medjo, dan Dr. D.S. Dianipar setuju umum, akan tetapi nanti bisa
GHQJDQ SHQFDQWXPDQ NDWD ´VXVLODµ berwudjud jang dikehendaki masja-
Kobarsih berpendapat bahwa kata rakat seluruhnja. Sebab ternjata di
´VXVLODµ GDOam rumusan tujuan tersebut situ, jang dikehendaki adalah satu
mengandung banyak pengertian. Dalam matjam susila jang oleh masjarakat
tanggapannya, ia mengatakan: seluruhnja, tentu ini nanti jang
GLDPELO µ
Dalam perdebatan itu tidak
346DLG
diperoleh kata sepakat, ada yang men-
+DVDQ +DPLG ´3HUNHPEDQJDQ 3HQGLGLNDQ
'DVDU GDQ 0HQHQJDKµ GL
dukung pendapat Kobarsih untuk
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND PHQJKLODQJNDQ NDWD ´VXVLODµ GDQ DGD
._SEJARAH/194403101967101- yang ingin tetap mencantumkan kata
SAID_HAMID_HASAN/Makalah/Sejarah_Perke ´VXVLODµ .DUHQD WLGDN DGD NDWD VHSDNDW
mbangan_Pendidikan_Dasar_dan_Menengah.pdf keputusan akhir ditempuh melalui pemu-
(diakses 24-9-2014).
35Ibid. ngutan suara pada tanggal 26 Oktober
1949. Hasilnya, 6 suara setuju untuk kan atau tidak di sekolah pemerintah,
dihapus sedangkan 15 suara setuju untuk tetapi lebih pada apakah pendidikan
dipertahankan. AkhirQ\D NDWD ´VXVLODµ agama itu menjadi mata pelajaran wajib
tetap dipertahankan sebagaimana bunyi (verplictleervak) ataukah mata pelajaran
tujuan pendidikan di atas. fakultatif (tidak wajib). Perdebatan ten-
0HVNLSXQ ´PDQXVLD EHULPDQµ WL- tang hal ini mulai terjadi dalam sidang
dak tercantum dalam rumusan tujuan pada tanggal 26 Oktober 1949. Saat itu,
pendidikan nasional, pengajaran agama 0RKDPPDG 6MDIHL PHPEDFDNDQ ´1RWD
di sekolah telah mendapat perhatian $WMHKµ \DQJ GLtandatangani Teuku
dalam undang-undang tersebut. Hal ini Muhammad Daud Beureuh tanggal 16
tampak dengan dicantumkannya bab Oktober 1949), yang mengusulkan agar
tertentu tentang pengajaran agama di pendidikan agama menjadi mata pelaja-
VHNRODK \DLWX ´%DE ;,, WHQWDQJ 3HQJD- ran wajib di sekolah pemerintah. Isi
jaran Agama di Sekolah-6HNRODK 1HJHULµ OHQJNDS ´1RWD $WMHKµ WHUVHEXW VHEDJDL
terutama dalam pasal 20, dengan rumu- berikut:
san sebagai berikut: 1. Pendidikan agama supaya dijadikan
1. 3DVDO D\DW ´'DODP VHNRODK- mata pelajaran yang diwajibkan
sekolah negeri diadakan pelajaran (verplichtleervak);
agama, orang tua murid menetapkan 2. Supaya sekolah-sekolah agama dia-
apakah anaknya akan mengikuti pe- kui pengajarannya sebagai pengaja-
lajaran terseEXWµ D\DW ´&DUD ran sekolah pemerintah;
menyelenggarakan pengajaran agama 3. Supaya sekolah-sekolah agama dihar-
di sekolah-sekolah negeri diatur gai sebagai sekolah-sekolah peme-
dalam peraturan yang ditetapkan rintah;
oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran 4. Dalam hal percampuran pemuda dan
dan Kebudayaan bersama-sama pemudi (co-education) hendaknya ja-
0HQWHUL $JDPD µ ngan sampai bertentangan dengan
2. 3HQMHODVDQ SDVDO ´ D $SDNDK perasaan agama dan kebiasaan se-
suatu jenis sekolah memberi pe- tempat di Sumatera. 36
lajaran agama adalah tergantung Di pihak lain, tidak sedikit dari
pada umur dan kecerdasan murid- anggota BP KNIP yang mengusulkan
murinya; (b) Murid-murid yang su- agar pendidikan agama sebagai mata pe-
dah dewasa boleh menetapkan ikut lajaran fakultatif (tidak wajib). Gagasan
atau tidaknya ia dalam pelajaran ini diusulkan antara lain oleh Mr. Tam-
agama; (c) Sifat pengajaran agama bunan, Mr. Sartono, Rasuna Said, dan
dan jumlah jam pelajaran ditetapkan Sjamsuddin Sutan Makmur. Mr. Tam-
dalam undang-undang tentang jenis bunan (dari unsur Kristen), misalnya,
sekolahnya; (d) Pelajaran agama tidak mengingatkan akan pentingnya kebeba-
mempeQJDUXKL NHQDLNDQ NHODV DQDN µ san beragama masyarakat Indonesia yang
Namun, perlu diketahui bahwa berdasarkan Pancasila.37 Mr. Moh. Dali-
pencantuman ketentuan pengajaran aga- jono awalnya (dalam rapat tanggal 17
ma di sekolah tidak berjalan mulus,
36H.A.R. Tilaar, Lima Puluh Tahun Pembangunan
diawali dengan perdebatan sengit dan
panjang. Substansi perdebatan bukan Pendidikan Nasional 1945-1995 (Jakarta: Gramedia,
1995), hlm. 75.
pada apakah pendidikan agama diajar- 37Ibid.
Oktober 1949) setuju pendidikan agama islamis dan nasionalis, yang berakhir
berstatus wajib, tetapi kemudian dalam GHQJDQ ´NHNDODKDQµ NHORPSRN LVODPLV
rapat tanggal 21 Oktober 1949 mengubah karena gagal menjadikan Islam sebagai
pendapatnya. Mengakhiri perdebatan ke- dasar Negara.
tika itu, Ketua Sidang menyatakan: Kendati tidak ada perubahan
´3RNRNQMD EHJLQL 3HPHULQWDK tentang kedudukan pelajaran agama di
menjediakan peladjaran agama di sekolah (tetap sebagai mata pelajaran
sekolah-sekolah. Orang tua mem- fakultatif), keberadaan UU No. 20/1950
punjai kemerdekaan menetapkan tersebut menunjukkan bahwa dasar
apakah anaknja akan ikut apakah penyelenggaraan pendidikan agama di
tidak. Nanti bagaimana uitvoering- sekolah negeri semakin mantap, dari
nja EDJDLPDQD WMDUDQMD ´RUDQJ WXD awalnya hanya berdasar peraturan ber-
itu menetapkan anaknja ikut pela- sama menteri meningkat menjadi
GMDUDQ DJDPD DWDX WLGDNµ LWX XUXVDQ undang-undang.
peraturan jang lebih rendah. Tetapi Dalam perkembangan selanjutnya,
pokoknja kita tentukan di sini, pelaksanaan pendidikan agama di se-
bahwa orang tua itu mempunjai kolah ditegaskan kembali dalam UUDS
kemerdekaan untuk menetapkan, 195038, khususnya dalam pasal 41 ayat (3)
apakah anaknja turut peladjaran yang meQ\DWDNDQ ´3HQJXDVD PHPHQXKL
agama jang diberikan tertentu, jang kebutuhan akan pengajaran umum yang
diadakan dalam sekolah oleh diberikan atas dasar memperdalam pe-
3HPHULQWDK µ rasaan kemanusiaan, memperdalam kein-
Setelah itu, perdebatan tentang syafan kebangsaan, memperkuat perike-
status pendidikan agama di sekolah tidak manusiaan yang sama terhadap keyaki-
ditemukan lagi. Akhirnya, pada tanggal nan agama setiap orang dengan mem-
21 Oktober 1949 diputuskan bahwa kedu- berikan kesempatan dalam jam pelajaran
dukan pendidikan agama di sekolah
38UUDS 1950 adalah konstitusi yang berlaku di
bersifat fakultatif seperti yang tercantum
dalam pasal 20 tersebut. Negara RI sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluar-
kannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUDS 1950
Jika dipandang dari perspektif ditetapkan--dalam Sidang Pertama Babak ke-3
teori politik, perdebatan yang berakhir Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di
GHQJDQ ´NHNDODKDQµ NHORPSRN LVODPLV Jakarta--berdasarkan Undang-Undang No. 7 Ta-
tersebut cukup menarik, terutama apabila hun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara
dikaji dari perspektif teori domestikasi Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-
Undang Dasar Sosial Republik Indonesia. Konsti-
sebagaimana dikembangkan Harry J. tusi ini dinamakan "sosial", karena hanya bersifat
Benda. Teori ini menyatakan bahwa sementara, menunggu terpilih-
´SHUWDUXQJDQµ GXD NHORPSRN VHODOX DGD nya Konstituante hasil pemilihan umum yang
yang terkalahkan. Dalam kasus di atas, akan menyusun konstitusi baru. Pemilihan
kegagalan kelompok islamis menjadikan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara
demokratis, namun Konstituante gagal memben-
pendidikan agama sebagai mata pelajaran tuk konstitusi baru hingga berlarut-larut. Pada
wajib di sekolah, merupakan bukti tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menge-
kekalahan mereka dari kelompok na- luarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang antara
sionalis. Hal yang sama juga dapat dilihat lain berisi kembali berlakunya UUD 1945. Dikutip
dalam kasus perdebatan tentang pene- dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-
Undang_Dasar_Sementara_Republik_Indonesia
tapan dasar Negara antara kelompok (diakses 18 Juli 2014).
Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, Islam (Jakarta: Amissco, 1996), hlm. 27.
1986), hlm. 137. 48Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, hlm. 79.
Rumusan tujuan pendidikan nasio- tidak. Demikian pula murid dewasa, bisa
nal di atas ditegaskan kembali dalam Pe- menentukan sendiri untuk mengikuti
netapan Presiden No. 19/1965 tentang pelajaran agama atau tidak. Selain itu,
Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasi- mata pelajaran agama tidak menentukan
onal. Dalam PenPres ini rumusan tujuan kenaikan kelas/kelulusan, dan nilai
pendidikan nasional sama persis seperti pelajaran agama tidak dinyatakan dalam
yang dirumuskan dalam Keputusan Pres- bentuk angka, melainkan dalam bentuk
iden RI No. 145/1965. pernyataan baik, sedang, atau kurang. []
Rumusan tujuan pendidikan nasio-
nal di atas jelas sekali mulai bergeser ke
arah kiri. Tampak sekali hal tersebut di- Daftar Pustaka
warnai oleh filsafat sosialisme yang dia-
nut paham komunis. Ide dasar dari ke- Abdurahman, Dudung. Metodologi
tentuan-ketentuan di atas ialah bagai- Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-
mana mensosialisasikan nilai-nilai sosia- Ruzz Media, 2007.
lisme (termasuk jiwa Manipol-USDEK) Almanak 1974. Direktorat Pendidikan
yang dianut oleh pemerintah ke dalam Agama Ditjen Bimas Islam
dunia pendidikan. Beruntung, PenPres Departemen Agama, t.th.
No. 19/1965 dan KepPres No. 145/1965 Assegaf, Abd. Rachman. Politik Pendidikan
belum sempat dilaksanakan, karena Nasional; Pergeseran Kebijakan Pendi-
munculnya peristiwa G 30 S/PKI. Namun dikan Agama Islam dari Praproklamasi
demikian, sebenarnya ketentuan-keten- ke Reformasi. Yogyakarta: Kurnia Ka-
tuan tersebut telah menjiwai pelaksanaan lam, 2005.
pendidikan di Indonesia di masa sebe-
Azra, Azyumardi dan Saiful Umam.
lumnya. Menteri-Menteri Agama RI Biografi
Sosial Politik. Jakarta: INIS-PPIM-
Penutup
Badan Litbang Agama Departemen
Berdasar uraian di atas dapat
Agama, 1998.
dipahami bahwa selama kurun orde
lama, PAI telah ditetapkan secara resmi Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara:
sebagai mata pelajaran yang diajarkan di Transformasi Pemikiran dan Praktik
sekolah negeri, awalnya di tingkat SD Politik Islam di Indonesia. Jakarta:
kemudian meningkat di SMP dan SMA Paramadina, 1998.
dan bahkan di perguruan tinggi. Suatu (UPDQ (UZL]D GDQ 6XGLEMR ´.1,3µ
yang hanya menjadi keinginan belaka dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia
selama masa penjajahan. Namun, kedu- 3. Jakarta: Delta Pamungkas, 1997.
dukan mata pelajaran PAI di sekolah Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj.
selama orde lama belum kokoh. Sampai Nugroho Notosusanto. Jakarta: UIP
masa orde lama berakhir, pelajaran aga- Press, 2006.
ma tidak menjadi mata pelajaran wajib,
Gunawan, Ary H. Kebijakan-Kebijakan
hanya bersifat fakultatif/pilihan. Karena
Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina
sebagai mata pelajaran pilihan, dalam
Aksara, 1986.
tataran implementasi orang tua murid
berwenang menentukan apakah anaknya Hamid, Said +DVDQ ´3HUNHPEDQJDQ
akan mengikuti pelajaran agama atau 3HQGLGLNDQ 'DVDU GDQ 0HQHQJDKµ
Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam
dalam Politik Orde Baru. Jakarta: di Indonesia. Jakarta: Hidakarya
Gema Insani Press, 1996. Agung, 1996.
Tilaar, HAR. Lima Puluh Tahun Pem-
bangunan Pendidikan Nasional 1945-
1995. Jakarta: Gramedia, 1995.
ÐÐÐ