Anda di halaman 1dari 4

Anggota : 1.

Dian Novitasari 19/439515/SA/19659 (23)

2. Dita Melani 19/439516/SA/19660 (24)

Judul Artikel : Contemporary Religious Education Model On The Challenge of

Indonesian Multiculturalism

I. Introduction
Jurnal ini membahas mengenai masalah pendidikan agama dalam kaitannya dengan
tantangan multikulturalisme agama yang ada di Indonesia. Indonesia bukanlah negara
sekuler ataupun negara Islam tetapi negara yang memiliki beragam agama dan
kepercayaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya Pancasila sebagai ideologi bangsa dan
UUD 1945. Meskipun Indonesia tidak mendeklarasikan sebagai negara sekuler atau negara
Islam, kenyataannya masyarakat Indonesia terkenal dengan negara yang beragama dan
kehidupan sosial multikulturalisme. Dalam hal ini, masyarakat Indonesia diberi kebebasan
untuk memeluk salah satu diantara agama atau kepercayaan tersebut.

Pemerintah memberi perhatian khusus terhadap kehidupan dan pendidikan agama


untuk sekolah formal. Perkembangan pendidikan agama dihadapkan dengan tantangan
yaitu adanya perbedaan dan multikulturalisme di Indonesia. Hal ini menyebabkan
pemerintah harus menerapkan program yang tepat.dengan tujuan memberikan nilai agama.
Mengubah pembelajaran agama dari eksklusif ke inklusif yang akan membuat pendidikan
agama lebih tepat, relevan, dan sesuai Indonesia.

II. Good Points

Kontribusi Artikel
Jurnal ini memberikan kontribusi mengenai gambaran dinamika pendidikan agama
yang terjadi di Indonesia pada masa awal kemerdekaan hingga sekarang. Dengan cara
mengetahui jenis pendidikan agama yang tepat diharapkan dapat menghadapi tantangan
multikulturalisme agama di Indonesia melalui konsep multikulturalisme dan teori
pendidikan agama. Oleh karena itu, diperlukan perubahan model yang tepat dalam
pendidikan agama.

Argumentasi
Untuk menghadapi tantangan multikulturalisme di Indonesia adalah memikirkan
ulang mengenai konsep dan praktek pendidikan agama. Pertama, misi dan fungsi dari
pendidikan agama adalah membuat agama menjadi berarti dalam kehidupan manusia dan
tidak memimbulkan ketidakharmonisan serta ketegangan diantara masyarakat yang
berbeda keyakinan. Kedua, orientasi dari pendidikan agama tidak hanya mempelajari
agama tertentu tanpa menghubungkan dengan agama yang lain. Ketiga, untuk menghadapi
tantangan dari multikulturalisme di Indonesia diperlukan perubahan model pendidikan
agama dari “in” menjadi “at” dan “beyond” the wall.

Model ini membentuk individu untuk memiliki kemampuan menerima, menghargai


nilai perbedaan, juga berkemampuan untuk berinteraksi, negosiasi, dan berkomunikasi
dengan masyarakat yang berbeda keyakinan.

Bagian-bagian Artikel

a. Teori
Michael Gimmit membagi pendidikan agama berupa “learning religion, learning
about religion, and learning from religion”. Pertama, learning religion merupakan transmisi
dari pendidikan budaya, kepercayaan, dan nilai dari genederasi ke generasi. Kedua,
learning about religion merupakan mempelajari agama secara obyektif dan deskriptif tidak
hanya menyerap atau menerima nilai agama. Ketiga, learning from religion berupa
mengambil dari beberapa nilai dari agama seperti, manfaat apa yang diperoleh oleh
individu yang belajar agama, bagaimana agama dapat berkontribusi untuk menerangi
masalah manusia, dan bagaimana agama dapat membentuk karakter dalam diri pelajar.

Jurgen Habermas juga membagi menjadi tiga model dari pendidikan yakni
pengetahuan teknis, interpretasi, dan emansipasi. Poin tepenting adalah bagaimana dapat
menempatkan pendidikan agama sebagai disiplin emansipatoris dalam ilmu sosial kritis,
yang tujuannya adalah kebebasan manusia.

Teori lain dari pendidikan agama diusulkan oleh Jack Seymour. Ia membagi model
pendidikan agama menjadi dua model: pendidikan agama “in the wall” dan pendidikan
agama “at the wall”. Seymour berpendapat bahwa pendidikan agama “in the wall” adalah
model pendidikan agama bahwa hanya berfokus pada satu agama, tanpa
menghubungkannya dengan agama yang lain. Sedangkan model pendidikan agama “at the
wall” adalah model pendidikan agama yang tidak hanya berfokus pada satu agama,
melainkan menghubungkan dengan agama yang lainnya dan menggunakan istilah umum
untuk berbicara kepada dunia atau kepercayaan lain. Kemudian Tabita K. Christiana
melengkapi teori model dengan menambahkan pendidikan agama “beyond the wall”
merupakan membantu siswa untuk bekerja sama dengan orang lain yang memiliki
kepercayaan yang berbeda untuk menciptakan kedamaian, keadilan, dan keharmonisan.

b. Dinamika Pengembangan Pendidikan Agama


Pendidikan agama telah diperkenalkan ke pendidikan formal sejak awal
kemerdekaan dan bagian dari sistem pendidikan nasional. Undang-Undang Pendidikan No.
2/1989 dan kemudian direvisi oleh No. 20/2003.merupakan indikasi bahwa negara
memberikan perhatian serius pada pendidikan agama, meskipun Indonesia bukan negara
sekuler atau negara Islam.

Pendidikan agama mengalami dinamika dan fluktuasi dalam praktiknya. Dalam


konsepsi awal pendidikan agama, itu hanya diajarkan di kelas 4 sampai 6. Namun,
pengecualian dibuat untuk daerah-daerah tertentu yang memiliki tradisi keagamaan yang
sangat kuat, di daerah seperti itu pendidikan agama telah diperkenalkan sejak kelas satu.
Sejak era Orde Baru, pendidikan agama adalah pelajaran wajib dari sekolah dasar hingga
universitas sebagaimana dinyatakan dalam UU Pendidikan No. 2/1989, dan bahkan dalam
UU Pendidikan No. 20/2003, Bagian 12, paragraf 1, bagian a, menyatakan bahwa “Setiap
siswa di setiap unit pendidikan memiliki hak untuk menerima pendidikan agama dengan
keyakinannya sendiri dari seorang guru dari agama itu.” Bagian ini telah menyebabkan
perdebatan serius dan kontroversi di media massa untuk waktu yang cukup lama antara
mereka yang mendukung dan menentang.

Pemerintah membentuk tiga komite untuk mengelola pendidikan agama hanya


dalam lima tahun (1947-1952), dimulai dari Dewan Pertimbangan Pengajaran Islam pada
tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantoro dan Prof. Drs. Abdullah Sigit,
kemudian pada tahun 1950 pemerintah membentuk komite baru yang dipimpin oleh Prof.
Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, dan pada tahun 1952 pemerintah membentuk komite lain yang dipimpin oleh
KH. Imam Zarkasyi.

Pada awal 1980-an, beberapa tahun sebelum kurikulum nasional 1984 dirilis, ada
saran untuk memasukkan kurikulum perbandingan agama sebagai bagian dari kurikulum
nasional di sekolah menengah atas, tetapi ditolak oleh beberapa kelompok Muslim, dengan
alasan bahwa dapat mengurangi dan melemahkan keyakinan siswa. Ini berarti bahwa di
masa lalu, pernah ada ide untuk merumuskan kurikulum pendidikan agama yang berisi
agama perbandingan agar siswa yang berbeda agama saling mengenal dan menghormati
satu sama lain.

III. Kritisi

Pertanyaan
Jurnal ini menjelaskan mengenai metode pembelajaran agama yang efektif bagi
masyarakat multikulturalisme di Indonesia dan bagaimana pertentangan yang diajukan
oleh para orang tua murid. Akan tetapi, bagaimanakah respon murid sebagai subjek yang
akan melaksanakan pembelajaran itu sendiri. Apakah mereka mau dan mampu untuk
menerapkan metode pembelajaran agama dengan konsep “at the wall” atau “behind the
wall” yakni mereka tidak hanya mempelajari tentang agama yang dianutnya, tetapi juga
agama di luar kepercayaannya. Selain itu, apakah dengan menggunakan metode
pembelajaran ini pihak sekolah tidak merasa kesulitan untuk mencari guru yang menguasai
bidang agama tertentu yang tergolong masih sedikit penganutnya. Misalnya yaitu penganut
agama Konghucu di Indonesia masih tergolong sedikit, maka untuk mencari guru agama
Konghucu akan sulit dan belum tentu dapat memenuhi permintaan semua sekolah di
Indonesia.

Kritik
Isi dari jurnal sebagian besar hanya menggunakan studi kasus yang terjadi pada
sekolahsekolah yang berbasis agama Islam dan Kristen. Padahal di Indonesia masih
terdapat beberapa agama lain seperti Hindu, Buddha, Katolik, dan Konghucu. Kurangnya
contoh kejadian atau sudut pandang dari sekolah berbasis agama selain agama Islam dan
Kristen membuat jurnal ini menjadi kurang luas dalam pembahasannya. Selain itu, penulis
juga tidak memberikan contoh apakah metode pembelajaran agama “at the wall” dan
“behind the wall” telah berhasil diterapkan di suatu negara yang dapat dijadikan sebagai
acuan.

IV. Tanggapan
Penulis dalam jurnal ini menyatakan bahwa metode pembelajaran agama dengan
konsep “at the wall” yang berarti bahwa murid tidak hanya mempelajari tentang agama
yang dianutnya cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki masyarakat multicultural.
Dengan mempelajari pengetahuan tentang agama lain, akan membuat murid sadar bahwa
semua agama yang ada adalah benar. Hal ini maksutnya yaitu bahwa kebenaran tidak hanya
dimiliki oleh salah satu agama saja, serta hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan sikap
toleransi antar sesama. Saya memiliki pendapat yang sama dengan penulis bahwa dengan
menerapkan metode pembelajaran tersebut akan meningkatkan sikap toleransi masyarakat.
Namun, hal itu juga tentunya akan menjadi salah satu tantangan yang besar untuk
memulainya mengingat Indonesia bukanlah negara sekuler maupun negara agama. Akan
ada pertentagan dari pihak-pihak tertentu yang khawatir jika nantinya murid akan
terpengaruh oleh salah satu agama lain dan membuatnya keluar dari agama asalnya.
Dibalik banyaknya tantangan yang ada, menurut saya tidak ada salahnya jika Indonesia
mencoba memulai untuk menerapkan metode tersebut. Dengan kerjasama yang baik antara
pihak masyarakat, sekolah, dan pemerintah dalam membuat kebijakan, tentunya hal ini
dapat direalisasikan. Metode pembelajaran ini juga akan memberikan manfaat yang banyak
bagi negara, salah satunya yaitu menumbuhkan sikap toleransi yang akan mengurangi
tindakan kejahatan atau kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Anda mungkin juga menyukai