Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya
dualisme atau dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-ilmu
agama di sisi lain. Salah satu contohnya adalah dikotomi institusi pendidikan antara
pendidikan umum dan pendidikan agama yang telah berlangsung semenjak Indonesia
mengenal sistem pendidikan modern. Dikotomi keilmuan berimplikasi kepada aspek-aspek
pendidikan di umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan
pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan maupun proses pembelajaran.

Di kalangan masyarakat Islam berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-


ilmu agama Islam lebih patut dipelajari oleh umat Islam, sementara ilmu-ilmu umum
dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut
dipelajari. Lembaga-lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu umum mempunyai keunggulan
dari sisi rasionalitas dan metodologi ditambah dengan pengayaan dibidang skill, tapi minus
pengayaan moral. Lembaga-lembaga ini hanya mampu menghasilkan out-put mahasiswa
yang cerdas tapi kurang memiliki kepekaan etika dan moral. Sebaliknya lembaga-lembaga
yang mengajarkan ilmu-ilmu agama mempunyai keunggulan dari sisi moralitas tetapi
minus tradisi rasional, meskipun memiliki keunggulan pada moralitas tetapi lemah secara
intelektual.
Cara pandang ini, kemudian berimplikasi terhadap cara pandang sebagian umat
Islam terhadap pendidikan. Sebagian umat Islam hanya memandang lembaga-lembaga
pendidikan yang berlabel Islam yang akan mampu mengantarkan anak-anak dan generasi
mudanya mencapai cita menjadi Muslim sejati demi mencapai kebahagiaan di dunia dan
di akhirat. Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan “umum” dipandang sebagai
lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusif mengantarkan anak-anak dan generasi ke
masa depan yang agamis. Pemikiran tentang integrasi ilmu dan agama di lembaga
pendidikan Islam di Indonesia selama ini masih belum dapat dirumuskan dalam suatu
bentuk jelas, terstruktur dan sistematis. Pada karya ilmiah ini akan dibahas mengenai

1
sejarah awal mula terjadinya dikotomi dan dualisme keilmuan di Indonesia dan proses
integrasi ilmu di Indonesia sebagai solusi dari fenomena tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu dikotomi dan dualisme keilmuan?
2. Bagaimanakah awal mula terjadinya dikotomi dan dualisme keilmuan di Indonesia?
3. Apakah implikasi dari dikotomi dan dualisme keilmuan?
4. Bagaimanakah proses integrasi keilmuan di Indonesia?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dikotomi dan dualisme keilmuan
2. Mengetahui awal mula terjadinya dikotomi dan dualisme keilmuan di Indonesia
3. Mengetahui implikasi dari dikotomi dan dualisme keilmuan
4. Mengetahui proses integrasi keilmuan di Indonesia

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dikotomi dan Dualisme Keilmuan

Istilah dikotomi berasal dari bahasa Inggris, yaitu dichotomy yang berarti
pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian.1 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, dikotomi diartikan pembagian dalam dua kelompok yang saling
bertentangan.2 Sedangkan menurut al-Faruqi, dikotomi merupakan dualisme religius dan
kultural. Jadi, arti dasar dari dikotomi adalah memisahkan sesuatu yang padu menjadi dua
hal yang berbeda sehingga tampak bertentangan. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat
dirumuskan bahwa yang dimaksud dikotomi pendidikan adalah memisahkan kelompok
mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum untuk disampaikan kepada peserta didik
di sekolah/madrasah.3 Dari simpulan tersebut, bisa dimaknai bahwa pada mulanya ilmu
pengetahuan itu disampaikan dalam satu-kesatuan, integral, dan saling berhubungan.
Namun setelah keilmuan tersebut dipengaruhi oleh banyak hal, akhirnya ilmu pengetahuan
itu dipisah menjadi dua keilmuan yang tampak saling bertentangan, seperti kelompok ilmu
pengetahuan agama dan kelompok ilmu pengetahuan umum.

Setelah memahami makna dikotomi pendidikan, maka selanjutnya akan dijelaskan


pula definisi dualisme pendidikan. Sebenarnya istilah dualisme itu lebih tepat dirujuk
maksudnya dari bahasa Latin. Dualisme itu berasal dari dua kata, dualis atau duo berarti
dua, sedangkan ismus itu berfungsi dalam membentuk kata nama dalam sebuah kata kerja.
Jadi, dualisme adalah keadaan yang menjadi dua, dan ia adalah suatu sistem atau teori yang
bersandarkan pada dua prinsip yang menyatakan bahwa ada dua substansi.

Berdasarkan uraian di atas, jika dikotomi dan dualisme tersebut dihubungkan dalam
konteks pendidikan di Indonesia, maka bisa dipahami bahwa dikotomi dan dualisme

1
John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia Utama, 1992), hlm. 180.
2
Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),
hlm. 205.
3
Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 37.

3
merupakan pemisahan keilmuan menjadi dua kelompok, yaitu ilmu pengetahuan
keagamaan dan ilmu pengetahuan umum. Namun, dari kedua istilah itu, terdapat dua
perbedaan yang cukup signifikan, yaitu dikotomi lebih terfokus pada aspek isi atau konten
materi, sedangkan dualisme itu lebih mengarah pada sistem pengelolaan pendidikan,
seperti madrasah di bawah naungan Kementerian Agama dan sekolah di bawah payung
Kementerian Pendidikan Nasional.

Dikotomi ilmu secara umum dalam pendidikan di dunia Muslim disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain: pertama karena stagnasi pemikiran. Dalam hal ini stagnasi
memiliki pengertian yaitu keadaan terhenti (tidak maju), atau maju tetapi sangat lambat
mengenai pemikiran. Hal ini terjadi pada abad ke 16-17 Masehi yang berimbas dari politik
dan budaya. Masyarakat lebih melihat pada kejayaan sehingga lupa pada kenyataan yang
terjadi di sekitarnya. Kedua, penjajahan yang dilakukan oleh Barat pada dunia Muslim
yang dalam sejarah dicatatkan terjadi pada abad 18-19 M yang mana dengan kekuasaan
imperialisme Barat menyebabkan dunia Muslim tidak berdaya ditambah lagi budaya dan
peradaban modern Barat. Pendidikan Barat telah mendominasi pendidikan budaya
tradisional dimana pendidikan Barat telah menggantikan ilmu-ilmu akhlak karena memang
pendidikan Barat adalah pendidikan yang tidak begitu melihat pada aspek akhlak dari
peserta didik. Ketiga, modernisasi atas dunia Barat. Modernisasi ini muncul sebagai suatu
perpaduan antara ideologi Barat, teknikisme dan nasionalisme.4

4
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm. 15.

4
B. Sejarah Awal Mula Dikotomi dan Dualisme Keilmuan di Indonesia

Persoalan dikotomi dan dualisme terasa sudah mendarah-daging dalam pendidikan


di Indonesia. Hal ini lantaran dikotomi dan dualisme itu sudah ada sejak lama, tepatnya
ketika Belanda menjajah negeri ini.5 Latar belakang munculnya dikotomi dan dualisme
dalam pendidikan itu didasarkan pada beberapa kepentingan Belanda sebagai bangsa
penjajah, seperti: untuk meningkatkan pengetahuan mereka berkaitan dengan ilmu-ilmu
umum dan pengetahuan tentang masyarakat Indonesia, keperluan tenaga pembantu rumah
tangga dari penduduk pribumi sehingga mereka diberikan pendidikan secukupnya, ingin
mendapatkan simpati dari warga penduduk pribumi karena jasa pendidikan yang diberikan,
kepentingan misionaris, dan lain sebagainya.6

Pendidikan yang diterima rakyat pribumi tentu tidak sama dengan apa yang
didapatkan oleh orang-orang Belanda. Perlakuan diskriminasi dalam soal pendidikan
sangat kentara, seperti diberlakukannya sistem dualisme pendidikan, yaitu: ada sekolah
khusus untuk orang Belanda dan ada juga sekolah khusus untuk pribumi (pesantren,
madrasah), ada sekolah khusus orang-orang kaya dan ada pula sekolah khusus untuk
rakyat-rakyat miskin, bahkan ada lagi sekolah yang diberikan kesempatan untuk
melanjutkan pelajaran, tapi ada juga sekolah yang tidak diberikan izin untuk melanjutkan
pelajaran.

Berdasarkan dualisme yang diciptakan seperti itu, terlihat jelas bahwa pendidikan
yang diberikan bukan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan taraf kehidupan
masyarakat, namun lebih ditujukan untuk mempertahankan perbedaan sosial agar
masyarakat pribumi tetap terpecah belah. Hal ini sejalan dengan sistem politik devide et
impera Belanda, yaitu politik adu domba, dengan cara memecah kelompok besar menjadi
kelompok-kelompok kecil agar tidak ada kekuatan besar yang mengancam dan mampu
untuk mengalahkan Belanda. Tidak heran, selama Belanda menjajah Indonesia, rakyat
sangat miskin, terbelakang dari pendidikan, bahkan pribumi yang tergolong kaya dan
punya kekuasaan seringkali menindas saudaranya sendiri. Hal itu menunjukkan bahwa

5
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Amissco, 1996), hlm. 22.
6
Fauzan Suwito, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13
hingga Abad 20 M, (Bandung: Angkasa, 2004), hlm. 159.

5
politik Devide et Impera Belanda itu benar-benar sukses diterapkan di Indonesia selama
350 tahun, dan salah satu jalurnya yang digunakan adalah pendidikan dengan sistem
dualisme.

Melalui sistem dualisme tersebut, ternyata pemerintah Belanda dengan mudah


mengawasi dan mengontrol secara ketat pendidikan yang dilaksanakan oleh rakyat
pribumi. Salah satu kebijakan Belanda untuk mengawasi pelaksanaan pendidikan Islam di
pesantren atau madrasah, adalah dengan penerbitan Ordonansi Guru, yaitu setiap guru
agama wajib memiliki surat izin dari pemerintah Belanda.7 Selain kebijakan itu, ada juga
kebijakan Belanda yang dikenal dengan nama Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School
Ordonantie), yaitu penutupan sekolah atau madrasah yang tidak memiliki izin atau
mengajarkan mata pelajaran yang tidak disenangi oleh pemerintah. Kebijakan lainnya
adalah peraturan mengenai netral agama di sekolah umum,8 seperti yang tertera di dalam
Indische Staatsregeling bahwa pendidikan umum itu netral, artinya pengajaran yang
diberikan harus menghormati keyakinan masing-masing.9

Untuk memaksimalkan sistem pengawasan yang dilakukan, maka pemerintah


Hindia Belanda membentuk dua lembaga kedepartemenan, yaitu Departemen van
Onderwijst en Eerendinst yang bertugas untuk mengawasi pengajaran agama di sekolah
umum, dan Departemen van Binnenlandsche Zaken yang bertugas untuk mengawasi
pendidikan Islam di lembaga-lembaga pendidikan Islam,10 seperti pesantren dan madrasah.
Dari sinilah mulainya sistem dualisme dalam pendidikan itu terbentuk. Ironisnya, ketika
Belanda kalah, Indonesia kembali di jajah Jepang, dan ketika Jepang juga berhasil diusir
dari Indonesia, tapi sistem pendidikan yang dualisme tersebut masih tetap dipertahankan
hingga saat ini.

Sedangkan mengenai dikotomi pendidikan, istilah tersebut telah lama ada. Menurut
pemikiran al-Faruqi,11 munculnya dikotomi tersebut disebabkan oleh imperialisme dan
kolonialisme Barat atas dunia Islam, serta adanya pemisahan antara pemikiran dan aktivitas

7
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 115.
8
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 2008), cet. IX, hlm. 150.
9
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan,(Jakarta: PT
RajaGradindo Persada, 2009), hlm. 125
10
Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 55.
11
Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 37.

6
di kalangan umat Islam. Rembesan dikotomi yang melanda dunia Islam tersebut, ternyata
hingga ke Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan oleh mayoritas dari penduduk Indonesia
yang beragama Islam. Apalagi pengaruh jajahan dari Belanda dan Jepang, tampaknya
semakin memperkuat eksistensi dikotomi pendidikan yang hingga saat ini belum teratasi.

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya


bersifat menekan dan membatasi karena kekhawatiran akan munculnya militansi kaum
muslimin terpelajar. Wujud kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menekan itu
misalnya, tercermin dalam ordonansi guru pada 1905 kemudian diperbarui pada 1926 yang
mewajibkan guru-guru agama memiliki surat izin mengajar. Pengalaman penjajahan yang
direpotkan perlawanan rakyat di Cilegon pada 1888 yang dikenal sebagai pemberontakan
petani Banten, misalnya, dipengaruhi oleh kyai-kyai pesantren dan pemimpin tarekat
menjadi pelajaran serius untuk menerbitkan peraturan tersebut. Selain itu juga ordonansi
sekolah liar sejak 1932 yang dimaksudkan untuk mengawasi sekolah swasta yang
diselenggarakan orang Indonesia dan Timur asing lainnya. Kebijakan itulah yang memicu
madrasah dan pesantren mengisolir diri dari dunia luar dengan tetap mengajarkan pelajaran
agama. Masing-masing institusi pendidikan tersebut mempunyai sistem pendidikan yang
secara diameteral berbeda dan dikotomik. Terdapat kutipan yang menggambarkan
mengenai dua sistem pendidikan di Indonesia yang berakar sejak jaman kolonial Belanda
di Indonesia tersebut. Kutipan tersebut bertuliskan sebagai berikut:

“Within the context of Indonesia history during the Dutch colonial government,
there were at least two types of education system in Indonesia, western-style schools or the
Dutch educational system and the traditional Islamic education system. The Dutch colonial
government offered the first system, that is, the secular or western educational system,
which initially aimed at preparation students to work administration staff and
professionals in the lowest level of the Dutch government…. The second type of school was
the pesantren (Islamic boarding schools), which mainly opted for training in religious
education based on the kitab kuning (Arabic classical text).”

Kutipan di atas menunjukkan, setidaknya, dua hal. Pertama, dualisme sistem


pendidikan formal di Indonesia telah berlangsung sejak jaman kolonial Belanda, yakni satu
sisi terdapat sistem pendidikan pemerintah Belanda, dan di sisi lain terdapat sistem

7
pendidikan tradisional Islam (yakn pesantren). Kedua, kedua jenis sistem pendidikan
tersebut dibedakan pula dari sudut tujuan. Sekolah Pemerintah Belanda dimaksudkan
untuk menghasilkan pekerja administrasi rendah untuk dipekerjakan di Pemerintahan
Belanda. Sedangkan Pesantren dimaksudkan sebagai tempat belajar dan latihan bagi para
siswa (santrinya) dengan berbasis pada kitab kuning (teks-teks klasik berbahasa Arab).
Dalam kategori yang sejalan dengan pesantren ini adalah Meunasah, Rangkang, Dayah,
dan Surau. Jika pesantren dianggap identik dengan Jawa, maka Meunasah, Rangkang, dan
Dayah identik dengan Aceh, sedangkan Surau identik dengan Sumatra Barat.12 Institusi
pendidikan lokal Indonesia (pesantren, meunasah, rangkang, dayah, dan surau) pada masa
awal islamisasi Nusantra memainkan peran yang cukup banyak. Pertama, menjadi pusat
Islamisasi, tempat dimensi institusional (nilai-nilai) Islam disosialisasikan kepada
penduduk pribumi, melalui berbagai cara, kegiatan, dan media. Kedua, pemelihara dari
nilai-nilai tradisional Islam; dan ketiga, sebagai pusat pendidikan Islam dan mencetak
kader-kader dakwah Islam (da’i dan atau muballigh).8

Pada masa selanjutnya, ketika masa penjajahan Hindia Belanda (dan Jepang),
institusi-instusi pendidikan Islam tradisional di atas menambah fungsi dan perannya, yakni
sebagai pusat perlawanan dan resistensi terhadap kolonialisme dan imperialisme (Barat-
Kristen). Di sisi lain, institusi pendidikan tradisional ini juga merupakan “lawan” dari
institusi pendidikan yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda dan lainnya. Dalam
kiprahnya semua institusi pendidikan yang ada saat itu secara diameteral sangat berbeda
dan menghasilkan sistem pendidikan yang berbeda pula.

12
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 23-28.

8
C. Implikasi Dikotomi dan Dualisme Keilmuan

Secara umum, menganalisis dan mengevaluasi implikasi logis sesuatu terhadap


sesuatu yang lain adalah dengan melihat keadaan sebelum dan sesudah sesuatu itu terjadi.13
Pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren dikelola oleh
Departemen Agama, sedangkan pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah
menengah, dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen
Pendidikan Nasional.

Dalam Islam, kehadiran dikotomi keilmuan ternyata menjadi salah satu penyebab
kemunduran umat Islam dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu sejak abad ke-16
sampai abad ke-17, dan masa tersebut lebih dikenal dengan abad stagnasi pemikiran
Islam.14 Kemunduran tersebut lebih disebabkan ketidakmampuan umat Islam dalam
mengungkapkan relevansi Islam yang terfokus pada tiga sumbu tauhid, yaitu: kesatuan
pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan sejarah.15

Setidaknya ada empat dampak dari dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu
agama, yaitu:

Munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam, dimana selama ini, lembaga-


lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga
pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fi al-din yang menganggap persoalan mu’amalah
bukan garapan mereka. Sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan
memasukkan kurikulum pendidikan umum ke dalam lembaga-lembaga tersebut telah
merubah citra pesantren dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-din tersebut.
Akibatnya, telah terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya menjadi
stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan modern yang sekuler.

Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem
pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-
ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Pandangan tersebut jelas bertentangan dengan

13
Baharuddin, Dikotomi Pendidikan Islam: Historitas dan Implikasi Pada Masyarakat Islam, (Bandung:
Remaja Rosydakarya, 2011), hlm. 207.
14
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), hlm. 130.
15
Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Wahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. ix.

9
konsep ajaran Islam sendiri yang bersifat integral, dimana Islam mengajarkan harus adanya
keseimbangan antara urusan dunia dan urusan akhirat.

Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing sistem


pendidikan (umum/Barat dan agama/Islam) berusaha mempertahankan eksistensinya.

Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini disebabkan


sistem pendidikan Barat yang pada kenyataannya kurang menghargai nilai-nilai kultural
dan moral telah dijadikan tolok ukur kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan
Indonesia.16

Dampak-dampak di atas masih tergolong dalam bagian terkecil dari adanya


dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam. Masih banyak dampak lain yang lebih
menakutkan, seperti lulusan Perguruan Tinggi Islam yang sulit mencari pekerjaan,
rapuhnya metodologi pendidikan Islam, dan lain sebagainya. Menurut sintesa Malik Fajar,
sebenarnya pendidikan Islam yang berbasis di pesantren itu memiliki tradisi yang kuat
dalam transmisi keilmuan Islam klasik, namun karena kurangnya improvisasi metodologi,
akhimya transmisi tersebut hanya memunculkan penumpukan keilmuan, bahkan muncul
anggapan bahwa ilmu tidak perlu ditambah lagi atau sudah mencapai finalnya, dan ini
mengindikasikan lemahnya kreativitas umat Islam.17

Pada sisi lain, akibat adanya dikotomi pendidikan, maka pendidikan umum sebagai
“rival” dari pendidikan agama yang sangat kurang menerima asupan nilai keagamaan,
memiliki dampak yang lebih mengerikan. Dampak dimaksud, seperti: menggunakan
pengetahuan untuk kejahatan, tawuran, pemikiran sekuler, atheis, dan lain sebagainya.
Semua itu adalah buah dari pendidikan atau pengetahuan umum yang jauh dari sentuhan
agama akibat dari adanya dikotomi. Pendek kata, tidak ada pendidikan yang sempurna jika
pola dikotomi masih digunakan, karena antara pengetahuan agama dan pengetahuan umu
saling memerlukan dan melengkapi satu sama lainnya.

Begitu pula dengan sistem dualisme dalam pendidikan, tentu akan sangat sulit
untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Dalam teknis operasionalnya juga akan

16
Armai Arief, Op. Cit., hlm. 131-132.
17
Malik Fajar, Sintesa antara Perguruan Tinggi dan Pesantren, dalam Bilik-bilik Pesantren karya
Nurcholish Madjid, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 114.

10
mengalami benturan kebijakan antar lembaga, sehingga hal ini bisa memicu persaingan
yang tidak sehat. Selain itu, untuk menciptakan keadilan juga sangat sulit, seperti dalam
pembagian dana pada masing-masing sekolah dan madrasah. Hal ini sangat nyata terjadi
bahwa alokasi dana untuk sekolah umum yang berada di bawah Kementerian Pendidikan
Nasional lebih besar porsinya ketimbang dana untuk madrasah yang berada di bawah
Kementerian Agama. Akibatnya, kualitas pedidikan yang telah ditargetkan pada skala
nasional tidak tercapai karena lulusan dari madrasah umumnya berada di bawah nilai
standar. Selain itu, dampak lainnya adalah perlakuan diskriminasi lulusan, seperti yang
sering dialami lulusan dari madrasah atau Perguruan Tinggi Islam, mereka kesulitan untuk
mencari pekerjaan karena lahan pekerjaan yang tersedia biasanya lebih banyak
membutuhkan lulusan pendidikan umum. Dampak lulusan ini juga merambah pada
wilayah politis, seperti sulitnya lulusan pendidikan agama untuk diangkat sebagai kepala
sekolah di sekolah-sekolah umum, sementara lulusan pendidikan umum dengan mudahnya
mendapatkan posisi sebagai kepala sekolah di sekolah umum maupun di madrasah.
Kondisi seperti ini sangat sering dirasakan oleh guru-guru di daerah yang jauh dari
ibukota.18

Berdasarkan inventarisir beberapa dampak dikotomi dan dualisme dalam


pendidikan seperti uraian di atas, cukup membuktikan bahwa sistem pemisahan konten
materi atau pengelolaannya tersebut sangat tidak baik bagi pendidikan di Indonesia, untuk
itu harus diatasi dengan segera.

18
Ibid., hlm. 115.

11
D. Proses Integrasi Keilmuan di Indonesia
Secara etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris integrate;
integration yang kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi integrasi yang
berarti menyatu-padukan; penggabungan atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh;
pemaduan.19 Adapun secara terminologis, integrasi ilmu adalah pemaduan antara ilmu-
ilmu yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmu-ilmu
yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum.

Integrasi ilmu agama dan ilmu umum ini adalah upaya untuk meleburkan polarisme
antara agama dan ilmu yang diakibatkan pola pikir pengkutupan antara agama sebagai
sumber kebenaran yang independen dan ilmu sebagai sumber kebenaran yang independen
pula. Hal ini karena keberadaannya yang saling membutuhkan dan melengkapi. Seperti
yang dirasakan oleh negara-negara di belahan dunia sebelah Barat yang terkenal canggih
dan maju di bidang keilmuan dan teknologi, mereka tergugah dan mulai menyadari akan
perlunya peninjauan ulang mengenai dikotomisme ilmu yang terlepas dari nilai-nilai yang
di awal telah mereka kembangkan, terlebih nilai religi. Agama sangat bijak dalam menata
pergaulan dengan alam yang merupakan ekosistem tempat tinggal manusia.

Secara konseptual, ilmu pengetahuan merupakan hasil temuan manusia yang relatif
kebenarannya, berbeda dengan al-Qur’an dan hadis yang mutlak. Keduanya memiliki
fungsi yang sama, yaitu untuk memahami alam dan kehidupan. keduanya dapat dipadukan,
namun bukan dalam makna “dicampurkan” karena keduanya tidak boleh dilihat secara
terpisah. Keduanya adalah ilmu pengetahuan yang ditekankan oleh Islam. Keduanya hanya
berbeda pada sumber dari mana pengetahuan itu diperoleh. Oleh karenanya terhadap dua
jenis atau tingkat kebenaran itu, mesti diletakkan pada proporsinya masing-masing
sehingga tidak terjadi klaim kebenaran.

Kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan produk dari sebuah proses


politik yang melibatkan berbagai elemen politik yang ada di lembaga legislatif dan
eksekutif. Mereka yang terlibat di dalam proses pengambilan kebijakan negara dan
keputusan politik adalah orang-orang yang diberi mandat untuk mewakili aspirasi dan

19
John M. Echlos dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2003), hlm. 326.

12
kepentingan rakyat dan masyarakat luas. Sebagai produk dari keputusan politik, kebijakan
negara di bidang pendidikan merupakan cermin dar politik pendidikan nasional yang
memberikan implikasi terhadap sistem, kelembagaan, kurikulum dan proses pendidikan.20

Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia mengembangkan lembaga


pendidikan persekolahan sebagai mainstraim sistem pendidikan nasional. Secara
pragmatis, hal ini dilakukan agaknya karena pengelolaan pendidikan yang diwariskan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian pergumulan antara sistem pendidikan
nasional dengan sistem pendidikan Islam pun terus berlangsung.21

Secara operasional, persoalan dualisme dan dikotomi pendidikan tersebut


membawa dampak berupa pengelolaan pendidikan nasional yang tidak punya dasar pijakan
yang jelas. Hal ini terjadi karena dalam pelaksanaannya pemerintah Indonesia menganut
pola kolonialisme Belanda,22 juga merupakan refleksi dari pergumulan dua basis politik,
Islam dan Nasionalisme, yang sejak awal kemerdekaan tidak bisa dielakkan.23

Ketika Undang-Undang Pendidikan Nasional pertama yaitu, UU No. 4 Tahun 1950


(tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) diundangkan, madrasah dan
pesantren sebagai pendidikan Islam tidak dimasukan sama sekali ke dalam sistem
pendidikan nasional, yang ada hanya masalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah
(umum), pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem dari sistem
pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan di bawah Menteri Agama.24
Menurut pemerintah hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Islam lebih didominasi
oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan kurikulum belum terstandarkan, memiliki
struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol
oleh pemerintah.25

20
Nurhayati Djamas, Op. Cit., hlm. 193.
21
Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005),
hlm. 59.
22
Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006),
hlm. 81.
23
Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005),
hlm. 113.
24
Ibid., hlm. 17.
25
Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006),
hlm. 82.

13
Masalah kurikulum merupakan salah satu pertimbangan dalam pemberian
pengakuan pemerintah terhadap sekolah agama, sebab sekolah agama dan lembaga
pendidikan Islam umumnya lebih memfokuskan kurikulumnya pada tafaqqahu fiddin,
yang difokuskan pada bidang keislaman. Masalah kurikulum pendidikan ini yang menjadi
salah satu pembeda sistem pendidikan yang berlangsung. Disamping itu administrasi
berupa pengaturan dan pengawasan pendidikan oleh dua departemen yang berbeda, yaitu
departemen pendidikan nasional dan departemen agama juga menjadi faktor pembeda yang
lain.26

Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun


1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu
pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya
penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974
tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut. Ternyata keputusan ini mendapat
tantangan keras dari kalangan Islam.27 Alasannya bahwa dengan menjadi bagian dari
sistem pendidikan nasional memang madrasah akan mendapat status yang sama dengan
sekolah, tetapi dengan status ini terdapat kongkurensi bahwa madrasah harus dikelola oleh
Depdikbud sebagai satu-satunya departemen yang bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan pendidikan nasional. Mereka lebih menghendaki madrasah tetap berada
di bawah Departemen Agama.

Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres tersebut sebagai
manuver untuk mengabaikan peranan dan manfaat madrasah, juga dipandang sebagai
langkah untuk mengebiri tugas dan peranan Departemen Agama dan bagian dari upaya
sekulerisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru.28 Hal ini cukup beralasan dikaitkan
dengan setting sosial politik yang berlangsung pada awal pemerintah Orde Baru yang
menerapkan kebijakan politik yang memarjinalkan politik Islam melalui pengebirian partai
politik Islam.29

26
Nurhayati Djamas, Op. Cit, hlm. 183.
27
Ibid., hlm. 184.
28
Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005),
hlm. 18.
29
Nurhayati Djamas, Op. Cit., hlm. 184.

14
Munculnya reaksi keras dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru.
Pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dengan mengeluarkan
Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang ditandatangani oleh
Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama yaitu No. 6
Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No. 36 Tahun 1975.30 Inti dari ketetapan dari SKB Tiga
Menteri ini adalah ; (1) agar madrasah untuk semua jenjang dapat mempunyai nilai yang
sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2) agar lulusan madrasah dapat
melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas; (3) agar siswa madrasah dapat
berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan
madrasah harus terdiri dari 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama.31

Sebagai realisasi dari SKB Tiga Menteri itu, maka pada tahun 1976 Departemen
Agama mengeluarkan kurikulum yang menjadi acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs,
maupun Madrasah Aliyah. Dengan diberlakukannya kurikulum standar yang menjadi
acuan, berarti telah terjadi keseragaman dalam bidang studi agama, baik kualitas maupun
kuantitasnya. Kemudian adanya pengakuan persamaan yang sepenuhnya antara madrasah
dengan sekolah-sekolah umum setaraf, serta madrasah akan mampu berperan sebagai
lembaga pendidikan yang memenuhi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu
berpacu dengan sekolah-sekolah umum dalam rangka mencapai tujuan nasional.32

Kemudian pada tahun 1984 dikeluarkan SKB dua menteri antara Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama Nomor 299/U/1984 dan Nomor 45
tahun 1984 tentang pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum
madrasah. SKB ini dijiwai oleh ketetapan MPR Nomor II/TAP/MPR/1983 tentang
perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala
bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu diantara
berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.33

30
Husni Rahim, Op. Cit., hlm. 18.
31
Nurhayati Djamas, Op. Cit., hlm. 185.
32
Maslani, dalam Media Pendidikan, Jurnal Pendidikan Keagamaan (Bandung : Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN SGD Bandung, 2007) Vol XXII, No. 2, hlm. 301
33
Ibid., hlm. 304.

15
Namun hasil dari SKB ini belum memuaskan, Secara intelektual, persoalan muncul
dengan adanya dikotomisasi kurikulum, yakni kurikulum umum dan kurikulum agama.
Akibatnya, terjadi pula dikotomisasi kelulusan antar dua lembaga. Lebih parah lagi ditinjau
dari sisi keahlian, adanya dikotomisasi itu seakan-akan telah menciptakan label Islam dan
label non-Islam terhadap kelulusan pendidikannya.34 Selain itu karena masih sering lulusan
madrasah mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap kemampuan umumnya
belum setara dengan sekolah umum. Ketika masuk ke perguruan tinggi atau ke dunia kerja
perlakuan diskriminatif tersebut sangat dirasakan oleh lulusan madrasah sebagai produk
pendidikan Islam.35

Dalam praktiknya, pembinaan integrasi tidak bisa hanya dilakukan oleh sebagian
kalangan saja. Pembinaan yang terintegrasi dalam masyarakat harus dilakukan oleh semua
kalangan baik itu praktisi, pemerintah, dan juga kalangan budayawan. Hal ini perlu
mengingat hal ini bukanlah pekerjaan mudah yang bisa dilakukan dalam satu disiplin ilmu
namun melibatkan interdisiplin ilmu.

Saat ini sudah ada upaya yang dilakukan oleh beberapa organisasi massa seperti
Hidayatullah, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dengan penerapan pendidikan
integral baik tingkatan Madrasah Ibtidayah (MI), MTs Integral dan juga SMK Islam yang
menerapkan kurikulum berbasis pendidikan Integral Agama dan IPTEK. Kemudian
lembaga pemerintah yang mulai mendirikan sekolah seperti MTs Model dan Madrasah
Aliyah Negeri yang mulai mengadopsi kurikulm bebasis agama dan pengetahuan umum.
Meskipun lembaga pendidikan tersebut masih berada dalam naungan lembaga pemerintah
yang berbeda yakni Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Budaya
Nasional dan meskipun juga di dalam pengaplikasiannya di lapangan belum bisa dikatakan
maksimal namun langkah tersebut sudah merupakan langkah awal dalam mengatasi
permasalahan dualisme pendidikan di Indonesia.
Sejalan dengan itu, para pemikir Muslim Indonesia telah merancang konsepsi
integrasi keilmuan dengan penekanan pada aspek epistemologi, di samping aspek

34
Ali Riyadi, Politik Pendidikan Menggugat BirokrasiPendidikan Nasional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006),
hlm. 83.
35
Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm
20.

16
ontologis, berikut dikemukakan konsepsi pemikiran mereka yang mana dikelompokkan
berdasarkan kesamaan benang merah gagasan utamanya.
a. Model Pendekatan Integratif-Interkonektif (Jaring-Jaring Laba-Laba)

Konsep ini, pertama kali dimunculkan oleh M. Amin Abdullah, rektor UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Konsep ini berpijak dari bangunan keilmuan Islam itu sendiri.
Menurutnya, perpaduan antara “ilmu” dan “agama” selama ini ada yang mengikuti pola
single entity dalam arti di antara kedua pengetahuan agama dan umum berdiri sendiri tanpa
ada dealektika diantara keduanya, ataukah mengikuti model isolated entities dalam arti
masing-masing rumpun ilmu berdiri sendiri. Atau model interconected entities, dalam arti
masing-masing sadar akan keterbatasannya dalam memecahkan persoalan manusia, lalu
menjalin kerjasama setidaknya dalam hal yang menyentuh persoalan pendekatan
(approach) dan metode berfikir dan penelitian (process and procedure).36

Menurut Amin Abdullah, modernisme dan sekulerisme sebagai hasil turunannya


yang menghendaki diferensiasi yang ketat dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak
sesuai lagi dengan semangat zaman, spesialisasi dan penjurusan yang sempit dan dangkal
mempersempit jarak pandang atau horizon berpikir. Pada peradaban yang disebut pasca
modern perlu ada perubahan yang dimaksud adalah gerakan resakralisasi, deprivatisasi
agama dan ujungnya adalah dediferensisasi (penyatuan atau rujuk kembali). Kalau
diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor kehidupan lain, maka
dediferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dan sektor-sektor kehidupan lain,
termasuk agama dan ilmu.37

Dalam pandangan Amin Abdullah, ilmu-ilmu sekuler yang mengklaim sebagai


value free (bebas dari nilai dan kepentingan) ternyata penuh muatan kepentingan.
Kepentingan itu diantaranya ialah dominasi kepentingan ekonomi (seperti sejarah ekspansi
negara-negara kuat di era globalisasi), dan kepentingan militer/perang (seperti ilmu-ilmu
nuklir), dominasi kepentingan kebudayaan Barat (orientalisme). Ilmu yang lahir bersama

36
Zainal Abidin Bagir dkk. [Ed.], Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005),
242.
37
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu..., 57.

17
etika agama tidak boleh memihak atau partisan seperti itu. Semua diabdikan untuk
kesejahteraan manusia secara bersama-sama.

Agama menyediakan etika dalam perilaku ekonomi di antaranya adalah bagi hasil
(al-Mudharabah), dan kerjasama (al-Musharakah). Di sini terjadi proses objektifikasi dari
etika agama menjadi ilmu agama yang bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama,
bahkan anti agama. Pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas
keagamaan yang humanistik ini dituntut dapat memasuki wilayah yang lebih luas seperti
psikologi, sosiologi, lingkungan, kesehatan, ekonomi, politik, hukum dan seterusnya.
Dengan demikian, integrasi ilmu agama dan ilmu umum meniscayakan kajian dan
pemikiran secara filosofis dengan melibatkan berbagai pendekatan dan metode keilmuan.
Integrasi dilakukan dengan mengislamkan ilmu pengetahuan di satu sisi dan pengilmuan
Islam di sisi lain.

Model pendekatan integratif-interkoneksitas yang dikembangkan M. Amin


Abdullah ini pada dasarnya belum sepenuhnya mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu
umum dalam bingkai struktur keilmuan yang padu. Dari penjelasan yang diuraiakan
dengan adanya pengakuan terhadap entitas masing masing ilmu, nampaknya, model yang
dikembangkan masih berada pada level dialog, mengakui keberadaan dan independensi
setiap ilmu tetapi perlu diupayakan kerjasama untuk menutupi celah masing-masing.
Problem yang muncul dari pendekatan ini adalah pada persoalan metode keilmuan yang
konsekuensinya adalah berkenaan dengan status kebenaran atau validitas suatu ilmu.

b. Model Objektivikasi Islam

Model yang digagas Kuntowijoyo merupakan jawaban terhadap problem konflik


antara ilmu dan agama. Menurut Kuntowijoyo, konflik yang terjadi di Barat itu disebabkan,
karena konsep-konsep teoretis ilmu telah berubah menjadi acuan-acuan normatif; dan ini
mengakibatkan agama kemudian mengalami krisis kredibilitas karena acuan normatif
transendentalnya digantikan oleh acuan normatif ilmu.38 Oleh karena itu objektivikasi dan
teoretisasi konsep-konsep normatif Islam merupakan tawaran pemikiran untuk
mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum. Islamisasi tidak berarti penyangkalan total

38
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 38.

18
terhadap warisan intelektual peradaban lain. Karena rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam
tidak dapat dilakukan dari sebuah vacum, tetapi di dalam ruang terbuka dengan berbagai
tawaran epistemologi dan produk keilmuan.

Model integrasi yang dikemukakan didasari pemikiran perlunya Islam sebagai teks
(al-Qur’an dan Sunnah) dihadapkan dengan realitas. Dengan kata lain dari teks ke konteks.
Dalam ilmu berarti bahwa gerakan intelektual Islam harus melangkah ke arah “pengilmuan
Islam”, sementara gerakan “islamisasi pengetahuan” adalah gerakan dari konteks ke teks.
Menurut pemikiran Kuntowijoyo, ada dua model utama yang semuanya berusaha kembali
kepada teks. Pertama, dekodifikasi (penjabaran), yakni al-Qur’an dan Sunnah dijabarkan
(dekodifikasi) ke dalam ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, tasawuf, dan fiqh (atau dari teks
ke teks). Kedua, adalah islamisasi ilmu pengetahuan.39

Secara harfiah, frasa pengilmuan Islam berarti menjadikan Islam sebagai ilmu.
Perlu diperhatikan bahwa term itu tak hanya berbicara mengenai Islam sebagai sumber
ilmu, atau etika Islam sebagai panduan penerapan ilmu, tetapi Islam itu sendiri yang
merupakan ilmu. Dengan pengilmuan Islam, yang ingin ditujunya adalah aspek
universalitas klaim Islam sebagai rahmat bagi alam semesta bukan hanya bagi pribadi-
pribadi atau masyarakat Muslim, tapi semua orang; bahkan setiap makhluk di alam semesta
ini. Rahmat bagi alam semesta adalah tujuan akhir pengilmuan Islam. Rahmat itu
dijanjikan bukan hanya untuk muslim tetapi untuk semua umat manusia. Tugas Muslim
adalah mewujudkan visi Islam itu antara lain dengan pengilmuan Islam sebagai salah satu
caranya. Secara lebih spesifik, Islam diilmukan dengan cara mengobjektifkannya.

Dalam kaitan ini pendekatan yang dipergunakan untuk mengoperasionalkan kosep-


konsep normatif menjadi objektif dan empiris adalah pendekatan analitik. Pendekatan ini
pertama-tama lebih memperlakukan al-Qur’an sebagai data, sebagai suatu dokumen
mengenai pedoman kehidupan yang berasal dari Tuhan. Ini merupakan suatu postulat
teologis dan teoritis sekaligus. Menurut pendekatan ini, ayat-ayat al-Qur’an sesungguhnya
merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis untuk diterjemahkan
pada level objektif, bukan subjektif. Ini berarti, al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk

39
143Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu..., 1, 5-6.

19
konstruk-konstruk teoritis. Sebagaimana kegiatan analisis data akan menghasilkan
konstruk, maka demikian pula analisis terhadap pernyataan-pernyataan al-Qur’an akan
menghasilkan konstruk-konstruk teoritis al-Qur’an. Elaborasi terhadap konstruk-konstruk
teoritis al-Qur’an inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Qur’anic theory building,
yaitu perumusan teori al-Qur’an yang kemudian memunculkan paradigma al-Qur’an.40
Selain itu, pendekatan terhadap disiplin sosiologi pengetahuan sangat berguna dalam
memahami sumber-sumber dan pemikiran Islam. Misalnya penggunaan analisis filologi
dan semantik, di samping penggunaan Asbab al-Nuzul.

Fungsi paradigma al-Qur’an pada dasarnya adalah untuk membangun perspektif al-
Qur’an dalam rangka memahami realitas. Di dalam epistemologi Islam, wahyu menjadi
sangat penting. Ini yang membedakannya dengan cabang-cabang epistemologi Barat yang
mengakui sumber pengetahuan hanya berasal dari akal saja (rasionalisme) atau observasi
saja (empirisme). Menurut epistemologi Islam, unsur petunjuk transedental yang berupa
wahyu juga menjadi sumber pengetahuan yang penting. Pengetahuan wahyu menempati
posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk mengenai realitas. Oleh karenanya,
epistemologi Islam meniscayakan digunakannya berbagai macam metode yang meliputi
bayani, burhani, ’irfani, serta tajribi.

c. Model Integrasi Holistik

Model “Integrasi Holistik” merupakan alternatif pemikiran yang berupaya


mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan umum secara holistik dari berbagai aspek dan
sudut keilmuan. Gagasan ini lahir dari kegelisahan guru besar dalam Filsafat Islam UIN
Jakarta, Mulyadhi Kartanegara, terhadap kelangkaan literatur dan referensi yang mengkaji
tentang integrasi keilmuan secara mendasar. Konsepsi integrasi keilmuannya
dilatarbelakangi oleh kegelisahan adanya problematika yang dikandung dalam dikotomi
ilmu. Tawaran pemikiran integrasi keilmuan yang digagas Mulyadhi, bila disederhanakan,

40
145Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu...,16-17.

20
bekerja pada dua level epistemologis: pada sistem klasifikasi ilmu dan pada metodologi
ilmiahnya.41

Salah satu pertanyaan penting epistemologis adalah apa yang dapat diketahui oleh
manusia? Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat bergantung pada sistem epistemologi
yang dianut. Dalam epistemologi Barat (modern) yang diketahui manusia adalah segala
sesuatu sejauh dapat diobservasi oleh indra. Sedangkan menurut epistemologi Islam,
manusia dapat mengetahui bukan hanya yang fisik, juga yang metafisik. Sains modern
membatasi objek-objek ilmu hanya pada bidang fisik-empiris karena objek-objek ini
sajalah yang bisa diteliti secara objektif dan karena itu bisa diverifikasi kebenarannya.
Sedangkan objek-objek non-fisik tidak bisa diserap secara objektif sehingga akan sulit
untuk diverifikasi karena subjektivitas yang terlibat di dalamnya.

Yang dimaksud dengan integrasi objek-objek ilmu adalah sebuah sistem terpadu
objek-objek ilmu yang berkesinambungan dari objek-objek yang bersifat metafisik,
imajinal, dan fisik yang disajikan secara utuh, bukan parsial. Sesuai dengan doktrin Wahdat
al-Wujud, maka wujud-wujud yang mengisi rangkaian atau hierarki wujud ini merupakan
satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Oleh karena itu dalam sistem epistemologi
holistik semua rangkaian wujud harus diperlakukan sama. Dengan demikian, epistemologi
Islam mengakui objek-objek non fisik, seperti Tuhan, malaikat, maupun jiwa, sebagai
substansi-substansi yang immateril. Selain objek-objek metafisik, dikenal juga objek-objek
ilmu berupa gabungan atau berada di antara yang bersifat metafisik dan fisik, yaitu
matematika dan benda-benda langit. Objek-objek matematik masih punya hubungan erat
dengan benda-benda fisik, karena memang konsep-konsep atau simbol-simbol matematik
diabstraksikan dari benda-benda fisik yang partikular.

Berpikir adalah pengalaman yang sangat khas manusiawi. Menurut kaum empiris,
nalar tidak valid sebagai sumber ilmu karena sifatnya yang apriori, sedangkan pengalaman
indriawi bersifat aposteriori, yakni berdasarkan pengalaman langsung. Sebagai
pengetahuan yang apriori, pengenalan akal bersifat general bukan partikular, sedangkan

41
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan, (Bandung: Mizan,
2003), hlm. 133.

21
wujud nyata selalu bersifat partikular. Karena sifatnya yang seperti itu, akal tidak mampu
mengenali objek yang ditelitinya secara langsung seperti halnya indra. Dengan demikian,
akal tidak bisa dijadikan sebagai sumber ilmu karena tidak bersifat empiris.42 Akan tetapi,
meski eksperimentasi dan observasi sangat diperlukan dalam memperoleh pengetahuan
mengenai dunia luar, tetapi hal itu tidak memadai. Karena untuk menafsirkan dan
mengorelasikan data eksperimental mestilah digunakan penalaran dan perenungan atas
data empiris oleh akal.

Dalam tradisi filsafat Islam, sekalipun bisa dibedakan menurut objek dan tugasnya,
antara pengetahuan teorotis dan praktis tidak bisa dipisahkan secara tegas. Ilmu-ilmu
praktis selalu memiliki landasan teoritis, khususnya landasan metafisiknya. Oleh karena
itu, integrasi ilmu pengetahuan tidak mungkin tercapai hanya dengan mengumpulkan dua
himpunan keilmuan yang memiliki basis teoritis yang berbeda (sekuler dan religius).
Sebaliknya, integrasi (atau reintegrasi) meniscayakan pemaduan hingga tingkat
epistemologi. Untuk mencapai tingkat integritas epistemologi, maka integrasi harus
diusahakan pada beberapa level: integrasi ontologis, integrasi klasifikasi ilmu, dan
integrasi metodologis. Dengan demikian, integrasi mesti dilakukan secara holistik
mencakup seluruh dasar bangunan keilmuan.43

Model integrasi yang dirumuskan Mulyadhi Kartanegara ini sejalan dengan


perubahan paradigma yang berkembang dalam filsafat dan sains kontemporer. Untuk
menyebut sebagai contoh misalnya, karya-karya Fritjof Capra telah mendekonstruksi
asumsi-asumsi sains Barat modern yang mengagungkan pada materialisme. Capra justru
menemukan titik temu antara pandangan dunia Timur yang tidak memisahkan materi
dengan jiwa (roh) dengan penemuannya pada benda-benda sub-atomik. Hasil penelitiannya
justru menunjukkan tidak terpisahnya materi dengan non-materi. Konsekuensinya, hirarki
realitas sebagai satu kesatuan yang membentuk jejaring, mulai memperoleh pengakuan.

42
Ibid., 121-122.
43
Ibid., 208 dan 209.

22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dikotomi dan dualisme merupakan pemisahan keilmuan menjadi dua kelompok,
yaitu ilmu pengetahuan keagamaan dan ilmu pengetahuan umum. Namun, dari kedua
istilah itu, terdapat dua perbedaan yang cukup signifikan, yaitu dikotomi lebih terfokus
pada aspek isi atau konten materi, sedangkan dualisme itu lebih mengarah pada sistem
pengelolaan pendidikan.
Dikotomi dan dualisme keilmuan di Indonesia sudah ada sejak lama, tepatnya sejak
Belanda menjajah negeri ini. Belanda memberlakukan sistem dualisme pendidikan, yaitu:
ada sekolah khusus untuk orang Belanda dan ada juga sekolah khusus untuk pribumi
(pesantren, madrasah), ada sekolah khusus orang-orang kaya dan ada pula sekolah khusus
untuk rakyat-rakyat miskin, bahkan ada lagi sekolah yang diberikan kesempatan untuk
melanjutkan pelajaran, tapi ada juga sekolah yang tidak diberikan izin untuk melanjutkan
pelajaran. Ketika masa pra-kemerdekaan, pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan
kebijakan berupa ordonansi guru pada 1905 kemudian diperbarui pada 1926 yang
mewajibkan guru-guru agama memiliki surat izin mengajar. Selain itu juga diberlakukan
ordonansi sekolah liar sejak 1932 yang dimaksudkan untuk mengawasi sekolah swasta
yang diselenggarakan orang Indonesia dan Timur asing lainnya.
Ketika Undang-Undang Pendidikan Nasional pertama yaitu, UU No. 4 Tahun 1950
(tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) diundangkan, madrasah dan
pesantren sebagai pendidikan Islam tidak dimasukan sama sekali ke dalam Sistem
Pendidikan Nasional, yang ada hanya masalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah
(umum), pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan di bawah Menteri Agama.
Dampak dari dikotomi ilmu antara lain, yaitu munculnya ambivalensi orientasi
pendidikan Islam, munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran
Islam, terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing sistem
pendidikan berusaha mempertahankan eksistensinya, dan munculnya inferioritas pengelola
lembaga pendidikan Islam. Begitu pula dengan sistem dualisme dalam pendidikan, tentu
akan sangat sulit untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Selain itu, untuk

23
menciptakan keadilan juga sangat sulit, seperti dalam pembagian dana pada masing-
masing sekolah dan madrasah. Dampak lainnya adalah perlakuan diskriminasi lulusan,
seperti yang sering dialami lulusan dari madrasah atau Perguruan Tinggi Islam.

Untuk mengatasi dikotomi ilmu, pemerintah mencoba melakukan proses intergasi


ilmu. Dimulai pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34
Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah
satu pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya
penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974
tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut. Ternyata keputusan ini mendapat
tantangan keras dari kalangan Islam.

Pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dengan


mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang
ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri
Agama yaitu No. 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No. 36 Tahun 1975. Inti dari
ketetapan dari SKB Tiga Menteri ini adalah ; (1) agar madrasah untuk semua jenjang dapat
mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2) agar lulusan
madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas; (3) agar siswa
madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang
diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% mata pelajaran umum dan 30% mata
pelajaran agama. Sebagai realisasi dari SKB Tiga Menteri itu, maka pada tahun 1976
Departemen Agama mengeluarkan kurikulum yang menjadi acuan oleh madrasah, baik
untuk MI, MTs, maupun Madrasah Aliyah.

Kemudian pada tahun 1984 dikeluarkan SKB dua menteri antara Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama Nomor 299/U/1984 dan Nomor 45
tahun 1984 tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum
Madrasah. SKB ini dijiwai oleh ketetapan MPR Nomor II/TAP/MPR/1983 tentang
perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan kebutuhan pembangunan di segala
bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu diantara
berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.

24
Namun hasil dari SKB ini belum memuaskan, Secara intelektual, persoalan muncul dengan
adanya dikotomisasi kurikulum, yakni kurikulum umum dan kurikulum agama.

Dalam praktiknya, pembinaan integrasi tidak bisa hanya dilakukan oleh sebagian
kalangan saja. Pembinaan yang terintegrasi dalam masyarakat harus dilakukan oleh semua
kalangan baik itu praktisi, pemerintah, dan juga kalangan budayawan. Saat ini sudah ada
upaya yang dilakukan oleh beberapa organisasi massa seperti Hidayatullah, Nahdatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah dengan penerapan pendidikan integral baik tingkatan
Madrasah Ibtidayah (MI), MTs Integral dan juga SMK Islam yang menerapkan kurikulum
berbasis pendidikan Integral Agama dan IPTEK. Kemudian lembaga pemerintah yang
mulai mendirikan sekolah seperti MTs Model dan Madrasah Aliyah Negeri yang mulai
mengadopsi kurikulm bebasis agama dan pengetahuan umum. Meskipun lembaga
pendidikan tersebut masih berada dalam naungan lembaga pemerintah yang berbeda yakni
Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Budaya Nasional dan meskipun
juga di dalam pengaplikasiannya di lapangan belum bisa dikatakan maksimal namun
langkah tersebut sudah merupakan langkah awal dalam mengatasi permasalahan dualisme
pendidikan di Indonesia.
Sejalan dengan itu, para pemikir Muslim Indonesia telah merancang konsepsi
integrasi keilmuan dengan penekanan pada aspek epistemologi, di samping aspek
ontologis, antara lain model pendekatan integratif-interkonektif yang digagas oleh M.
Amin Abdullah, model objektivikasi Islam yang digagas Kuntowijoyo dan model integrasi
holistic yang digagas oleh Mulyadhi Kartanegara.

B. Saran
Penyusun berharap pembaca tidak hanya berpaku pada karya ilmiah ini saja dalam
mencari sumber ilmu mengenai “Integrasi Ilmu sebagai Solusi Dikotomi dan Dualisme
Keilmuan di Indonesia”, tetapi juga mencari literatur-literatur lain karena sesungguhnya
tidak ada gading yang tidak retak, begitu pula dengan karya ilmiah. Tidak ada karya ilmiah
yang sempurna, dan untuk itu penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat meskipun
masih memiliki banyak kekurangan.

25
DAFTAR PUSTAKA

26

Anda mungkin juga menyukai