Anda di halaman 1dari 7

DIKOTOMI PENDIDIKAN

A.    Dikotomi Pendidikan


Pemakalah mengambil tema dikotomi pendidikan karena hal ini merupakan
problematika pendidikan yang hangat di bicarakan, dan ini di anggap problem yang
cukup serius terlebih lagi pendidikan Islam. Untuk lebih jelasnya pemakalah akan
menjelaskan aspek-aspek penting dalam dikotomi pendidikan sehingga di anggap sebagai
problematika yaitu :
1.      Latar belakang terjadinya dikotomi pendidikan Islam
Dikotomi ilmu pengetahuan merupakan sebuah paradigma yang selalu marak dan
hangat diperbincangkan dan tidak berkesudahan. Adanya dikotomi pengetahuan ini akan
berimplikasi kepada dikotomi pendidikan itu sendiri. Ada pendidikan berkecimpung pada
ilmu pengetahuan modern yang jauh dari nilai-nilai agama, Ada pula pendidikan yang hanya
konsen pada pengetahuan agama yang kadangkala dipahami dengan penuh dengan
kejumudan serta jauh dari ilmu pengetahuan.
Dalam pengamatan penulis, setelah memahami berbagai literatur ternyata timbulnya
membawa pada kesimpulan bahwa akar munculnya dikotomi ilmu disebabkan  Pertama,
faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat
sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya. Hal ini
menyebabkan jarak ilmu dengan induknya filsafat, dan antara ilmu agama dengan
ilmu umum kian jauh. 1[1]
Kedua, faktor historis perkembangan umat islam ketika mengalami masa
stagnan atau kemunduran sejak Abad pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang
pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra hal ini
disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini, dominasi
fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa
ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk
fardlu kifayah atau kewajiban kolektif. Akibat faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk
mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi
(IPTEK) bila dibandingkan dengan umat dan Negara lain. Ketiga, faktor internal

1[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, kalam Mulia. 2002. Hal. 17
kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan sosial dan budaya
yang dihadapi umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam. 2[2]
2.      Dampak Dikotomi Ilmu Pengetahuan Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam
Menurut al-Faruqi, setidaknya terdapat dua penyebab utama terjadinya dikotomi pendidikan
dalam dunia Islam, yaitu:

[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, kalam Mulia. 2002. Hal. 17

[2] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, jakarta, Kencana Prenada Media Group. 2010. Hal. 12

1)        Imperialisme dan Kolonialisme Barat atas Dunia Islam


Sebagai akibat dari kerusakan mengerikan yang ditimbulkan orang-orang non-Muslim
kepada umat di abad ke 6 dan 7 H atau sekitar abad ke 12 dan 13 M., yakni serbuan tentara
Tartar dari Timur dan pasukan Salib dari Barat, para pemimpin Muslim kehilangan akal dan
tidak mempunyai keyakinan kepada diri sendiri. Mereka berfikir bahwa dunia mereka
mengalami bencana, mereka mengambil sikap yang sangat konservatif dan berusaha untuk
menjaga identitas dan milik mereka yang paling berharga (Islam) dengan melarang segala
bentuk inovasi dan mengemukakan ketaatan fanatik secara harfiah kepada syari’ah. Saat itu
mereka meninggalkan sumber utama kreatifitas, yakni “ijtihad”.
Mereka mencanangkan penutupan pintu ijtihad. Mereka memperlakukan syari’ah
sebagai hasil karya yang sempurna dari para leluhur. Mereka menyatakan bahwa setiap
penyimpangan dari syari’ah adalah inovasi, dan setiap inovasi tidak disukai dan terkutuk.
Sebagaimana yang dijelaskan di sekolah-sekolah, syari’ah harus menjadi beku dan karenanya
menjaga keselamatan Islam. Kebangkitan Islam, terlebih kemenangan dan ekspansi kaum
Muslimin ke Rusia, Balkan, Eropa Tengah, dan Barat Daya di sekitar abad ke-8 dan ke-12
tidak dapat meniadakan tindakan-tindakan konservatif tersebut. 
Pada zaman modern, Barat membebaskan daerah-daerah yang ditaklukkan Ottoman di
Eropa. Barat menduduki, menjajah, dan memecah belah dunia Islam, kecuali Turki karena
disini kekuatan Barat berhasil diusir. Sementara Yaman dan Arab Tengah dan Barat tidak
menarik untuk dijadikan daerah jajahan. Kekuatan Barat mengeksploitir kelemahan kaum
Muslimin sebesar mungkin, dan merekalah yang menyebabkan malaise yang dialami dunia
Islam. Sebagai respon terhadap kekalahan, tragedi, dan krisis yang ditimbulkan Barat di
dunia Islam dalam dua abad terakhir ini, para pemimpin Muslim di Turki, Mesir, dan India

2[2] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, jakarta, Kencana Prenada Media Group. 2010. Hal. 12
mencoba melakukan westernisasi terhadap umat dengan harapan membuatnya dapat bertahan
secara politik, ekonomi, dan militer.
Penjajahan Barat atas dunia Muslim menyebabkan umat Islam tidak berdaya. Dalam
kondisi seperti itu, tidak mudah bagi umat Islam untuk menolak upaya-upaya yang dilakukan
Barat terutama injeksi budaya dan peradaban modern Barat. Tak pelak, ilmu-ilmu Barat
sering menggantikan posisi ilmu-ilmu agama dalam kurikulum sekolah Islam. Sementara
upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum (Barat) tidak begitu dilakukan
waktu itu, yang terjadi justru pemisahan secara dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum
sekuler.3[3]
2)   Pemisahan antara Pemikiran dan Aksi di Kalangan Umat Islam
[3] http://restuillahi.blogspot.com/2011/07/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html
Di awal sejarah Islam, pemimpin adalah pemikir dan pemikir adalah pemimpin.
Wawasan Islam pada waktu itu dominan, dan hasrat untuk mewujudkan wawasan Islam di
dalam sejarah menentukan semua tingkah laku. Itulah keasyikan dari seluruh masyarakat
Islam. Setiap Muslim yang sadar berusaha menyelidiki realitas tentang materi-materi dan
kesempatan-kesempatan untuk kemudian dibentuk kembali ke dalam pola-pola Islam.
Pada waktu yang bersamaan, seorang faqih (ahli fiqih) adalah imam, mujtahid,
qari, muhaddits, guru, mutakallimun, pemimpin politik, jenderal, petani atau
pengusaha, dan kaum profesional. Jika ada yang merasa lemah, maka orang-orang di
sekelilingnya dengan senang hati akan membantunya dalam mengatasi kekurangan itu.
Semua orang memberikan semuanya demi cita-cita Islam.
Di kemudian hari, kesatupaduan antara pemikiran dan aksi ini pecah. Saat
keduanya terpisah, masing-masing kondisinya memburuk. Para pemimpin politik dan
pemilik kebijakan mengalami krisis tanpa memperoleh manfaat pemikiran, tanpa
berkonsultasi kepada para cerdik-pandai, dan tidak memperoleh kearifan mereka.
Akibatnya adalah kemandegan (stagnasi) yang membuat warga cerdik merasa asing
dan semakin terisolasinya para pemimpin. Untuk mempertahankan posisi mereka, para
pemimpin politik melakukan kesalahan yang semakin banyak dan besar. Di pihak lain,
para pemikir menjadi asing dan semakin jauh dari keterlibatan aktif di dalam urusan
umat, mengambil hal ideal sebagai balasan mereka dalam mengutuk otoritas politik.
Mereka cenderung kembali melihat ke belakang pada masa kejayaan Islam masa silam.
Para sarjana Barat seolah mengatakan bahwa rasa bangga atas keunggulan budaya masa
lampau telah membuat para sarjana Muslim kurang menanggapi tantangan yang dilemparkan

3
oleh para sarjana Barat. Padahal bila tantangan itu ditanggapi secara positif dan arif, dunia
Muslim akan dapat mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru dan bisa memberinya arah.4[4]
Al Faruqi mengungkapkan bahwa pendikotomian merupakan simbol jatuhnya
umat Islam, karena sesungguhnya setiap aspek harus dapat mengungkapkan relevansi
Islam dalam ketiga sumbu tauhid. Pertama, kesatuan pengetahuan; kedua, kesatuan
hidup; dan ketiga, kesatuan sejarah. Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran
berkepanjangan umat Islam sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang
dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ini pada kelanjutannya berdampak
negatif terhadap kemajuan Islam.
Sementara Ikhrom mengemukakan bahwa setidaknya terdapat empat masalah akibat
dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, sebagai berikut:
[4] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2005, Hal 9

1.        Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; di mana selama ini, lembaga-
lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan
Islam dengan corak tafaqquh fil al din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan
garapan mereka; sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan
kurikulum pendidikan umum ke dalam suatu lembaga telah mengubah citra pesantren sebagai
lembaga taffaquh fil adin tersebut. Akibatnya, telah terjadi pergeseran makna bahwa mata
pelajaran agama hanya menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem
pendidikan modern yang sekuler.
2.        Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam. Sistem pendidikan
yang ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama
Islam dan ilmu-ilmu umum.
3.        Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-masing sistem
(modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh mempertahankan kediriannya atau
egoisme.5[5]
4.        Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam. Hal ini disebabkan karena
pendidikan Barat kurang menghargai nilai-nilai kultur dan moral.
Selanjutnya, International Institut of Islamic Thought Herndon Virginia menyatakan
bahwa, dikhotomi merupakan salah satu krisis utama umat yang berdampak pada beberapa

4[4] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2005, Hal 9

5[5] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Amzah, 2010, Hal 26-27
ruang lingkup kehidupan umat, meliputi: konteks politik, konteks ekonomi, dan konteks
kebudayaan dan agama
a.    Integrasi /Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dalam Pendidikan Islam Saat Ini
Dalam hal ini penulis menggunakan istilah islamization dalam mengangkat konsep
integrasi ilmu dalam pendidikan Islam. Maka, definisi dari islamisasi dalam makna yang luas
menunjukan pada proses pengislaman, di mana objeknya adalah orang atau manusia, bukan
ilmu pengetahuan maupun objek lainnya. Dalam kontek islamisasi ilmu pengetahuan, yang
harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmu (thalib al almi)-nya, bukan
ilmu itu sendiri. Wacana tentang integrasi antara ilmu dan agama sesungguhnya sudah
muncul cukup lama, mesti tidak menggunakan kata integrasi secara ekplisit, di kalangan
muslim modern gagasan perlunya pemaduan ilmu dan agama, atau akal dengan wahyu (iman)
sudah cukup lama beredar. Cukup populer juga di kalangan muslim pandangan bahwa pada
masa kejayaan sains dalam peradaban Islam, ilmu dan agama telah integrated.
Upaya pembendungan dikhotomi ilmu ini dapat dilakukan dengan upaya integrasi ilmu dalam
Pendidikan Islam yang dimuat dalam tiga model islamisasi pengetahuan, yaitu: model
purifikasi, modernisasi Islam dan Neo-Modernisme.6[6]

[5] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Amzah, 2010, Hal 26-27

[6] Salim Bahreisy, Said Bahreisy, Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2005), hal 38

1.    Islamisasi Model Purifikasi


Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian. Dengan kata lain, proses Islamisasi
berusaha menyelenggarakan pengendusan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan
norma Islam secara kaffah, lawan dari berislam yang parsial. Ajaran ini bermakna bahwa
setiap ilmuwan Muslim dituntut menjadi actor beragam yang loyal, concern dan commitment
dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam aspek kehidupannya, serta
bersedia dan mampu berdedikasi sesuai minat, bakat, kemampuan, dan bidang keahliannya
masing-masing dalam perspektif Islam untuk kepentingan kemanusiaan.
Model Islamisasi ini sebagaimana dikembangkan oleh Al-Faruqi dan Al-Attas. Adapun
empat rencana kerja Islamisasi Pengetahuan Al-Faruqi, meliputi: (a) penguasaan khazanah
ilmu pengetahuan muslim, (b) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini, (c)
indentifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya dengan ideal
Islam, dan (d) rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi suatu paduan yang selaras dengan
wawasan dan ideal Islam.7[7]
2.    Islamisasi Model Modernisasi Islam
6[6] Salim Bahreisy, Said Bahreisy, Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 2005), hal 38
Modernisasi berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunnatullah. Model ini
berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh
sempitnya pola pikir dalam memahami agamanya, sehingga sistem pendidikan Islam dan
ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal jauh dari bangsa non-muslim. Islamisasi disini
cenderung mengembangkan pesan Islam dalam proses perubahan sosial, perkembangan
IPTEK, adaktif terhadap perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis
terhadap unsur negatif dan proses modernisasi.8[8]
Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang hak.
Untuk melangkah modern, umat Islam dituntut memahami hukum alam (perintah Allah swt)
sebelumnya yang pada giliran berikutnya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Modern berarti
bersikap ilmiah, rasional,  menyadari keterbatasan yang dimiliki dan kebenaran yang didapat
bersifat relatif, progresif-dinamis, dan senantiasa memiliki semangat untuk maju dan bangun
dari keterpurukan dan ketertinggalan.

3.    Islamisasi Model Neo-Modernisme

[7] http://cekgugenius.blogspot.com/2012/01/dikhotomi-dan-integrasi-ilmu-dalam.html

[8] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, jakarta, Kencana Prenada Media Group. 2010. Hal. 36

Model ini berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung
dalam al-Quran dan al-Hadits dengan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim
klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan
IPTEK.9[9]
Islamisasi model ini bertolak dari landasan metodologis; (a) persoalan-persoalan
kotemporer umat harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil ijtihad para ulama
terdahulu hingga sunnah yang merupakan hasil penafsiran terhadap al-Quran, (b) bila dalam
tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kehidupan kotemporer, maka selanjutnya
menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama
tersebut, (c) melalui telaah historis akan terungkap pesan moral al-Quran sebenarnya yang
merupakan etika sosial al-Quran, (d) dari etika sosial al-Quran itu selanjutnya diamati

7[7] http://cekgugenius.blogspot.com/2012/01/dikhotomi-dan-integrasi-ilmu-dalam.html

8[8] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, jakarta, Kencana Prenada Media Group. 2010. Hal. 36

9[9] Abdul Gofur, Ilmu Pendidikan Islam, jakarta, Insan Media Group. 2010. Hal. 48
relevansi dengan umat sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari ilmu
pengetahuan atas persoalan yang dihadapi umat tersebut.10[10]
Dari ketiga model Islamisasi di atas, kesemuanya bertujuan untuk memutuskan mata
rantai dikotomi ilmu pengetahuan guna membangun kembali kebebasan penalaran intelektual
dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk pada kandungan al-
Quran dan al-Hadits. Oleh karenanya, hendaknya selaku seorang pendidik, kita memahami
krisis dan kemelut umat ini dengan baik agar dapat menghindari keberlanjutan praktik
dikhotomi ilmu ini dalam dunia pendidikan yang digeluti.11[11]

[9] Abdul Gofur, Ilmu Pendidikan Islam, jakarta, Insan Media Group. 2010. Hal. 48

[10] Ahmad Baihaki, Ilmu Pendidikan Islam, jakarta, Grafindo Presada Media Group. 2010. Hal. 28

[11] http://cekgugenius.blogspot.com/2012/01/dikhotomi-dan-integrasi-ilmu-dalam.html

http://al-jadiyd.blogspot.co.id/2013/10/dikotomi-pendidikan.html

10[10] Ahmad Baihaki, Ilmu Pendidikan Islam, jakarta, Grafindo Presada Media Group. 2010. Hal. 28

11[11] http://cekgugenius.blogspot.com/2012/01/dikhotomi-dan-integrasi-ilmu-dalam.html

Anda mungkin juga menyukai