Anda di halaman 1dari 21

PARADIGMA DIKOTOMI ILMU DALAM SISTEM

PENDIDIKAN DI INDONESIA

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Teori Pendidikan Integratif

Oleh:
Sabilatus Syarifah
NIM: 234120600049

1 MPAI B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF.K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2023
Abstrak

Penelitian ini membahas permasalahan dikotomi ilmu dalam sistem pendidikan di


Indonesia, dengan fokus pada sejarah munculnya dikotomi ini, sebab-sebabnya,
dan dampaknya. Penelitian ini menggunakan metode analisis sejarah dan
tinjauan literatur untuk menyusun landasan konseptual yang mendukung
integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam pendidikan Islam. Temuan penelitian
mengungkapkan dikotomi ilmu di Indonesia menciptakan pemisahan yang jelas
antara ilmu umum dan ilmu agama dalam pendidikan, memengaruhi lulusan
sekolah umum dan lulusan pesantren, serta lulusan perguruan tinggi berbasis
ilmu umum dan ilmu agama. Pemisahan ini juga menciptakan ketidaksetaraan
dalam akses dan peluang kerja di sektor formal dan informal. Kesimpulannya
untuk mengatasi masalah dikotomi ilmu dalam sistem pendidikan di Indonesia
sangat penting untuk mencapai pendidikan yang lebih inklusif dan berkualitas.
Peningkatan manajemen pendidikan, integrasi antara ilmu agama dan ilmu
umum, serta perubahan paradigma keilmuan yang lebih inklusif dapat membantu
mengatasi permasalahan ini sehingga dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat di Indonesia.

Keywords: Dikotomi Ilmu, Sistem Pendidikan


A. Pendahuluan
Perdebatan tentang hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama
dalam filsafat pendidikan Islam merupakan topik yang menarik. Beberapa
tokoh pendidikan mendukung pemisahan yang jelas antara ilmu pengetahuan
dan agama, sementara yang lain sangat menentang gagasan pemisahan
tersebut. Ada yang berpendapat bahwa agama tidak bisa dianggap sebagai ilmu
karena dianggap berada di luar wacana ilmiah.(Majida Faruk, 2023, hlm. 310)
Hal ini menyebabkan semakin jauhnya pemisahan antara ilmu yang berasal
dari wahyu Tuhan (ilmu wahyu) dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan
melalui analisa manusia, seperti dalam bidang filsafat, ilmu sosial, humaniora,
ilmu alam, dan ilmu eksakta.(Ahmad Qurtubi, 2019, hlm. 11). Bahkan hingga
saat ini, masih ada kecenderungan berpikir yang mengikuti pemisahan ini.
Konsep ini telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan umat Islam, terutama
dalam konteks pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Pembagian ilmu antara ilmu agama dan ilmu non-agama bukanlah
konsep baru dan telah ada dalam tradisi Islam selama lebih dari seribu tahun.
Namun dalam sistem pendidikan Islam, dikotomi ini baru menjadi sumber
permasalahan besar ketika metode pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke
dunia Islam melalui imperialisme Dalam konteks ilmu pengetahuan Barat
modern yang sering bertumpu pada positivisme, ilmu agama seringkali
dianggap inferior karena objek penelitian ilmu agama seringkali bersifat mistik
dan non-empiris.(Mulyadhi Kartanegara, 2005) . Hal ini menciptakan
kesenjangan antara ilmu agama dan ilmu umum, yang berakibat pada
pemisahan dalam system pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan sejak
zaman kolonial hingga saat ini. Salah satu isu yang masih menjadi perdebatan
hingga kini adalah dikotomi ilmu dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Dikotomi ini terjadi karena adanya pemisahan antara ilmu umum dan ilmu
agama. Hal ini menyebabkan munculnya dua sistem pendidikan di Indonesia.
(Salim, 2022, hlm. 2) Dampak dari dikotomiini adalah munculnya berbagai
istilah yang mencerminkan pemisahan tersebut, seperti fakultas umum dan
fakultas agama, sekolah umum dan sekolah agama.(Tri Yuliani & dkk, 2022,
hlm. 328) Pemisahan ini menciptakan kesan bahwa pendidikan agama berjalan
tanpa keterlibatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara pendidikan
umum dilaksanakan tanpa adanya unsur agama’
Namun, masalah ini lebih dalam daripada sekadar pemisahan antara
ilmu agama dan ilmu umum. Dikotomi ilmu ini meluas hingga menciptakan
perbedaan antara ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemisahan ini akhirnya
berkembang menjadi perbedaan antara pendidikan berbasis agama di bawah
Kementerian Agama (Kemenag) dan sekolah umum di bawah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sekolah berbasis agama secara
khusus diwakili oleh pesantren atau madrasah, sementara sekolah umum
menghadapi kontradiksi.(Syamsul Kurniawan, 2021, hlm. 26) Ini menciptakan
kontradiksi yang memengaruhi pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan di Indonesia.
Makalah ini membahas lebih lanjut tentang paradigma dikotomi ilmu
dalam sistem pendidikan di Indonesia. Mulai dari sejarah dan latar belakang
terjadinya dikotomi ilmu, dampaknya terhadap sistem pendidikan di Indonesia,
serta upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah dikotomi
ilmu dalam system Pendidikan di Indonesia.
B. Pembahasan
1. Definisi Dikotomi Ilmu
Dalam memahami konsep dikotomi ilmu, penting untuk terlebih
dahulu merinci makna dasar kata "dikotomi" itu sendiri, karena dalam hal
ini, kata "ilmu" hanya menjadi obyek diskusi. Kata "dikotomi" berasal dari
bahasa Inggris "dichotomy," yang merujuk pada tindakan memisahkan dan
menghadapkan dua hal yang berlainan.(John M. Echols & Hassan Shadily,
2000, hlm. 42) Dalam bahasa Indonesia, istilah "dikotomi" digunakan
sebagai adaptasi kata dari bahasa Inggris, yang memiliki makna secara
harfiah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai "pembagian dua
kelompok yang saling berlawanan."(Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 2000, hlm. 264)
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry dikotomi dapat dijelaskan
sebagai sebuah konsep yang melibatkan pembagian dalam dua bagian yang
berlawanan satu sama lain. Mujammil Qomar lebih mendetail dengan
mengartikan dikotomik sebagai pembagian atas dua konsep yang
bertentangan. John M. Echols menjelaskan dikotomi sebagai pembagian
dua bagian, atau sebagai pemisahan dua komponen yang berbeda. Al-
Faruqi menganggap dikotomi sebagai sebuah bentuk dualisme yang
melibatkan aspek-aspek keagamaan dan budaya.(Lalu Muhammad Nurul
Wathoni, 2019, hlm. 49)
Dengan memahami pengertian tersebut, “dikotomi ilmu” mengacu
pada tindakan membagi atau membedakan ilmu menjadi dua kategori atau
jenis yang dianggap saling bertentangan. Oleh karena itu, segala bentuk
Pembagian yang jelas dan berlawanan dengan ilmu disebut sebagai
dikotomi ilmu. Secara umum, contoh-contohnya mencakup istilah seperti
"ilmu umum (non-agama)" dan "ilmu agama"; "ilmu dunia" dan "ilmu
akhirat"; "ilmu hitam" dan "ilmu putih"; “ilmu eksak” dan “ilmu non-
eksak,” dan sebagainya. Ada juga yang menyebutkan dengan ilmu
syar’iyyah dan ilmu ghairu syar’iyyah, bahkan ada juga sebutan lainnya
seperti al-‘ulum al-diniyyah dan al-‘ulum al-‘aqliyyah.(Zaenudin Idris,
2019, hlm. 1)
Berdasarkan definisi-definisi ini, dapat disimpulkan bahwa
dikotomi adalah sikap yang membagi atau membedakan ilmu secara teliti
dan jelas menjadi dua bentuk atau dua jenis yang dianggap saling
bertentangan serta sulit untuk diintegralkan. Dengan adanya dikotomi ilmu
btersebut maka timbul istilah-stilah yang mendikotomikan ilmu, seperti
isitilah ilmu umum dan ilmu agama.

2. Sejarah Munculnya Pendidikan Islam dalam Konteks Regulasi


Pendidikan di Indonesia
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pendidikan Islam
terpinggirkan dan tidak mendapat dukungan seperti sekolah-sekolah Missie
dan Zending yang didukung oleh pemerintah Belanda. Ada pula sekolah-
sekolah Belanda lainnya seperti Europeesche Lagere School (ELS) dan
Holland Inlandsche School (HIS) untuk tingkat sekolah dasar, serta Meer
Unitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Algeemene Middelbare School
(AMS) untuk tingkat menengah. Pendidikan Islam tetap berkembang
dengan dukungan masyarakat, sehingga terdapat dikotomi dalam sistem
pendidikan antara pemerintahan Hindia Belanda dan pendidikan Islam.
Setelah kemerdekaan Indonesia, pendidikan Islam mendapatkan
pengakuan dan bahkan subsidi dana dari pemerintah karena kurikulum dan
sistemnya mirip dengan sekolah pemerintah. Namun, pesantren yang tidak
mematuhi aturan pemerintah tidak menerima fasilitas serupa. Ketika
Indonesia mengembangkan sistem pendidikan nasional, dikotomi antara
pendidikan agama Islam dan pendidikan umum tetap ada.
Kebijakan pendidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4
tahun 1950 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954 tentang Dasar-
Dasar Pendidikan memperkuat dikotomi ini. Pada awalnya, Madrasah
Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)
tidak diatur sebagai jenjang pendidikan formal. Namun, pendidikan agama
wajib diberikan dalam semua jalur dan jenjang pendidikan.
Namun, seiring berjalannya waktu, pengakuan terhadap lembaga
pendidikan Islam meningkat. Surat Keputusan Bersama tiga menteri pada
tahun 1975 menegaskan pengakuan ini. Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional mengakui Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) sebagai jenjang
pendidikan formal. Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan juga mengatur regulasi
pendidikan Islam dalam kerangka hukum Indonesia.(Lalu Muhammad
Nurul Wathoni, 2019, hlm. 56)
Pentingnya regulasi ini adalah untuk menciptakan sistem
pendidikan nasional yang komprehensif, menjaga keragaman pendidikan,
dan memberikan jaminan hak pendidikan kepada seluruh peserta didik.
Standar nasional pendidikan digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan
bermutu dan bersaing secara global. Regulasi ini juga menekankan
pentingnya pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib di semua jalur
dan satuan pendidikan, termasuk sekolah umum dan sekolah swasta.

3. Sejarah Munculnya Dikotomi Ilmu di Indonesia


Dalam konteks sejarah Indonesia, munculnya perbedaan dalam
sistem pendidikan dimulai sejak kedatangan Belanda yang menjajah
wilayah Nusantara. Sistem pendidikan kolonial yang dikelola oleh
pemerintah Belanda untuk anak-anak pribumi, atau sering kali diberikan
kepada misi dan zending Kristen dengan dukungan finansial dari
pemerintah Belanda. Pada awal abad ke-20, sistem pendidikan semacam itu
telah tersebar di berbagai kota, mencakup tingkat pendidikan dasar hingga
tingkat atas, termasuk lembaga pendidikan guru dan sekolah kejuruan.
Pendidikan di Indonesia pada saat itu dibagi menjadi dua kategori utama:
pendidikan sekuler ala Belanda yang tidak memasukkan unsur agama, dan
pendidikan di pesantren yang fokus hanya pada ajaran agama.(Lalu
Muhammad Nurul Wathoni, 2019, hlm. 60)
Belanda secara aktif mengadopsi tindakan yang menghambat dan
menghalangi perkembangan pendidikan di Indonesia, karena mereka
melihat pendidikan sebagai potensi ancaman terhadap kelangsungan
pemerintahan mereka. Salah satu tindakan penghambatan dan
penghalangan yang mereka terapkan adalah kemampuan pemerintah untuk
membubarkan sekolah-sekolah yang tidak memiliki izin resmi atau yang
tidak disetujui, yang disebut sebagai "Wilde School Ordonantie" atau
"Ordonasi Sekolah Liar." Selain itu, Belanda juga mengeluarkan peraturan
(ordinantie) yang melarang para guru, kyai, atau ulama untuk mengajar
tanpa izin resmi.
Pemerintah Belanda juga menerapkan prinsip konkordansi, yang
mewajibkan sekolah untuk mengadopsi orientasi Barat dan menghalangi
penyesuaian pendidikan dengan kondisi di Indonesia. Dengan kata lain,
setiap sekolah dipaksa untuk menjadi agen kebudayaan Barat dan alat
untuk misi Kristen. Mereka mengadopsi prinsip dan pola ini karena ingin
menghindari kemajuan pendidikan masyarakat pribumi dan pertumbuhan
Islam, yang bisa mengancam kekuasaan mereka dan keuntungan ekonomi
dalam perdagangan. Selain itu, mereka juga berusaha untuk
menyebarluaskan bahkan mengkristenkan seluruh Indonesia, sesuai dengan
cita-cita Snouck Hurgronje.
Dampak dari tindakan Belanda tersebut masih terlihat dalam
fenomena dikotomi pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Terdapat
pemisahan antara sekolah umum/Perguruan Tinggi umum yang berada di
bawah Departemen Pendidikan Nasional dan sekolah agama/Perguruan
Tinggi agama yang berada di bawah Departemen Agama. Dalam
masyarakat, terdapat perbedaan antara ilmu umum dan ilmu agama, serta
antara guru umum dan guru agama. Bahkan Perguruan Tinggi Agama
Islam seperti IAIN juga menerapkan pemisahan ilmu, dengan mayoritas
(90%) materi pelajarannya berfokus pada ilmu-ilmu agama.
(Kamaruzzaman, 2018, hlm. 3)
Akibatnya, terbentuk dua model pendidikan utama, yaitu
Pendidikan Islam tradisional dan pendidikan kolonial. Kedua jenis
pendidikan ini berbeda baik dalam tujuan maupun dalam kurikulum yang
digunakan. Meskipun Indonesia merdeka, pengaruh dualisme dalam sistem
pendidikan yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda tetap
bertahan.

4. Sebab-Sebab Munculnya Dikotomi Ilmu di Indonesia


Pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama di Indonesia telah
ada sejak lama. Secara historis, sebelum kemerdekaan, sudah terdapat
perpecahan antara pendidikan umum yang diatur oleh pemerintah kolonial
dan pendidikan agama (terutama Islam) yang dijalankan oleh masyarakat
pribumi Muslim. Dikotomi ini berdampak pada perkembangan ilmu umum
dan ilmu agama. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk
menyatukan keduanya, perpecahan ini terus berlangsung hingga saat ini.
UIN Malang mengidentifikasi tiga alasan utama yang menyebabkan adanya
perpecahan ilmu umum dan ilmu agama.
a. Manajemen dalam pengelolaan Pendidikan
Salah satu alasan utama dikotomi ini adalah masalah manajemen
dalam pengelolaan pendidikan. Meskipun undang-undang menetapkan
bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
adalah yang bertanggung jawab atas pendidikan, Kementerian Agama
(Kemenag) juga mengelola lembaga pendidikan dari tingkat dasar
hingga perguruan tinggi. Kemendikbud mengelola pendidikan umum,
seperti sekolah dasar, menengah, dan perguruan tinggi umum,
sementara Kemenag mengelola madrasah (MI, MTs., MA) dan
perguruan tinggi agama Islam (UIN/IAIN/STAIN) serta Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS).
Manajemen seperti ini berdampak pada perpecahan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Tidak hanya pada lembaga
pendidikannya, tetapi juga pada jenis ilmu yang diajarkan, yakni ilmu
agama dan ilmu umum. Meskipun ada diskusi dan seminar yang
mencoba untuk mengakhiri diskusi ini, dalam praktiknya, kedua jenis
ilmu ini masih sering dipisahkan.
Beberapa UIN dalam beberapa tahun terakhir telah berupaya
mengembangkan keilmuan yang lebih integratif. Meskipun beberapa
UIN selain mengembangkan fakultas agama juga mengembangkan
fakultas-fakultas ilmu umum. Namun, dalam praktiknya, masih terlihat
pemisahan ilmu agama dan ilmu umum. Ini tercermin dalam penamaan
fakultas dan bidang kajiannya. Beberapa ilmu yang berkaitan dengan
keislaman, seperti ilmu syariah, ushuluddin, tarbiyah, dakwah, dan
adab, tetap dianggap sebagai ilmu agama Islam, sementara ilmu yang
mencakup masalah sosial, humaniora, dan ilmu alam, belum tentu
dianggap sebagai kategori ilmu Islam. Dikotomi ini juga terjadi di Al-
Azhar di Mesir, yang merupakan lembaga pendidikan agama Islam
terkemuka. Selain fakultas keagamaan terdapat Fakultas Teknik,
Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi dan lain-lain dan terpisah dari
fakultas agama. Meskipun upaya dilakukan untuk mengintegrasikan
ilmu agama dan ilmu umum, masih terlihat pemisahan di beberapa
universitas.
b. Kontruksi Keilmuan oleh Umat Islam
Alasan kedua yang menyebabkan dikotomi antara ilmu umum dan
ilmu agama adalah konstruksi keilmuan yang dilakukan oleh umat
Islam. Dikotomi ini berasal dari pembagian ilmu seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Ilmu-ilmu seperti ushuluddin, syariah, tarbiyah,
dakwah, dan adab dianggap sebagai ilmu agama, sementara ilmu-ilmu
alam, sosial, dan humaniora dianggap sebagai ilmu umum. Pembagian
ini berasal dari sumber-sumber ilmu agama Islam yang bersumber dari
Al-Qur'an dan Hadis, sedangkan ilmu-ilmu umum dikembangkan
berdasarkan observasi, eksperimen, dan penalaran logistik.
Pandangan ini menyatakan perlunya pemikiran ulang terhadap
pembagian ilmu yang terlalu tegas. Dalam lingkungan pendidikan
Islam, khususnya di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI),
pembagian ilmu ini masih diterapkan, seperti yang ditampilkan dalam
gambar yang disajikan. Hal ini mengakibatkan perpecahan ilmu agama
dan ilmu umum, baik di lingkungan PTKI maupun di sekolah dan
madrasah.
Pengembangan ilmu dengan pembagiannya menjadi empat
kategori, yaitu ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta
ilmu-ilmu agama, tidak hanya berlaku di lingkungan perguruan tinggi,
tetapi juga di sekolah dan madrasah. Dalam pembagian ini, mata
pelajaran IPA, IPS, bahasa, seni budaya, dan PAI sering diajarkan
secara terpisah. Pandangan ini menunjukkan bahwa dalam konstruksi
ilmu, ilmu agama Islam terkadang dianggap lebih utama dibandingkan
dengan ilmu-ilmu umum. Hal ini dapat mempengaruhi pandangan
bahwa ilmu agama Islam mempunyai kedudukan yang lebih tinggi,
sedangkan ilmu-ilmu umum kurang dianggap penting atau bahkan
diabaikan.
Namun, dalam perkembangan peradaban, ilmu-ilmu umum
terbukti memberikan kontribusi yang lebih besar daripada “ilmu-ilmu
agama Islam” yang dikonstruksi oleh umat Islam. Banyak kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi kehidupan
manusia, seperti komputer, penjelajahan luar angkasa, teknologi medis,
dan sarana transportasi, merupakan hasil dari penelitian di bidang ilmu-
ilmu umum, bukan dari penelitian ilmu-ilmu agama. Oleh karena itu,
perlu ada tinjauan ulang tentang posisi ilmu agama Islam dalam konteks
perkembangan peradaban, dimana ilmu agama Islam hendaknya
dianggap sebagai sumber pengetahuan, bukan sebagai ilmu yang setara
dengan ilmu-ilmu umum. Hal ini akan membantu menghindari
pandangan yang bersifat dikotomi dan memposisikan Al-Qur'an dan
Hadis sebagai sumber ilmu pengetahuan.
c. Pandangan Penggunaan Istilah Bahasa Arab yang Lebih Islami
Alasan ketiga yang mendukung dikotomi antara ilmu umum dan
ilmu agama adalah penggunaan istilah-istilah berbahasa Arab yang
dianggap lebih Islami daripada istilah-istilah berbahasa Indonesia.
Terkadang, masyarakat mengasosiasikan penggunaan istilah-istilah
berbahasa Arab dengan rasa Islami yang lebih kuat. Misalnya, ketika
nama-nama surat dalam Al-Qur'an diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, terasa kurang berkaitan dengan aspek agama. Penggunaan
istilah bahasa Arab cenderung memberikan kesan lebih Islami,
meskipun ini bersifat subjektif.
Bagi sebagian masyarakat, penggunaan istilah-istilah berbahasa
Arab membuat mereka merasa lebih Islami, sementara yang tidak
menggunakannya mungkin merasa kurang Islami. Hal ini dapat
menciptakan perasaan subjektif bahwa penggunaan istilah-istilah
berbahasa Arab memiliki nilai lebih Islami. Terkadang, istilah-istilah
berbahasa Arab digunakan bersamaan dengan identitas tertentu, seperti
janggut atau pemendekan celana untuk laki-laki, yang membuat
seseorang terlihat lebih Islami.(Khozin, 2016, hlm. 160)
Secara keseluruhan, dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama
di Indonesia dapat dijelaskan oleh tiga faktor utama. Pertama, faktor
pengelolaan pendidikan di Indonesia oleh dua Kementerian, yaitu
Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, yang memberikan
dampak pada umat Islam secara signifikan. Kedua, konstruksi keilmuan
Islam yang diinisiasi oleh umat Islam sendiri, khususnya dalam
pengembangan ilmu-ilmu keislaman, seperti fakultas-fakultas tarbiyah,
syari'ah, ushuluddin, adab, dan dakwah di jenjang pendidikan tinggi.
Ketiga, penggunaan istilah-istilah berbahasa Arab oleh umat Islam di
Indonesia yang sering kali dihubungkan dengan kesan lebih Islami,
walaupun ini bersifat subjektif. Namun, penting untuk diingat bahwa
akar masalah dikotomi ilmu ini tidak semata-mata disederhanakan
seperti yang dijelaskan di atas. Historisnya, faktor-faktor ini lebih
kompleks dan bervariasi, tetapi faktor-faktor utama ini memainkan
peran kunci dalam memahami fenomena dikotomi ilmu antara ilmu
umum dan ilmu agama dalam konteks Indonesia.

5. Permasalahan Dikotomi Ilmu dalam Sistem Pendidikan di Indonesia


Dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 33 ayat (3) mengatur
bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk menjalankan satu sistem
pendidikan nasional yang memperkuat nilai-nilai keagamaan. Ini
mengartikan bahwa pemerintah hanya menjalankan satu sistem pendidikan
nasional. Namun, di sisi lain, pemerintah juga mengoperasikan dua jenis
sistem pendidikan: pertama, sistem pendidikan yang fokus pada ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang bersifat "sekuler," seperti sekolah; dan
kedua, sistem pendidikan yang menjaga pendidikan agama sebagai fitur
utamanya, seperti madrasah. Kedua jenis pendidikan ini dikelola oleh
pemerintah. Keduanya sering disebut "Negeri," seperti SDN dan MIN pada
tingkat dasar, SMPN dan MTsN pada tingkat menengah, dan SMUN,
SMKN, dan MAN pada tingkat atas. Di tingkat perguruan tinggi, terdapat
PTUN dan PTAIN.
Selain itu, masih ada dualitas sistem pendidikan di mana di satu
sisi, pemerintah mengelola pendidikan, dan di sisi lain, masyarakat juga
mengelola pendidikan. Dalam konteks ini, dikotomi ini berkembang
menjadi sekolah Negeri dan sekolah Swasta. Secara resmi, pemerintah
mengelola pendidikan formal melalui Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Depdikbud), atau yang sekarang dikenal sebagai Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas). Di satu sisi, semua kewenangan
pengaturan dan pengelolaan pendidikan berada di bawah Depdiknas, tetapi
dalam kenyataannya, Departemen Agama dan beberapa departemen lain
juga mengelola lembaga pendidikan di bawah naungan mereka, seperti
madrasah (mulai dari madrasah Ibtidaiyah hingga Aliyah) dan PTAI.
Dengan demikian, pemerintah pada kenyataannya telah menerapkan sistem
pendidikan ganda atau sistem pendidikan yang memiliki karakteristik
dikotomik.(Basyit, 2019, hlm. 16)
Menurut Malik Fajar, dikotomi dalam sistem pendidikan di
Indonesia terlihat dalam perbedaan antara perguruan tinggi umum dan
pesantren. Perguruan tinggi umum dianggap memiliki keunggulan dalam
hal pemahaman rasional dan keterampilan, tetapi kurang dalam hal moral
dan etika. Di sisi lain, pesantren dianggap unggul dalam aspek moral,
namun kurang dalam hal pemahaman rasional. Sebagai hasilnya, meskipun
pesantren mampu menghasilkan individu yang kuat secara moral, mereka
cenderung memiliki keterbatasan dalam hal kecerdasan intelektual.
Sementara itu, menurut Baiquni, dikotomi dalam pendidikan
menjadi salah satu hambatan bagi kemajuan umat Islam di dunia. Untuk
mengatasi dikotomi ini, idealnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dapat
memulai inisiatif untuk menggabungkan Imtaq (moral dan etika) dengan
Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Namun, di Indonesia, lembaga-
lembaga pendidikan Islam masih menghadapi kendala seperti keterbatasan
dana dan tenaga pendidik, sehingga upaya untuk mengintegrasikan Imtaq
dan Iptek masih menjadi cita-cita yang belum terwujud dalam program
pendidikan yang konkret.(Mukhtar Samad, 2016, hlm. 15)
Masih banyak masalah pendidikan lainnya di Indonesia, seperti
partisipasi masyarakat dalam pendidikan, manajemen sekolah, dan lain-
lain, yang belum terselesaikan hingga saat ini. Sebagai akibatnya, kualitas
pendidikan di Indonesia berada di bawah standar jika dibandingkan dengan
negara-negara Asia dan dunia secara umum.

6. Dampak Dikotomi Ilmu di Indonesia


Dikotomi ilmu dalam sistem pendidikan Indonesia telah memiliki
dampak yang signifikan. Dikotomi ini merujuk pada pemisahan antara ilmu
umum dan ilmu agama dalam sistem pendidikan Indonesia. Dalam sistem
pendidikan Indonesia, terdapat dua jenis institusi pendidikan, yaitu institusi
pendidikan umum (termasuk sekolah dan perguruan tinggi umum) dan
institusi pendidikan agama (seperti madrasah, pesantren, dan perguruan
tinggi agama).
Dampak dari dikotomi ini mencakup beberapa kesenjangan dalam
sistem pendidikan Indonesia. Salah satunya adalah kesenjangan antara
lulusan sekolah umum dan lulusan pesantren. Lulusan sekolah umum lebih
mudah menemukan pekerjaan di sektor formal, sementara lulusan
pesantren cenderung bekerja di sektor informal. Selain itu, dikotomi ini
juga menciptakan kesenjangan antara lulusan perguruan tinggi berbasis
ilmu umum dan lulusan perguruan tinggi berbasis ilmu agama. Lulusan
perguruan tinggi yang berbasis ilmu umum lebih mudah mendapatkan
pekerjaan di sektor formal, sementara lulusan perguruan tinggi berbasis
ilmu agama lebih banyak berkarir di sektor informal.
Selain itu, dikotomi ilmu juga berdampak pada kualitas pendidikan.
Pembagian yang tegas antara ilmu umum dan ilmu agama dalam sistem
pendidikan Indonesia menghambat integrasi antara dua jenis ilmu tersebut.
Hal ini membuat lulusan perguruan tinggi berbasis ilmu agama seringkali
kesulitan bersaing dengan lulusan perguruan tinggi berbasis ilmu umum
dalam dunia kerja.
Untuk mengatasi dampak negatif dari dikotomi ilmu ini,
pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah. Salah satu
langkah yang diambil adalah upaya untuk mengintegrasikan ilmu umum
dan ilmu agama dalam kurikulum pendidikan. Pemerintah juga telah
meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia.(Bisyri, t.t., hlm. 8)
Secara keseluruhan, dikotomi ilmu dalam sistem pendidikan
Indonesia telah menciptakan sejumlah kesenjangan, termasuk di antara
lulusan sekolah umum dan pesantren, serta lulusan perguruan tinggi
berbasis ilmu umum dan ilmu agama. Upaya integrasi ilmu umum dan ilmu
agama dalam kurikulum pendidikan, bersama dengan upaya peningkatan
kualitas pendidikan, menjadi langkah penting dalam mengatasi dampak
negatif dari dikotomi ilmu ini.

7. Solusi Mengatasi Dikotomi Ilmu dalam Sistem Pendidikan di


Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
Republik Indonesia No. 20 tahun 2003, Pasal 3 mengungkapkan bahwa
tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk membimbing warga negara
menuju kehidupan yang penuh nilai keagamaan. Dalam rangka menerapkan
undang-undang ini, integrasi menjadi alternatif yang penting untuk
membuat pendidikan lebih holistik. Konsep integrasi, yang
menggabungkan nilai-nilai agama dan umum, bukan hanya upaya untuk
mendapatkan dukungan akademik, melainkan suatu kebutuhan yang harus
diterapkan sebagai pedoman pendidikan. Hal ini disebabkan karena
pendidikan selama ini sering dipengaruhi oleh dualisme yang kuat antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Meskipun ada upaya untuk
mengintegrasikan ilmu pengetahuan umum dengan nilai-nilai agama, hal
ini harus dilakukan tanpa memisahkan keduanya.
Tujuan dari pendidikan nilai sebenarnya adalah untuk membantu
peserta didik mengembangkan kemampuan interaksi tingkat tinggi, serta
meningkatkan solidaritas dan kekompakan. Namun, pencapaian tujuan
pendidikan nilai ini memerlukan aturan, moral, dan pembentukan struktur
yang kuat. Oleh karena itu, pendidik harus lebih dari sekadar memberikan
pengetahuan tentang tujuan dan hubungannya dengan alat pembelajaran.
Solusi untuk mengatasi dikotomi ilmu di Indonesia termasuk:
a. Melakukan pembelajaran yang efisien yang mengintegrasikan nilai-
nilai agama Islam ke dalam mata pelajaran umum. Contohnya adalah
praktik yang diterapkan di madrasah, di mana selain ilmu agama, juga
diajarkan ilmu umum.
b. Meningkatkan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai keimanan dan
ketaqwaan dalam berbagai aspek kehidupan peserta didik. Misalnya,
dengan membaca ayat suci Al-Qur'an sebelum pelajaran atau menghafal
surah-surah pendek di sekolah umum.
c. Mengubah perguruan tinggi agama (seperti IAIN atau STAIN) menjadi
UIN yang mencakup ilmu umum dan ilmu agama.
d. Menggabungkan pendekatan sekuler modern dalam pendidikan dengan
konsep-konsep ajaran Islam, mengikuti model yang diusulkan oleh
Fazlur Rahman, atau mengadopsi islamisasi ilmu dalam pendidikan
dengan menggabungkan dua sistem pendidikan tradisional dan modern,
seperti yang dianjurkan oleh Al-Faruqi.(Puspita dkk., t.t., hlm. 45)

C. Analisis Penulis
Dikotomi ilmu, yang memisahkan ilmu umum dan ilmu agama,
memiliki akar yang dalam dalam sejarah pendidikan Indonesia. Penjajahan
Belanda memainkan peran kunci dalam pembentukan paradigma ini.
Selama masa penjajahan, pemerintah kolonial Belanda mempromosikan
pendidikan umum yang bersifat sekuler, sementara pendidikan agama,
terutama Islam, dikelola oleh masyarakat pribumi Muslim. Sebagai
hasilnya, terdapat pemisahan yang jelas antara ilmu umum dan ilmu agama,
menciptakan dua aliran pendidikan yang berbeda di dalam masyarakat
Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, dikotomi ilmu ini masih berlanjut.
Sekolah-sekolah umum terus mengajar mata pelajaran yang bersifat
sekuler, sementara pendidikan agama tetap menjadi tanggung jawab
pesantren dan institusi-institusi keagamaan. Ini menciptakan
ketidakseimbangan dalam sistem pendidikan, di mana lulusan sekolah
umum cenderung memiliki pemahaman yang lebih luas tentang ilmu
pengetahuan umum, sementara lulusan pesantren mungkin lebih mendalami
ilmu agama, tetapi kurang dalam pengetahuan umum.
Dampak dari dikotomi ilmu ini dapat dilihat dalam berbagai aspek
masyarakat, termasuk dalam sektor pekerjaan. Lulusan sekolah umum
sering lebih diutamakan dalam banyak profesi, sedangkan lulusan
pesantren atau lembaga pendidikan agama seringkali menghadapi
keterbatasan dalam mencari pekerjaan di luar lingkungan keagamaan.
Untuk mengatasi dampak negatif dari dikotomi ilmu ini, ada upaya
untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum dalam kurikulum
pendidikan. Meskipun langkah-langkah menuju integrasi telah diambil,
masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Pendidikan yang
holistik dan seimbang harus menjadi tujuan utama dalam upaya reformasi
pendidikan di Indonesia. Hal ini akan membantu menciptakan lulusan yang
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas, serta lebih siap
untuk menghadapi tuntutan dunia kerja yang semakin kompleks.
D. Penutup
Dikotomi ilmu dalam sistem pendidikan Indonesia telah ada sejak
masa penjajahan Belanda dan berdampak signifikan dalam perkembangan
pendidikan di negara ini. Pemisahan yang tegas antara ilmu umum dan ilmu
agama telah menciptakan kesenjangan dalam sistem pendidikan, memengaruhi
lulusan sekolah umum dan pesantren, serta lulusan perguruan tinggi berbasis
ilmu umum dan ilmu agama. Upaya untuk mengatasi dampak negatif dari
dikotomi ilmu termasuk integrasi ilmu umum dan ilmu agama dalam
kurikulum pendidikan.
Solusi untuk mengatasi dikotomi ilmu ini mencakup pengintegrasian
nilai-nilai agama Islam ke dalam mata pelajaran umum, meningkatkan
pemahaman dan pengamalan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dalam
berbagai aspek kehidupan peserta didik, mengubah lembaga pendidikan agama
menjadi yang mencakup ilmu umum dan ilmu agama, serta mengadopsi
pendekatan yang menggabungkan konsep ajaran Islam dengan pendekatan
sekuler modern dalam pendidikan.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan bahwa dikotomi ilmu dalam
sistem pendidikan Indonesia dapat diatasi, dan pendidikan menjadi lebih
holistik, mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan ilmu pengetahuan umum,
serta menciptakan kesempatan yang lebih adil dan setara bagi semua peserta
didik.
Daftar Pustaka

Ahmad Qurtubi. (2019). Bunga Rampai Manajemen Pendidikan Tinggi Islam

Menata Ulang Pendidikan Tinggi Islam Menuju Pendidikan Bermutu. CV.

Jakad Media Publishing.

Basyit, A. (2019). DIKOTOMI DAN DUALISME PENDIDIKAN DI INDONESIA.

4(1).

Bisyri, M. H. (t.t.). MENGAKHIRI DIKOTOMI ILMU DALAM DUNIA

PENDIDIKAN.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2000). Kamus Besar Bahasa

Indonesia (3 ed.). Balai Pustaka.

John M. Echols, & Hassan Shadily. (2000). Kamus Inggris-Indonesia: An

EnglishIndonesian Dictionary (24 ed.). Gramedia.

Kamaruzzaman, K. (2018). PARADIGMA ISLAMISASI ILMU DI INDONESIA

PERSPEKTIF AMIN ABDULLAH. JURNAL AL-AQIDAH, 10(1), 1–18.

https://doi.org/10.15548/ja.v10i1.1384

Khozin. (2016). Pengembangan Ilmu di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Kencana.

Lalu Muhammad Nurul Wathoni. (2019). Integritas Pendidikan Islam dan Sains

Rekontruksi Paradigma Pendidikan Islam. CV, Uwais Inspirasi.

Majida Faruk, R. I. (2023). Dikotomi Ilmu Dalam Pendidikan Islam.

https://doi.org/10.5281/ZENODO.7680716

Mukhtar Samad. (2016). Integrasi Pembelajaran Bidang Studi IPTEK dan Al-

Islam. Sunrise.
Mulyadhi Kartanegara. (2005). Integrasi Ilmu Sebuah Rekrontuksi Holistik.

Arasy.

Puspita, A. W., Siraturrahmah, R. M., & Rijal, M. K. (t.t.). PROBLEMATIKA

DAN SOLUSI DIKOTOMI ILMU DI INDONESIA.

Salim, A. (2022). DIKOTOMI ILMU PERSPEKTIF IMAM GHAZALI DAN

PENGARUHNYA TERHDAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI

INDONESIA. 10(1).

Syamsul Kurniawan. (2021). Isu-Isu Kontemporer Tentang Islam dan Pendidikan

Islam (2 ed.). Ayunindya.

Tri Yuliani, & dkk. (2022). Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Pendidikan Islam.

CV. Azka Pustaka.

Zaenudin Idris. (2019). Dikotomi Ilmu dalam Perspektif dan Sejarah Islam.

Karima.

Anda mungkin juga menyukai