Anda di halaman 1dari 11

1

MITOS SEBAGAI PRODUK OLAH PIKIR MANUSIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Filsafat Sains dan Bioetika


yang diampu oleh Dr. Murni Saptasari, M. Si

Disusun oleh :
Nabilla Gezy Amaringga
NIM 180341863041

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FEBRUARI 2016
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat ALLAH SWT. yang telah melimpahkan


Rahmat dan Karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Mitos
Sebagai Produk Olah Pikir Manusia” dalam rangka memnuhi tuntutan
matakuliah Filsafat Sains dan Bioetika ini dapat terselesaikan sebagaimana
mestinya. Sholawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada junjungan
Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, atas bimbingan Beliau sehingga
kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Ucapan terimakasih kami berikan kepada Ibu Murni Saptasari,


sebagai dosen pengampu matakuliah Filsafat Sains dan Bioetika yang
telah memberikan kami kesempatan untuk membuat makalah ini sebagai
pedoman, acuan, dan sumber belajar, serta kepada pihak-pihak lain yang
turut serta membantu dalam menyempurnakan makalah ini.

Akhir kata, Penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak


kesalahan baik dari segi bahasa, tulisan, maupun kalimat yang kurang
tepat dalam makalah ini, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan
makalah berikutnya.

Malang, 5 September 2018

Penyusun
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ i

DAFTAR ISI ............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ............................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Mitos ................................................................................. 6

B. Perkembangan Mitos ............................................................................ 7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 11


4

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk individu yang memerlukan pola tingkah laku


yang bukan tindakan instingtif belaka. Manusia biasa dikenal dengan Homo
sapiens yang berarti makhluk yang berpikir, karena memiliki akal pikiran yang
dapat digunakan untuk berpikir dan berlaku bijaksana. Sebagai makhluk berfikir,
manusia dibekali hasrat selalu ingin tahu, tentang benda- benda yang ada dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi disekelilingnya, termasuk ingin tahu tentang
dirinya. Adanya dorongan rasa ingin tahu dan usaha untuk memahami dan
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi, akhirnya manusia dapat
mengumpulkan pengetahuan. Keingintahuan yang makin meningkat
menyebabkan pengetahuan dan daya fikirnya juga makin berkembang. Akhinya
tidak hanya terbatas pada obyek yang dapat diamati dengan pancaindera saja,
tetapi masalah-masalah lain, misalnya berhubungan dengan penilaian hal-hal baik
dan buruk, indah atau tidak indah.
Dengan akal tersebut, manusia dapat mengembangkan potensi-potensi
yang ada di dalam dirinya seperti, karya, cipta, dan karsa. Dengan pengembangan
potensi-potensi yang ada, manusia mampu mengembangkan dirinya sebagai
manusia seutuhnya yaitu makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Proses berfikir adalah suatu refleksi yang teratur dan hati-hati. Proses
berfikir lahir dari suatu rasa ingin tau akan sesuatu, dan keinginan untuk
memperoleh suatu ketentuan, yang kemudian tumbuh menjadi suatu masalah yang
khas. Melalui kemampuan berpikir manusia, maka ada beragam produk olah pikir
manusia. Salah satu produk olah pikir manusia adalah mitos. Mayoritas manusia
zaman dahulu, proses berfikir logis dan rasional sangatlah terbatas, sehingga
melahirkan suatu kepercayaan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan metode
ilmiah. Saat ini masyarakat menganggap mitos sebagai apa yang diyakini itu
benar, sehingga hal itu menjadi suatu kebudayaan dan adat istiadat yang turun-
menurun dalam masyarakat.

4
5

Dalam mempelajari filsafat sains, perlu diperhatikan bahwa manusia


merupakan makhluk berpikir. Pemikiran manusia semakin lama akan semakin
berkembang karena adanya kombinasi fungsi antara dua organ, yaitu otak dan
pancaindra, sehingga menghasilkan beragam produk hasil olah pikir manusia
salah satunya mitos. Berdasarkan hal tersebut maka disusunlah makalah ini untuk
mempelajarai mitos sebagai produk olah pikir manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian mitos sebagai produk olah pikir manusia?
2. Bagaimanakah perkembangan mitos?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian mitos sebagai produk olah pikir manusia
2. Untuk mengetahui perkembangan mitos
6

BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Mitos

Mitologi berasal dari kata “mite” atau “mitos”dan “logos”. Menurut


Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mitos adalah cerita suatu bangsa tentang
dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul
semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang
diungkapkan dengan cara gaib. Mitologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang
mitos. Lebih lengkapnya mitologi merupakan ilmu tentang bentuk sastra yang
mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk
halus di suatu kebudayaan (KBBI, 2002).
Menurut Sutomo (2009), mitos merupakan hasil atau produk olah pikir
manusia yang muncul akibat adanya gabungan dari pemikiran, pengalaman dan
kepercayaan, yang kemudian ditanamkan secara turun-temurun karena telah
menjadi suatu kepercayaan. Mitos pada dasarnya mengandung unsur-unsur
pendidikan tentang fenomena alam, yang diajarkan secara tersirat atau
tersembunyi dan biasanya dikemas dalam bentuk cerita dongeng agar dapat
dilestarikan secara turun-menurun. Unsur-unsur dalam mitos berupa pemikiran
dan pengalaman yang dikemas dengan unsur kepercayaan agar diperhatikan atau
dikerjakan orang.
Mitos sebenarnya adalah olah pikir manusia yang berupa kreasi atau
bentuk cerita yang mengandung makna ajaran atau maksud tertentu dari
penciptanya. Menurut Sutomo, (2009) ada pendapat mengenai pencipta mitos.
Pendapat pertama menyatakan bahwa pencipta mitos tidak menghendaki namanya
dicantumkan karena menurutnya nama itu tidak penting, yang lebih penting
adalah gagasan atau ide cerita dapat dipahami dan dilakukan oleh masyarakat.
Dengan tidak mencantumkan nama dirinya sebagai pencipta maka akan timbul
persepsi bahwa anjuran dan mitos tersebut datang dari dewa, sehingga ajaran dari
mitos tersebut dapat lestari diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya.
Pendapat kedua ada kemungkinan pada awalnya nama pencipta mitos juga
dicantumkan, tetapi seiring berjalannya waktu nama tersebut telah dilupakan

6
7

seperti halnya pada cerita-cerita wayang kulit dimana masing-masing cerita ada
pengarangnya, namun tidak terlalu diperhatikan karena yang penting adalah alur
ceritanya.

B. Perkembangan Mitos
Cerita yang berdasarkan atas mitos disebut legenda. Mitos timbul
disebabkan antara lain oleh keterbatasan alat indera manusia: penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa. Alat-alat indera tersebut berbeda-
beda di antara manusia. Ada yang sangat tajam inderanya, ada yang tidak. Akibat
keterbatasan alat indera, maka mungkin saja timbul salah informasi. Dan akibat
perbedaan ketajaman alat indera, maka mungkin saja timbul perbedaan informasi.
Indera bisa terus dilatih untuk meningkatkan fungsi dan ketajamannya.
Pada masa itu, mitos masih dapat diterima oleh masyarakat karena: a.
keterbatasan pengetahuan yang disediakan oleh keterbatasan penginderaan, baik
langsung maupun tidak langsung; b. keterbatasan penalaran manusia pada saat itu;
c. terpenuhinya hasrat ingin tahu (Mawardi dan Hidayati, 2009)
Perkembangan mitos sampai saat ini masih berlaku dan diyakini oleh
sebagian besar masyarakat. Kebanyakan dari mereka adalah mayarakat pedesaan
yang masih kental memegang erat hukum adat. Bahkan beberapa kasus, mitos ini
masih diakui oleh masyarakat kota. Pengakuan akan adanya mitos, berkembang
menjadi sebuah kepercayaan. Dan kepercayaan inilah yang nantinya diambil,
difiltrasi, berasimilasi dengan sebuah agama serta menjadi sebuah budaya
mayarakat tertentu yang mencoba untuk dilestarikan.
Seseorang yang memperacayai sebuah mitos akan memiliki suatu
pemikiran bahwa orang yang tidak menjalankan sesuai dengan yang dianjurkan,
dipercaya akan mendapat masalah dikemudian hari dan mungkin pula akan
mendapat kutukan (Sutomo, 2009). Sebagai contoh adalah orang tua yang
menceritakan tentang anak kecil yang dilarang keluar malam ketika menjelang
maghrib. Orang tua tersebut mengatakan jika anaknya melanggar larangan itu, ia
akan dibawa oleh wewe gombel atau kolong wewe. Tentu saja tidak ada
hubungan antara keluar malam dengan wewe gombel, namun begitulah cara orang
tua untuk melarang anaknya jika akan melakukan sesuatu yang dapat
mencelakakan.
8

Kemungkinan mitos tersebut telah ada sejak jaman dulu, dimana rumah-
rumah penduduk masih banyak di hutan yang lebat dan masih banyak harimau
atau hewan buas yang lainnya serta belum ada penerangan listrik ketika menjelang
malam sehingga semua penduduk harus berhati-hati. Meskipun tidak pernah
mengenyam pendidikan formal apalagi bergelar, masyarakat jaman dulu cukup
cerdas. Namun ketika cara tersebut digunakan oleh masyarakat modern sekarang
yang tidak bertempat tinggal di hutan, malam hari terang benderang dan
mengetahui binatang buas semacam harimau setelah berkunjung di kebun
binatang, larangan itu terdengar naïf dan takhayul. Padahal masyarakat zaman
dulu tidak bermaksud menciptakan takhayul, melainkan berfikir empiris dan
cukup logis yang dikemas dengan hal-hal yang dapat dipercaya secara turun-
temurun.
Mitos yang berupa cerita yang mengandung makna ajaran tertentu
apabila diturunkan dari generasi ke generasi sebagai penentu dan pengatur tingkah
laku manusia dalam masyarakat, maka akan menjadi suatu kebudayaan. Budaya
yang tumbuh dalam masyarakat yang memiliki pola pikir mitologi, maka akan
memiliki persepsi budaya yang mitologis sehingga masyarakat akan mengaitkan
antara pengetahuan, pengalaman dan kepercayaan.
Mitos adalah cara atau metode paling dasar yang dipakai oleh manusia
zaman dahulu untuk meyakini sebuah kebenaran. Mitos secara kebetulan terjadi
berulang-ulang sehingga keakuratannya lebih bisa diakui oleh masyarakat. Jika
mitos hanya terjadi sekali atau dua kali, maka masyarakat tidak akan
mempercayai hal tersebut sehingga belum dianggap sebagai sebuah mitos.
Seiring berkembangnya kemampuan berpikir manusia, disertai dengan
penemuan alat-alat penelitian, seperti teropong, lensa pembesar, mikroskop, dan
sebagainya, maka manusia semakin terdorong untuk melakukan pengamatan,
observasi dan penelitian. Akhirnya, banyak kebenaran baru yang terungkap
berdasarkan empirisme tersebut. Adakalanya hasil penemuan empiris bersesuaian
dengan mitos yang ada sehingga mendukung adanya mitologi yang berkembang
di masyarakat. Namun tak jarang pula penemuan tersebut berbeda dengan
mitologi yang sudah terlanjur diyakini masyarakat. Hasil penemuan yang berbeda
dari pengamatan yang lebih bersifat empiris inilah yang kemudian secara otomatis
9

menolak mitos-mitos dengan berbagai legendanya. Hal tersebut membuat


mereka cenderung untuk mengunakan akal sehat atau berpikir ilmiahnya. Dengan
adanya penemuan tersebut maka penggunaan metode ilmiah mulai digunakan
sebagai cara untuk mencari kebenaran khusunya kebenaran yang bersifat material
dan fisik. Metode ilmiah semakin berkembang dengan ditemukannya kajian-
kajian bidang ilmu seperti fisika, biologi, kimia, matematika, kedokteran, dll.

Menurut Feyerabend dalam Muslih (2010), sains dekat sekali dengan


mitos. Metode ilmiah penuh dengan asumsi-asumsi kosmologis. Adanya metode
ilmiah merupakan perkembangan dari kepercayaan yang didasarkan pada
mitologi. Mitologi-mitologi yang berkembang telah membuat keharmonisan
antara kosmologi. Dan dari kosmologi itulah muncullah ilmu. Ilmu yang muncul
merupakan olah dari pola pikir berupa penalaran. Dan penalaran sendiri bagian
tak terpisahkan dari hasrat ingin tahu (curiousity).
Sains itu sendiri menjadi begitu otoritatif dalam modernitas bukan karena
rasionalitas argumennya, melainkan karena propaganda (represif) lewat industri,
teknologi, dan institusi-institusi ilmiah. Inti persoalan Feyerabend sesungguhnya
adalah bahwa metode ilmiah menurutnya tidak boleh memonopoli kebenaran
dalam kehidupan. Ia tidak lebih benar daripada perdukunan, astrologi, dan
seterusnya karena hal-hal tersebut juga bentuk-bentuk pengetahuan yang
bermakna dalam kehidupan. Semuanya memiliki hak yang setara dalam
menafsirkan dunia di dalam masyarakat yang bebas.
Antara mitologi atau mitos dengan metode ilmiah sama-sama merupakan
sebuah metode atau cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang bermula dari
keraguan untuk mencapai hakikat ketidakraguan (keyakinan).Bedanya antara
mitologi dan metode ilmiah, menurut penulis mencakup dua hal: pertama, waktu
terbentuknya mitos dan metode ilmiah berbeda. Bahkan bisa dikatakan, metode
ilmiah merupakan kelanjutan dari berkembangnya mitor-mitos tanpa harus
menghapus mitos-mitos yang sudah berkembang. Kedua, tingkat keakuratan
antara mitos dan metode ilmiah berbeda satu sama lain. Mitos bisa saja dihapus
jika kebenaran mitos sudah tidak relevan dengan kehidupan saat ini. Mitos juga
bisa ditolak jika kebenarannya sudah terpatahkan dengan adanya metode ilmiah
yang lebih akurat kebenarannya untuk mengetahui sebuah pengetahuan.
10

BAB III
Penutup

A. Kesimpulan

Mitos merupakan hasil olah pikir manusia yang muncul akibat adanya
gabungan dari pemikiran dan pengalaman yang kemudian ditanamkan secara
turun-temurun karena telah menjadi suatu kepercayaan. Mitos pada dasarnya
mengandung unsur-unsur pendidikan berupa pemikiran dan pengalaman tentang
fenomena alam, yang diajarkan secara tersirat atau tersembunyi dan biasanya
dikemas dalam bentuk cerita.
Perkembangan mitos telah terbentuk dari jaman dulu hingga sekarang,
dimana mitos yang berbentuk suatu kepercayaan dikembangkan turun menurun
antar generasi. Namun pada saat ini, telah ada metode ilmiah sebagai cara lain
untuk membuktikan suatu fakta atau fenomena dalam masyarakat, sehingga
sedikit demi sedikit kepercayaan masyarakat tekait mitos mulai berkurang.

10
11

Daftar Rujukan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta : Balai Pusaka.
Mawardi dan Hidayati, N. 2009. Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu
Budaya Dasar (IAD, ISD, IBD). Bandung: CV Pustaka Setia.
Muslih, Mohammad. 2010. Pengaruh Budaya dan Agama Terhadap Sains
Sebuah Survey Kritis. Jurnal TSAQAFAH, 6(2), 226-247
Sutomo, . Filsafat Ilmu Kealaman dan Etika Lingkungan. Malang: UM press.

Anda mungkin juga menyukai