Anda di halaman 1dari 66

Nama: Sifa’u Suqmin Zamzami

NIM: 170101042

Kelas: IV B

Tugas Mata Kuliah: Fiqh Jinayah dan Siyasah

1. Pengertian Fiqh Siyasah

Istilah Fiqh Siyasah merupakan tarqib idhafi atau kalimat majemuk yang
terdiri dari dua kata, yakni fiqh dan siayasah. Secara etimologis. Fiqh merupakan
bentuk mashdar (gerund) dari tashrifan kata fiqha-yafqahu-fiqhan yang berarti
pemahaman yang mendalam dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan
atau tindakan tertentu.
Sedangkan secara terminologis, fiqh lebih popular didefinisikan sebagai
berikut: Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari
dalil-dalilnya yang rinci.
Sementara mengenai asal kata siyasah terdapat dua pendapat. Pertama,
sebagaimana dianut Al-Maqrizy menyatakan, siyasah berasal dari bahasa Mongol,
yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan huruf sin berbaris kasrah di awalnya
sehingga dibaca siyasah. Pendapat tersebut didasarkan kepada sebuah kitab undang-
undang milik Jengish Khan yang berjudul Ilyasa yang berisi panduan pengelolaan
negara dengan berbagai bentuk hukuman berat bagi pelaku tindak pidana tertentu.
Kedua, sebagaimana dianut Ibn Taghri Birdi, siyasah berasal dari campuran tiga
bahasa, yakni bahasa Persia,turki dan mongol.
Ketiga, semisal dianut Ibnu manzhur menyatakan, siyasah berasal dari bahasa
arab, yakni bentuk mashdar dari tashrifan kata sasa-yasusu-siyasatun, yang semula
berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda. Sejalan dengan
makna yang disebut terakhir ini, seseorang yang profesinya sebagai pemelihara kuda.
Sedangkan secara terminologis banyak definisi siyasah yang dikemukakan oleh
para yuridis Islam. Menurut Abu al-Wafa Ibn ‘Aqil, siyasah adalah sebagai berikut:
“Siyasah berarti suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada
kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan , kendati pun Rasulullah tidak
menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya”

1
Dalam redaksi yang berbeda Husain Fauzy al-Najjar mendefinisikan siyasah
sebagai berikut: “Siyasah berarti pengaturan kepentingan dan pemeliharaan
kemaslahatan rakyat serta pengambilan kebijakan (yang tepat) demi menjamin
terciptanya kebaikan bagi mereka.” Dan definisi yang paling ringkas dari Ibn Manzhur
tentang siyasah adalah “Mengatur sesuatu dengan cara yang membawa kepada
kemaslahatan.”
Setelah diuraikan definisi fiqh dan siyasah, baik secara etimologis maupun
terminologis, perlu juga kiranya dikemukakan definisi fiqh siyasah. Penting dicatat, di
kalanagn teoritisi politik Islam, ilmu fiqh siyasah itu sering juga disinonimkan dengan
ilmu siyasah syar’iyyah. Sebagaimana dijelaskan di atas dapat ditarik kesimpulan, fiqh
siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk
beluk pengaturan kepentingan ummat manusia pada umumnya dan negara pada
khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang
kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran Islam, guna mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya dari berbagai kemudaratan yang
mungkin timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
dijalaninya.

2. Hubungan Fiqh Siyasah dengan Ilmu-Ilmu Lainnya

Ilmu lain yang dimaksudkan akan dibatasi pada disiplin ilmu tertentu, yaitu sebagai
berikut:
a. Ilmu fiqh, bahwa fiqh siyasah adalah sub dari ilmu fiqh yang merupakan bagian
dari fiqh muamalah. Oleh sebab itu, fiqh siyasah merupakan ilmu peranata sosial
yang dalam lingkup disiplin ilmu yang telah baku dinyatakan sebagai salah satu
ranting dari ilmu sosial.
b. Fiqh siyasah berhubungan dengan ilmu ushul fiqh dan kaidah-kaidah yang terdapat
di dalamnya. Hal ini karena fiqh siyasah membutuhkan pengembangan pemahaman
dan penafsiran terhadap sumber ajaran (Al-Qur’an dan Al-Hadits) yang tidak secara
tekstual menetapkan dalil-dalil tafsili yang berkaitan dengan siyasah.
c. Dibutuhkan pula ilmu tafsir beserta metode tafsir untuk memahami bahasa-bahasa
yang digunakan sumber ajaran Islam yang dimaksudkan dan relevan dengan
pengembangan fiqh siyasah.

2
d. Demikian pula dengan filsafat politik, fiqh siyasah memiliki keterkaitan yang
signifikan, karena tanpa epistemologi politik, fiqh siyasah tidak akan
mengembangkannya jati dirinya sebagai salah satu disiplin ilmu;
e. Hubungan yang signifikan akan dirasakan pula antara fiqh siyasah dengan sosiologi
hukum, ilmu sejarah, dan sejarah peradaban islam, juga tarikh tasyri’.
Hubungan utama antara fiqh siyasah dan ilmu-ilmu lainnya merupakan hubungan
fungsional sebagai pengetahuan yang saling terkait satu sama lainnya.

3. Objek Kajian Fiqh Siyasah


a. Menurut Abdul Wahab Khallaf; objek kajian fiqh siyasah adalah pengaturan dan
perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan
pokok-pokok ajaran agama dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan manusia serta
memenuhi kebutuhan mereka.
b. Menurut Hasbi Ashshiddiqie; objek kajian fiqh siyasah adalah pekerjaan-pekerjaan
mukallaf dan urusan-urusan mereka dari jurusan pentadbirannya, dengan
mengingat persesuaian pentadbiran itu dengan jiwa syari'ah, yang kita tidak peroleh
dalilnya yang khusus dan tidak berlawanan dengan sesuatu nash dari nash-nash
yang merupakan syari'ah 'ammah yang tetap.

Objek fiqh siyasah menjadi luas, sesuai kapasitas bidang-bidang apa saja yang
perlu diatur, seperti peraturan hubungan warga negara dengan lembaga negara,
hubungan dengan negara lain, Islam dengan non Islam ataupun pengatuaran-pengaturan
lain yang dianggap penting oleh sebuah negara, sesuai dengan ruang lingkup serta
kebutuhan negara tersebut.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukn ruang lingkup kajian fiqh
siyasah.diantaranya ada yang menetapkan lima bidang. Namun ada pula yang
menetapkan kepada empat atau tiga bidang pembahasan. Bahkan ada sebagian ulama
yang membagi ruang lingkup kajian fiqh siyasah menjadi delapan bidang.
Menurul Al Mawardi, ruang lingkup kajian fiqh siyasah mencakup:

1. Kebijaksanaan pemerintah tentang peraturan perundang-undangan (siyasah


dusturiyah).
2. Ekonomi dan militer (siyasah maliyah)
3. Peradilan (siyasah qadha’iyah)

3
4. Hukum perang (siyasah harbiah).
5. Administrasi negara (siyasah idariyah).

Sedangkn Ibnu Taimiyah meringkasnya menjadi empat bidang kajian yaitu:

1. Peradilan.
2. Administrasi negara.
3. Moneter
4. Hubungan internasional

Sementara Abdul Wahhab Khallaf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian
saja yaitu:

1. Peradilan.
2. Hubungan internasional
3. Dan keuangan negara

Berbeda dengan tiga pemikirandi atas, T.M. Hasbi malah membagi ruang lingkup fiqh
siyasah menjadi delapan bidang yaitu:

1. Politik pembuatan perundang-undangan.


2. Politik hukum.
3. Politik peradilan.
4. Politik moneter/ekonomi.
5. Politik administrasi.
6. Politik hubungan internasional.
7. Politik pelaksanaan perundang-undangan.
8. Politik peperangan.

4. Bidang-Bidang Fiqh Siyasah


A. Siyasah Dusturiyah
Pengertian
Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri dari dua suku kata yaitu
“Siyasah” itu sendiri serta “Dusturiyah”. Arti “Siyasah” dapat kita lihat di pembahasan
diatas, sedangkan “Dusturiyah” adalah undang-undang atau peraturan. Pengertian

4
umum Siyasah Dusturiyah adalah keputusan kepala negara dalam mengambil
keputusan atau undang-undang bagi kemaslahatan umat.
Siyasah Dusturiyah adalah hal yang mengatur atau kebijakan yang diambil oleh
kepala negara atau pemerintah dalam mengatur warga negaranya. Hal ini berarti
Siyasah Dusturiyah adalah kajian terpenting dlam suatu negara, karena hal ini
menyangkut hal-hal yang mendasar dari suatu negara. Yaitu keharmonisan antara
warga negara dengan kepala negaranya.
Siyasah Dusturiyah adalah hubungan antara pemimpin di satu pihak dan
rakyatnya dari pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam
masyarakat ini. Sudah tentu ruang lingkup pembahasaannya sangat luas. Oleh karena
itu, di dalam fiqh siyasah dusturiyah biasanya dibatasi hanya membahas pengaturan
dan perundang-undangan yang dituntun oleh hal ihwal kegenegaraan dari segi
kesusaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi ke maslahatan
manusia serta memenuhi kebutuhannya.
Dusturiyah mencakup bidang kehidupan yang sangat luar dan kompleks.
Sekalipun demikian secara umum, disiplin ini meliputi:
a. Persoalan dan ruang lingkup (pembahasan)
b. Persoalan imamah, hak dan kewajiban
c. Persoalan rakyat, statusnya dan hak-haknya
d. Persoalan bai’at
e. Persoalan waliyul ahdi
f. Persoalan perwakilan
g. Persoalan ahlul alli wal aqdi
h. Persoalan wazarah dan perbandingannya.
Keseluruhan persoalan tersebut, dan fiqh dusturiyah umumnya tidak dapat
dilepaskan dari dua hal pokok:
a. Dalil kulliy, baik ayat-ayat Al-quran maupun Hadist, maqasidu syariah, dan mangat
ajarat islam didalam mengatur masyarakat, tidak akan berubah bagaimanapun
perubahan masyarakat. Karena dalil-dalil kulliy menjadi unsur dinamisator didalam
mengubah masyarakat.
b. Aturan-aturan yang dapat berubah karena situasi dan kondisi, termasuk didalam
hasil istihat para ulama, meskipun tidak seluruhnya.
Menurut paparan diatas fiqh siyasah dusturiyah adalah hukum yang mengatur
hubungan antara warga negara dengan lembaga negara yang satu dengan warga negara

5
yang lain dalam batas-batas administrasi suatu negara. Di dalamnya mencakup
pengangkatan imam, hukum pengangkatan imam, syarat ahlu ahlwalahli, syarat imam
pemberhentian imam, persoalan bai’ah persoalan hujaroh (kementrian).
Sumber-Sumber:
a. Al-Qur’an, yaitu ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-psrinsip kehidupan
masyarakat.
b. Al-Hadits, terutama hadits-hadits yang berhubungan dengan imamah dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan Rasul SAW didalam menerapkan hukum di negeri
Arab.
c. Kebijakan-kebijakan Khulafau Rasyidin didalam mengendalikan pemerintahan,
meskuipun mereka mempunyai perbedaan didalam gaya pemerinyahannya sesuai
dengan pembawaan sifat dan wataknya masing-masing, tetapi ada kesamaan alur
kebijakan yaitu Reorientasi.
d. Ijtihad ulama didalam mencapai kemaslahtan umat, misalnya haruslah terjamin dan
terpelihara dengan baik.
e. Adat kebiasaan suatu bangsa, yang tidak beretentangan dengan prinsip-prinsip al-
qur’an dan hadits. Ada kemungkinan adat kebiasaan semacam ini tidak tertulis yang
disebut konversi.

B. Siyasah Maliyah
Arti kata Maliyah bermakna harta benda, kekayaan, dan harta. Oleh karena itu
Siyasah Maliyah secara umum yaitu pemerintahan yang mengatur mengenai keuangan
negara.
Siyasah Maliyah adalah hak dan kewajiban kepala negara untuk mengatur dan
mengurus keungan negara guna kepentingan warga negaranya serta kemaslahatan
umat. Lain halnya dengan Pulungan yang mengatak bahwa Siyasah Maliyah meliputi
hal-hal yang menyangkut harta benda negara (kas negara), pajak, serta Baitul Mal.
Dari pembahsan diatas dapat kita lihat bahwa siyasah maliyah adalah hal-hal
yang menyangkut kas negara serta keuangan negara yang berasal dari pajak, zakat
baitul mal serta pendapatan negara yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
C. Siyasah Dauliyah
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, serta
kekuasaan. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan kepala negara
untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalh territorial,

6
nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara
asing. Selain itu juga mengurusi masalah kaum Dzimi, perbedaan agama, akad timbal
balik dan sepihak dengan kaum Dzimi, hudud, dan qishash.
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa Siyasah Dauliyah lebih mengarah
pada pengaturan masalah kenegaraan yang bersifat luar negeri, serta kedaulatan negara.
Hal ini sangat penting guna kedaulatan negara untuk pengakuan dari negara lain.
D. Siyasah Harbiyah
Harbiyah bermakna perang, secara kamus Harbiyah adalah perang, keadaan
darurat atau genting. Sedangkan makna Siyasah Harbiyah adalah wewenang atau
kekuasaan serta peraturan pemerintah dalam keadaan perang atau darurat.
Dalam kajian Fiqh Siyasahnya yaitu Siyasah Harbiyah adalah pemerintah atau
kepala negara mengatur dan mengurusi hala-hal dan masalah yang berkaitan dengan
perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan jaminan keamanan perang, perlakuan
tawanan perang, harta rampasan perang, dan masalah perdamaian.

5. Manfaat Mempelajari Fiqh Siyasah


Mempelajari fiqh siyasah sangat berguna bagi berbagai kepentingan. Ada dua
kegunaan mendasar yang dapat dipetik dari mempelajari fiqh siyasah, yaitu kegunaan
akademik dan praktis. Kegunaan akademik adalah kegunaan yang berkaitan dengan
dunia pendidikan, khususnya pendidikan ilmu politik yang merupakan bagian dari
disiplin ilmu sosial. Dengan mempelajari fiqh siyasah, diperoleh hal-hal sebagai
berikut:
a. Bertambahnya wawasan pengetahuan di bidang ilmu sosial, terutama dalam
pengetahuan politik perspektif Islam, sehingga akan diperoleh pula pengetahuan
yang berharga ketika melakukan perbandingan teoretis dengan ilmu politik
perspektif Barat pada umumnya;
b. Memepelajari akar-akar sejarah politik dan pemerintahan di masa Nabi SAW,
hingga Khulafa’Rasyidin berguna untuk menangkap ide dasar dan prinsip
pembangunan politik dan pemerintahannya, sehingga dapat ditemukan unsur-unsur
ideologi yang dapat diterapkan dalam kehidupan politik di masa kini;
c. Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam siyasah syar’iyah dapat dijadikan pedoman
dan strategi pemberlakuan norma-norma politik pada masa kini. Misalnya penerapan
prinsip demokrasi dalam kehidupan politik multipartai di Indonesia;

7
d. Memahami Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber siyasah syar’iyah dapat
menambah wawasan pemahaman dan penafsiran yang lebih luas jika bermaksud
mengambil substansi qur’ani yang berkaitan dengan perpolitikan di abad modern ini;
e. Mempelajari jatuh bangunnya pemerintahan pada masa lalu, terutama pada masa
kejayaan Islam dan kemundurannya merupakan pelajaran berharga untuk dijadikan
cermin akademik tentang bangun dan runtuhnya kekuasaan di dunia; dan
f. Berbagai pemikiran ulama’ tentang politik, misalnya dari Al-mawardi, Al-Maududi,
Ali Abdul Raziq, dan lainnya berguna untuk menambah wawasan dan konsep-
konsep mengenai kekuasaan dan peerintahan dengan acuan siyasah syar’iyah.

Pada dasarnya, semua kegunaa akademik di atas dapat dijadikan rujukan


perilaku politik dan mungkin pula untuk diterapkan dalam konteks perpolitikan di
dunia, tak terkecuali di Indonesia yang sedang membangun demokratisasi politik.
Penegakkan prinsip demokrasi dan pemilihan umum sebagai alat untuk
mencapainya merupakan praktik langsung siyasah. Hanya saja, apakah berbasis pada
nilai-nilai Islam atau tidak? oleh karena itu, salah satu kegunaan praktis dalam
mempelajari siyasah syar’iyah adalah melakukan uji coba melalui pembangunan
demokrasi dan nilai-nilai politik di Indonesia sehingga apabila di temukan indikator
kesuksesan, dunia akan bercermin kepada “demokrasi gaya Indonesia”.
Untuk menjalani semua itu, pemerintahan melahirkan berbagai kebijakan
berupa perundang-undangan atau berbagai peraturan. Peraturan perundngan yang
dimaksud merupakan bagian dari produk politik ekonomi yang dalam kajian fiqh
siyasah memiliki kegunaan praktis yang sangat signifikan dalam mencapai dalam
kemaslahatan umum

6. Pengertian Negara

Pengertian Negara Secara Umum

Kata negara adalah terjemahan dari bahasa Inggris yakni state, sedangkan dari
bahsa Belanda & Jerman adalah staat, dan dari bahasa perancis yaitu etat. Semua kata
tersebut didapat dari bahasa latin yaitu status atau statum yang artinya suatu kedaan
yang tegak dan tetap atau sesuatu yang mempunyai sifat yang tegak dan tetap. Di negara
kita Indonesia kata negara di ambil dari bahasa sansekerta yakni nagari atau negara
yang artinya wilayah atau penguasa.

8
Pengertian negara secara umum adalah sekumpulan orang yang menempati
wilayah tertentu dan diorganisasikan oleh pemerintah negara yang sah, yang umumnya
memiliki kedaulatan.

Arti Negara Menurut KBBI

Pengertian negara menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah


organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan
ditaati oleh rakyat. Negara juga dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang
menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik
dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak
menentukan tujuan nasionalnya

Pengertian Negara Menurut Para Ahli

Berikut adalah kumpulan pengertian negara menurut para ahli:

a. Menurut Aristoteles
Pengertian negara menurut Aristoteles adalah suatu persekutuan dari keluarga dan
desa untuk mencapai kehidupan yang sebaik-baiknya.
b. Menurut Plato
Pengertian negara menurut Plato adalah suatu organisasi kekuasaan manusia dan
merupakan sarana untuk tercapainya tujuan bersama.
c. Menurut Max Weber
Pengertian negara menurut Max Weber merupakan suatu masyarakat yang
mempunyai sebuah monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik yang telah berlaku
dalam wilayah tertentu.
d. Menurut John Locke
Pengertian negara menurut John Locke merupakan sebuah badan atau organisasi
hasil dari perjanjian yang diputuskan masyarakat.
e. Menurut Karl Marx
Pengertian negara menurut Karl Marx adalah alat kelas yang berkuasa untuk
menindas atau mengeksploitasi kelas yang lainnya.
f. Menurut Ibnu Khaldun
Berdasarkan pendapat Ibnu Khaldun, definisi negara secara umum adalah
masyarakat yang mempunyai kewibawaan dan kekuasaan.

9
7. Unsur-Unsur Negara

Secara umum ada 4 unsur pembentuk negara, yakni rakyat, wilayah, pemerintah
yang berdaulat dan pengakuan dari negara lain. Hal ini menjadi unsur tiap negara yang
terbentuk, termasuk juga unsur-unsur negara Indonesia.

a. Rakyat
Unsur negara yang pertama adalah rakyat. Pengertian rakyat adalah semua
orang yang ada di wilayah suatu negara dan taat pada peraturan pada negara tersebut.
Rakyat lah yang mendirikan negara dan kemudian tinggal di dalamnya. Tanpa ada
rakyat maka tidak ada negara. Secara umum, ada dua jenis rakyat dalam suatu negara
yakni :

 Penduduk, yakni semua orang yang tinggal dan menetap di suatu negara, bisa
dibedakan menjadi warga negara dan bukan warga negara.
 Bukan penduduk, yakni orang asing yang tinggal sementara di suatu negara,
misalnya turis yang sedang berlibur.
b. Wilayah
Sebuah negara tentu juga harus memiliki wilayah atau daerah
kekuasaan. Wilayah negara merupakan tempat tinggal rakyat dan penyelenggara
pemerintahan. Sebuah negara tidak mungkin berdiri jika tidak memiliki
wilayah. Wilayah suatu negara meliputi daratan, lautan dan udara. Terdapat batas
negara antar satu negara dengan negara lain, di antaranya bisa meliputi :

 Batas alamiah, misalnya seperti gunung atau sungai.


 Batas buatan, misalnya seperti pos penjagaan atau gerbang.
 Batas secara geografis, yakni batas berdasarkan garis lintang dan garis bujur.
 Batas perjanjian, yakni batas yang dibuat dari konvensi atau kesepakatan.
c. Pemerintah yang Berdaulat
Unsur-unsur berdirinya negara berikutnya adalah adanya pemerintahan yang
sah dan berdaulat. Yang dimaksud yaitu sebuah pemerintah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi untuk mengamankan, mempertahankan, mengatur dan
melancarkan tata cara penyelenggaraan pemerintahan negara secara penuh.

10
Kedaulatan yang dimiliki oleh pemerintah meliputi kedaulatan ke dalam (intern) dan
ke luar (ekstern).

 Kedaulatan ke dalam (intern), yakni kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya


sendiri tanpa campur tangan negara lain.
 Kedaulatan ke luar (ekstern), yakni kekuasaan untuk bekerja sama ataupun
berhubungan dengan negara lain.
d. Pengakuan dari Negara Lain
Unsur-unsur negara terakhir adalah adanya pengakuan dari negara lain. Hal
ini diperlukan dalam tata hubungan internasional. Namun hal ini termasuk unsur
deklaratif, artinya tanpa pengakuan, asalkan sudah terpenuhi 3 unsur lain (rakyat,
wilayah, pemerintah), maka sudah sah menjadi suatu negara. Secara umum
pengakuan dari negara lain meliputi pengakuan de facto dan pengakuan de jure.

 Pengakuan de facto, yakni pengakuan berdasarkan kenyataan bagi negara baru yang
telah memiliki unsur konstitusif.
 Pengakuan de jure, yakni pengakuan terhadap suatu negara baru yang sesuai dengan
hukum internasional.

8. Hukum Mendirikan Negara


Secara umum terdapat dua arus pemikiran utama mengenai hukum menegakkan
negara. Golongan pertama mengatakan bahwa negara wajib ditegakkan. Di antara
mereka ada yang mengatakan bahwa wajibnya penegakan negara didasarkan pada nash.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa pewajiban itu didasarkan pada akal. Sebagian
yang lainnya lagi mengatakan bahwa pewajiban itu didasarkan oleh nash sekaligus akal.

Golongan kedua mengatakan bahwa negara boleh ditegakkan, namun tidak


harus. Yang harus adalah tegaknya hukum-hukum Allah dan tercapainya ketertiban
dalam kehidupan manusia. Golongan ini memiliki pola berpikir yang sangat idealis.
Mereka berpikir bahwa apabila semua manusia memiliki kebijaksanaan maka secara
otomatis tatanan masyarakat akan tertib dan hukum-hukum Allah akan tegak.
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah mungkinkah itu terjadi ? Mungkinkah setiap
manusia akan memiliki kebijaksanaan tanpa ada satupun yang berperangai dan berbuat
jahat ?

11
Titik temu diantara kedua golongan diatas ialah bahwa tegaknya hukum-hukum
Allah merupakan suatu keharusan. Setelah kita memahami bahwa hukum-hukum Allah
tidak akan mungkin bisa tegak dengan sendirinya tanpa adanya kepemimpinan
(negara), maka kita pun sampai pada kesimpulan bahwa negara wajib ditegakkan.
Alasannya, negara merupakan wasilah menuju tegaknya hukum-hukum Allah. Apabila
suatu kewajiban tidak bisa dicapai kecuali melalui suatu wasilah yang pada asalnya
tidak wajib sekalipun, maka wasilah itu menjadi wajib.
Penegakkan institusi imamah atau khilafah, menurut para fuqaha, mempunyai
dua fungsi, yaitu menegakkan agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta
menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan Islam. Agar
kepemimpinan Islam (imamah atau khilafah) dapat berlaku secara efektif dalam dunia
Islam, maka umat Islam membutuhkan pendirian negara untuk merealisasikan ajaran-
ajaran Islam. Islam memandang bahwa negara hanyalah merupakan alat, bukan tujuan
itu sendiri. Karena merupakan alat, para ulama berbeda pendapat tentang pendirian
negara dalam Islam.
Menurut al-Mawardi, hukum mendirikan negara berdasarkan pada ijma’ ulama,
adalah fardhu kifayah. Pandangannya didasarkan pada kenyataan sejarah al-Khulafa’
al-Rasyidun dan khalifah-khalifah setelah mereka. Pandangan ini sejalan dengan kaidah
yang menyatakan ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak
sempurna kecuali melalui alat atau sarana, maka alat atau sarana itu juga hukumnya
wajib). Artinya menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib, sedangkan
alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah negara. Maka hukum mendirikan
negara juga wajib (fardhu kifayah).
Pada gilirannya Islam kemudian menjadi ideologi politik bagi masyarakat
dalam kerangka yang lebih kongkret bahwa Islam memerintahkan kaum muslimin
untuk menegakkan negara dan menerapkan aturan berdasarkan hukum-hukum Islam.
Masalah politik, ekonomi, sipil-militer, pidana dan perdata diatur jelas oleh Islam.
Seluruh aturan itu telah dipraktekkan pada masa Rasulullah, al-Khulafa al-Rasyidun,
dan pemerintahan sesudahnya. Hal itu membuktikan bahwa Islam merupakan suatu
sistem bagi negara dan pemerintahan serta untuk mengatur masyarakat, umat dan
individu-individu.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa negara tidak memiliki wewenang untuk
memerintah, kecuali sesuai dengan sistem Islam, Islam tidak akan terwujud dalam
kehidupan sampai ia ditegakkan dalam suatu negara yang menerapkan hukum-

12
hukumnya. Islam merupakan suatu agama, sedangkan ideologi dan sistem
pemerintahan merupakan bagian dari Islam. Tegaknya negara adalah satu-satunya cara
yang disyariatkan untuk menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan manusia.
Islam tidak dapat terwujud dalam kehidupan kecuali ia memiliki institusi negara yang
menerapkan hukum-hukumnya di segala aspek. Negara Islam adalah suatu bentuk
institusi politik yang manusiawi, bukan institusi ketuhanan (teokrasi).
Pandangan senada juga diberikan oleh Al-Ghazali. Al-Ghazali melukiskan
antara agama dan negara sebagai berikut, “Sultan (kekuasaan politik) adalah wajib
untuk ketertiban dunia, ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama, ketertiban agama
wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para rasul. Jadi wajib
adanya imam merupakan kewajiban agama yang tidak ada jalan untuk
meninggalkannya.”
Berbeda dengan dua pemikir sunni di atas, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa
mengatur kehidupan umat memang merupakan bagian kewajiban agama yang
terpenting. Namun hal itu bukan berarti bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara.
Ibn Taimiyah menolak ijma’ sebagai landasan kewajiban mendirikan negara.
Menurutnya, kesejahteraan dan kemaslahatan manusia tidak akan tercipta kecuali
hanya dalam suatu tatanan sosial dimana setiap orang saling bergantung pada lainnya.
Oleh sebab itu, dibutuhkan negara dan pemimpin yang akan mengatur kehidupan sosial
tersebut. Jadi, bagi Ibn Taimiyah, penegakan negara bukanlah salah satu asas atau dasar
agama Islam, melainkan hanya kebutuhan praktis saja.
Kelompok Khawarij berpendapat hampir sama dengan Ibn Taimiyah. Pendirian
negara menurut mereka, bukanlah didasarkan pada perintah syar’i. pertimbangan
mendirikan negara adalah kemaslahatan. Jika menurut kemaslahatan dibutuhkan
negara, maka hal tersebut boleh dilakukan. Tapi jika tanpa negara sudah tercipta
kemaslahatan, maka negara tidak dibutuhkan. Pendapat ini juga dianut oleh Mu’tazilah.
Hanya saja Mu’tazilah menambahkan bahwa akallah yang menetapkan perlu tidaknya
negara. Konsekuensinya, jika akal menetapkan perlu membentuk negara, maka umat
Islam wajib mematuhinya. Sebab kekuatan hukum akal sama dengan nash.
Pemikir modern aktivis al-Ikhwan al-Muslimun, ‘Abd al-Qadir ‘Audah,
mengemukakan enam argumen tentang wajibnya mendirikan negara ini, yaitu:
Pertama, khilafah atau imamah merupakan sunnah fi’liyah Rasulullah Saw.
sebagaimana pendirian negara Madinah. Dalam negara ini, beliau menciptakan satu
kesatuan politik dan menyatukan umat Islam di bawah kepemimpinannya. Kedua, umat

13
Islam, khususnya para sahabat Nabi, sepakat (ijma’) untuk memilih pemimpin negara
setelah wafatnya Rasulullah Saw. seandainya para sahabat ketika itu berbeda pendapat
tentang penggantian Rasul, tentu saja pendirian negara juga tidak mereka sepakati.
Ketiga, sebagian beasar kewajiban syar’i tergantung pada adanya negara.
Kemaslahatan yang hendak diciptakan oleh umat Islam tidak akan terwujud tanpa
sarananya. Jadi negara merupakan sarana untuk menciptakan kemaslahatan dan
menolak kemudharatan dalam kehidupan manusia. Keempat, nash-nash Alquran dan
hadits Nabi sendiri mengisyaratkan tentang wajibnya mendirikan negara, seperti dalam
surat an-Nisa’, 4:59 yang menyatakan “Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta uli
al-amr di antara kamu.” Juga hadis yang mengatakan bahwa orang muslim yang mati
tidak membay’ah imam, maka matinya dalam keadaan jahiliyah. Kelima,
sesungguhnya Allah menjadikan umat Islam sebagai satu kesatuan, meskipun berbeda
bahasa, suku bangsa dan warna kulitnya. Perbedaan ini tidak boleh menjadikan mereka
berpecah dan berselisih paham. Karena itu umat Islam juga merupakan satu kesatuan
politik. Keenam, konsekuensi dari kesatuan politik ini adalah bahwa umat Islam harus
memilih dan mematuhi satu pemimpin tertinggi.
Di samping itu, ‘Audah juga mengemukakan argumentasi kewajiban
mendirikan negara secara akal. Menurutnya, mewujudkan pemerintahan dalam
masyarakat Islam merupakan kebutuhan bagi masyarakat itu sendiri. Sebab manusia
secara pribadi tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan hidupnya mencapai
kemaslahatan. Mereka membutuhkan negara untuk menciptakan kemaslahatan di
antara meraka dan menghilangkan persengketaan sesama mereka.
Para Orientalis juga berpendapat, yang antara lain, C.A. Nolino mengatakan,
“Muhammad telah meletakkan dasar agama dan agama pada waktu yang sama.” Mac
Donald mengatakan, “Di sana di Madinah, telah terbentuk negara Islam yang pertama,
diletakkan pula prinsip-prinsip asasi di dalam aturan-aturan Islam.” H.R. Gibb,
menyatakan, “Pada waktu itu jelas bahwa Islam bukanlah semata akidah agama yang
individual sifatnya, tetapi juga mewajibkan mendirikan masyarakat yang mempunyai
uslub-uslub tertentu di dalam pemerintahan dan mempunyai undang-undang dan
aturan-aturan yang khusus.

9. Tujuan Bernegara
Tujuan pendirian negara tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh
umat Islam, yaitu memperoleh kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Karena

14
tujuan itu tidak mungkin dicapai hanya secara pribadi-pribadi saja, maka Islam
menekankan pentingnya pendirian negara sebagai saranan untuk memperoleh tujuan
tersebut.
Ibn Abi Rabi’ menjelaskan tujuan negara dengan pandangan sosiologis historis.
Menurutnya manusia diciptakan Allah dengan watak dan kecenderungan berkumpul
dan bermasyarakat. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia secara pribadi tidak
mungkin mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa bantuan orang lain. Namun
dalam hubungan ini tidak tertutup kemungkinan mereka tergoda oleh pengaruh-
pengaru jahat. Menurut Ibn Abi Rabi’, ada tiga kejahatan yang melingkupi manusia,
yaitu kejahatan yang bersumber dari diri sendiri, kejahatan yang datang dari sesama
mereka dan kejahatan yang datang dari masyarakat lain. Kejahatan yang pertama dapat
dihilangkan dengan mengikuti kehidupan yang baik, mengendalikan diri dan
menggunakan akal dalam menyelesaikan setiap persoalan. Kejahatan kedua dapat
dicegah dengan menegakkan dan mematuhi hukum-hukum Allah. Artinya siapa yang
bersalah harus dihukum sesuai ketentuan-Nya. Sedangkan kejahatan ketiga dapat
dihindarkan dengan pembentukan negara. Inilah tujuan negara menurut Ibn Abi Rabi’.
Dengan pembentukan negara, maka manusia dapat menjalankan kehidupannya dengan
baik, jauh dari sengketa dan dapat mencegah dari intervensi pihak-pihak asing.
Secara umum, al-Mawardi menjelaskan bahwa tujuan pembentukan negara
(imamah) adalah mengganti kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur
dunia (al-Imamah maudhu’ah likhilafah al-nubuwwah fi hirasah al-din wa al-siyasah
al-dunya). Sementara Ibn Khaldun merumuskan tujuan negara adalah untuk
mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan
akhirat.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan negara


dalam Islam bukan hanya untuk kepentingan duniawi saja, melainkan juga untuk hal-
hal yang bersifat ukhrawi. Secara sederhana Fazlur Rahman merumuskan tujuan negara
Islam adalah untuk mempertahankan keselamatan dan integritas negara, memelihara
terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta membangun negara itu sehingga
setiap warga negara mengetahui kemampuan masing-masing dan mau
menyumbangkan kemampuannya itu demi terwujudnya kesejahteraan seluruh warga
negara. Penjelasan ini mengisyaratkan bahwa negara merupakan alat untuk menerapkan
dan mempertahankan nilai-nilai ajaran Islam agar lebih efektif dalam kehidupan

15
manusia. Di samping itu negara juga didirikan untuk melindungi manusia dari
kesewenang-wenangan satu orang atau golongan terhadap orang atau golongan lainnya.
Negara mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk memaksa agar peraturan-peraturan
yang dibuat dapat dipatuhi sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Namun demikian, negara Islam itu sendiri bukanlah tujuan dalam Islam, melainkan
hanyalah merupakan alat atau sarana dalam mencapai tujuan kemaslahatan manusia.

10. Bentuk Negara yang Harus Didirikan


A. Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan
satu pemerintahan pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam
pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi kedalam 2 macam sistem pemerintahan yaitu:
Sentral dan Otonomi.
a. Negara kesatuan dengan sisitem sentralisasi adalah pemerintahan yang langsung
dipimpin oleh pemerintahan pusat, sementara pemerintahan daerah di bawahnya
melaksanakan kebijakan pemerintahan pusat. Model pemerintahan Orde Baru di bawah
pemerintahan presiden Soeharto adalah salah satu contoh sistem pemerintahan model
ini.
b. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi adalah kepala daerah diberikan
kesempatan dan kewenangan untuk memgurus urusan pemerintahan diwilayah sendiri.
Sisitem ini dikenal dengan istilah otonomi daerah atau swatantra. Sistem pemerintahan
negara Malaysia dan pemerintahan paske Orde Baru di Indonesia dengan sistem
otonomi khusus dapat dimasukan kedalam model ini.
B. Negara serikat
Negara serikat atau Federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari
beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pada mulanya negara-negara bagian
tersebut merupakan negara yang merdeka, berdaulat dan berdiri sendiri. Setelah
memnggabungkan dengan negara serikat, dengan sendirinya negara tersebut melepaskan
sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkannya kepada Negara Serikat. Penyerahan
kekuasaan dari negara-negara bagian kepada nagara serikat tersebut dikenal dengan istilah
limitatif (satu demui satu) dimana hanya kekuasaan yang diberikan oleh negara-negara
bagian saja (delagated powers) yang menjadi kekuasaan Negara Serikat. Namun pada
perkembangan selanjutnya, negara serikat mengatur hal yang bersifat strategis seperti
kebijakan politik luar negeri, keamanan dan pertahanan negara.
16
Adakalanya dalam pembagian kekuasaan antara pemerintahan federasi dan
peerintahan negara-negara bagian yang disebut adalah urusan-urusan yang diselenggarakan
oleh pemerintah negara-negara bagian, yang berarti bahwa bidang kegiatan federal adalah
urusan-urusan kenegaraan selebihnya (reseduary powers).
Disamping 2 bentuk diatas, dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya,
bentuk Negara dapat digolongkan ketiga kelompok yaitu: Monarki, Oligarki, dan
Demokrasi.
A. Monarki
Pemerintahan monarki adalah model pemerintahan yang dikepalai oleh raja atau
ratu. Dalam prakteknya, monarki ada dua jenis yaitu: Monarki absolut dan monarki
konstutional.
a. Monarki absolut adalah model pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu
orang raja atu ratu. Termasuk dalam kategori ini adalah negara Arab saudi, Brunae,
Swazilan, bhutan, dll.
b. Monarki konstitusional adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala negaranya
(perdana mentri) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan kostitusi nagara. Praktek monarki
konstitusional ini adalah yang paling banyak dipraktekan di beberapa negara, seperti
Thailand, Jepang, Inggris, jordania dan lan-lain.
c. Monarki parlamenter adalah bentuk pemerintahan yang bertanggung jawab atas
kebijaksanaan pemerintahannya adalah mentri, Termasuk dalam kategori ini adalah
negara Inggris, Belanda, dan Malaysia.
Dengan demikian pengertian negara yang berbentuk monarki adalah negara
dimana cara penunjukan kepala negaranya berdasarkan keturunan dari raja yang
sebelumya.
B. Oligarki
Model pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa
orang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
C. Demokrasi
Pemerintahan model demikrasi adalah pemerintahan yang bersandarkan pada
kedaulatan rakyat atau bendasarkan kekuasaannya pada pilihan atau kehendak rrakyat
malalui mekanisme pemulihan Umum (pemilu) yang berlangsung secara jujur, bebas, aan,
dan adil.
Semua wilayah memiliki karakteristik yang berbeda-beda baik dari segi geografis
maupun keadaan masyarakatnya, dan sebelum menentukan bentuk negara seperti apa yang

17
akan didirikan, karakter-karakter tersebut harus menjadi pertimbangan karena setiap
bentuk negara memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan setiap wilayah
tidak mungkin bisa menerapkan semua bentuk negara, karena dalam hal ini kecocokan dan
kesesuaian yang menentukan.

11. Teori-Teori Hubungan Agama dengan Negara, Tokoh-Tokoh dan Contoh-


Contohnya
a. Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Teokrasi.
Dalam paham teokrasi hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua
hal yang tidak dapat dipisahkan, negara menyatu dengan agama karena pemerintahan
menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman- firman Tuhan segala tata kehidupan
masyarakat bangsa dan negara dilakukan atas titah Tuhan dengan demikian urusan
kenegaraan atau politik dalam paham teokrasi diyakini sebagai manifestasi
Tuhan. Sistem pemerintahan ini ada 2 yaitu teokrasi langsung dan tidak langsung.
Sistem pemerintahan teokrasi langsung adalah raja atau kepala negara memerintah
sebagai jelmaan Tuhan adanya negara didunia ini adalah atas kehendak Tuhan dan oleh
karena itu yang memerintah Tuhan pula.sedangkan sistem pemerintahan teokrasi tidak
langsung yang memerintah bukan tuhan sendiri melainkan raja atau kepala negara yang
memiliki otoritas atas nama Tuhan. Raja atau kepala negara memerintah atas kehendak
Tuhan dengan demikian dapat dikatakan bahwa negara menyatu dengan agama dan
agama dengan negara tidak dapat dipisahkan.
b. Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Sekuler
Sekularisme adalah paradigma yang memandang agama perlu terpisah dari
negara. Agama dengan segala aliran dan Multi- tafsir nya adalah wilayah privat warga
negara yang tak bisa mengatur negara atau diatur negara. Agama sebagai jalan bagi
manusia berhubungan berhubungan dengan Tuhan tak bisa diatur oleh negara.
Demikian sebaliknya agama tak bisa mengatur atu mempengaruhi negara. Setelah
dibanyak negara didapati pengalaman bahwa agama mayoritas tak bisa menjadi perekat
kesatuan bangsa. Sekularisme pada perkembangannya merupakan awal dan dasar dari
paham kebangsaan dari suatu negara. Karena dari satu agama, agama apapun, selalu
ada multi-tafsir dan multi-aliran. Sehingga tak mungkin suatu hal yang multi-tafsir dan
multi-aliran dijadikan dasar perekat kesatuan bangsa.

18
Sekularisme secara sederhana dapat didefinisikan sebagai doktrin yang menolak
campur tangan nilai-nilai keagamaan dalam urusan manusia, singkatnya urusan
manusia harus bebas dari agama atau dengan kata lain agama tidak boleh
mengintervensi urusan manusia. Segala tata-cara kehidupan antar manusia adalah
menjadi hak manusia untuk mengaturnya, Tuhan tidak boleh mengintervensinya.
Pluralisme adalah sebuah paham yang mendoktrinkan bahwa kebenaran itu bersifat
banyak atau tidak tunggal. Ada Pluralisme dalam agama, hukum, moral, filsafat dan
lain sebagainya, dalam kajian ini akan kita ambil defenisi Pluralisme dalam agama yang
sering disebut sebagai Pluralisme agama atau sering kali disingkat sebagai Pluralisme
saja.
Jadi paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara
dalam negara sekuler tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama.
Dalam paham ini agama adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain atau
urusan dunia, sedangkan urusan agama adalah hubungan manusia dengan tuhan dua hal
ini menurut paham sekuler tidak dapat dipersatukan meskipun memisahkan antara
agama dan negara lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk
memeluk agama apa saja yang mereka yakini tapi negara tidak ikut campur tangan
dalam urusan agama.
c. Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Komunisme
Paham komunisme ini memandang hakekat hubungan agama dan negara
berdasarkan filosofi dialektis dan materialisme historis paham ini menimbulkan paham
Atheis (tak bertuhan) yang dipelopori Karl Marx menurutnya manusia ditentukan oleh
dirinya, agama dalam hal ini dianggap suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum
menemukan dirinya sendiri. Manusia adalah dunia manusia sendiri yang kemudian
menghasilkan masyarakat negara sedangkan agama dipandang sebagai realisasi
fantastis mahluk manusia dan agama adalah keluhan mahluk tertindas. Oleh karena itu
agama harus ditekan dan dilarang nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi
karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah materi.
d. Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam
Tentang hubungan agama dan negara dalam Islam adalah agama yang paripurna
yang mencakup segala-galanya termasuk masalah negara oleh karena itu agama tidak
dapat dipisahkan dari negara dan urusan negara adalah urusan agama serta sebaliknya.
Aliran kedua mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara karena
Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan menurut aliran ini Nabi

19
Muhammad tidak mempunyai misi untuk mendirikan negara. Aliran ketiga berpendapat
bahwa islam tidak mencakup segala-galanya tapi mencakup seperangkat prinsip dan
tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat termasuk bernegara. Sementara itu
“Hussein Mohammad” menyebutkan bahwa dalam Islam ada dua model hubungan
agama dan negara, yaitu:
 Hubungan integralistik dapat diartikan sebagai hubungan totalitas dimana agama
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan keduanya merupakan dua
lembaga yang menyatu.
 Hubungan simbiosis mutualistik bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan
yang saling membutuhkan sebab tanpa agama akan terjadi kekacauan dan moral dalam
negara.

Islam, menurut pandangan mayoritas ulama Muslim bukan hanya agama, tapi
juga kebudayaan. Sebagai tata kebudayaan ia membentuk masyarakat, pemerintahan,
perundang-undangan, dan lembaga-lembaga yang ada, terutama pembentukan negara
dengan rakyat dan wilayahnya. Dengan kata lain, islam itu meliputi berbagai aspek
kehidupan, seperti sistem politik, ekonomi, etika dan kemasyarakatan. Kalau ia hanya
tata agama, ia tidak akan membentuk masyarakat dan negara seperti yang ada di
Madinah.

Fakta tersebut tidak saja menjadi keyakinan sebagian besar ulama Islam, tetapi
juga diakui oleh banyak orang Barat dan kaum orientalis, sebagaimana diutarakan oleh
Dhia’ al-Din Rais, yang diantara mereka adalah:

 Dr. Firt Grald berpendapat, bahwa Islam bukan sekedar agama, melainkan juga
sebuah tatanan politikyang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
 Dr. C. A. Nollino berpendapat, bahwa pada saat yang sama Muhammad sekaligus
memberikan agama dan negara, sedangkan peraturan-peraturan negaranya selalu
tepat sepanjang hidupnya.
 Dr. Schatt berkata, Islam lebih sekedar agama, ia juga menjabarkan hukum dan
politik.
 Dr. Thomas Arnold berkata, Nabi SAW., seorang kepala agama dan kepala Negara.
Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa integritas masyarakat Islam (umat)
yang didirikan dan dibina oleh Nabi SAW., menampakkan keterikatan antara negara
dan agama. Argumen ini, dikuatkan lagi oleh penuturan Nurcholish Madjid sebagai

20
dikutip oleh Musdah Mulia, bahwa salah satu karakteristik agama islam pada masa-
masa awal penampilannya ialah kejayaan dibidang politik. Kenyataan itu menjadi dasar
bagi adanya pandangan yang merata di kalangan para ahli dan awam., baik muslim
maupun nonmuslim, seperti telah diuraikan dahulu, bahwa islam adalah agama yang
terkait erat dengan persoalan kenegaraan. Bahkan disinyalir sesudah kaum muslimin
berkenalan dengan Aryanisme Persia muncul ungkapan bahwa “islam adalah agama
dan negara” (al-Islam Din wa dawlah) yang mengindikasikanpertautan antara agama
dan negara.

Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya “Reposisi Hubungan Agama dan


Negara” bahwa hubungan Islam dan negara modern secara teoritis dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga (3) pandangan: Integralistik, Simbiotik, dan Sekularistik.

a. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi
Islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang
menyatu (integrated). Paham ini juga memberikan penegasan bahwa negara merupakan
suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali
bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau
negara (dawlah).
Dalam pergulatan Islam dan negara modern, pola hubungan integratif ini
kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan
kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah
kemudian paradigma integralistik identik dengan paham Islam ad-Din wa
dawlah (islam sebagai agama dan negara), yang sumber hukum positifnya adalah
hukum islam (syariat Islam). Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh negara
Kerajaan Saudi Arabia dan penganut paham Syi’ah di Iran. Kelompok pecinta Ali ra.
Ini menggunakan istilah Imamah sebagaimana dimaksud dengan istilah dawlah yang
banyak di rujuk kalangan Sunni.
b. Paradigma Simbiosis Mutualistik

Menurut paradigma simbiosis mutualistik, hubungan agama dan negara berada


pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam
pandangan ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan

21
mengembangkan agama. Begitu pula sebaliknya, negara juga memerlukan agama
sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya.

Paradigma ini tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah


tentang negara sebagai alat agama di atas. Dalam kerangka ini, Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan
kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak
bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara agama
dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh
karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya
kontrak sosial (social contract), tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama (syariat).
Dengan kata lain, agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia
menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan
negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan kepada kelompok paradigma ini.

c. Paradigma Sekularistik

Paradigma sekularistik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara


agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu
sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan
dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara urusan publik, sementara
agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga negara.

Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang
berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract
yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (syariat). Konsep sekularistik
dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam
sejarah kenabian Rasulullah SAW.pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad
untuk mendirikan negara islam. Negara Turki dapat digolongkan ke dalam paradigma
ini.

Ketiga paradigma di atas, meskipun tidak persis sama, tapi hampir mirip dengan
pendekatan trikotomi yang ditawarkan oleh Bahtiar Effendy dalam menafsirkan Islam
politik di Indonesia sebagai tinjauan teoritisnya, yaitu pendekatan kelompok
fundamentalis, reformis, dan akomodasionis. Kelompok fundamentalis menentang
pemikiran sekuler, pengaruh Barat dan Sinkritisme kepercayaan tradisional dan
menekankan keutamaan agama atas politik. Kelompok reformis juga menekankan

22
keutamaan agama atas politik, tapi mau bekerja sama dengan kelompok-kelompok
sekuler atas landasan yang sama-sama disepakati. Kelompok pertama menempati
paradigma integralistik dan kelompok kedua mengakses paradigma simbiotik.
Sedangkan kelompok akomodasionis tentu tidak bisa serta merta disamakan dengan
sekuler, karena sifat dasar dari akomodatifnya kelompok ini demi persatuan dan
kesatuan umat serta berpegang pada kepentingan islam secara keseluruhan.

Terlepas dari pendekatan mengenai paradigma di atas, yang jelas yang sudah
mengkristal di kalangan muslim bahwa konsep umat sangat menekankan agar menjaga
kesatuan organis dan kohesi psikologis tatanan sosial universal tidak partularistik. Al-
Qur’an dengan lantang menegaskan bahwa semua berasal dari Yang Satu, dijadikan
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar bersaudara dan saling tolong-menolong satu
sama lainnya. Universalitas ini tidak dapat dibatasi kasta, kelas atau warna kulit bahkan
wilayah dalam arti pelaksanaan syariat islam. Dengan demikian, pemaknaan umat lebih
bersifat pluralistik.

12. Pengertian Khalifah, Imam dan Amir serta Perbedaan antara Ketiganya
A. Khalifah
Pertama, khaliifah berarti seorang pengganti Allah di muka bumi, dalam
rangka menunaikan amanat-Nya dan menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi.
Ini tidak berarti bahwa Allah lemah dan tidak berkuasa sehingga membutuhkan
bantuan. Bukankah Allah juga menciptakan para malaikat yang dibebani tugas-tugas
tertentu? Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai pengganti-Nya adalah
sebagai wasilah sunnatullah bagi kemahakuasaan-Nya. Bukankah Allah mengalahkan
orang-orang yang ingkar melalui tangan-tangan orang-orang yang beriman
(mujahidin)? Apakah ini berarti Allah tidak mampu membasmi mereka sendirian?
Sebenarnya secara hakiki Allah-lah yang melakukan itu semua, karena kekuasaan-Nya
meliputi segala sesuatu. “Bukanlah kamu yang memanah ketika kamu memanah, akan
tetapi Allah-lah yang memanah” (QS Al-Anfal: 17). Manusia juga disebut sebagai
khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh) karena telah menjadi kepanjangan tangan
bagi kekuasaan Allah –dalam batas-batas tertentu- di bumi. Berangkat dari sini kita
akan memahami bahwa pada dasarnya tugas manusia untuk menggantikan-Nya
merupakan ujian bagi manusia, bagaimanakah perbuatan mereka di muka bumi ini,
apakah mencerminkan posisinya sebagai pengganti-Nya ataukah tidak. Untuk itulah
kita wajib me-ma’rifat-i nama-nama dan sifat-sifat Allah, agar kita bisa merefleksikan

23
nama-nama dan sifat-sifat-Nya itu dalam kehidupan kita di bumi, sehingga kita seolah-
olah merupakan pengganti-Nya. “Takhallaquu bi akhlaaqil-Laah (Berakhlaqlah
dengan akhlaq Allah)”.
Khaliifah dalam pengertian ini secara spesifik dinisbatkan kepada Adam
as (QS. Al-Baqarah: 30) dan Dawud as (QS. Shaad: 26).
Namun, sebagian ulama (antara lain Ibn Taimiyyah) melarang keras
penggunaan istilah khalifat al-Lah, sebab istilah khalifah hanya layak diberikan kepada
sesuatu yang menggantikan sesuatu yang telah mati atau telah tidak ada di tempat,
padahal Allah selalu hidup dan selalu ada menyertai dan mengawasi para hamba-Nya.
Ibn Taimiyyah kemudian menguatkan pendapatnya tersebut dengan riwayat yang
menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka
beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’. Beliau
juga mengatakan bahwa barangsiapa menjadikan bagi Allah seorang khalifah, maka dia
telah telah menyekutukan-Nya.
Sebetulnya, kontradiksi diatas timbul karena perbedaan definisi dan persepsi.
Apabila kita kembali kepada esensi dan mengabaikan ungkapan-ungkapan (simbol-
simbol) bahasa, maka pada dasarnya kontradiksi itu tidak ada. Apalagi kalau kita bisa
memahami bahwa pendapat Ibn Taimiyyah diatas merupakan sanggahan terhadap
pendapat para sufi dan filosof, yang memang sudah melampaui batas, misalnya dengan
mengatakan bahwa raja (sultan), atau manusia pada umumnya, merupakan bayang-
bayang Allah (zhill al-Lah).
Kedua, khaliifah berarti pengganti dari yang sebelumnya karena telah tiada,
seperti pada kaum yang menggantikan kaum Nuh dan kaum ‘Aad setelah musnah
dihancurkan oleh Allah. Demikian pula Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun
yang telah ditenggelamkan. Abu Bakr disebut sebagai khaliifah al-Rasul karena telah
menggantikan Rasulullah sepeninggal beliau. (Sesuai dengan riwayat yang menyatakan
bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau
menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’.)
Oleh karena itu, secara umum bisa dikatakan bahwa khaliifah berarti
pengganti dari sesuatu yang sedang ghaib (tidak hadir). Manusia disebut sebagai
khaliifah Allah karena –seolah-olah- telah menggantikan Allah di bumi selama
kehidupan dunia fana, dimana selama itu Allah menyembunyikan diri dari penglihatan
makhluk-Nya (ghaib ‘inda al-nazhr al-zhahiriy). Di akhirat nanti, Allah akan

24
menampakkan diri-Nya, sehingga pada saat itu berakhirlah kekhalifahan manusia dan
berakhirlah masa ujian bagi manusia.
Harun as disebut sebagai khalifah Musa as karena Harun harus menggantikan
Musa selama kepergiannya (keghaibannya). Kaum-kaum yang menggantikan kaum
‘Aad dan kaum Nuh, Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun, serta Abu Bakr
yang menggantikan Rasulullah, disebut sebagai khaliifah karena telah menggantikan
generasi sebelumnya yang telah lenyap (ghaib).

B. Imamah
Kata-kata imam didalam Al-Quran, baik dalam bentuk mufrad/tunggal maupun
dalam bentuk jamak atau yang di idhafah-kan tidak kurang dari 12 kali disebutkan. Pada
umumnya telah disebutkan kata imam menunjukkan kepada bimbingan kepada
kebaikan, meskipun kadang-kadang dipakai untuk seseorang pemimpin satu kaum
dalam arti yang tidak baik. Kami contohkan dari beberapa surah Al-Quran. Yaitu; (QS:
At-Taubah Ayat: 8)
ْ َ‫َٰفَ ِسقُونَ َوأ َ ْكث َ ُر ُه ْم قُلُوبُ ُه ْم َوت َأْبَ َٰى بِأ َ ْف َٰ َو ِه ِه ْم ي ُْرضُونَ ُكم ۚ ِذ َّمة َو َل إِ ًل فِي ُك ْم يَ ْرقُبُوا َل َعلَ ْي ُك ْم ي‬
َ ‫ظ َه ُروا َوإِن َكي‬
‫ْف‬
Artinya:
“Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-
orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu,
mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula
mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang
hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak
menepati perjanjian).”
Selain itu imamah bisa diartikan gelar yang diberikan seseorang yang
memegang kepemimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi
politik atau pula suatu aliran pemikiran, keilmuan, juga keagamaan. Otoritas imamah
juga memiliki dua sisi yang menyatu: pertama bersifat syar'i dan kedua bersifat siyasi.
Al-Marwadi menyebut dua hak imam, yaitu hak untuk ditaati dan hak untuk
dibantu. Akan tetapi, apabila kita mempelajari sejarah, ternyata ada hak lain bagi imam,
yaitu hak untuk mendapat dari harta baitul Mal untuk keperluan hidupnya dan
keluarganya secara patut, sesuai dengan kedudukannya sebagai imam.
Hak yang ke tiga ini pada masa Abu Bakar, diceritakan bahwa setelah 6 bulan
diangkat jadi khalifah, Abu Bakar masih pergi ke pasar untuk berdagang dan dari hasil
dagangannya itulah beliau memberi nafkah keluarganya. Kemudian para sahabat

25
bermusyawarah, karena tidak mungkin seorang khalifah dengan tugas yang banyak dan
berat masih harus berdagang untuk memenuhi nafkah keluarganya. Maka akhirnya di
beri gaji 6.000 dirham setahun, dan menurut yang lain digaji 2.000 sampai 2.500
dirham.
Bagaimanapun perbedaan-perbedaan di dalam jumlah yang diberikan kepada
Abu Bakar satu hal adalah pasti bahwa kaum muslimin pada waktu itu telah meletakkan
satu prinsip penggajian (memberikan gaji) kepada khalifah.
Hak-hak imam ini erat sekali kaitannya dengan kewajiban rakyat. Hak untuk di
taati dan untuk di bantu misalnya adalah kewajiban rakyat untuk mentaati dan
membantu, seperti tersurat di dalam al-qur’an.
Islam sebagai agama amal adalah sangat wajar apabila meletakkan focus of
interestnya pada kewajiban. Hak itu sendiri datang apabila kewajiban telah
dilaksanakan secara baik. Bahwa kebahagiaan hidup di akhirat akan diperoleh apabila
kewajiban-kewajiban sebagai manifestasi dari ketaqwaan telah dilaksanakan dengan
baik waktu hidup di dunia.
Ternyata tidak ada kesepakatan di antara para ulama terutama dalam
perinciannya sebagai contoh akan dikemukakan, kewajiban imam menurut al-Mawardi
antara lain:
a. Memelihara agama, dasar-dasarnya yang telah ditetapkan dan apa-apa yang telah
disepakati oleh umat salaf.
b. Mentafidzkan hukum-hukum diantara orang-orang yang bersengketa, dan
menyelesaikan perselisihan sehingga keadilan terlaksana secara umum.
c. Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan tentram dan tenang
berusaha mencari kehidupan, serta dapat bepergian dengan aman, tanpa ada
gangguan terhadap jiwanya atau hartanya.
d. Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar hukum dan
memelihara hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan.
e. Menjaga tapal batas dengan kekuatan yang cukup, agar musuh tidak berani
menerang dan menumpahkan darah muslim atau nonmuslim yang mengadakan
perjanjian damai dengan muslim.
f. Memerangi orang yang menentang islam setelah dilakukan dakwah dengan baik-
baik tetapi mereka tidak mau masuk islam dan tidak pula jadi kafir dzimi.
g. Memungut upah dan shadaqah sesuai dengan ketentuan syara’ atas dasar nash atau
ijtihad tanpa ragu-ragu.

26
h. Menetapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang berhak
menerimanya dari baitul mal dengan wajar serta membayarkannya pada waktunya.
i. Menggunakan orang-orang yang dapat dipercaya dan jujur di dalam menyelesaikan
tugas-tugas serta menyerahkan pengurusan kekayan negara kepada mereka. Akan
pekerjaan dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli, dan harta negara di urus
oleh orang yang jujur.
j. Melaksanakan sendiri tugas-tugasnya yang langsung di dalam membina umat dan
menjaga agama.
Yusuf Musa menambahkan kewajiban lain, yaitu:
Menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan, karena kemajuan umat sangat tergantung
pada ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu keduniawian.
Yang penting ulil amri harus menjaga dan melindungi hak-hak rakyat dan
mewujudkan hak asasi manusia, seperti hak milik, hak hidup, hak mengemukakan
pendapat dengan baik dan benar, hak mendapatkan penghasilan yang layak hak
beragama dan lain-lain.
Di dunia islam sekarang ini, kriteria kepala negara {presiden} juga sangat
beragam. Di pakistan, misalnya, seseorang dapat dipilih menjadi presiden dengan
syarat: Muslim dengan sekurang-kurangnya 45 tahun {pasal 41 ayat 2 konstitusi
pakistan}. Di Mauritina presiden pun harus seorang muslim {pasal 23 konstitusi
Republik meurintina 1991}.
Saudi Arabia, Pakistan, Brunei Darussalam, Libya, Iraq {konstitusi 1990}
Maurintinia dan Malaysia menyebut Islam sebagai agama resmi negara, sedangkan
Indonesia mengatakan dalam pasal 29 UUD 1945 {yang tidak diamandemen}. Pada
ayat 1, pasal tersebut, negara berdasar ketuhanan Yang Maha Esa, dan pada pasal 2,
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamnya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agaman dan kepercayaannya itu.

13. Pihak yang Berhak Mengangkat Kepala Negara


Calon pemilih agar dapat ikut serta dalam pemilu setidaknya ada enam, yaitu:
a. Warga Negara Indonesia,
b. Warga yang telah genap berusia tujuh belas tahun,
c. Terdaftar sebagai pemilih di DPT,
d. Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya,

27
e. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
mempunyai hukum tetap,
f. Seorang purnawirawan TNI.

Sedangkan untuk kategori pemiih, Unggul dari Relawan TIK Kementerian


Kominfo menjelaskan bahwa dalam Pemilu 2019 mengenal 3 istilah daftar pemilih yaitu
Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan Daftar Pemilih
Khusus (DPK). Ketiga istilah itu disebut dalam UU Nomor 17 tahun 2017 tentang
Pemilu.

 Daftar Pemilih Tetap (DPT)


Adalah daftar pemilih yang disusun KPU berdasarkan data pemilih pada pemilu
terakhir yang disandingkan dengan data kependudukan Kemendagri. Pemilih
kategori ini akan mendapatkan surat pemberitahuan memilih atau C6 dan bisa
mencoblos pukul 07.00-12.00 waktu setempat dengan membawa C6 dan e-KTP.
 Daftar Pemilih Tambahan (DPTb)
Adalah pemilih yang sudah terdata dalam DPT, namun ingin pindah memilih di TPS
yang berbeda dari lokasi yang sudah didata. UU Pemilu menyebut beberapa macam
pemilih DPTb sebagai berikut:
a. Pindah memilih karena menjalankan tugas pemerintahan di tempat lain
b. Menjalani rawat inap di rumah sakit atau keluarga yang mendampingi
c. Penyandang disabilitas di panti sosial
d. Menjalani rehabilitasi narkoba
e. Tahanan
f. Siswa atau mahasiswa yang jauh dari rumah
g. Pindah domisili
h. Korban bencana
 Daftar Pemilih Khusus (DPK)
DPK adalah warga yang punya hak pilih namun belum terdata dalam DPT. Pemilih
kategori ini bisa menggunakan hak pilihnya cukup dengan membawa e-KTP di TPS
terdekat sesuai alamat pada e-KTP. Namun pemilih dalam DPK hanya bisa
menggunakan hak pilihnya satu jam terakhir sebelum TPS ditutup yaitu pukul
12.00-13.00 waktu setempat, dengan catatan selama surat suara masih tersedia.

28
14. Syarat-Syarat Seorang Kepala Negara
Karena seorang pemimpin merupakan khalifah di muka bumi, maka dia harus
bisa berfungsi sebagai kepanjangan tangan-Nya. Allah merupakan Rabb semesta alam,
yang berarti dzat yang men-tarbiyah seluruh alam. Tarbiyah berarti
menumbuhkembangkan menuju kepada kondisi yang lebih baik sekaligus memelihara
yang sudah baik. Karena Allah men-tarbiyah seluruh alam, maka seorang pemimpin
harus bisa menjadi wasilah bagi tarbiyah Allah tersebut terhadap segenap yang ada di
bumi. Jadi, seorang pemimpin harus bisa menjadi murabbiy bagi kehidupan di bumi.
Karena tarbiyah adalah pemeliharaan dan peningkatan, maka murabbiy (yang
men-tarbiyah) harus benar-benar memahami hakikat dari segala sesuatu yang menjadi
obyek tarbiyah (mutarabbiy, yakni alam). Pemahaman terhadap hakikat alam ini tidak
lain adalah ilmu dan hikmah yang berasal dari Allah. Pemahaman terhadap hakikat
alam sebetulnya merupakan pemahaman (ma’rifat) terhadap Allah, karena Allah tidak
bisa dipahami melalui dzat-Nya dan hanya bisa dipahami melalui ayat-ayat-Nya.
Kesimpulannya, seorang pemimpin haruslah seseorang yang benar-benar mengenal
Allah, yang pengenalan itu akan tercapai apabila dia memahami dengan baik ayat-ayat
Allah yang terucap (Al-Qur’an) dan ayat-ayat-Nya yang tercipta (alam).
Bekal pemahaman (ilmu dan hikmah) bagi seorang pemimpin merupakan bekal
paling esensial yang mesti ada. Bekal ini bersifat soft, yang
karenanya membutuhkan hardware agar bisa berdaya. Ibn Taimiyyah
menyebut hardware ini sebagai al-quwwat, yang bentuknya bisa beragam sesuai
dengan kebutuhan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki
dua kriteria: al-‘ilm dan al-quwwat.

Yang dimaksud dengan al-‘ilm (ilmu) tidaklah hanya terbatas pada al-
tsaqafah (wawasan). Wawasan hanyalah sarana menuju ilmu. Ilmu pada dasarnya
adalah rasa takut kepada Allah. Karena itulah Allah berfirman, “Yang takut kepada
Allah diantara para hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Faathir: 28). Ibnu
Mas’ud pun mengatakan, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi
ilmu adalah rasa takut kepada Allah”. Namun bagaimana rasa takut itu bisa muncul?
Tentu saja rasa itu muncul sesudah mengenal-Nya, mengenal keperkasaan-Nya,
mengenal kepedihan siksa-Nya. Jadi ilmu itu tidak lain adalah ma’rifat kepada Allah.
Dengan mengenal Allah, akan muncul integritas pribadi (al-‘adalat wa al-amanat)

29
pada diri seseorang, yang biasa pula diistilahkan sebagai taqwa. Dari sini, dua kriteria
pemimpin diatas bisa pula dibahasakan sebagai al-‘adalat wa al-amanat (integritas
pribadi) dan al-quwwat.
Selanjutnya, marilah kita tengok bagaimanakah kriteria para penguasa yang
digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kita akan mengamati sosok
Raja Thalut (QS. Al-Baqarah: 247), Nabi Yusuf (QS. Yusuf: 22), Nabi Dawud dan
Sulaiman (Al-Anbiya’: 79, QS Al-Naml: 15).
Raja Thalut:
“Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) atas kalian dan telah
mengkaruniakan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik (basthat fi al-‘ilm wa al-jism)”
(QS. Al-Baqarah: 247).
Nabi Yusuf:
“Dan ketika dia (Yusuf) telah dewasa, Kami memberikan
kepadanya hukm dan ‘ilm” (QS. Yusuf: 22).
Nabi Dawud dan Sulaiman:
“Maka Kami telah memberikan pemahaman tentang hukum (yang lebih tepat)
kepada Sulaiman. Dan kepada keduanya (Dawud dan Sulaiman) telah Kami
berikan hukm dan ‘ilm” (QS. Al-Anbiya’: 79).
“Dan sungguh Kami telah memberikan ‘ilm kepada Dawud dan Sulaiman”
(Al-Naml: 15).
Thalut merupakan seorang raja yang shalih. Allah telah memberikan kepadanya
kelebihan ilmu dan fisik. Kelebihan ilmu disini merupakan kriteria pertama (al-‘ilm),
sementara kelebihan fisik merupakan kriteria kedua (al-quwwat). Al-quwwat disini
berwujud kekuatan fisik karena wujud itulah yang paling dibutuhkan saat itu, karena
latar yang ada adalah latar perang.
Yusuf, Dawud, dan Sulaiman merupakan para penguasa yang juga nabi.
Masing-masing dari mereka telah dianugerahi hukm dan ‘ilm. Dari sini kita memahami
bahwa bekal mereka ialah kedua hal tersebut. Apakah hukm dan ‘ilm itu ?
Hukm berarti jelas dalam melihat yang samar-samar dan bisa melihat segala
sesuatu sampai kepada hakikatnya, sehingga bisa memutuskan untuk meletakkan segala
sesuatu pada tempatnya (porsinya). Atas dasar ini, secara sederhana hukm biasa
diartikan sebagai pemutusan perkara (pengadilan, al-qadha’). Adanya hukm pada diri
Dawud, Sulaiman, dan Yusuf merupakan kriteria al-quwwat, yang berarti bahwa
mereka memiliki kepiawaian dalam memutuskan perkara (perselisihan) secara

30
cemerlang. Al-quwwat pada diri mereka berwujud dalam bentuk ini karena pada saat
itu aspek inilah yang sangat dibutuhkan.
Disamping al-hukm sebagai kriteria kedua (al-quwwat), ketiga orang tersebut
juga memiliki bekal al-‘ilm sebagai kriteria pertama (al-‘ilm). Jadi, lengkaplah sudah
kriteria kepemimpinan pada diri mereka.
Pada dasarnya, kriteria-kriteria penguasa yang dikemukakan oleh para ulama
bermuara pada dua kriteria asasi diatas. Meskipun demikian, sebagian ulama terkadang
menambahkan beberapa kriteria (yang sepintas lalu berbeda atau jauh dari dua kriteria
asasi diatas), dengan argumentasi mereka masing-masing. Namun, jika kita berusaha
memahami hakikat dari kriteria-kriteria tambahan tersebut, niscaya kita dapati bahwa
semua itu pun tetap bermuara pada dua kriteria asasi diatas.
Imam Mawardi menyebut golongan penguasa sebagai ahlul imamah, yang
harus memenuhi tujuh kriteria, yaitu:
a. Al-‘adalat.
b. Ilmu ijtihad.
c. Memiliki kesehatan indera pendengaran, penglihatan, dan lisan.
d. Memiliki kesehatan anggota badan yang memungkinkan baginya bergerak dengan
baik.
e. Memiliki kapasitas intelektual yang melimpah, yang memungkinkan baginya untuk
mengatur negara dalam mencapai maslahat.
f. Memiliki heroisme yang memungkinkan baginya menjaga kedaulatan negara.
g. Nasab: harus dari kabilah Quraisy.
Kalau kita mengamati kriteria Mawardi, maka kita dapati bahwa kriteria ke-1
dan ke-2 merupakan kriteria al-‘ilm, sementara kriteria ke-3 sampai dengan kriteria ke-
6 masuk kedalam kriteria al-quwwat. Kriteria ke-3 dan ke-4 merupakan kekuatan fisik
(al-quwwat al-jasadiyyat), sedangkan kriteria ke-5 & ke-6 merupakan kekuatan non
fisik (al-quwwat al-ma’nawiyyat).
Satu kriteria yang sepintas lalu tidak termasuk kedalam dua kriteria asasi adalah
kriteria ke-7 (nasab). Namun kalau dicermati, kriteria nasab pada dasarnya masuk
kedalam kriteria al-quwwat. Sebagaimana dikatakan oleh beberapa pakar sosiologi
Islam, keharusan nasab Quraisy bagi seorang khalifah (pemimpin tertinggi dunia Islam)
pada hakikatnya bertujuan untuk menggalang legitimasi dan dukungan dari segenap
lapisan rakyat, karena pada masa-masa awal Islam kabilah Quraisy merupakan kabilah
yang paling dihormati dan disegani oleh semua pihak. Dengan demikian apabila sang

31
khalifah berasal dari Quraisy, maka legitimasi dan dukungan akan mudah didapat,
sehingga stabilitas pemerintahan bisa dicapai. Jadi, nasab ke-Quraisy-an disini
merupakan kekuatan legitimasi bagi seorang penguasa. Kekuatan legitimasi sendiri
merupakan salah satu bentuk kekuatan (al-quwwat).
Kita bisa mengatakan bahwa kriteria Mawardi diatas tidak lagi dikemukakan
dalam tataran esensial, namun sudah berada dalam tataran derivatif. Sesuatu yang
derivatif tidak bersifat mutlak. Ia bisa berubah sedemikian rupa dalam rangka
memenuhi tujuan-tujuan esensialnya.
Ada baiknya jika kita mencoba untuk merumuskan kembali kriteria Mawardi
dalam tataran pertengahan, tidak terlampau esensial (sebagaimana tampak pada dua
kriteria asasi) sehingga terkesan mengawang-awang, namun juga tidak terlampau
derivatif (sebagaimana tampak pada formulasi Mawardi) sehingga bersifat kondisional
(tidak selalu relevan dengan segala kondisi).
Kriteria pertama (al-‘adalat, integritas pribadi) tidak membawa
persoalan. Kriteria keduajuga merupakan suatu kepastian. Ilmu ijtihad merupakan
kecerdasan teoritis-transendental (al-kais al-nazhariy al-syar’iy) yang merupakan
instrumen yang wajib dimiliki oleh seorang khalifah, agar ia bisa menetapkan kebijakan
yang sesuai dengan hukum-hukum Ilahi. Tanpa kriteria kedua ini, kepemimpinan
seseorang akan terlepas dari kerangka Ilahi, yang berarti menyalahi fungsi manusia
sebagai khalifat al-Lah.
Kriteria ketiga pada dasarnya lebih mengarah pada fungsi dari indera-indera
fisiknya ketimbang jasad fisik dari indera-indera fisik itu. Indera penglihatan dan
penglihatan merupakan alat eksternal untuk memperoleh pengetahuan secara
sempurna. Indera lisan merupakan alat yang paling cepat dan efektif untuk
menyampaikan informasi (pengetahuan). Jadi ketiga indera tersebut
merupakan hardware untuk input dan output dari suatu “CPU” yang bernama akal.
Andaikan ada alat artificial yang bisa menggantikan fungsi input dan output
pengetahuan dengan kualitas yang sama dengan yang dilakukan oleh ketiga alat indera
tersebut, niscaya keberadaan alat artificial tersebut bisa memenuhi kriteria ketiga.
Namun, adakah ciptaan manusia yang bisa menyamai ciptaan Allah ?
Kriteria keempat (kelengkapan anggota badan yang memungkinkan gerak
yang baik) pada dasarnya ditetapkan untuk menjamin kemampuan dalam melakukan
berbagai aktivitas yang harus dilakukan oleh seorang khalifah. Betapa banyak aktivitas
yang membutuhkan gerak, baik gerak anggota badan relatif terhadap badan maupun

32
gerak badan relatif terhadap bumi. Di masa silam, semua tuntutan tersebut hanya
mungkin dilaksanakan dengan anggota badan yang lengkap. Namun di era informasi-
globalisasi sekarang ini, berbagai aktivitas yang layaknya dilakukan oleh seorang
khalifah tidaklah secara mutlak mensyaratkan kelengkapan anggota badan. Jadi,
kriteria keempat Mawardi, dengan formulasi beliau, tidak lagi relevan untuk saat ini.
Yang masih relevan adalah jiwa dari formulasi beliau, yaitu jaminan kemampuan untuk
menunaikan segenap aktivitas seorang khalifah.
Kriteria kelima (kapasitas intelektual) tidak membawa persoalan baru. Yang
dimaksud dengan kapsitas intelektual disini ialah kecerdasan praktis (al-dzaka’ al-
‘amaliy) atau kebijaksanaan praktis (al-hikmat al-‘amaliyat) mengenai segenap
masalah yang berkaitan dengan usaha untuk mengatur negara dalam mencapai
maslahat. Masalah-masalah tersebut beragam sesuai dengan tuntutan realitas (mathlub
al-waqi’).
Kriteria keenam (heroisme) berarti ketegasan mengambil sikap dalam segala
usaha untuk menjaga kedaulatan negara. Jika kriteria ini tidak terpenuhi maka musuh
akan memandang rendah negara dan mudah merongrong kedaulatan negara. Seorang
khalifah haruslah seorang mujahid, yang tidak segan-segan mengangkat pedang
menghadapi orang-orang yang berbuat zhalim dan orang-orang yang menghalangi
dakwah agama Allah.
Kriteria ketujuh (nasab) sudah penulis singgung didepan. Jiwa dari kriteria ini
adalah kekuatan legitimasi dalam rangka menjaga kesatuan umat dan stabilitas negara.
Apabila kita rangkum, jiwa dari kriteria Mawardi adalah sebagai berikut:
a. Integritas pribadi
 Kecerdasan teoritis-transendental.
 Sanggup menerima dan menyampaikan informasi / pengetahuan secara sempurna.
 Jaminan kemampuan untuk melakukan segenap aktivitas seorang khalifah.
 Kapasitas intelektual.
 Heroisme (ruhul jihad).
b. Kekuatan legitimasi.
Begitulah Mawardi telah mengemukakan kriteria yang harus dimiliki oleh
seorang khalifah. Ibn Taimiyyah, sebagaimana kita lihat sejak awal, agaknya memiliki
pandangan yang lebih sederhana namun lebih esensial dibandingkan Mawardi. Yang
perlu ditambahkan disini ialah bahwa dalam masalah kriteria al-quwwat, Ibn

33
Taimiyyah berpandangan bahwa wujudnya bisa berbeda-beda sesuai dengan tuntutan
realitas. Dalam negara yang menghadapi krisis pertahanan/keamanan, al-quwwat yang
paling dibutuhkan ialah keberanian, ketegasan, dan pengetahuan pertahanan/keamanan
yang mumpuni. Dalam negara yang sedang menghadapi masalah-masalah ekonomi
yang pelik, al-quwwat yang paling dibutuhkan ialah wawasan ekonomi yang
cemerlang. Dalam negara yang menghadapi krisis moral, al-quwwat yang paling
dibutuhkan ialah ketaqwaan dan kebijaksanaan. Demikian seterusnya.

15. Cara Mengangkat Kepala Negara


Terdapat banyak pendapat mengenai bagaimanakah seorang khalifah ditetapkan.
Pertama, khalifah ditetapkan dengan nash. Ini merupakan pendapat kaum Syi’ah.
Kedua, khalifah ditetapkan dengan pemilihan (al-ikhtiyar). Pendapat kedua inipun
masih terbagi-bagi menjadi berbagai pandangan. Sebagian membolehkan penetapan
khalifah dengan ikhtiyar (penetapan) khalifah sebelumnya. Sebagian yang lain
mengatakan bahwa khalifah harus dipilih oleh rakyat banyak.

Penetapan khalifah dengan nash akan memunculkan suatu negara teokrasi,


apabila disertai dengan keyakinan bahwa khalifah merupakan wakil Tuhan di bumi,
yang memegang kebenaran absolut. Penetapan khalifah atas dasar ketetapan khalifah
sebelumnya semata akan memunculkan negara monarki. Sementara penetapan khalifah
atas dasar pilihan rakyat banyak akan memunculkan negara demokrasi. Istilah negara
teo-demokrasi muncul belakangan dengan makna negara demokrasi yang dibingkai
oleh norma-norma Ilahi, sehingga tidak sepenuhnya tergantung pada kehendak rakyat.
Dalam konteks ini, istilah negara demokrasi (lebih tepatnya demokrasi liberal)
kemudian diartikan sebagai negara yang sepenuhnya tergantung pada rakyatnya, tanpa
dibatasi oleh otoritas transendental.
Keharusan penetapan khalifah dengan nash hanya diyakini oleh kaum Syi’ah.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) beranggapan bahwa penetapan khalifah dilakukan
dengan pemilihan. Pemilihan khalifah oleh rakyat merupakan suatu bentuk akad antara
dua pihak, yakni antara pihak khalifah dan pihak rakyat. Dr. Sanhoury (dalam
bukunya Le Califat) menegaskan bahwa akad khilafah merupakan akad yang hakiki,
sehingga memiliki rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana
lazimnya akad dalam kajian fiqih. Salah satu rukun yang beliau sebutkan ialah
keridhaan dari kedua belah pihak. Keridhaan rakyat berarti legitimasi mereka atas

34
khalifah, sementara keridhaan khalifah berarti kesediaan dan keikhlasan khalifah. Jadi,
khilafah pada dasarnya merupakan suatu kontrak sosial.
Secara lebih spesifik, sebagian ulama mengatakan bahwa akad khilafah
merupakan akad wikalah (perwakilan, pemindahan kuasa), suatu jenis akad yang
sangat populer dalam kajian fiqih. Mereka mengatakan demikian karena khilafah tidak
bisa ditetapkan oleh seseorang pada dirinya sendiri, sebagaimana seseorang tidak
mungkin mengambil kuasa tanpa pemberian kuasa dari pemilik kuasa. Karena khilafah
merupakan akad wikalah, maka segenap konsekuensi wikalah juga berlaku pada
khilafah. Diantara konsekuensi tersebut ialah bahwa khilafah tidak serta-merta
diwariskan berdasarkan keturunan. Konsekuensi yang lain ialah bahwa turunnya sang
khalifah tidak serta-merta menyebabkan turunnya segenap pejabat khalifah yang
diangkat oleh rakyat, karena jabatan mereka merupakan akad antara mereka dan rakyat
dan bukan antara mereka dan sang khalifah.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa akad khilafah tidak bisa dikatakan
sebagai akad wikalah. Alasannya, rakyat tidak bisa seenaknya mencabut kuasanya atas
sang khalifah sebagaimana seorang pemberi kuasa bisa sesuka hati mencabut
kuasanya. Disamping itu, khalifah dituntut untuk menunaikan prinsip-prinsip Ilahi
yang mana rakyat tidak bisa mengkuasakan kepada khalifah untuk menunaikan prinsip-
prinsip yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Ilahi tersebut.
Dari perdebatan diatas, pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang
mengatakan bahwa khilafah merupakan suatu akad namun tidak sepenuhnya bisa
dikatakan sebagai akad wikalah. Meskipun demikian, tidak bisa diingkari bahwa
khilafah merupakan perwakilan (niyabah) kaum muslimin, sehingga kekuasaan
seorang khalifah pada dasarnya berasal dari kaum muslimin itu sendiri.
Dari berbagai pendapat para ulama, penetapan khalifah bisa dilakukan melalui
berbagai mekanisme sebagai berikut.
Pertama, dengan pemilihan langsung oleh setiap orang (demokrasi langsung).
Kedua, khalifah ditetapkan oleh ahlul hall wal ‘aqd yang mewakili rakyat.
Ketiga, khalifah ditetapkan oleh khalifah sebelumnya.
Mekanisme kedua dan ketiga harus diikuti dengan baiat ‘ammat, yaitu baiat
yang dilakukan oleh segenap rakyat terhadap khalifah. Baiat ini merupakan bukti atas
keridhaan rakyat terhadap sang khalifah. Jadi, mekanisme apapun yang dipakai harus
bisa menjamin bahwa kekuasaan sang khalifah berasal dari rakyat. Lain lagi halnya jika

35
khalifah ditetapkan dengan nash. Karena penetapan ini dianggap sebagai otoritas Tuhan
maka rakyat pun tidak berhak untuk campur tangan didalamnya.
Hal penting yang harus dicamkan ialah bahwa orang-orang yang menetapkan
sang khalifah harus memenuhi beberapa persyaratan. Inilah yang membedakan antara
sistem politik Islam dengan sistem demokrasi liberal. Orang-orang yang dimaksud
disini ialah setiap pemilih pada sistem demokrasi langsung, anggota ahlul hall wal
‘aqd, atau khalifah sebelumnya. Imam Mawardi menetapkan tiga persyaratan untuk
orang-orang tersebut: 1)Al-‘adalat. 2) Ilmu tentang siapakah yang secara mu’tabar /
syar’i berhak menjadi khalifah. 3) Kapasitas intelektual yang memungkinkan
seseorang untuk menetapkan siapakah yang paling tepat secara politis (berdasarkan
pertimbangan maslahat ) untuk menjadi khalifah.
Istilah yang juga penting untuk dibahas disini adalah ahlul hall wal ‘aqd. Para
ulama mempunyai pandangan yang beragam tentang lembaga ini. Dari berbagai
pandangan yang ada, bisa disimpulkan bahwa ahlul hall wal ‘aqd ialah suatu lembaga
yang berisi sekelompok orang yang adil yang mewakili segenap wilayah geografis dan
keahlian yang relevan. Representasi wilayah geografis dibutuhkan untuk menggalang
aspirasi rakyat, sementara representasi keahlian dibutuhkan dalam kaitannya dengan
ijtihad kolektif yang berlangsung pada lembaga ini.
Secara etimologis, ahlul hall wal ‘aqd berarti lembaga yang mengurai dan
mengikat. Artinya, lembaga inilah yang mengikat (mengangkat) seorang khalifah
sekaligus yang mengurai (menurunkan) khalifah apabila perlu. Lembaga ini merupakan
kombinasi antara representasi rakyat dan otoritas syariat. Kombinasi inilah yang
menjadikan negara Islam berbeda dengan negara demokrasi liberal ataupun negara
teokrasi.

16. Pengertian Syura


Kata syura akar kata dari syawara- musyawaratan, artinya mengeluarkan madu
dari sarang lebah. Kemudian dalam istilah di Indonesia disebut musyawarah. Artinya
segala sesuatu yang diambil/dikeluarkan dari yang lain (dalam forum berunding) untuk
memperoleh kebaikan. Dalam Al-Qur'an kata syura ditampilkan dalam beberapa ayat.
Dalam QS al-Baqarah: 233 berarti kesepakatan. Dalam QS Ali-'Imran: 159 Nabi
disuruh untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya, berkenaan peristiwa Uhud.
Adapun QS al-Syura: 38 umat Islam ditandaskan agar mementingkan musyawarah
dalam berbagai persoalan. Format musyawarah dan obyeknya yang bersifat teknis,

36
diserahkan kepada ummat Islam untuk merekayasa hal tersebut berdasarkan
kepentingan dan kebutuhan. Menurut Quraisy Shihab, orang yang diajak musyawarah,
sesuai hadits Nabi disaat memberi nasihat kepada 'Ali : Hai 'Ali, jangan musyawarah
dengan penakut, ia kan mempersulit jalan keluar. Jangan dengan orang bakhil, karena
dapat menghambat tujuanmu. Jangan dengan orang yang ambisi, karena akan menutupi
keburukan. Wahai 'Ali, sesungguhnya takut, bakhil dan ambisi adalah bawaan yang
sama, itu semua bersumber kepada buruk sangka kepada Allah.
Etika bermusyawarah bila berpedoman kepada QS Ali-'Imran: 159 kira-kira
dapat disimpulkan; a) bersikap lemah lembut b) mudah memberi maaf, jika terjadi
perbedaan argumentasi yang sama-sama kuat dan c) tawakkal kepada Allah. Hasil akhir
dari musyawarah kemudian diaplikasikan dalam bentuk tindakan, yang dilakukan
secara optimal, sedangkan hasilnya diserahkan kepada kekuasaan Allah SWT.

17. Syura dan Demokrasi


Demokrasi, berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat, kratein berarti
pemerintahan. Kemudian dimaknai kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Abraham
Lincoln selanjutnya mengartikan demokrasi adalah bentuk kekuasaan yang berasal dar
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ciri ini mensyaratkan adanya partisipasi rakyat
untuk memutuskan masalah serta mengontrol pemerintah yang berkuasa. Menurut
Sadek J. Sulaiman demokrasi memiliki prinsip kesamaan antara seluruh manusia, tidak
ada diskriminasi berdasarkan ras- suku, gender, agama ataupun status sosial.
Para pakar siyasah Islam telah banyak yang berpendapat tentang hal ini.
Sebagian berpendapat bahwa syura dan demokrasi adalah dua hal yang identik,
sebagian yang lain berpendapat bahwa syura dan demokrasi adalah dua hal yang
berlawanan. Sebagian lain juga berpendapat bahwa keduanya mempunyai kesamaan
yang sangat erat, disamping terdapat juga perbedaan-perbedaan. Jubai Situmorang
mengutip pernyataan Nurcholis Madjid yang menyatakan demokrasi harus bercirikan
pada tujuh substansi, antara lain:
a. Prinsip pentingnya kesadaran kemajemukan. Ini tidak hanya pengakuan pasif akan
kenyataan masyarakat yang majemuk tetapi juga menghendaki pengakuan positif
terhadap kemajemukan itu secara aktif. Masyarakat yang demokratis harus
memelihara dan melindungi lingkup keanekaragaman yang luas.
b. Keinsyafan akan makna dan semangat musyawarah yang menghendaki atau
mengharuskan adanya keinsyafan dan kedewasan untuk tulus menerima

37
kemungkinan terjadinya kompromi atau bahkan kalah suara. Semangat
musyawarah memberikan penyadaran bahwa semua pikiran dan kepentingan tidak
harus diterima dan dilaksanakan.
c. Cara haruslah sejalan dengan tujuan. Ungkapan ‚tujuan menghalalkan segala cara‛
mengisyaratkan kutukan kepada orang yang berusaha meraih tujuannya dengan
cara-cara yang melupakan pertimbangan moral. Oleh karena itu, pandangan hidup
demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa tujuan haruslah dicapai dengan
cara-cara yang baik atau mengedapankan kebaikan dalam metode.
d. Suasana masyarakat demokratis mempersyaratkan nilai kejujuran dan ketulusan
dalam proses musyawarah. Hal ini mengandung makna pembebasan vested interest
yang berlebihan sehingga akan merusak nilai dan semangat demokrasi.
e. Terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat yakni sandang, pangan dan papan.
Masyarkat demokratis dituntut untuk memenuhinya secara berencana, sekaligus
mampu dipastikan sejalan dengan tujuan dan praktek demokrasi.
f. Adanya kerjasama dan saling mempercayai antar warga negara untuk saling
mendukung secara fungsional. Masyarakat harus dijauhkan sifat saling mencurigai
secara horizontal. Oleh karena itu, dibutuhkan landasan pandangan kemanusiaan
secara positif dan optimis.
g. Adanya pendidikan demokrasi yang sehat. Nilai-nilai dan pengertian-pengertian
demokrasi harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan,
sehingga akan tersosialisaikan secara lebih berkualitas kepada masyarakat luas.
Nilai-nilai positif demokrasi yang disampaikan Nurcholis Madjid
sebenarnya sudah menunjukkan sebuah etika sosial yang sangat jelas. Akan tetapi
praktek demokrasi yang kita saksikan hari ini jauh dari nilai-nilai etika sosial. Dari
beberapa sisi, demokrasi dijadikan sebagai akar eksploitasi kaum kapitalis. Mereka
melakukan penindasan dengan memakai baju demokrasi, sehingga manusia
menganggapnya sebagai dewa pembebas. Penciptaan undang-undang, pembaruan,
konsesi, pemberian hak dan keistimewaan oleh demokrasi tidak lain hanya sebagai
candu yang membius manusia. Oleh karena itu ada beberapa ulama yang
memberikan perbedaan mendasar antara syura dan demokrasi, di antaranya:
a. Abdul Hamid Ismail al-Anshari. Menurutnya ada perbedaan mendasar antara
syura dan demokrasi. Pertama, kekuasaan majelis syura dalam Islam terbatas
sejauh tidak bertentangan dengan nash. Dalam Islam, hal-hal yang sudah tegas
diatur oleh nash tidak boleh lagi dipermasalahkan dan manusia tinggal

38
melaksanakan nash tersebut sedangkan yang tidak secara tegas atau tidak tidak
diatur dalam nash, boleh dibicarakan oleh majelis syura sejauh tidak melanggar
koridor kemaslahatan umat dan semangat ajaran Islam itu sendiri. Sementara
demokrasi, memberikan ruang dan kekuasaan mutlak kepada manusia yang
tidak mempunyai batas serta tidak ada proses musyawarah sejauh masyarakat
yang menghendaki. Kedua, hak dan kebebasan manusia dalam syura dibatasi
oleh kewajiban sosial dan agama, sehingga manusia tidak dapat melakukan
sesuatu yang dapat merugikan kebebasan sosial, sedang dalam demokrasi,
kebebasan manusia berada di atas segalanya. Dalam demokrasi, orang boleh
melakukan apa saja sejauh tidak merugikan kepentingan orang lain dan tidak
bertentangan dengan peraturan. Ketiga, syura dalam Islam ditegakkan atas dasar
ahlak yang berasal dari agama, sementara dalam demokrasi modern berdasarkan
suara mayoritas.
b. Quraish Shihab juga memberikan perbedaan mendasar antara syura dan
demokrasi. Pertama, syura tidak memutlakkan pengambilan keputusan hanya
berdasarkan suara mayoritas. Anggota syura berasal dari berbagai kalangan ahli
dengan kualifikasi sifat-sifat yang terpuji, dengan musyawarah yang intensif,
berkemungkinan untuk menerima pendapat minoritas jika lebih argumentatif
dan lebih baik dari pendapat mayoritas. Kedua, perjanjian atau kontrak sosial
antara pemimpin dan rakyat dalam syura mengacu kepada ‘perjanjian Ilahi’,
sehingga terhindar dari praktik-praktik eksploitasi manusia atas manusia
lainnya. Sementara demokrasi tidak memiliki landasan Ilahiyyah. Ketiga,
karena tidak punya landasan Ilahiyyah, demokrasi modern dapat memutuskan
persoalan apa saja, sedangkan syura sudah tegas memberi batasan-batasan apa
saja yang bisa dimusyawarahkan dan apa yang tidak.
Dari dua pendapat ulama di atas apabila umat Islam mau mempraktekkan
demokrasi, maka hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu dilakukan adalah
membuang noda-noda sekularisme dan individualisme yang sangat bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas agama. Hanya dengan langkah
semacam ini umat Islam dapat menerima konsep demokrasi dan mensejajarkan
dengan norma-norma yang ada dalam syura. Kita boleh menerima konsep positif
demokrasi dengan tanpa mengabaikan prinsip-prinsip moral dan agama. Demokrasi
dan syura ternyata memang bukan dua hal yang identik dan bukan pula hal yang
dipertentangkan. Umat Islam boleh menerima konsep demokrasi sebagai suatu

39
sistem pemerintahan dalam masyarakat muslim, apabila orientasi demokrasi dan
sistem lainnya diisi dengan muatan nilai-nilai keagamaan dan moralitas.

18. Pihak yang Berhak Melakukan Syura

 Rasulullah bermusyawarah dengan jumhur kaum muslimin dalam masalah-masalah


penting yang langsung berkaitan dengan rakyat. Contohnya adalah ketika harus
memutuskan apakah kaum muslimin akan bertahan didalam kota atau keluar kota dalam
Perang Uhud.
 Dalam suatu urusan yang tidak melibatkan seluruh rakyat, Rasulullah bermusyawarah
dengan orang-orang yang berkepentingan dengan urusan tersebut saja. Contohnya
adalah musyawarah mengenai ghanimah Hawazin.
 Adakalanya Rasulullah bermusyawarah dengan pemuka-pemuka kaum. Contohnya
adalah dalam masalah Ghathafan.
 Adakalanya Rasulullah juga bermusyawarah dengan orang-orang tertentu. Contoh
untuk ini sungguh amat banyak.
Dari teladan nabi diatas, kita bisa menyimpulkan :
Dengan siapa kepala negara bermusyawarah, amatlah bergantung pada jenis
masalah yang hendak dimusyawarahkan.
 Dalam masalah-masalah penting yang langsung berkaitan dengan seluruh rakyat,
sedapat mungkin kepala negara harus bermusyawarah dengan seluruh rakyat. Dalam
hal ini kepala negara juga bisa bermusyawarah dengan ahlul hall wal ‘aqd yang
merupakan representasi rakyat.
 Adapun dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian maka hendaknya kepala
negara bermusyawarah dengan para ahli.

Islam menetapkan beberapa ciri atau sifat-sifat orang yang layak bersyura. Mereka
adalah:
a. Beragama Islam. Dengan orang bukan Islam tidak ada syura (yakni dalam urusan
khusus umat Islam saja). Hal itu berdasarkan Hadist Rasulullah: Mereka yang
hendak selesaikan sesuatu urusan maka mereka bermusyawarah yang anggotanya
orang-orang Islam. ALLAH bersama mereka dalam menyelesaikan urusan itu.
(Riwayat Ath Thabrani)

40
Orang bukan Islam itu, mereka tidak tahu mana yang hak dan mana yang
batil menurut pandangan Islam. Selain itu orang kafir yang memusuhi Islam, kalau
terbawa ke dalam majlis syura, ia akan memberi pandangan-pandangan yang jahat
dan beracun serta membahayakan umat Islam. Bagaimanapun dalam Negara Islam,
hak-hak orang bukan Islam tidak diabaikan sama sekali. Urusan mereka
dibincangkan bersama mereka. ertinya, segala kepentingan bersama dan keperluan
mereka disyurakan dengan mereka.
b. Bertaqwa. Tidak semua orang Islam layak diajak berbincang. Sebab tidak semua
orang Islam mampu memberi fikiran yang adil dan ikhlas dalam perbincangan dan
dalam membuat keputusan. Syarat taqwa itu amat penting dalam melindungi dan
mendorong manusia supaya membuat keputusan yang tepat, bersih dan diberkati.
c. Cerdik, yakni orang yang memiliki buah fikiran yang baik, bernas, logik, tajam dan
tepat. Pandangan dari orang-orang seperti itu saja yang diperlukan. Selain dari
mereka itu, tidak perlu dijemput untuk dibawa berbincang. Sebab mereka akan
memberi pandangan yang tidak tepat. Hal itu membuat majlis tersebut membuang
masa sahaja. Selain itu, kalau pandangan mereka ditolak, nanti akan timbul kecil
hati. Sebab itu lebih baik tidak dijemput ke majlis syura.
d. Seorang yang sesuai dengan bidang yang akan dibincangkan. Syarat itu penting
diperhatikan supaya orang-orang yang akan membuat keputusan dalam hal yang
disyurakan itu, betul-betul orang yang tahu seluk beluk perkara tersebut.

19. Objek Syura

Syura dalam Islam dibenarkan dan digalakkan terhadap perkara-perkara berikut:

a. Perkara-perkara yang belum ditetapkan hukumnya oleh ALLAH SWT. Hukum-


hukum yang sudah jelas jelas atau sahih dan qad’ie kedudukannya dalam Islam, tidak
boleh disyurakan. Seperti tentang wajibnya shalat, puasa, menutup aurat, berjihad,
bersilaturrahim dan lain-lain lagi. Demikian juga sebaliknya seperti haramnya arak,
judi, zina, buka aurat, bergaul bebas dan sebagainya. Perkara-perkara itu tidak boleh
dimusyawarahkan lagi. Sebab Allah sudah membuat keputusan yang tidak boleh
dibatalkan dalam musyawarah.
b. Hukum-hukum yang belum lagi dibincangkan oleh ulama mujtahidin yang menjadi
pegangan Ahli Sunnah Wal Jamaah.

41
c. Perkara-perkara yang belum diperintahkan oleh ketua jemaah atau ketua negara.
Untuk keputusan-keputusan yang sudah dibuat oleh ketua, dan sudah diperintahkan
untuk dilaksanakan, di mana perintah itu tidak bertentangan dengan syariat, tidak
boleh disyurakan lagi. Sekalipun arahan itu kita tidak setuju dan tidak faham.
d. Perkara yang bukan keputusan dari satu syura yang telah dibuat baik dalam keluarga,
jemaah atau negara. Keputusan apapun yang telah diambil oleh syura mana-mana
pun, tidak boleh disyurakan sekali lagi. Tidak boleh ada satu syura lain untuk
menolak satu keputusan syura yang telah diambil, bila keputusan itu dibenarkan oleh
syariat. Hal itu berdasarkan firman Allah yang bermaksud: Bermusyawarah dengan
mereka dalam sesuatu perkara, setelah kamu bulat menerimanya, maka
bertawakallah kepada Allah. (Ali Imran: 159)

Bila satu keputusan telah dibuat, jangan ada lagi yang berdalih, ragu-ragu, tidak
puas hati dan ingin merombak kembali. Laksanakanlah dengan bertawakkal kepada
Allah.
Karana perkara-perkara yang boleh disyurakan itu ialah perkara-perkara yang belum
ditetapkan hukum dan caranya oleh Allah, perkara yang belum diarahkan oleh ketua
dan perkara yang belum diputuskan oleh syura sebelumnya, artinya perkara-perkara itu
ialah:

a. Soal-soal teknik dan cara yang wajib dan sunat untuk dapat melaksanakan hukum-
hukum Allah. Contohnya, dalam melaksanakan solat boleh dibincangkan tentang
tempat wudhuknya, tempat solatnya, cara-cara untuk mengajak orang banyak untuk
bersolat dan lain-lain lagi. Usaha-usaha untuk mengharamkan arak boleh
disyurakan, umpamanya berbincang bagaimana untuk membatasi penghasilan arak,
penjualannya dan alternatif pengganti arak. Kiaskanlah dengan hal-hal lain seperti
cara-cara untuk membangun rumah sakit Islam, tempatnya dan lain-lain lagi.
b. Soal-soal ke arah pelaksanaan perintah ketua jemaah atau negara. Contohnya, ketua
mengarahkan pindah. Maka syurakan bagaimana cara-cara perpindahan itu dapat
dibuat. Atau ketua arahkan buat program Maulid Nabi, maka disyurakanlah cara-
cara menjayakannya.
c. Syura mengenai perkara-perkara yang mubah hukumnya. Contohnya, pembinaan
tempat-tempat rehat, program musafir , membangun tempat-tempat hiburan yang
halal dan sebagainya.

42
20. Tingkatan-Tingkatan Hukum di Indonesia

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan


hukum dasar tertulis yang berkedudukan sebagai hukum dasar bagi setiap pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang ada di bawahnya.
Hierarki peraturan perundang-undangan baru mulai dikenal sejak dibentuknya
Undang-undang No.1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950.

Dalam Pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1950 dirumuskan sebagai berikut:

Pasal 1

Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:

Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Peraturan Pemerintah

Peraturan Menteri

Selanjutnya hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam TAP MPRS No.


XX/MPRS/1966 (situs 1, situs 2) pada halaman 12:

a. Undang-undang Dasar 1945


b. TAP MPR
c. Undang-undang/Perpu
d. Peraturan Pemerintah
e. Keputusan Presiden
f. Peraturan Pelaksana lainnya misalnya Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan
lain lain

43
Selanjutnya tata urut peraturan perundang-undangan diubah lagi dengan TAP
MPR No.III/MPR/2000 (situs 1, situs 2) menjadi:

a. Undang Undang Dasar 1945


b. TAP MPR
c. Undang-undang
d. Perpu
e. Peraturan Pemerintah
f. Keputusan Presiden
g. Perda

Kemudian diperbaharui lagi dengan UU no. 10 tahun 2004 (sudah dibatalkan


oleh UU no. 12 tahun 2011) (situs 1, situs 2):

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan

Pasal 7 menyebutkan:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

Undang-undang Dasar 1945;

Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

Peraturan Pemerintah;

Peraturan Presiden;

Peraturan Daerah.

(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

44
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

UU no. 12 tahun 2011 merupakan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


YANG BERLAKU SAAT INI (situs 1, situs 2):

Pasal 7

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

Peraturan Pemerintah;

Peraturan Presiden;

Peraturan Daerah Provinsi; dan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki


sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal


7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau

45
Pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,
Kepala Desa atau yang setingkat.

Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui


keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan

21. Proses Penetapan Hukum di Indonesia


Pengetahuan ini meliputi tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan
yang meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.

a. Perencanaan

Perencanaan merupakan tahap awal dalam menyusun peraturan perundang-


undangan. Dalam perencanaan diinventarisasi masalah yang ingin diselesaikan beserta
latar belakang dan tujuan penyusunan peraturan perundang-undangan. Masalah yang
ingin diselesaikan setelah melalui pengkajian dan penyelarasan, dituangkan dalam
naskah akademik. Setelah siap dengan naskah akademik, kemudian diusulkan untuk
dimasukkan ke dalam program penyusunan peraturan. Untuk undang-undang, program
penyusunannya disebut Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

b. Penyusunan

Penyusunan peraturan perundang-undangan dapat diartikan dalam 2 (dua)


maksud. Pertama, penyusunan dalam arti proses, yakni proses penyampaian rancangan
dari Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota atau DPR/DPD setelah melalui tahap
perencanaan. Proses penyusunan ini berbeda untuk undang-undang, peraturan
pemerintah, dan peraturan presiden. Kedua, penyusunan dalam arti teknik penyusunan,
yakni pengetahuan mengenai tata cara pembuatan judul, pembukaan, batang tubuh,
penutup, penjelasan, dan lampiran.

c. Pembahasan

46
Pembahasan adalah pembicaraan mengenai substansi peraturan perundang-
undangan di antara pihak-pihak terkait. Untuk undang-udang, pembahasan dilakukan
oleh DPR bersama Presiden atau menteri melalui tingkat-tingkat pembicaraan. Untuk
peraturan di bawahnya, pembahasan dilakukan oleh instansi terkait tanpa keterlibatan
DPR.

d. Pengesahan

Untuk undang-undang, rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama


oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk
disahkan menjadi undang-undang. Untuk peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM kepada Presiden melaui
Kementerian Sekretariat Negara atau Sekretariat Kabinet.

e. Pengundangan

Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam


Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. Tujuan
pengundangan adalah agar masyarakat mengetahui isi peraturan perundang-undangan
tersebut dan dapat menjadi acuan kapan suatu peraturan perundang-undangan mulai
berlaku dan mengikat.

22. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia

Kedudukan hukum Islam dalam politik hukum di Indonesia Ismail Suny


membagi atas dua priode 1) priode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasive
yaitu sumber hukum yang orang harus diyakini untuk menerimanya, 2) priode
penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif itu sumber hukum yang mempunyai
kekuatan. Pendapat Ismail Suny didasarkan pada pembentukan Negara Kesatuan
Indonesia di mana Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945, berdasarkan dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945.

Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal II aturan perlaihan dikatakan


segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum

47
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Di samping itu, Pasal 29 ayat
(1) dan (2) dikatakan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya maing-masing
dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 mengaskan bahwa segala warga bersamaan
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahandan wajib menjunjung hukum dan
pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ayat (1) menjamin hak-hak warga
negara yang bersifat umum sedangkan Pasal 29 ayat (2) menjamin hak warga negara di
bidang agama. Penafsiran sistimatis Pasal 27 ayat (1) yang menjamin kemerdekaan
untuk memeluk agamanya masing-masing adalah hubungan lex general dan lex
specialis. Bertolak dari ketentuan perlihan, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2), UUD
1945 nilai-nilai etika dan hukum Islam berpotensi untuk menjadi hukum Nasional.

Persoalan dalam sistem hukum nasional, hukum Islam adalah hukum tidak
tertulis seperti halnya hukum adat. Kapan hukum tidak tertulis dijadikan dasar dalam
penerapan hukum atau dalam pelaksanaan kenegaraan. Prospek Hukum Islam di
Indonesia
Rakyat Indonesia adalah mayoritas beragama Islam, dapatkah berkehendak untuk
memberlakukan nilai-nilai etika dan hukum Islam dalam praetk kenegaraan.
Penegakan supremasi hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal mengalami
degradasi. Kondisi tersebut, antara lain disebabkan banyak peratuan perundang-
undangan yang dibuat oleh pemerintah pada masa lalu tidak mencerminkan aspirasi
masyarakat dan kebutuhan pembangunan yang bersendikan hukum agama dan hukum
adat.

Subtansi hukum yang tidak mencerminkan nilai-nilai rtika dan hukum


masyarakat pemberlakuannya kurang efektif, bahkan sikap otiriter pemerintah untuk
memaksakan hukum itu berlaku (teori kekuasaan). Padahal secara ideal hukum itu akan
diterima, apabila subtansi hukum merupakan adopsi dari nilai-nilai hukum yang dianut
oleh masyarakat.

Umat Islam sebagai penduduk yang mayoritas di Indonesia, hukum Islam


sangat memiliki peluang yang besar mengkontribusi nilai-nilai hukumnya terhadap

48
hukum nasional. Negara Indonesia dibentuk atas dasar hukum, syarat sebagai negara
hukum, minimal memenuhi tiga unsur, yaitu adanya 1) kedaulatan rakyat 2) adanya
HAM dan 3) adanya yang bebas dan merdeka.

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), bukan


berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). Sumber hukum dari segala sumber hukum
nasional Indonesia adalah Pancasila, karena itu berlaku hukum agama dan toleransi
antara umat beragamadalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam amandemen
UUD 1945 tahap ketiga disebutkan bahwa sebagai negara demokrasi Indonesia
menjunjung kedaulatan rakyat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) berbunyi
kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Sedangkan pernyataan sebagai negara hukum disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) yaitu
negara Indonesia adalah Negara hukum.

Konsep dasar ini berbeda dengan teori kontrak sosial dan Rousseau tentang
kedaulatan rakyat, di mana hukum berdasarkan kedaulatan rakyat itu sendiri.
Kedaulatan rakyat dalam kontek negara Indonesia adalah kedaulatan rakyat yang
dijiwai dan diliputi oleh Ketuhanan Yanh Maha Esa dan sila-sila dari Pancasila.
Berdasarkan teori lingkaran kensentris yang menunjukkan betapa eratnya hubungan
agama, hukum dan negara. Karena itu, dengan penduduk yang mayoritas Islam, tentu
hal tersebut dapat dijadikan paramenter bagaimana negara Indonesia dalam
pembangunan hukum di masa depan. Dengan demikian, pendapat yang memisahkan
agama dengan negara adalah bertentangan dengan nilai-nilai sunatullah (hukum alam).

Sebagai negara berdasarkan atas hukum yang berfalsafat pancasila melindungi


agama dan memberikan jaminan untuk umat beragama, menjalankan syari’at
agamanya, bahkan berusaha untuk memasukan ajaran dan hukum agama Islam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti pernyataan proklamator Mohammad
Hatta, bahwa peraturan negara hukum RI, syari’at Islam berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadis dapat dijadikan peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga orang Islam
mempunyai sistem syari’at yang sesuai dengan kondisi Indonesia.

H. Muchsen dalam estimasi dan harapannya bahwa di masa akan datang


semakin banyak lagi muatan-muatan Islam bisa masuk dan mewarnai perundang-
undangan. Harapan ini tiak berlebihan dilihat dari beberapa peraturan perundang-

49
undangan yang berkaitan dengan hukum Islam, seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, UU Nu. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 17 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Haji dan UU No. 36 tentang Pengelolaan Zakat.

Namun, ke depan harapan tersebut apakah mungkin terwujud? Hal ini dapat
dibuktikan dengan political wiil pemerintah dalam menggali dan memahami nilai-
nilaietika dan hukum Islam yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Islam.
Dalam konteks hukum Nasional, hukum Islam dan hukum adat juga dapat dijadikan
sebagai sumber hukum nasional. Dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dilelaskan bahwa dalam masyarakat yang masih
mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan,
hakim merupakan perumus dan penggali hukum dari nilia-nilai hukum yang hidup
dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk
mengenal, merasakan dan mampu melayani perasaan hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim dapat memberikan keputusan yang
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Hukum Islam masih berada pada tatanan cita-cita (ius cosntituendum) belum
berada pada tatanan aplikasi sebagai hukum positif (ius costitutum). Agar nilai-nilai
etika dan hukum Islam berlaku dalam masyarakat, maka nilai-nilai etika dan hukum
Islam itu harus dituangkan dalam bentuk UU.

Apabila diikuti perkembangan sidang MPR Tahun 2002 lalu, dari fraksi Partai
Bulan Bintang dan fraksi Partai Persatuan Pembangunan sangat tegas untuk
memasukan kembali tujuh kata dari Piagam Jakarta (dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya) untuk dimasukan pada Pasal 29 ayat (1) UUD
1945. Keinginan kedua fraksi tersebut dengan pertimbangan apabila hukum Islam dapat
diberlakukan sebagai hukum nasional maka telah mempunyai dasar untuk itu.
Tantangan dan Peluang
Harapan untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum nasional (dipostifkan),
tergantung dari konfigurasi sistem pemerintahan. Selama pemerintahan Orde Baru
konfigurasi politik hukum tidak domokratis. Di mana susunan sistem politik yang lebih
memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif
dalam pembuatan kebijaksanan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit

50
kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi
pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan
politik oleh elit politik yang kekal, serta dibalik semua itu ada satu doktrin yang
membenarkan konsentrasi kekuasaan.

Konfigurasi politik seperti itu, dimungkinkan akan berlaku pada masa


pemerintahan 2005-2009 apabila kemenangan presiden berada pada kelompok Koalisi
Kebangsaan. Dalam suatu sistem pemerintahan yang menganut oposisi terbuka, apabila
eksekutif menguasai juga legislatif, tentunya setiap kebijaksanaan akan diamankan oleh
legislatif, padahal untuk menjaga keseimbangan perlu pengawasan dari legislatif
terhadap eksekutif, berarti membutuhkan di legislatif keseimbangan antara partai
pemerintah dengan partai yang oposisi.

Keadaan ini dikuartirkan akan terjadi tarik menarik antara kepentingan politik
penguasa dan kepentingan umat Islam. Seperti pada masa sebelumnya, ada dua hal yang
menciptakan perbedaan kepentingan tersebut. Pertama, motivasi pilitik pemerintah
legal policy yang mengedepankan nilai-nilai sekuler, dengan dalih hukum Islam tidak
revelan dengan kondisi sosial serta pertimbangan pluralisme yang terdapat di tengah-
tengah masyarakat. Sehingga segala kebijakan politik hukum dibentuk dan diarahkan
kepada pengurangan peran hukum agama. Kedua, umat Islam mempersepsikan bahwa
hukum Islam dan lembaga pendidikan adalah bagian dari kewajiban agama (panggilan
syar’i) yang mesti dan wajib kifayah untuk dilaksanakan dan dipertahankan.
Pengabaian terhadap hukum Islam dan lembaganya, sama saja halnya pengabaian dan
durhaka pada hukum-hukum Allah. Oleh sebab itu, dengan sagala daya dan upaya wajib
dijalankan dan dipertahankan. Namun, yang sering menjadi pemenang dalam konteks
pergumulan tersebut adalah pihak penguasa karena didukung oleh kekuatan-kekuatan
pemaksa.

Hal ini dapat dibuktikan dengan setiap produk hukum yang dalamnya
mengandung nilai-nilai hukum Islam, selamanya mendapat tantangan dikalangan yang
kelompok tidak menginkan hukum Islam diberlakukan. Bahkan terlibat polemik baik
secara nasional maupun internasional. Seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama
dan terakhir UU Pendidikan Nasional.

51
Jika hal itu akan terjadi bagaimana dengan posisi hukum Islam. Lembaga
Peradilan selain Peradilan Militer telah menjadi satu atap dalam lingkungan
Mahakamah Agung. Tentunya posisi Peradilan Agama mempunyai peran dan tugas
yang sama dengan peradilan lainnya.

Untuk diberlakukan suatu nilai hukum yang hidup alam masyarakat menjadi
hukum positif melalui legislatif dan yurisprudensi. Hukum Islam dapat diberlakukan
melalui jalur putusan-putusan hakim (yurisprudensi) sangat mempunyai harapan.
Karena umat Islam adalah umat yang mayoritas di Indonesia, serta mempunyai satu
keyakinan bahwa seluruh perintah dan larangan dalam agama akan ditaati. Keyakinan
ini akan melahirkan suatu kesatuan faham bahwa ajaran Islam (nilai etika dan hukum)
akan diterapkan dalam pelaksanaan kenegaraan.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia bekerja


sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional 1978 dan 1979 di empat belas daerah
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, menunjukkan bahwa peserta 80% dari
jumlah responden yang ditanyai menunjukkan keinginan untuk diberlakukan hukum
Islam. Fakta ini membuktikan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang berkembang
di tengah-tengah masyarakat mereka dipandang sebagai hukum yang dapat memenuhi
rasa keadilan.

Ada empat peluang untuk diberlakukan hukum Islam sebagai hukum nasional.
(1) hukum Islam yang disebutkan dan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum adat. (2) Republik Indonesia dapat
mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya
berlaku bagi umat Islam, (3) Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia
adalah sama dan sederajat dengan hukum adat dan hukum Barat, karena itu (4) hukum
Islam juga menjadi sumber hukum pembentukan hukum nasional akan datang di
samping hukum adat, hukum Barat dan hukum lainnya yang tumbuh dan berkembang
dalam negara Indonesia.

Di samping empat peluang tersebut, peluang yang sangat menentukan


keberlakuhan hukum Islam secara nasional adalah keputusan-keputusan hakim
peradilan agama atau keputusan hakim selain peradilan agama yang menjadikan hukum
Islam sebagai dasar putusannya.

52
Penyatuan peradilan agama dengan Mahakamah Agung, menunjukkan bahwa
nilai-nilai hukum Islam dapat diterima dalam pelaksanaan hukum di Indonesia.
Terbentuknya advokasi Syari’ah yang memberikan bantuan hukum kepada umat Islam
pencari keadilan, walaupun hanya pada lingkungan Peradilan Agama. Demikian pula
pemberian otonomi khusus bagi Daerah Nangro Aceh Darussalam (NAD), syari’at
Islam telah diberlakukan dan dijadikan sebagai hukum nasional yang berlaku khusus
untuk NAD.

Permintaan pemberlakuan hukum Islam juga di daerah Sulawesi Selatan, di


Baten bahkan organisasi massa seperti forum pembela Islam, dan lain-lain. Makmurnya
umat Islam mengamalkan ajaran Islam, pemakaian jilbab, orientasi pemerintah
terhadap pendidikan pesantren, Rumah Sakit Islam, lembaga-lembaga keuangan, Bank
Syari’ah, Asuransi Syari’ah dan badan ekonomi syari’ah lainnya.

Nilai-nilai etika dan hukum Islam yang diterapkan itu akan pada akhirnya dapat
dijadikan sebagai hukum Nasional dan berlaku untuk semua rakyat Indonesia.

Kedudukan Hukum Islam Dan Sistem Hukum Di Indonesia


Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan,
"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada:
Ketuhanan yang Maha Esa…".

Dari paragraph tersebut nampak jelas, bahwa Indonesia adalah merupakan


Negara hukum, yang berkeinginan untuk membentuk suatu hukum baru sesuai dengan
kebangsaan Indonesia.
Sebagai perwujudan keinginan tersebut, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun
1946, yang walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum
Pidana Hindia-Belanda sehingga banyak mendapatkan sorotan, namun mengingat
keberadaan Indonesia sebagai suatu Negara yang berdaulat meskipun masih dalam
hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan kuat dengan hukum Belanda yang telah
ratusan tahun melekat dalam peri kehidupan bangsa Indonesia itu karenanya bisa
dimaklumi.

53
Untuk dapat membuat undang-undang yang sesuai benar dengan keindonesiaan,
tentunya sangat memerlukan rentang masa yang panjang, sementara pemerintah
Indonesia ketika itu masih disibukkan dengan berbagai usaha untuk mempertahankan
kemerdekaan.
Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yang sejak tahun 1974 kemudian dirubah
menjadi "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).
Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yang berlaku sampai akhir
tahun 1958, LPHN secara langsung berada di bawah kekuasaan Perdana Menteri.
Namun sejak kembali ke UUD-45 dan kemudian diperkuat oleh Keputusan Presiden RI
No. 45/1974, kedudukan LPHN yang kemudian berubah menjadi BPHN itu menjadi
setingkat dengan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.
Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984),
BPHN telah ikut aktif dalam pembuatan peta hukum nasional, yang sampai tahun 1987
tercatat telah berhasil menerbitkan 34 buah UU.
Usaha untuk mewujudkan hukum baru nasional itu tetap berlangsung, walaupun
berbagai kendala sejak semula juga terus menghadang, tidak hanya oleh penganut teori
resepsi, yang masih banyak bercokol di tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama
yang berasal dari kalangan perguruan tinggi hukum positif yang tidak menginginkan
dominasi hukum Islam dalam hukum nasional, tetapi juga oleh kalangan ulama Islam
sendiri yang masih memahami hukum Islam secara sepotong-potong dan terjebak
dalam kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sehingga kemudian lebih tersibukkan
dengan berbagai pertikaian antara sesamanya dengan melupakan peningkatan
kesadaran untuk melaksanakan hukum Islam itu dalam realitas kehidupan umat.
Tulisan ini akan mencoba untuk menggunakan kontribusi dan prospek hukum
Islam terhadap pembinaan hukum nasional di Indonesia, meliputi beberapa aspek
bahasan; 1) Esensi dan eksistensi hukum Islam, 2) Pelembagaan, pembaharuan dan
pengembangan hukum Islam, 3) Prospek penerapan hukum Islam di Indonesia.

A. Esensi Dan Eksistensi Hukum Islam


Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi tata nilai yang diyakini oleh
masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

54
Hal ini berarti, bahwa muatan hukum itu seharusnya mampu menangkap
aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian,
namun juga menjadi acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan
politik di masa depan.
Dengan demikian, hukum itu tidak hanya sebagai norma statis yang hanya
mengutamakan kepastian dan ketertiban, namun juga berkemampuan untuk
mendinamisasikan pemikiran serta merekayasa perilaku masyarakat dalam menggapai
cita-cita.
Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan untuk
mendasari dan mengarahkan berbagai perubahan sosial masyarakat.
Hal ini mengingat, bahwa hukum Islam itu mengandung dua dimensi:

 Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at yang berakar pada nash qath'i
berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama
aktivitas umat Islam sedunia.
 Hukum Islam yang berakar pada nas zhanni yang merupakan wilayah ijtihadi yang
produk-produknya kemudian disebut dengan fiqhi.

Dalam pengertiannya yang kedua inilah, yang kemudian memberikan


kemungkinan epistemologis hukum, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam
dapat menerapkan hukum Islam secara berbeda-beda, sesuai dengan konteks
permasalahan yang dihadapi.
Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, keberdayaannya telah sejak lama memperoleh tempat yang layak
dalam kehidupan masyarakat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, dan
bahkan pernah sempat menjadi hukum resmi Negara.
Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil
mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam tersebut, maka sedikit demi sedikit
hukum Islam mulai dipangkas, sampai akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya
sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan
Agama sebagai pelaksananya.
Meskipun demikian, hukum Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak
seutuhnya. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam tidak pernah mati dan bahkan

55
selalu hadir dalam kehidupan umat Islam dalam sistem politik apapun, baik masa
kolonialisme maupun masa kemerdekaan serta sampai masa kini.
Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam di Indonesia itu kemudian
dibagi menjadi dua:

 Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yang berkaitan dengan aspek ibadah
murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung kepada iman dan kepatuhan umat
Islam Indonesia kepada agamanya.
 Hukum Islam yang bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan dengan aspek
muamalat (khususnya bidang perdata dan dipayakan pula dalam bidang
pidana sekalipun sampai sekarang masih dalam tahap perjuangan), yang telah
menjadi bagian dari hukum positif di Indonesia.

Meskipun keduanya (hukum normative dan yuridis formal) masih mendapatkan


perbedaan dalam pemberlakuannya, namun keduanya itu sebenarnya dapat terlaksana
secara serentak di Indonesia sesuai dengan UUD 45 pasal 29 ayat 2.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam Indonesia


adalah hukum-hukum Islam yang hidup dalam masyarakat Indonesia, baik yang
bersifat normatif maupun yuridis formal, yang konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama
dan yurisprudensi.
Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yang sebagian daripadanya telah
terpaparkan pada uraian sebelumnya, sepenuhnya dapat ditelusuri melalui pendekatan
historis, ataupun teoritis.
Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat
periode,dua periode sebelum kemerdekaan, dan dua lagi pasca kemerdekaan.
1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase sebagai berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception
in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.
Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat
Islam berlaku sejak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni ketika
Belanda masih belum mencampuri semua persoalan hukum yang berlaku di
masyarakat.
Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin kuat dalam menjarah
kekayaan bumi Indonesia, maka pada tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah
56
Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering
yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam
dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan), tetapi juga
menggantikan kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh
para raja atau sultan Islam dengan peradilan buatan Belanda.
Keberadaan hukum Islam di Indonesia sepenuhnya baru diakui oleh
Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, dan
terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.
Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan
Agama di Jawa dan Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam
melaksanakan tugas peradilan sesuai dengan ketentuan fiqh.
b. Fase berlakunya hukum Islam setelah dikehendaki atau diterima oleh hukum adat.
Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yang pertama kali diperkenalkan
oleh L.W.C. Van Den Breg itu kemudian digantikan oleh teori Receptio yang
dikemukakan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van
Vallonhoven sebagai penggagas pertama.
Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah
Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie,
disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings
Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan kepada hakim
Indonesia untuk memberlakukan undang-undang agama.
Dalam I.S. tersebut, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa
hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Dan dalam
pasal 134 ayat 2 dinyatakan:
"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan
diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka
menghendakinya, dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan sesuatu
ordonansi".
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum
diterima sepenuhnya oleh hukum adat, pemerintah Belanda kemudian
menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan
agama dalam masalah waris (yang sejak 1882 telah menjadi kompetensinya) dan
dialihkan ke Pengadilan Negeri.

57
Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan
yang meninak-lanjutinya, di samping dirancang untuk melumpuhkan system dan
kelembagaan hukum Islam yang ada, juga secara tidak langsung telah
mengakibatkan perkembangan hukum Barat di Indonesia semakin eksis,
mengingat ruang gerak hukum adapt sangat terbatas tidak seperti hukum Islam,
sehingga dalam kasus-kasus tertentu kemudian dibutuhkan hukum Barat.
Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami
kemunduran sebagai rekayasa Belanda yang mulai berkeyakinan, bahwa letak
kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya
terhadap ajaran Islam.
2. Dua periode kedua, yakni setelah kemerdekaan dapat dibagi pula ke dalam dua fase
sebagai berikut:
e. Hukum Islam sebagai sumber persuasif, yang dalam hukum konstitusi disebut
dengan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat
diterima hanya setelah diyakini.
f. Hukum Islam sebagai sumber otoritatif, yang dalam hukum konstitusi dikenal
dengan outheriotative source, yakni sebagai sumber hukum yang langsung
memiliki kekuatan hukum.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan


sebagai sumber persuasuf UUD-45.[25] Namun setelah Dekrit yang mengakui bahwa
Piagam itu menjiwai UUD-45, berubah menjadi sumber otoritatif.
Suatu hal yang pasti adalah, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yang
dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat penting
bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.
Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan untuk mengikuti system
hukum Belanda mulai berusaha untuk melepaskan diri dan berupaya untuk menggali
hukum secara mandiri.
Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan
kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk hukum yang telah lama melembaga
dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif
dan harus dilakukan secara terus menerus, simultan dan sistematis.

58
Upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah RI terhadap hukum Islam
adalah pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin yang berarti menolak teori
Receptio yang diberlakukan oleh pemerintah colonial Belanda sebelumnya.
Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda untuk
merintangi kemajuan Islam di Indonesia. Teori itu sama dengan teori iblis karena
mengajak umat Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan
Rasul-Nya.
Perkembangan hukum Islam menjadi semakin menggembirakan setelah
lahirnya teori Receptio a Canirario yang memberlakukan hukum kebalikan dari
Receptio, yakni bahwa hukum adat itu baru dapat diberlakukan jika tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka hukum Islam jadi memiliki
ruang gerak yang lebih leluasa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perkembangan hukum Islam di
Indonesia telah melampaui tiga tahapan: 1. Masa penerimaan, 2. Masa suram akibat
politik kolonial Belanda, 3. Masa pencerahan dengan menjadikan hukum Islam sebagai
salah satu alternative utama yang dipercaya oleh pemerintah RI dalam upaya
menciptakan hukum nasional.

B. Pelembagaan, Pembaharuan Dan Pengembangan Hukum Islam


Diantara wujud kontribusi hukum Islam, setidak-tidaknya dalam aspek
penjiwaan dan nilai islami (khususnya bidang perdata karena bidang pidana untuk saat
ini masih belum memungkinkan) terhadap hukum nasional adalah.
UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman
pada pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
peradilan dalam lingkungan: 1) Peradilan umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan
Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.
Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan
dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga menjadi undang-undang
tertulis dan berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Namun demikian,
secara substansial terdapat bagian-bagian tertentu yang hanya berlaku khusus bagi
masyarakat Islam saja.
UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini telah
terlahirkan setelah melalui berbagai perjuangan yang panjang nan sulit penuh liku

59
dalam tiga zaman: zaman Kolonial Belanda, zaman pendudukan Jepang, dan pasca
kemerdekaan.
Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan pembinaan Peradilan
Agama dan Kementerian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Peraturan
Pemerintah No. 5/SD/1946 kemudian setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember
1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan
kembali pendiriannya untuk tetap memberlakukan Peradilan Agama.
Sebagai tindak lanjut dari penegasan tersebut, setidak-tidaknya telah diterbitkan
tiga peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama di Indonesia,
yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama di jawa dan
Madura. Stbl 1937 No. 638 dan 639 tentang Peradilan Agama di Kalimantan Selatan.
Selanjutnya dengan disahkannya pula UU No. 7 1989, maka selain lebih
mempertegas keberadaan lembaga Peradilan Agama dalam system pengadilan
nasional, juga telah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yang telah
ada sebelumnya.
Pembaharuan hukum Islam di Indonesia.
Istilah pembaharuan merupakan terjemahan dari bahasa Arab, Tajdid yang
dalam istilah Indonesia dikenal dengan modern, modernisasi dan modernisme.
Dalam masyarakat Barat, modernisme itu berarti fikiran, aliran, gerakan dan
usaha untuk merubah faham-faham, adpat istiadat, insitusi-institusi lama, dan
sebaginya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu-pengetahuan dan teknologi modern.
Sedangkan dalam pemikiran Islam, masalah tajdid itu muncul terutama setelah
Islam sebagai agama dan sekaligus tradisi akbar, berhadapan dengan berbagai budaya
local, berbagai faham non Islam dan aneka bentuk pemerintahan yang ada, baik di dunia
Timur maupun Barat.
Dalam bidang hukum Islam (khususnya di Indonesia), maka tajdid yang
dimaksud bisa berbentuk pikiran atau gerakan (dalam bidang hukum Islam) yang ingin
merubah faham atau fikiran lama yang bersumber dari ketentuan yang bersifat zanni
(aspek muamalat) yang bukan yang bersifat qath'i untuk disesuaikan dengan tuntutan
suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan zaman dan budaya lokal di Indonesia,
dalam rangka pembangunan, pembinaan dan pembentukan hukum nasional.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terlahir berdasarkan Inpres No. 1 Tahun
1991 yang berisikan rangkuman berbagai pendapat hukum dari kitab-kitab fiqhi untuk

60
dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim agama dalam mengambil keputusan, dan
kemudian disusun secara sistematis menyerupai kitab perundang-undangan, terdiri dari
bab-bab dan pasal-pasal, adalah merupakan salah satu kontribusi pembaharuan hukum
Islam di Indonesia.
Disebut sebagai pembaharuan, karena di satu sisi gagasan keberadaan KHI
tersebut tidak pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan
mazhab sudah lama dikenal), juga beberapa materi muatannya memang termasuk baru,
khususnya bagi masyarakat Islam Indonesia, seperti ahli waris pengganti, pelarangan
perkawinan berbeda agama, dan sebagainya.
Produk lain yang masih termasuk ke dalam bagian ini misalnya adalah UU No.
7 1989 tentang Peradilan Agama, dan PP No. 28 tentang Wakaf tanah milik. Dikatakan
baru, karena sebelumnya memang tidak dikenal dalam tata hukum nasional.
Dengan telah adanya berbagai pembaharuan tersebut, maka sangat
dimungkinkan hukum Islam di Indonesia kemudian berkembang sesuai dan seiring
dengan perubahan sosial terutama di era globalisasi saat ini. Dimana kemajuan
teknologi informasi seringkali dapat menimbulkan pergeseran nilai-nilai yang semula
dianggap sudah sangat mapan.
Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tersebut dan
sekaligus mencari solusi dan pemecahan yang tepat, maka tidak mustahil Islam akan
dilanda krisis relevansi (crisis of relevance) dan akihrnya tersisihkan serta ditinggalkan
orang.
Kebangkitan baru intelektualisme Islam untuk melakukan pembaharuan itu
ditandai dengan munculnya berbagai pemikiran keislaman yang memberikan
formulasi, interpretasi dan refleksi terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan dalam
arti luas (bukan hanya dalam bidang hukum saja, namun juga dalam bidang yang lain:
politik, budaya dan sebagainya).
Namun demikian, sejarah sering menyajikan fakta yang cukup menyedihkan
tentang nasib para penggagas pembaharuan, baik di Indonesia maupun di tempat lain.
Penyebabnya cukup variatif, diantaranya adalah penafsiran pembaharuan itu dengan
istilah yang provokatif, yang dengan konotasi tertentu dapat menimbulkan kecurigaan
dan kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dianggap oleh sebagian orang sebagai
upaya menggugat keabsahan sumber ajaran Islam yang telah diyakini sudah sangat
benar dan mapan.

61
Sesungguhnya keadaan Islam dan masyarakat Islam di masa depan sangat
tergantung pada kecakapan para intelektualnya dalam menghadapi, mengerti dan
memecahkan berbagai persoalan yang baru.
Namun kenyataan menunjukkan, bahwa masih ada sebagian umat Islam,
bahkan dari kalangan intelektual yang masih bersikukuh mempertahankan intepretasi
ajaran lama dan tidak terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.
Sebagai contoh konkrit, khususnya dalam bidang hukum Islam adalah
penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan
mazhab Nasional dan Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia. Penentangan itu
bukan hanya dari kalangan awam, namun yang sangat keras justru dari pada
cendekiawan, seperti Ali Yafie walaupun belakangan nampak adanya kecenderungan
untuk mendukungnya.

C. Prospek Hukum Islam Di Indonesia


Dalam membicarakan prospek hukum Islam di Indonesia, setidaknya ada dua
aspek yang perlu untuk dikedepankan:
1. Aspek kekuatan dan peluang. Keduanya berkaitan dengan hukum Islam dan umat
Islam yang berperan sebagai pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
2. Aspek kelemahan dan hambatan. Aspek ini berkaitan dengan kehidupan hukum di
Indonesia yang menjadi kendala bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai
hukum positif di Indonesia.
Adapun aspek kekuatan:
a. Al-Qur'an dan hadits, yang selain memuat ajaran tentang aqidah dan akhlaq, juga
memuat aturan-aturan hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata maupun pidana.
Ketiga esensi ajaran ini telah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dalam Islam. Ketiganya bagaikan segi tiga sama kaki yang saling mendukung yang
daripadanya kemudian lahir prinsip-prinsip hukum dalam Islam, asas dan tujuan-
tujuannya.
b. Syariat Islam datang untuk kebaikan manusia semata, sesuai dengan fitrah dan
kodratnya yang karenanya sangat menganjurkan berbuat kebaikan, dan melarang
perbuatan yang merusak. Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan
senantiasa sesuai dengan kebutuhan normal manusia, kapan pun dan di man apun
sebab syareat Islam dibangun di atas dan demi kebaikan manusia itu sendiri sehingga
akan tetap diminati.

62
c. Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan hukum Islam dalam
hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi, yang merumuskan keadaan
hukum nasional Indonesia pada masa lalu, masa kini dan akan datang, bahwa hukum
Islam itu ada di dalam hukum nasional, baik dalam hukum tertulis maupun tidak
tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktek hukum.
d. Telah terwujudnya kontribusi hukum Islam dalam hukum nasional, baik dalam
bentuk UU maupun IP, merupakan bukti nyata tentang kekuatan dan kemampuan
hukum Islam dalam berintegrasi dengan hukum nasional.
Aspek-aspek kekuatan tersebut akan semakin eksis dengan memperhatikan beberapa
aspek pendukung sebagai berikut:
Pancasila, yang tertuang dalam Pembukaan UUD-45 sebagai dasar Negara,
yang sila-silanya merupakan norma dasar dan norma tertinggi bagi berlakunya semua
norma hukum dasar Negara, telah mendudukkan agama (terutama pada sila pertama)
pada posisi yang sangat fundamental, serta memasukkan ajaran dan hukumnya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis hubungan Pancasila dengan agama
sangat erat, karena menempatkannya pada posisi sentral, pertama dan utama.
Dengan demikian, ajaran (termasuk hukum) Islam yang merupakan agama
anutan mayoritas penduduk Indonesia, diberi dan memiliki peluang besar untuk
mewarnai hukum nasional.
Dalam GBHN 1993-1998, antara lain disebutkan:
"…berfungsinya system hukum yang mantap, bersumberkan Pancasila dan
UUD 1945 dengan memperhatikan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu
menjamin kepastian, ketertiban…".
Dari muatan GBHN tersebut, tampak jelas adanya peluang hukum Islam untuk
ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa hukum Islam
termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang mampu
menjamin kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya sebagaimana yang
diinginkan oleh hukum itu sendiri. Semua itu terjadi karena hukum Islam bersumber
dari syareat sebagaimana telah dipaparkan di atas, sesuai dengan ajaran Allah, Dzat
Yang Maha Sempurna dalam segala-Nya.
Dengan memperhatikan berbagai aspek tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa prospek hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional sangat

63
cerah dan baik. Namun demikian, bukan berarti tanpa ada kelemahan dan kendala sama
sekali yang memungkinkannya dapat berjalan mulus.
Diantara kelemahan dan kendala itu adalah:

 Kemajuan bangsa, yang selain melahirkan pluralisme etnis, juga budaya, agama dan
kepercayaan. Di samping itu, dalam masyarakat Islam sendiri, masing-masing
daerah terkadang mempunyai kondisi yang saling berbeda yang menyebabkan
upaya pengintegrasiannya ke dalam hukum nasional harus dipilih, mana yang sudah
bisa diunifikasikan dan yang belum bisa.
 Bagi masyarakat non Islam, sangat dimengerti jika kemudian tidak senang terhadap
pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) hukum Islam pada hukum nasional,
sementara pemerintah sendiri nampaknya belum mempunyai kemauan politik yang
kuat untuk memberlakukannya (terutama dalam bidang pidana), barangkali akibat
trauma masa lalu oleh adanya kelompok ekstrim Islam dengan cara kekerasan
(seperti DI/TII) dan terakhir oleh kelompok Imam Samudra dan Amrozi sehingga
mengakibatkan kekacauan berkepanjangan.
 Lemahnya kesadaran masyarakat Islam sendiri (kecuali di NAD berdasarkan
otonomi khsusus yang masih dalam taraf uji-coba dan nampak masih setengah hati)
terhadap pentingnya memberlakukan hukum Islam (kecuali dalam nikah, cerai dan
rujuk), dan diperparah dengan masih dianutnya kebijaksanaan tentang hukum
colonial yang dilanjutkan di dalam Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA),
yang memperbolehkan umat Islam untuk memilih antara Peradilan Agama dengan
Pengadilan Umum.
 Lemahnya pemahaman dan penguasaan hukum Islam, bahkan di kalangan
cendikiawan muslim sendiri disebabkan oleh banyak faktor, seperti melemahnya
penguasaan bahasa Arab dan metode istinbat, sementara hukum Islam yang banyak
beredar berbentuk fiqhi klasik harus berhadapan dengan berbagai kasus baru yang
sangat memerlukan ijtihad baru, selain karena sudah tidak terkait lagi dengan fatwa
ulama' mujtahidin terdahulu, juga kasusnya memang berbeda sekali (seperti
rekayasa Iptek dalam reproduksi manusia).

Untuk menanggulangi berbagai hambatan dan kendala di atas, maka beberapa


solusi kemungkinan dapat dipertimbangkan, antara lain:

64
1) Mengadakan pembaharuan yang radikal terhadap pendidikan hukum, baik dalam
hukum Islam maupun hukum umum yang mencakup pola dan kurikulum, sehingga
dapat mencetak para sarjana hukum yang handal, produktif, responsif dan antisipatif
terhadap perkembangan sosial masyarakat.
2) Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah sebagai Pembina
hukum Islam dengan fakultas hukum umum sebagai Pembina ilmu hukum.
3) Menggalakkan dialog, seminar dan sejenisnya antara pakar hukum Islam dengan
sesamanya, dan dengan pakar hukum umum untuk menemukan kesamaan visi dan
persepsi dalam rangka membangun hukum nasional.

23. Peluang Penerapan Hukum Islam di Indonesia

Hambatan-hambatan dalam Usaha Penerapan Syariat Islam


Secara umum hambatan-hambatan yang ada adalah sebagai berikut.
a. Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati
terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi
tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam.
Mereka senantiasa menyebarluaskan imej yang negative tentang Islam dan syariat
Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan “Harem dan Pedang”
(sebagai simbol bagi pengungkungan kaum wanita dan kekerasan ).
b. Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa
mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan
mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam
bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy.
c. Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena belum memahami
syariat Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang
dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl.
d. Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan
masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah
sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang
berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila
strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain.
Faktor-faktor Penguat dan Pendukung dalam Usaha Penerapan Syariat Islam

65
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju
penerapan syariat Islam.
a. Jumlah umat Islam cukup signifikan.
 Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya
syariat Islam.
 Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan Islam telah
memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan
alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam.
 Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-partai politik
Islam di beberapa negeri muslim.
 Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan
syariat Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan
kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam atas kembalinya masa kejayaan
mereka.

66

Anda mungkin juga menyukai