Anda di halaman 1dari 7

FIQH SIYASAH

( Defenisi Fiqh Siyasah & Hubungannya dengan Fiqh, Serta Perbedaan


Fiqh dengan Siyasah Syar’iyyah )

DI
S
U
S
U
N

OLEH :

NAMA NIM

ASBUDY ZAKARIAH : 20156117005

Dosen : Dr. H. M. Mawardi Djalaluddin, Lc, M.Ag

Program Studi Hukum Keluarga Islam


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MAJENE
2017-2018

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang

Fiqih Siyasah adalah bukan kajian yang baru di antara ilmu pengetahuan yang lainnya,
keberadaan Fiqih Siyasah sejalan dengan perjalan agama Islam itu sendiri. Karena Fiqih Siyasah ada dan
berkembang sejak Islam menjadi pusat kekuasaan dunia. Perjalanan hijrahnya Rasullulah ke Madinah,
penyusunan Piagam Madinah, pembentukan pembendaharaan Negara, pembuatan perjanjian perdamaian,
penetapan Imama, taktik pertahanan Negara dari serangan musuh yang lainnya. Pembuatan kebijakan bagi
kemaslahatan masyrakat, umat, dan bangsa, dan kemudian pada masa itu semua dipandang sebagai
upaya-upayah siyasah dalam mewujudkan Islam sebagai ajaran yang adil, memberi makna bagi kehidupan
dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Semua proses tersebut merupakan langkah awal berkembangnya kajian fiqih siyasah, dimana fiqih
siyasah menerima dengan tangan terbuka apa yang datang dari luar selama itu untuk kemaslahatan bagi
kehidupan umat. Bahkan menjadikannya sebagai unsur yang akan bermanfaat dan akan menambah
dinamika kehidupannya serta menghindarkan kehidupan dari kekakuan dan kebekuan.
Luasnya pembahasan tentang kajian fiqih siyasah, maka penyusun membuat tema dengan mengankat judul
yaitu “Fiqih Siyasah dan Keterkaitannya dengan Fiqih dan Siyasah Syar’iyyah”. Kritik dan saran sangat
diharapkan dari saudara-saudara semuanya agar kedepannya dapat menyelesaikan tugas dengan lebih
baik lagi.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami angkat dalam makalah ini sebegai berikut:

- Apakah definisi Fiqih Siyasah?


- Apa hubungan Fiqih Siyasah dengan Fiqih dan Siyasah Syar’iyyah?
- Apa perbedaan Fiqih Siyasah dengan Fiqih dan Siyasah Syar’iyyah?
- Apa yang menjadi objek kajian Fiqih Siyasah?
- Bagaimana metode-metode dalam mempelajari Fiqih Siyasah?

B. Tujuan Penulisan Makalah

Beranjak dari rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini adalah:
- Mengetahui definisi Fiqih Siyasah;
- Menjelaskan hubungan Fiqih Siyasah dengan Fiqih dan Siyasah Syar’iyyah;
- Menerangkan perbedaan Fiqih Siyasah dengan Fiqih dan Siyasah Syar’iyyah;
- Mengkaji objek kajian Fiqih Siyasah;
- Memaparkan metode-metode dalam mempelajari Fiqih Siyasah.
BAB II
Pembahasan
A. DEFINISI FIQIH SIYASAH

Istilah fiqih siyasah merupakan tarkib idhofi atau kalimat majemuk yang terdiri dari dua kata, yakni
fiqih dan siyasah. Secara etimologis, fiqih merupakan bentuk mashdar (gerund) dari tashrifan kata faqiha-
yafqohu-fiqihan yang berarti pemahaman yang mendalam dan akutrat sehingga dapat memahami tujuan
ucapan dan tindakan (tertentu).
Sedangkan secara terminolgis, fiqih lebih populer didefinisikan sebagai berikut: Ilmu tentang hukum-hukum
syara’ yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalil yang rinci.

Sementara mengenai asal kata siyasah di kalangan para ahli fiqih siyasah terdapat dua pendapat.
Pertama, sebagaimana dianut al-Maqrizy menyatakan, siyasah berasal dari bahasa mongol, yakni dari
kata yasah yang mendapat imbuhan huruf sin berbaris kasroh di awalnya sehingga dibaca siyasah.
Pendapat tersebuit didasarkan pada sebuah kitab undang-undang milik Jenghis Khan yang
berjudul ilyasa yang berisi panduan pengelolaan negara dan berbagai bentuk hukuman berat bagi pelaku
tindak pidana tertentu. Kedua, semisal dianut Ibnu Manzhur menyatakan, siyasah berasal dari bahasa
asrab, yakni bentuk mashdar dari tashrifan kata sasa-yasusu-siyasatan, yang semula berarti mengatur,
memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda. Sedangkan secara terminologis banyak
definisi siyasah yang dikemukakan oleh para yuris islam. Menurut Abu al-Wafa Ibn ‘Aqil, siyasah adalah
sebagai berikut:
“siyasah berarti suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lebih dekat kepada kemashlahatan
yang lenih jauh dari kersakan, kendati pun Rasulullah tidak menetapkan dan Allah juga tidak menurunkan
wahyu untuk mengaturnya”.
Dalam redaksi yang berbeda Husain Fauzy al-Najjar mendefinisikan siyasah sebagai berikut:
”Siyasah berarti pengaturan kepentingan dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat serta pengambilan
kebijakan (yang tepat) demi menjamin terciptanya kebaikan bagi mereka”.

Dikalangan teoritisi politik islam, ilmu fiqih siyasah itu sering disinonimkan dengan ilmusiyasah
syar’iyyah yang oleh Abdul Wahab Khalaf didefinisikan sebagai berikut, “Ilmusiyasah syar’iyyah (ilmu fiqih
siyasah) adalah ilmu yang membahas tentang tata cara pengaturan masalah ketatanegaraan islam semisal
(bagaimana mengadakan) perundang-undangan dan berbagai peraturan (lainnya) yang sesuai dengan
prinsip-prinsip islam.
Berdasarkan pengertian etimologis dan terminologis sebagaimana dijelaskan di atas dapat ditarik
kesimpulan, fiqih siyasah adalah ilmu tata negara islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-beluk
pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa penetapan
hukum, peraturan, dan kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran
islam.

B. HUBUNGAN DAN PERBEDAAN FIQIH SIYASAH DENGAN FIQIH PADA UMUMNYA DAN SIYASAH
SYAR’IYYAH

Fiqih siyasah memiliki persamaan dengan fiqih pada umumnya dan dengan siyasah syar’iyyah,
yakni sama-sama merupakan produk ijtihad. Karena itu, sama-sama terbuka peluang terjadinya perbedaan
dan perkembangan pendapat. Di samping persamaan, ada pula perbedaan antara fiqih siyasah, fiqih pada
umumnya, dan dengan siyasah syar’iyyah. Fiqih siyasah berbeda dengan fiqih pada umumnya pada fokus
kajiaannya. Fokus kajian fiqih pada umumnya, boleh jadi, sangat luas atau sangat umum, termasuk di
dalamnya mengkaji soal-soal fiqih siyasah. Sementara fokus kajian fiqih siyasah relatif lebih terbatas, yakni
hanya khusus membahas tentang masalah-masalah politik atau ketatanegaraan dalam perspektif Islam.
Karena sedemikian luasnya objek kajian fiqih itu, maka boleh dikata, setiap kajian fiqih siyasah pasti juga
merupakan kajian fiqih, tetapi tidak setiap kajian fiqih merupakan kajian fiqih siyasah.

Khusus mengenai perbedaan fiqih siyasah dengan siyasah syar’iyyah, di kalangan pakar fiqih
siyasah terjadi perbedaan pendapat. Satu pendapat menyatakan fiqih siyasah itu merupakan sinonim bagi
bagi siyasah syar’iyyah. Pendapat lain menyatakan bahwa fiqih siyasah berbeda dengan atau bukan
merupakan sinonim siyasah syar’iyyah karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat kontras. Dari
kedua pendapat tersebut yang paling tepat agaknya pendapat kedua. Argumentasinya, fiqih siyasah
merupakan teori-teori politik atau ketatanegaraan dalam perspektif Islam yang merupakan produk ulama
swasta yang tercantum dalam berbagai macam kitab atau buku fiqih siyasah semisal dalam kitabal-Ahkam
al-Sulthaniyyah buah karya al-Mawardi, dan karena itu, ia tidak bersifat mengikat dan memaksa selama
belim diangkat menjadi undang-undang. Dalam kaitan ini, fiqih siyasah sama statusnya dengan fiqih pada
umumnya, yakni sama-sama tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa atau ditaati
sebelum diadopsi menjadi sebuah undang-undang. Sebaliknya siyasah syar’iyyah merupakan berbagai
peraturan yang dilahirkan oleh Umara atau ulama negeri dalam bentuk berbagai peraturan perundang-
undangan (qowanin), semisal konstitusi, dan lain-lain, yang bersifat mengikat dan memaksa, sehingga
siapapun yang melanggar atau tidak mematuhinya akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Hal
ini relevan dengan pendapat Abdul Wahab Khallaf yang mengatakan bahwa pengertian siyasah
syar’iyyah adalah sebagai berikut: “Otoritas pemerintah untuk membuat kebijakan yang dikehendaki
kemaslahatan, melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu
(yang mengaturnya).”

Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa subyek penyusun siyasah syar’iyyah adalah
pemerintah, bukan merupakan ulama swasta yang tidak duduk dalam lembaga legislatif. Produknya
adalah berbagai perturan yang tidak bertentangan dengan agama. Dari kutipan di atas jelas terlihat Abdul
Wahab Khallaf memdakan fiqih siyasah dengan siyasah syar’iyyah. Untuk padanan fiqih siyasah,
sebagaimana disinggung sebelum ini, ia menggunakan istilah ilmu siyasah syar’iyyah, bukan siyasah
syar’iyyah.

C. OBJEK KAJIAN FIQIH SIYASAH

Dari batasan-batasan di atas, baik dalam pengertian etimologis dan terminologis, dapat diketahui
bahwa objek kajian fiqih siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan antara warga negara dengan warga
negara, hubungan antara warga negara dengan lembaga negara, dan hubungan antara lembaga negara
dengan lembaga negara, baik hubungan yang bersifat internal suatu negara maupun hubungan yang
bersifat eksternal antar negara, dalam berbagai bidang kehidupan. Dari pemahaman seperti itu, tampak
bahwa kajian siyasah memusatkan perhatian pada aspek pengaturan. Penekanan demikian terlihat dari
penjelasan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy:

Objek kajian siyasah adalah pekerjaan-pekerjaan mukallaf dan urusan-urusan mereka dari jurusan
pentadbirannya, dengan mengingat persesuaian pentadbiran itu dengan jiwa syariah, yang kita tidak
peroleh dalilnya yang khusus dan tidak berlawanan dengan suatu nash dari nash-nash yang merupakan
syariah ‘amma yang tetap
Hal yang sama ditemukan pula pada pernyataan Abul Wahhab Khallaf:

Objek pembahasan ilmu siyasah adalah pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal
kenegaraan dari segi persesuaiannya dengan pokok-pokok agama dan merupakan realisasi kemaslahatan
manusia serta memenuhi kebutuhannya.

Tentu saja, persoalan dapat diperluas seluas ruang lingkup kajian fiqih siyasah itu sendiri. Sebagai
contoh, bidang-bidang kehidupan apa saja yang harus mendapat pengaturan? Bagaimana pengaturan
hubungan antara warga negara dengan lembaga negara islam dengan warga negara dan lembaga negara
lain, baik yang islam maupun non islam? Dan seterusnya.

Berkenaan dengan luasnya objek kajian fiqih siyasah, maka dalam tahap perkembangan fiqih
siyasah dewasa ini, dikenalkan beberapa pembidangan fiqih siyasah, tidak jarang pembidangan yang
diajukan ahli yang satu berbeda dengan pembidangan yang diajukan oleh ahli yang lain. Contoh dari
pembidangan fiqih siyasah terlihat dari kurikulum fakultas syariah, yang membagi fiqih siyasah ke dalam 4
bagian, yaitu:
Fiqih siyasah Dustury adalah siyasah yang berhubngan dengan peraturan dasa tentang bentuk
pemerintahan, dan batasan kekuasaan, cara pemilihan kepala negara, ketetapan hak-hak yang wajib bagi
individu dan masyarakat, serta hubungan penguasa dan rakyat.
Fiqih Malliy (Dep. Keuangan) adalah siyasah yang mengatur hak-hak orang-orang miskin , mengatur
sumber mata air, dan perbankan
Fiqih Dawliy ( Dep. LuarNegeri) yaitu siayasah yang berhubungan dengan pengaturan pergaulan antar
negara-negara Islam dan non Islam
Fiqih Harbiy (Departemen Petahanan dan Keamanan) yaitu siyasah yang mengatur tentang peperangan
dan aspek-aspek yang berhubungan dengannya, seperti perdamaian.

D. METODE MEMPELAJARI FIQIH SIYASAH

Metode yang dipergunakan untuk mempelajari fiqih siyasah adalah ushul fiqih dan kaidah
fiqihiyyah. Hal ini, sama dengan fiqih-fiqih lain. Penerapan dalil kulliy (umum) memiliki kandungan universal
tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Metode tersebut tentunya harus dilanjutkan sebagai aplikasi
yang dapat menyantuni masalah yang ramah mempertimbangkan kondisi dan situasi (maslahah). Membumi
karena mampu mengatasi problematika kemanusiaan yang bermoral agama (secara-horisontal), secara
vertikal menyesuaikan nilai-nilai ketuhanan. Menggunakan metode ushul fiqih dan qawa’id al-fiqihiyyah
dalam bidang siyasah syar’iyyah (fiqih siyasah) lebih penting dibanding dengan fiqih-fiqih lain, karena
problem siyasah hampir tidak diatur secara terperinci oleh Al-Qur’an maupun al-Hadits. Misalnya Abdul
Wahab Khallaf, memandang ayat-ayat Al-Qur’an yang secara implisit memiliki konteks siyasah (problem
politik) hanya beberapa ayat. 10 ayat berhubungan dengan fiqih dustury, 25 ayat dengan dawliy dan 10 ayat
lagi berhubungan dengan fiqih malliy. Mirip halnya dengan fiqih munakahat ataupun muamalah yang
menggunakan metode secara langsung kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Baru -menggunakan pendekatan
ijtihad. Secara umum dalam fiqih siyasah diperlukan metode-metode, seperti : (1) al-ijma’; (2) al-qiyas (3) al-
maslahah al-mursalah (4) fath al-dzariah dan sadzu al-dzari’ah (5) al-’adah (6) al-istihsan termasuk kaidah-
kaidah fiqihiyyah.
1. Al-Ijma’: merupakn kesepakatan (konsensus) para fuqaha (ahli fiqih) dalam satu kasus. Misalnya pada
masa khalifah Umar ra. Dalam mengatur pemerintahannya Umar ra melakukan musyawarah maupun
koordinasi dengan para tokoh pada saat itu. Hal-hal baru seperti membuat peradilan pidana-perdata,
menggaji tentara, administrasi negara dll, disepakati oleh sahabat-sahabt besar saat itu. Bahkan Umar ra.
mengintruksikan untuk salat tarawih jama’ah 20 rakyat di masjid, merupakan keberaniannya yang tidak
diprotes oleh sahabat lain. Hal ini dapat disebut ijma’ sukuti.
2. Al-Qiyas: cara ini dipergunakan jika ada kemiripan kasus hukum baru dengan kasus hukum yang lama. Al-
Qiyas berpola a) al- ashal ; b) al-far’u; c) illat hukum dan d) hukum baru. Al-Qiyas baik dipergunakan dalam
masalah baru dengan kesamaan illat hukum yang lama, dalam dimensi waktu dan tempat berbeda. Contoh,
Nabi saw melakukan dakwah islamiyyah dengan mengirimkan beberapa surat pada penguasa tetangga
negara, untuk diajak menjalankan ajaran tauhid. Upaya tersebut diujudkan dalam bentuk ekspansi ke
negara-negara tetangga oleh Umar bin Khattab ra. dan khalifah-khalifah sesudahnya.
3. Al-Maslahah al-mursalah: adalah sesuatu yang menjadi kepentingan hidup manusia, sedangkan hal
tersebut tidak ditentukan dasarnya dalam nash Al-Qur’an maupun al-Hadits baik yang menguatkan atau
yang membatalkannya. Contoh, penulisan dan pembakuan bacaan al-Qur’an yang ditangani oleh Usman
bin Affan ra. yang kemudian dibukukan dan dijadikan pegangan para Gubernur di beberapa daerah,
sehingga menjadi mushaf usmani. Upaya ini dilakukannya agar ayat Al-Qur’an tidak hilang dan bacaannya
seragam.
4. Fathu al-dzari’ah dan sadd al-dzari’ah: adalah upaya perekayasaan masyarakat untuk mewujudkan
maslahah dan pengendalian mereka menghindari mafsadah (bahaya). Contoh, Tawanan perang (pada saat
Umar ra) yang memiliki keahlian seperti membuat senjata, tidak ditahan, tetapi ia dipekerjaan sesuai
keahliannya untuk kelengkapan persenjataan muslimin. Pemberlakuan jam malam (ronda) oleh penguasa,
atau wajib militer bagi masyarakat di masa genting. Umar ra pernah melarang sahabt nikah dengan wanita
ahli kitab.
5. Al-’Adah artinya adat kebiasaan atau disebut juga al-’uruf yaitu tradisi manusia baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Al-’Adah dibagi dua macam 1) al-’adah shohihah dan; 2) al-’adah al-fasidah. Al-’Adah
al-shahihah adalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syara’ sedangkang al-’adah al-fasidah
adalah adat kebiasaan yang bertentangan dengan syara’. Contoh al’adah al-sahihah adalah tukar menukar
barang dan jasa antara bangsa yang bersahabat. Maslahah al-mursalah ditujukan untuk kepentingan umat
semata-mata, tidak terikat karena waktu dan tempat.
6. Al-Istihsan disebut juga mengambil satu dari dua dalil yang lebih kuat. Ibnu al-’Arabiy menganggap bahwa
istihsan adalah melaksanakan satu ketentuan hukum atas dasar dalil yang kuat diantara dua dalil yang ada.
7. Kaidah fiqihiyyah; kaidah fiqihiyah kulliyah banyak dipergunakan untuk menetapkan problim siyasah.
Kaidah-kaidah tersebut bersifat umum, karena itu dalam aplikasinya harus memperhatikan pengecualian-
pengecualian dan sayarat-sayarat tertentu. Contoh; kaidah-kaidah fiqihiyah dipergunakan dalam fiqih
siyasah adalah :
a. ‫الحكم يدور مع علته وجودا وعدما‬
”Hukum selalu konsisten dengan illatnya (alasan-alasannya), ada dan tidak-adanya hukum tergantung
dengan ada dan tidak adanya alasan tersebut”
Contoh, menurut Abduh jika disuatu negara masih ada perjudian, dana judi kemudian diberikan kepada fakir
miskin, maka mereka dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kebutuhan primer mereka. Pada suatu saat
Umar bin Khattab tidak memvonis pencuri-pencuri dipotong tangan, karena kejadian tersebut berada masa
paceklik. Muallaf qlubuhum dipandang tidak ada pada saat itu, sehingga satu asnaf tidak diberi jatah zakat.
b.

‫تغير األحكام بتغير األزمنة واألمكنة‬


‫واألحوال والعوائد والنيــــات‬
”Perubahan hukum sejalan dengan dimensi ruang dan waktu, keadaan, kebiasaan dan niat (hukum adalah
bersifat kondisional)”.
Contoh pada masa Orba UUD45 hampir tidak tersentuh oleh perubahan. Sesudah reformasi amandemen
UUD45, dilakukan karena pertimbangan kepentingan/kebutuhan bangsa dan rakyat Indonesia.

c.

ّ‫دفع المفـــــاسد مق‬


‫دم على جلب ال‬
‫مصــالح‬
”Menghindari bahaya agar dapat memperoleh maslahat (kebaikan secara umum)”.
Contoh UU Perkawinan di Indonesia dengan menggunakan asas monogami merupakan keinginan bangsa
Indonesia, agar menghargai terhadap perempuan. Praktek ilegal-gami dilakukan oleh laki-laki karena
kepentingan seks dan dilakukan dengan main kuncing-kucingan.
BAB III
KESIMPULAN

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:

1. Fiqh siyâsah adalah sebuah disiplin ilmu yang isinya adalah membahas hukum-hukum pemerintahan dan
konsep menjalankan pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam dengan tujuan memberi kemaslahatan
bagi rakyatnya.
2. Fiqh membahas tentang cara beribadah, prinsip Rukun Islam, dan hubungan antar manusia sesuai yang
tersurat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat empat mazhab dari Sunni yang mempelajari
tentang fikih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fikih disebut Fakih
3. Siyasah Syar’iyyah merupakan kewenangan penguasa/pemerintah untuk melakukan kebijakan-kebijakan
politik yang mengacu kepada kemaslahatan melalui peraturan yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar
agama, walaupun tidak terdapat dalil yang khusus untuk hal itu.

DAFTAR PUSTAKA

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama,
2007

Syarif, Mujar Ibnu. Fiqh Siyasah, Doktrin dan Pemikiran politik islam,Jakarta : Erlangga, 2008.

[1] Abdul Wahab Khalaf, op. cit, hal. 15.

[2] Abdurrahman taj, Al-siyasah al-Syar’iyah wa al-Fiqh al-Islami,(mesir:mathba’ah Dar al-Ta’lif,1993, hal.
10.

[3] Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab Jilid 6 (bierut : Dar al-Shadir, 1986), hal. 108.

[4] Pembagian ini diuraikan dalam kitabnya al-ahkam al-sulthaniah

[5] Ibn Taimiyah, al-siyasah al syar’iyah fi ishalah al-ra’i wa al-ra’iyah

[6] T.M. Hasbi ash-Shiddiqy, pengantar siyasah syari’iyah, (Yogyakarta:Madah,t.tp.),8.

Anda mungkin juga menyukai