Anda di halaman 1dari 16

ISTISHAB DAN APLIKASINYA DALAM EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH

Artikel Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Ushl Fiqh

Dosen Pengampu : Prima Dwi Priyatno, B.A.,M.E..

Disusun Oleh:

Hilmi Delphino Arrighi 2010116003

Muhammad Fikri Hasani Sururi 2010116016

Fredly Alfarraby 2010116035

PRODI S1 EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

2021
ISTISHAB DAN APLIKASINYA DALAM EKONOMI DAN KEUANGAN
SYARIAH

Hilmi Delphino Arrighi, Muhammad Fikri Hasani Sururi, Fredly Alfarraby


Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
2010116003@mahasiswa.upnvj.ac.id, 2010116016@mahasiswa.upnvj.ac.id,
2010116035@mahasiswa.upnvj.ac.id

Abstrak
Agama Islam merupakan agama yang diridhoi oleh Allah, agama yang lengkap
dan detail dalam memahami, suatu permasalahan, mulai dari masalah, ekonomi, social,
budaya agama, bahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-haripun turut dibahas dan
dikupas secara rinci dengan tujuan agar manusia tidak tersesat kejalan yang
menyimpang. Semua permasalahan beserta solusi sudah tetulis di dalam Al-Quran dan
hadis. Namun adakalanya seiring perkembangan zaman, maka akan timbul masalah-
masalah baru yang detailnya tidak ada pada Al-quran dan hadis, maka peran para
pemuka agama dibutuhkan untuk menetapkan suatu permasalahan dari segi hukumnya.
Metode itu disebut dengan ijtihad. Di dalam ijtihad sendiri ada banyak lagi turunannya,
salah satunya istishab dimana metode ini menganut sistem menetapkan sesuatu
berdasarkan hukum yang telah ada sebelumnya. Ada berbagai pendapat dari para ahli
beserta ulama mengenai istishab itu sendiri. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk
mengetahui dari penerapan istishab dibidang ekonomi syariah. dalam hal ini data
diambil dari jurnal yang sebelumnya telah membahas tentang metode-metode istishab
dan pengaplikasiannya dalam bidang ekonomi. Nantinya tulisan ini bertujuan untuk
menjadi bahan refensi untuk penulisan dengan tema istishab.

Kata Kunci: Istishab, Ekonomi, Keuangan.

Abstract
Islam is a religion that is blessed by Allah, a religion that is complete and
detailed in understanding a problem, ranging from problems, economics, social,
religious culture, even problems in everyday life are also discussed and discussed in
detail with the aim that humans do not get lost. deviant path. All problems and their
solutions have been written in the Quran and Hadith. However, sometimes as the times
progress, new problems will arise whose details are not contained in the Qur'an and
hadith, so the role of religious leaders is needed to determine a problem from a legal
point of view. This method is called ijtihad. Within ijtihad itself there are many more
derivatives, one of which is istishab where this method adheres to a system of
determining something based on pre-existing laws. There are various opinions from
experts and scholars regarding istishab itself. The purpose of this paper is to find out
from the application of istishab in the field of Islamic economics. in this case the data
are taken from journals that previously discussed istishab methods and their application
in the economic field. Later this paper aims to be a reference material for writing with
the theme of istishab.

Keywords: Istishab, Economy, Fiscal

2
Bab I (PENDAHULUAN)
a. Latar Belakang
Ushl Fiqh merupakan ilmu yang mebahas tentang dasar hukum kemudian metode
dan juga hasil dari kajian dari ilmu tersebut dalam bentuk akhkamul khomsah atau
hukum yang lima. Dalam Islam, ada 3 komponen , yaitu (1) Akidah, terkait keyakinan
kita pada Allah SWT. (2) Syariah, seperangkat peraturan yang datang dari Allah SWT
yang ada di dalam Al-Quran, hadist dan ijma, qiyas, istihab, istishla, yang menjadi satu
bidang menjadi ilmu fikih atau dimensi hukum dalam Islam. Serta aturan yang sudah
jelas dan tidak diragukan lagi. (3) Akhlak/Etika, bagaimana etika kita terhadap sesama,
semakin orang tersebut belajar maka semakin beradab juga.

Hukum islam itu dalam bentuknya minimal 2, yaitu (1) syariah, (2) fikih, ilmu
yang membahas hukum-hukum, praktis yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci. Fiqih
jika dilihat dari sisi produknya adalah hasil dari pemikiran seorang mut’jahid atau
seorang ulama tentang suatu permasalahan, sehingga ada sebagian ulama yang berbeda
pandangan pendapat tentang suatu hukum. Ada yang fikih siftatnya sebagai ilmu dan
ada yang bersifat produk hukum. Ulama menetapkan metode dengan cara dirumuskan
beberapa ulama bagaimana hukum tersebut bedasarkan dari AL-Quran, Hadis, atau
Qiyas, Ijma. Cara untuk menetapkan hukum dalam Islam kemdian dipelajari semuanya
dan dirumuskan menjadi ilmu ushl fiqh. Untuk menetapkan hukum-hukum yang masih
dipertanyakan seperti apakah hukum tersebut halal, haram, wajib, makruh, atau mubah,
maka ditetapkan oleh ilmu Ushl Fiqh. Dengan demikian, ilmu Ushl Fiqh itu berarti
mengkaji objek dari penelitian atau objek dari studi pembahsan ada dua macam yaitu
yaitu teks, berupa ayat Al-Quran dan Hadis, karena itu bersumber dari Wahyu Allah
Swt dan Rasulullah SAW, serta memahami isi nya. Kemudian objek yang kedua adalah
suatu fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya yang akan dikaji dalam ilmu
Ushl Fiqih, misalnya minuman Bintang dengan 0% alkohol apakah halal atau tidak,
walaupun minuman merk Bintang itu termasuk jenis minimal alkohol dengan alkohol
0%, belum tentu halal atau haram, maka dikaji menggunakan dan dietapkan dan dibahas
ushl fiqh. Dan seorang astronot muslim jika sedang ada di luar angkasa bagaimana
melakukan solat sedangkan berada di luar angkasa dan bagaimana kiblatnya dan waktu
solatnya jika berada di bulan dan bagaimana uslh fiqh memandang hal tersebut.

Sumber-sumber hukum Islam dibagi menjadi dua kelompok utama: sumber


primer dan sumber sekunder. Sumber primer (juga dikenal sebagai sumber disepakati)
termasuk Al-Qur’an, Sunnah Nabi, ijma‘ atau literatur hukum mewakili konsensus
pendapat dan qiyas (aturan analogi yang dikembangkan melalui penalaran deduktif).
Sumber sekunder (juga dikenal sebagai sumber sengketa) adalah: sejumlah metode
yurisprudensi untuk mengembangkan hukum Islam yang berbagai urutan otorita s,
termasuk istiḥsān (hukum/preferensi publik), maslaḥ ah-mursalah (kepentingan umum),
'urf (adat), shar' man qablana (syar' ahs of agama sebelum Islam), madzhab al-ṣaḥab
(pendapat para sahabat Nabi), sadd al-dharā'i' (menghalangi sarana, yaitu mencegah
terjadinya sesuatu yang jahat, meskipun itu juga mencakup memfasilitasi terjadinya
sesuatu yang baik) dan istiṣḥāb (kelanjutan penerapan aturan yang diterima di masa lalu,
kecuali bukti baru mendukung perubahan penerapannya).
Faktor penentu yang membedakan hukum Islam dari kebanyakan sistem hukum
lainnya adalah fakta bahwa itu termasuk aturan tentang ibadah, kepercayaan dan

3
moralitas, serta aturan mengatur banyak bidang kehidupan lainnya seperti hukum
keluarga, transaksi keuangan, hukum pidana, pemerintahan, dan hubungan internasional
di masa damai dan masa perang. Berdasarkan aspek agama hukum Islam, beberapa
orang keliru menyimpulkan bahwa semua ketentuan hukum Islam tidak dapat diubah.
Namun pada kenyataannya, sementara benar bahwa kaidah-kaidah tentang peribadatan,
aqidah dan akhlak atau kaidah-kaidah yang disepakati bersama adalah tetap dan tidak
dapat diubah, ada ketentuan-ketentuan lain yang dapat dapat diubah, sepanjang hal itu
dilakukan untuk mencapai tujuan pembuat undang-undang. Sebagai dijelaskan oleh Ibn
Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350), melayani kepentingan umum adalah tujuan dari setiap
aturan dalam Islam, karena syari'ah didasarkan pada perintah Allah SWT dan
kemaslahatan umum manusia di dunia dan di akhirat. Itu semua keadilan, semua kasih
sayang, kebaikan publik, dan kebijaksanaan. Jika ada keputusan yang berubah keadilan
menjadi ketidakadilan atau kezaliman, atau belas kasihan menjadi lawannya, atau
kebaikan publik menjadi korupsi, atau kebijaksanaan menjadi kebodohan, maka itu
tidak bisa menjadi bagian dari syari'at, bahkan jika sebuah penafsiran syari'ah dipanggil,
karena syari'ah adalah keadilan Allah SWT di antara para penyembah-Nya, dan
Rahmat-Nya di antara makhluk-Nya, dan bayang-bayang-Nya di bumi.

b. Rumusan
Berikut rumusan masalah yang akan dibahas pada artikel berikut :

1. Apa definisi istishab dan dasar-dasar istishab ?


2. Apa jenis-jenis istishab ?
3. Bagaimana pandangan dan pendapat ulama mengenai istishab ?
4. Bagaimana penerapan istishab dalam kegiatan ekonomi dan keuangan ?

c. Tujuan
Berikut beberapa tujuan yang akan dicapai dari artikel ini:
1. Mengetahui dan mempelajari seluk beluk dan dasar istishab.
2. Mengetahui dan mempelajari beragam jenis-jenis istishab.
3. Mendapatkan pengetahuan dan menyimpulkan para pandangan dan pendapat
para ulama terhadap istishab.
4. Mempelajari dan mengimplementasikan penggunaan istishab dalam kegiatan
ekonomi dan keuangan serta menemukan solusi atas permasalahan seputar
ekonomi dan keuangan.

d. Manfaat
Dengan mempelajari definisi serta dasar-dasar istishab akan menambah
pengetahuan di ranah Ushl Fiqh yang menjadi bagian materi dalam Ushl Fiqh. Dan juga
dapat melatih berpikir kritis untuk mendalami berbagai perbedaan pendapat para ulama
mengenai istishab. Dengan mempelajari materi tentang istishab maka dapat mnambah
wawssan serta mengkaitkan dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-
hari.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan output bagi orang-orang yang
membutuhkan, baik dalam sisi teoritis maupun praktis, sebagai berikut :

4
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu dan pengetahuan mengenai
istishab, macam-macam, syarat dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
dalam bidang ekonomi, dan mempelajari berbagai perbedaan argument dari
berbagai kelangan ulama. Serta dengan mempelajari istishab diharapkan sebagai
bahan referensi serta bahan untuk meningkatkan bidang akademis untuk para
mahasiswa dan masyarakat umum.

2. Manfaat praktis
a. Bagi pelaku yang terlibat dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi
referensi untuk menerapkan pengetahuan istishab serta dapat memberikan
pemahaman dan materi untuk peneliti yang terlibat.
b. Bagi peneliti selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam pengembangan materi dan teori mengenai istishab

e. Metode Penelitian
Pada penyusunan teks ini kami menggunakan penelitian kualitatif, dimana kami
melakukan pengumpulan data tekstual dari beberapa buku dan jurnal atau paper yang
kemudian kami analisis berdasarkan keilmuan yang telah kami pelajari untuk
menghasilkan sebuah kesimpulan deskriptif. Selain itu kami juga menggunakan jenis
penelitian yuridis normatif dimana kami melakukan sedikit analisis terhadap hukum
yang bersumber dalam teks Al-Qur’an dan Hadist untuk menemukan maksud dari
hukum tersebut dan bagaimana cara penerapannya dalam kehidupan, khususnya dalam
bidang ekonomi, serta menganalisis kesesuaiannya dengan norma yang berlaku
dimasyarakat. Data yang kami gunakan sebagian besar adalah data sekunder berupa
konsep-konsep dan hasil analisis berbagai penulis dari beberapa buku, jurnal, maupun
paper. Adapun sebagian kecilnya kami dapatkan dari data primer berupa kutipan ayat
Al-Qur’an dan Hadist. Dari pengumpulan data kualitatif itu kami melakukan studi
pustaka untuk menganalisis dan melakukan telaah berdasarkan literatur pustaka yang
telah kami kumpulkan. Hasil kumpulan analisis dan telaah itu kami kumpulkan dan
kami susun sehingga membentuk sebuah teks yang berkaitan dengan Istishab.

BAB II (PEMBAHASAN)

a. Pengertian Istishab

Dalam Islam memandang suatu ketika tidak ada dalil baik dari Alquran maupun
hadis maka perlu adanya kajian dari para ulama untuk berembuk mengenai masalah
tersebut yaitu dengan metode ijtihad. Dalam ijtihad sendiri dibagi lagi menjadi beberapa
bagian yaitu salah satunya istishab istishab merupakan penetapan suatu hukum
berdasarkan hukum yang sudah ada. Seperti contoh ketika seseorang ingin melakukan
salat maka ia hendaklah berwudhu, maka ketika iya salat hukumnya sah karena dia telah
melakukan wudhu sebelumnya. Penggunaan istishab ini bisa diterapkan dalam berbagai
problematika seperti hukum pidana keluarga maupun hukum ekonomi.
Secara Etimologis, Istishab Memiliki Arti musahabah yang berarati membarengi
atau menemani. Adapun arti lain menyebutkan suhbah atau bersahabat. Adapun yang
lain berpendapat bawah istishab adalah berbarengan, menyertai dan mendekati. Menurut

5
Amir Syarifuddin, Istishab berasal dari kosa kata istishaba yang berarti terus menerus.
Menurut pendapat Ibnu Qoyyim, Istishab merupakan ketetapn yang sebelumnya sudah
menjadi ketetapan yang ditetapkan atu sebuah larangan yang sebelumnya sudah
ditetapkan. Menurut iman Asy syaukani, Istishab merupakan ketetntuan yang sudah
tetap terhadap suatu perkara selama tidak ada sesuatu yang merubahnya. Maksudnya
adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lampu, itu sudah menjadi acuan
ketetapan pada masa yang akan datang. Menurut Ibnu Hazm, Istishab merupakan
hukum asal yang bersumber pada Alquran dan Alhadist sampai ada dalil baru yang
terbukti dapat menggantikan hukum awalnya. Menurut Abdul Karim, Istishab
Merupakan hukum yang sudah ada dilanjutkan selam belum adanya dalil yang baru
yang bisa mengubah kedudukannya. Menurut Ali Hasab, Istishab dibenarkan ketika
tidak ada dalil yang dapat mengubahnya.

Sehingga secara umum Istishab dapat diartikan sebagai hukum masa lalu yang
diberlakukan dimasa sekarang ketika tidak ada dalil yang dapat mengubahnya.
Kebolehan dipakainya Istishab ini ketika ada suatu problematika atau masalah yang
tidak ada penyelesaian dalilnya maka akan memakai dalil yang terdahulu atau yang
sudah pernah dipakai sebelumnya pada mas lalu.

b. Macam-macam Istishab
 Istishab Al Ibahah Al Ashliayah
Istishab ini di sandarkan pada sesuatu yang awalnya mubah atau boleh.
Biasanya dipakai ketika ada problematika di hukum keuangan Syariah juga dalam
kehidupan sehari-hari. Istishab ini dikatakaan boleh dipakai selama tidak ada dalil
yang melarangnya. Contoh memakan nasi, menium air putih dan sebagainya. Hal
ini tidak dilarang selama belum ada dalil yang melarang adanya memakan nasi
dan meminum air putih. Jenis Istishab ini bersandar pada AlQuran Surat Al
Baqarah Ayat 29. Didalamnya menjelaskan bahwa Allah telah memberi manusia
apa-apa yang ada dibumi untuk dipergunakan sebaik mungkin. Yang bisa
bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat dikatakan makanan yang
dikomnsumsi halal selama tidak ada dalil atas pelarangannya.
 Istishab Al Baraah Al Ashliyah
Dasar dari istishab ini adalah semua orang bebas dari taklif(tuntutan yang
didalamnya terdapat beban) samapai menemui dalil yang dapat mengubah
ketetapan tersebut seperti contoh seseorang yang bebas hutang kemudian ada yang
menuntutnya bahwa dia berhutang maka yang menuntut harus mempunyai bukti
bahwa yang dituntut memang benar berhutang, selam tidak ada bukti yang kuat
kalau yang dituntut memang berhutang, maka yang dituntut tidak wajib
membayar hutang ke penuntut atau bisa dikatakan bebas hutang.
Jadi perlu adanya pembuktian sebelum ada dasarnya dalam mengenakan
hukum kepada objek.

 Istishab Al-Hukum
Istishab ini Berdasar pada hukum sebelumnya, sehingga selama tidak ada
buktinya maka tidak dapat dikenakan. Seperti contoh ketika seseorang memiliki
smartphone, maka smartphone itu hukumnya milik dia selama tidak ada peristiwa
atau kejadian yang mengubahnya menjadi kepemilikian orang lain seperti dijual

6
atau disewakan. Contoh lain ketika seseorang meminjam buku maka peminjam
merupakan pemilik buku sampai ada peristiwa yang menyebabkan pindahnya
kepemilikan dengan cara peminjam memebeli buku yang dipinjam.

 Istishab Al Wasf
Mendasarkan pada Anggapan bahwa sifat itu tetap sampai ada bukti bahwa
sifat itu telah dirubah. Seperti contoh Amir yang mendapatkan Beasiswa pergi ke
Negara Malaysia maka sifatnya Amir masih di Malaysia sampai ada bukti berupa
informasi bahwa Amir sudah tidak ada di Malaysia.

c. Unsur Pokok Penerapan Istishab


Terdapat tiga unsur pokok dalam penerapan istishab yaitu segi waktu, ketetapan
hukum dan dalil hukum. dari sisi waktu istishab menghendaki keterhubungan 3 waktu
masa lalu masa sekarang dan masa yang akan datang. hukum pada masa sekarang dan
yang akan datang akan tetap ada kaitannya sama hukum pada masa lalu tidak ada
apapun yang mengubahnya oleh karenanya ketiga waktu tersebut saling berkait. sisi
ketetapan hukum menghendaki 2 hal menetapkan dan melarang. sementara dalil hukum
berkaitan dengan sisi waktu dimana disebut sebelumnya. Maka dalil tersebut akan terus
dipakai dan juga dipertahankan selama belum adanya/munculnya dalil baru yang dapat
mengubah dalil lama terebut. pengetahuan tentang dalil menjadi hal penting bagi
pengaplikasian Istishab. Istishab dalam hal ini mengacu pada beberapa definisi para
ulama, salah satunya menurut Ahmad Istishab mempunyai tiga rukun yaitu sesuatu yang
wajib ada sebagai berikut; yang pertama adalah yakin yaitu keyakinan terhadap
keberadaan hukum yang telah ada. Selanjutnya yang kedua adalah Ragu yaitu ragu
terhadap berlakunya hukum tersebut pada masalah yang ada. Selanjutnya yang ketiga
adalah adanya keterkaitan antara apa yang diyakini dengan apa yang diragukan. hal ini
agak berbeda dengan pendapat Muhammad Taqy Al hakim yang menyatakan bahwa
istishab merupakan 7 rukun yaitu yang pertama yakin terhadap realitas hukum. kedua
adanya keraguan sebagai bandingan atas sifat yakin. ketiga adanya kesatuan keterikatan
antara realitas yang diyakini dengan realitas yang dilakukan. Keempat, keraguan dan
keyakinan tersebut memang benar ada atau factual. kelima adanya kesatuan masalah
antara yang diyakini dengan yang dilakukan baik dari isi tema objek maupun tingkatan
permasalahan. Keenam, adanya keterkaitan waktu antara hal yang diyakini dengan yang
dilakukan dan yang terakhir adalah keyakinan tersebut lebih dahulu ada sebelum
keraguan.

d. Syarat-Syarat Istishab
Adapun syarat-syarat istishab yang harus ada agar dapat digunakan sebagai dalil
yaitu yang pertama, pengguna istishab telah mengerahkan seluruh kemampuannya
untuk mencari bukti yang mengubah hukum yang semula ada. Maksudnya sebelum
menggunakan metode Istishab, maka pengguna diharuskan untuk mencari seluruh bukti
yang ada sehingga ia menyatakan tidaak ada. yang kedua setelah mengerahkan seluruh
kemampuannya pengguna istishab tidak menemukan bukti yang mengubah hukum yang
ada. Maksudnya ketika memang sudah bersungguh-sungguh dalam mencari bukti
namun tidak ditemukan juga bukti tersebut sehingga mengharuskan mengambil
langkah menggunakan metode Istishab. yang ketiga hukum lama yang dijadikan
sebagai pijakan istishab benar adanya baik dari dalil syar'i maupun dari dalil akal

7
artinya bukan hanya sekedar dugaan yang bisa jadi berujung kepada keraguan. Maka
dari itu perlu adanya kehati-hatian dalam melakukan poses terhadp penerapan metode
Istishab. yang keempat hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan istishab bersifat
mutlak atau umum artinya dari lama tersebut tidak menunjukkan keberlakuan dirinya
secara terus-menerus tidak pula menunjukkan ketidak perlakuannya sampai batas waktu
tertentu jika demikian halnya maka itu tidak disebut menggunakan istishab kaitkan
menggunakan dalil tersebut kemudian yang kelima adalah tidak terjadi kontradiktif
antara istishab dengan nas yang ada bila terjadi kontradiksi antara keduanya maka yang
didahulukan adalah apa yang terkena panas karena memiliki kekuatan hukum yang
lebih tinggi dibandingkan dengan istishab

e. Pandangan Ulama Mengenai Istishab


Mayoritas para ulama berpendapat bahwa secara hierarki itjihad, istishab
merupakan salah satu dalil alternatif yang terakhir yang dijadikan acuan bagi mutjahid
karena sebelumnya tidak menemukan petunjuk dari dalam Al-Quran, As-Sunnah, Ijma,
atau Qiyas. Dalam memahami istishab, kalangan ulama Ushl Fiqh berpendapat 3
macam: (Muhaimin, 2017)
Pendapat pertama (1), ulama berpendapat bahwa istishab merupakan dalil yang
menjadi sumber penetapan suatu hukum. (Sugianto, 2020) Pendapat ini mendapat
dukungan dari sebagian Jumhur ulama dari berbagai kalangan seperti Malikiyah,
Syafi’iyah, Hanabilah, dan Hanafiyah. Pendapat mereka ini didukung oleh beberapa
dalil atau sumber berikut:

1. Dalil Al-Quran:
َ َ‫اعم َع ٰلى ُم َح َر ًما اِل‬
‫ي اُو ِح َي َما ا فِي ا َ ِجدُ َ ا‬
‫ّل قُل‬ ِ ‫ط‬َ ‫ِّل يَطعَ ُم اه‬
‫فَ ِانَه ِخن ِزير لَح َم اَو َمسفُو ًحا دَ ًما اَو َميت َ ًة يَ ُكونَ اَن ا َ ا‬
‫ّللا ِلغَي ِر ا ُ ِه َل فِسقًا اَو ِرجس‬ ُ ‫َر ِحيم َغفُور َربَكَ فَ ا َِن َعاد َو َّل َباغ غَي َر اض‬
ِ ٰ ‫ط َر فَ َم ِن ِبه‬
“Katakanlah: ‘Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging
hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu
kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa
terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka
sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.”(Al-An’am:145)
Ayat di atas menjadi bukti pendukung mereka yang menunjukkan bahwa prinsip
asalnya adalah semuanya sesuatu hukumnya mubah selama hingga keluar atau turunnya
dalil yang mengharamkannya. Hal tersebut terdapat pada kutipan ayat di atas sebagai
berikut: “Katakanlah: ‘Tidak kudapati di dalam apa…”. Dari kutipan tersebut
menjelaskan bahwa jika belum ada ketentuan atau peraturan baru maka boleh mengikuti
ketentuan sebelumnya yang sudah berlaku. (Putra, 2021)
2. Hadis Nabi SAW:

“Sesungguhnya setan mendatangi salah satu dari kalian (dalam shalatnya) lalu
mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian),
janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium
bau.” (HR. Ahmad).

8
Dari hadis di atas, Nabi SAW memberikan penjelasan kepada umatnya untuk
tetap melakukan shalat dengan menjalankan ketentuan yang berlaku seperti keadaan
sebelumnya walaupun setan telah membisikannya keraguan pada orang yang shalat
bahwa shalatnya tidak sah. Rasulullah melarang untuk meninggalkan shalat jika belum
menemukan bukti bahwa shalatnya tidak sah seperti tertuang pada hadis di atas yaitu
wudhu’nya batal atau mencium bau dan mendengarkan suara.

3. Ijma’

Kalangan yang mendukung pendapat dari ijma’ menyatakan ada beberapa


masalah yang terjadi berhubungan fiqih yang telah disepakati melalui ijma atas dasar
istishab. Sebagian kalngan ulama berijma’ bahwa ketika salah satu seseorang yang ragu
atas kesuciannya dalam shalat, maka ia tidak boleh menunaikan ibadah shalat, karena
jika seorang berpikir bahwa ia belum suci untuk melakukan shalat maka harus
berpegang pada hukum asalnya bahwa ia belum bersuci, jika seorang tersebut berpikir
belum bersuci namun ia sudah berwudhu maka ia harus berpegang bahwa dia telah suci
untuk melakukan shalat.

Pada pendapat kedua (2), istishab tidak dapat dijadikan hukum atau hujjah secara
mutlak. Ini merupakan pendapat mayoritas kalangan ulama Hanafiyah. Berikut
pandangan mereka:

1. Memakai istishab pertanda bahwa ia telah melakukan suatu yang bathil, karena
istishab itu tanpa landasan dalil. Jika setiap pengamalan yang tidak berlandaskan
dalil merupakan hal yang bathil. (Harahap, 2019)
2. Istishab dapat membawa perdebatan antara dalil, jika hal tersebut menyebabkan
pertentangan atau perdebatan maka itu merupakan hal yang bathil. Jika satu pihak
yang membolehkan hukum yang mengacu atas istishab, maka pihak lain yang
bertentangan juga berhak menetapkan hukum yang bertentangan dengan mengacu
pada istishab juga.
Pendapat ketiga (3), bahwa istishab adalah hujjah untuk digunakan membantah
orang yang beranggapan hukum yang terjadi masa lalu yang dikenal bara’ah al-
dzummah dan tidak hujjah untuk menetapkan hukum baru. Pendapat ini kebanyak
berasal dari kalangan ulama Hanafiyah dan sebagian kalangan Malikiyah.

Dari ketiga pendapat yang telah diutarakan di atas, dalil pendapat yang dapat
diterima karena lebih kuat argumennya adalah pendapat pertama, istishab merupakan
sesuatu yang sudah terjadi pada kodratnya di manusia, jika tidak ada suatu yang
menjadi bukti yang mengubah hukum pada hukum lain, maka yang akan dijadikan
acuan adalah hukum yang pertama.

f. Aplikasi Istishab Dalam Ekonomi

 Sengketa Pembayaran Utang-Piutang


Misalnya tuan A memiliki utang sebesar 1 juta kepada tuan B, maka tuan A
wajib membayarnya kepada B sejumlah utang tersebut, yakni 1 juta. Pada kontrak
yang telah disepakati antara tuan A dan tuan B tertulis nominal 1 juta yang harus
dibayarkan oleh pihak A sesuai waktu yang disepakati. Dalam kasus ini telah jelas

9
bahwa tuan A telah berutang kepada tuan B dengan ketentuan yaitu akan
dikembalikan dikemudian hari. Namun setelah beberapa bulan, tuan A kemudian
ragu apakah ia sudah melunasi utangnya kepada tuan B atau belum. Keraguan ini
timbul karena beberapa bulan yang lalu tuan A telah menyerahkan sejumlah uang
kepada tuan B tetapi ia lupa untuk keperluan apa pengeluaran uang tersebut.

Pada kasus seperti ini berlaku kaidah al-yaqȋn lâ yuzâl bi al-syak, dimana
keyakinan yang kuat berupa tuan A telah berutang kepada tuan B tidak dapat
dihilangkan hanya dengan keraguan berupa uang yang telah diserahkan tuan A
kepada tuan B sebulan yang lalu untuk pembayaran utang atau untuk keperluan
lainnya. Pada kasus ini, tuan A wajib hukumnya untuk melunasi utangnya kepada
tuan B. Hal ini sesuai dengan kaidah prinsip bahwa keyakinan tidak dapat
dikalahkan dengan keraguan (Agus Putra, 2021). Adapun penerapan kaidah ini
merupakan salah satu bentuk aplikasi dari konsep istishab.
Oleh karena itu melalui pelaksanaan kaidah istishab dalam kasus semacam ini
didapatkan bahwa pihak yang memiliki utang (pihak A) wajib membayarkan
utangnya kepada pihak yang memberikan utang (pihak B), meskipun pihak yang
berutang (pihak A) telah memberikan pernyataan bahwa ia telah membayarkan
sejumlah uang dengan nominal yang sama dangan nominal pembayaran utangnya
kepada pihak pemberi piutang (pihak B). Hal ini dikarenakan pembayaran atas
sejumlah uang tersebut masih diragukan tujuannya untuk pembayaran utang atau
untuk pembayaran lain kepada pihak yang memberi piutang (pihak B). Oleh
karena itu agar pembayaran utangnya jelas untuk masing-masing pihak, maka
pihak A wajib membayar lagi dan harus meminta bukti pembayaran atas utang
tersebut. Akan tetapi pihak A dapat terbebas dari kewajiban membayar utang
kembali apabila pihak A dapat menunjukkan bukti atas pembayaran utang tersebut
(dapat berupa kwitansi pembayaran) sehingga tidak diperlukan pelaksanaan
konsep istishab al-yaqȋn lâ yuzâl bi al-syak ini. Pada intinya, pemilik utang akan
terbebas dari utangnya apabila ada bukti kuat yang menunjukkan pembayaran atas
utang tersebut.
Adapun pada kasus sebaliknya, apabila tuan A (pihak yang telah berutang)
mengaku telah melunasi utangnya kepada tuan B (pihak yang memberikan
piutang) tanpa adanya bukti apa pun, sedangkan tuan B merasa ragu kemudian
mengingkarinya karena belum merasa menerima pembayaran/pelunasan utang
dari tuan A, maka dalam hal ini yang bisa dibenarkan adalah ingkarnya pemberi
piutang (tuan B).
Pembenaran atas pernyataan ingkar tuan B disebabkan penetapan hukum
yang sedang berlangsung, yaitu tetapnya utang melekat kepada tuan A itu sesuai
dengan keadaan awal yaitu kondisi dimana tuan B telah memberikan pinjaman
(piutang) kepada tuan A. Hal ini telah sesuai dengan konsep istishab dan kaidah
al-ashlu baqa’u mâ kâna ‘alâ mâ kâna (berdasarkan prinsipnya hukum asal dari
sesuatu adalah ditetapkan sesuai hukum sebelumnya) (Agus Putra, 2021).

Dari pelaksanaan konsep istishab pada kasus semacam ini dapat disimpulkan
bahwa meskipun pihak yang berutang (pihak A) telah memberikan pernyataan
bahwa ia telah membayarkan sejumlah uang dengan nominal sebesar utang yang
ia miliki akan tetapi pihak yang memberi pituang (pihak B) merasa bahwa utang

10
tersebut belum dilunasi dan pembayaran terebut adalah untuk hal lain, maka pihak
yang berutang (pihak A) harus tetap melakukan pembayaran atas utangnya dan
kali ini harus ada bukti pembayaran atas utang tersebut. Hal ini dilakukan agar
keraguan dari masing-masing pihak dapat diselesaikan dan tidak menimbulkan
konflik lebih lanjut. Namun pihak yang berutang (pihak A) dapat terbebas dari
utangnya apabila pihak tersebut dapat menunjukkan bukti bahwa pembayaran
sejumlah uang dengan nominal sebesar jumlah utang memang benar-benar untuk
pembayaran utang, bukan untuk transaksi lain. Apabila beberapa hari kemudian
pihak yang berutang (pihak A) ternyata dapat menunjukkan bukti bahwa
pembayaran yang pertama merupakan pembayaran atas utang tersebut, maka
pihak yang memberikan piutang wajib mengembalikan uang atas pembayaran
yang kedua.

Pada dasarnya konsep istishab dalam kasus ini dilakukan untuk menemukan
penyelesaian dari perselisihan akibat keraguan. Manusia pada dasarnya dapat
mengalami keraguan karena salah satu sifat yang dimiliki oleh manusia, yakni
lupa atau pelupa. Oleh karena itu adanya bukti merupakan salah satu hal yang
wajib dalam melakukan aktivitas muamalah, khususnya apabila berkaitan dengan
uang atau alat transaksi lain. Namun bukti tersebut dapat menjadi tidak wajib
untuk diadakan apabila telah berkaitan dengan kesosialan atau hibah. Apabila
terdapat kasus yang mengenai keraguan akan pembayaran utang semacam ini,
maka konsep al-yaqȋn lâ yuzâl bi al-syak dan al-ashlu baqa’u mâ kâna ‘alâ mâ
kâna dapat dilaksanakan.

 Laporan Keuntungan Bisnis


Misalnya dalam perjalanan akad investasi mudharabah, mudhârib selaku
pengelola modal melaporkan tentang perkembangan usahanya kepada pemilik
modal, sudah mendapatkan keuntungan tetapi sedikit, maka laporannya itu dapat
dibenarkan. Karena dari awal adanya ikatan muhdârabah, usaha tersebut belum
memperoleh laba dan keadaan ini yang sudah nyata, sedangkan keuntungan yang
diharapkan dalam perjanjian adalah hal yang belum terjadi (belum ada).

Adakalanya dalam sebuah usaha bisnis hanya mendapatkan sedikit


keuntungan atau bahkan tidak mendapatkan keuntungan sama sekali, apalagi
merugi, pada saat berjalannya usaha yang dikelola mudharib. Hal ini dikarenakan
sedikitnya pembelian yang dilakukan oleh konsumen atas produk barang atau
jasa yang ditawarkan oleh mudharib sebagai penjual. Tentunya pemilik dana
modal (shahibul-mal) akan mengeluhkan terkait hal ini karena usaha yang
dikelola oleh mudharib tidak dapat menghasilkan tingkat keuntungan yang
diharapkan dan telah disetujui pada kontrak kesepakatan. Ada berbagai alasan
yang menyebabkan pihak mudharib tidak dapat mencapai keuntungan yang
diharapkan. Misalnya saja produk yang ditawarkan mudharib sebagai penjual
merupakan produk yang menjadi tren pada masa itu, namun tren itu tidak dapat
terus bertahan hingga ketitik dimana para konsumen sudah mulai bosan dan
mencari produk dengan jenis dan kualitas yang baru. Tentunya pendapatan atas
penjualan oleh mudharib juga akan ikut menurun. Kemudian krisis ekonomi,
seperti yang terjadi pada masa pandemi covid-19, menyebabkan masyarakat
mulai menahan diri untuk melakukan pengeluaran atas produk-produk yang

11
dikategorikan “diluar kebutuhan atau pemenuhan keinginan”. Masyarakat hanya
melakukan pembelian atas produk-produk kebutuhan pokok saja dan menahan
diri untuk produk di luar itu. Apabila produk yang ditawarkan mudharib bukanlah
merupakan produk kebutuhan pokok masyarakat, maka keuntungannya bisa saja
menurun dan tidak mencapai keuntungan yang diharapkan. Oleh karena itu pada
dasarnya keuntungan yang tidak memenuhi harapan tidak sepenuhnya merupakan
kesalahan dari pihak mudharib, namun dapat diusahakan dalam memenuhi
harapan keuntungan tersebut. Seberapa banyak-pun keuntungan yang dihasilkan
oleh usaha dalam pengelolaan mudharib harus tetap dicatatkan dalam laporan
keuntungan bisnis.
Laporan keuntungan bisnis yang disertai dengan bukti yang transparan dalam
pengelolaan modal usaha menjadi sesuatu yang dapat dipastikan kebenaraannya
dan keakuratannya dalam akuntansi bisnis. Dari sini, maka adanya kenyataan
bahwa usaha bisnis ini belum menghasilkan keuntungan sesuai yang diharapkan,
tidak dapat dikalahkan oleh estimasi keuntungan yang harus didapatkan dalam
bisnis. Karena keuntungan bisnis harus berbasis riil (nyata adanya dalam
perjalanan bisnis), bukan bersifat estimasi profit semata (kalkulasi bisnis atau
spekulasi keuntungan masa depan).

Dengan demikian, apabila terjadi perselisihan antara pihak mudhârib dengan


shâhibul-mâl (investor/pemilik modal/pemilik dana) dalam akad mudhârabah,
maka yang dapat dibenarkan adalah pihak mudhârib atau pengelola dana. Dengan
catatan bahwa laporan hasil kegiatan usahanya benar-benar tidak atau belum
menghasilkan keuntungan sesuai dengan kenyataan yang dialami dalam
pegelolaan bisnis. Hal ini sesuai dengan konsep istishab dan kaidah fikih yang
berbunyi, al-ashlu al-‘adam, arinya sesuatu dinyatakan tidak ada sesuai hukum
asalnya, selama tidak ada bukti akurat yang menyatakan keberadaan suatu hal
sehingga dapat mengubah dari ketiadaan menjadi ada (dari tidak ada profit
menjadi ada profit) (Agus Putra, 2021).

Melalui pelaksanaan aplikasi istishab ini maka pihak shahibul-mal tidak dapat
sepenuhnya menyalahkan pihak mudharib terkait dengan besaran keuntungan
yang dihasilkan pada saat pengelolaan bisnis sedang berjalan. Pihak shahibul-
mal harus dapat memahami terkait penyebab keuntungan bisnis yang sedikit ini
selama masih diluar kelalaian pihak mudharib. Namun apabila ternyata
keuntungan bisnis yang sedikit ini terjadi karena kelalaian pihak mudharib, maka
pihak mudharib harus bertanggung jawab atas kelalaiannya karena pada dasarnya
telah merugikan pihak shahibul-mal. Tentunya harus ada bukti bahwa kerugian
atau keuntungan bisnis yang sedikit tersebut terjadi karena kelalaian pihak
mudharib. Jika tidak ada bukti terkait hal itu maka pihak mudharib terbebas dari
tanggung jawab atas seluruh kerugian tersebut, namun tetap harus ada usaha yang
dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang lebih di periode bisnis
selanjutnya.

12
 Keabsahan Multi Akad (Al-‘Uqȗd Al-Murakkabah)
Transaksi keuangan kontemporer yang semakin kompleks dari masa ke masa
membutuhkan adanya inovasi design dan model kontrak akad dalam bentuk
kombinasi beberapa akad untuk menunjang berbagai inovasi transaksi baru.
Dalam istilah fikih muamalah kontemporer, kombinasi beberapa akad ini disebut
dengan al-‘uqȗd al-mutakkabah atau dalam bahasa Indonesia biasa disebut
dengan konsep “multi akad”. Persoalan muncul berkaitan dengan pembahasan
multi akad bahwa terdapat pandangan yang menyatakan teori multi akad
merupakan praktik yang dilarang oleh syariah karena termasuk konsep dua akad
dalam satu transaksi akad (two in one).

Multi akad pada saat ini telah menjadi hal yang lumrah dalam berbagai
lembaga ekonomi dan muamalah serta di masyarakat, khususnya masyarakat
negara mayoritas muslim. Pada saat ini “kepraktisan” merupakan hal yang selalu
dicari dalam berbagai produk, baik itu produk barang atau jasa dalam berbagai
bidang, termasuk dalam bidang keuangan. Pelaksanaan satu akad saja tidak dapat
menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi dalam aktivitas ekonomi dan
muamalah masyarkat di masa ini karena pada dasarnya manusia akan terus
berkembang seiring pergantian zaman. Oleh karena itu diperlukan adanya inovasi
pada akad jual beli untuk menjawab tantangan tersebut. Para pemikir ekonomi
Islam kemudian mengeluarkan berbagai inovasi untuk menjawab tantangan
tersebut dan salah satunya adalah pelaksanaan multi akad. Inovasi ini menjadikan
Agama Islam sebagai agama yang juga dapat beradaptasi dan berkembang seiring
perkembangan zaman, meskipun juga ada berbagai kontra terkait inovasi
tersebut.

Mayoritas ulama fikih dari kalangan ulama Hanafiyyah, sebagian ulama


Malikiyyah, ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah berpendapat bahwa hukum multi
akad al-‘uqȗd al-murakkabah) adalah sah dan diperbolehkan secara hukum
syariah. Mereka memiliki pendapat bahwa hukum asal atas suatu akad adalah
boleh dan sah, tidak ada keharaman dalam pelaksanaannya dan tidak dibatalkan
selama tidak ada dalil yang mengharamkan atau membatalkannya. Selama tidak
ada sesuatu haram dalam pelaksanaan multi akad baik itu dalam produk,
pelaksanaan akad, keuntungan (riba), dan sebagainya, maka multi akad tersebut
dapat dilakukan.

Keabsahan praktik multi akad merupakan implementasi dari konsep istishab


bahwa hukum dalam bermuamalah (termasuk praktik multi akad) dianggap boleh
dan sah selama tidak adanya dalil yang melarang atau membatalkannya (Agus
Putra, 2021). Akan tetapi, apabila praktik multi akad di dalamnya mengandung
hal-hal yang dilarang secara syariah seperti hal-hal terkait dengan riba maka
transaksi multi akad tersebut akan dilarang secara syariah.
Pada pelaksanaan multi akad ini, hal-hal yang haram atau tidak menjadi dasar
penentuan apakah multi akad boleh dilaksanakan atau tidak. Keharaman yang
sering terjadi pada saat melakukan multi akad adalah pengambilan dan
penerimaan riba atau pendapatan non halal, dan hal ini sangat dibenci oleh Allah
Swt. Apabila multi akad mengandung hal-hal yang diharamkan, maka

13
pelaksanaannya dilarang secara syariah dan akan mendapatkan dosa jika tetap
dilaksanakan. Agama Islam sangat memperhatikan keharaman dalam berbagai
aspek kehidupan sebab dapat merusak berbagai individu baik secara fisik maupun
psikis. Oleh karena itu menghindari multi akad yang mengandung keharaman
merupakan hal penting bagi seluruh muslim.

Ada banyak multi akad yang diperbolehkan dan bahkan telah diatur dalam
fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), misalnya
saja wakalah bil ujrah, ijarah muntahiyah bit-tamlik, Murabahah lil Aamir bi asy-
Syira`, dan sebagainya. Hal ini memberikan kemudahan bagi masyrakat dalam
melakukan dan mengembangkan aktivitas ekonomi karena terpaku pada salah satu
model akad saja, tetapi juga dalam berbagai model akad yang dilakukan secara
berurutan dan disesuaikan dengan fatwa DSN-MUI. Konsep multi akad juga
bukan merupakan hal yang baru dan terbukti membawa perkembangan bagi
masyarakat dalam aktivitas ekonomi sesuai kaidah Islam. Hal ini merupakan bukti
bahwa Agama Islam memberikan kemudahan bagi para penganutnya untuk
berkembang serta memastikan keselamatan bagi para penganutnya, baik di dunia
maupun diakhirat.

BAB III (PENUTUP)

f. Simpulan
Istishab merupakan suatu cara metode itijihad untuk mencari suatu pentunjuk
yang tidak tercatat atau belum memiliki kaidah-kaidah dari dalam dalil Al-Quran atau
hadis. Istishab menetapkan hukum atas segala sesuatu yang berdasarkan ketentuan
hukum yang telah berlaku hingga munculnya dalil-dalil baru yang akan membuktikan
sebelum ketentuan hukum yang lama berlaku. Istishab memandang ketetapan suatu
perkara selama belum ada yang mengubahnya, Istishab bisa digunakan untuk jalan
keluar dalam permasalahan hukum alternatif jika belum ada kredibel hukum yang jelas
dari hukum utama seperti Al-Quran, hadis, qiyas, dan Ijma. Istishab dibagi menjadi 4
macam, yaitu Istishab Al Ibahah Al Ashliayah, Istishab Al Baraah Al Ashliyah, Istishab
AlHukum, dan Istishab Al-Wasf

Istishab adalah salah satu metode yang penyimpulannya tetap menggunakan


hukum Islam. Dari uraian tersebut istishab dapat digunakan alternatif sebagai landasan
hukum Islam. Walaupun menimbulkan banyak perbedaan pendapat mengenai Istishab
dari beberapa kalangan ulama dan mereka menyimpulkan berdasarkan landasan yang
berasal dari Al-Quran, hadis, As-sunnah, dan ‘ijma yang berbeda-beda Namun hal
tersebut tidak mengubah kedudukan istishab yang dimana merupakan materi yang
dipelajari dalam Ushl Fiqh. Serta dalam penggunaan istishab, dapat digunakan dalam
kehidupan ekonomi sehari-hari.

14
DAFTAR PUSTAKA

Muhaimin, U. (2018). Metode Istidlal Dan Istishab (Formulasi Metodologi Ijtihad).


YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 8(2), 330-350.

Haq, H. (2017). Penggunaan Istishâb Dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Ulama. Al


Hurriyah: Jurnal Hukum Islam, 2(1), 17-30.

Putra, P. A. A. (2021). Aplikasi Konsep dan Kaidah Istishab dalam Hukum Ekonomi
Syariah. Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial dan Sains, 10(1), 109-123.

Sofwani, R. Z., Azizi, H. Z., & Rahmawati, Y. D. Jurusan Ekonomi Syariah Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Agus Putra, P. A. (2021). Aplikasi Konsep dan Kaidah Istishab dalam Hukum Ekonomi
Syariah. Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial Dan Sains, 10(1), 109–123.
https://doi.org/10.19109/intelektualita.v10i1.8369
Hidayat, M. R., Zaini, M., & Abdurrasyid. (2020). Istishab Dan Penerapannya Dalam
Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer. Paper-UIN Antasari. 1-19.

Hidayatullah, M. S. (2020). Imam Syâfi’Î Sebagai Mujtahid Dan Imam Mazhab Fikih
(Studi Historis, Yuridis Dan Sosiologis). Jurnal Hasil Kajian Dan Penelitian Dalam
Bidang Keislaman Dan Pendidikan, 05(02), 398–423.

Mufid, M. (2016). Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer: Dari Teori Ke
Aplikasi. Jakarta: Kencana.
Rahmawati, Y. D. (2020). Istishab. ISTISHAB. https://doi.org/10.24090/mnh.v5i1.642>.

Zainil Ghulam. (2018). Aplikasi Ijma’ Dalam Praktik Ekonomi


Syari’ah. Iqtishoduna, 7(1), 87–116.

Sugiarto, E. (2021). Istishab Sebagai Dalil Syar’i dan Perbedaan Ulama Tentang
Kedudukannya. Studia: Jurnal Hasil Penelitian Mahasiswa, 5(1), 1-8.
https://doi.org/10.32923/stu.v5i1.1777

Agus Putra, P. (2021). Aplikasi Konsep dan Kaidah Istishab dalam Hukum Ekonomi
Syariah. Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial Dan Sains, 10(1), 109-123.
https://doi.org/https://doi.org/10.19109/intelektualita.v10i1.8369w
Muhaimin, Umar. (2017). Metode Istidlal dan Istishab (Formulasi Metodologi Itjihad).
Yudisia, 8(2), 330-350.

Harahap, Solehuddin. (2019). Pengaruh Taq’id Dengan Istidlal Pada Perbedaan


Pendapat Ulama Fiqh (Al-Istishab, Al-Istislahi, dan Qiyas Al-Istidlal). Jurnal Hukum
Islam, 2(1), 81-93.

Dewan Syariah Nasional, (2002), Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 27/DSN-
MUI/III/2002.

15
Moch Novi Rifa’i, W. I. P. (2017). Implementasi Akad Murabahah dan Ijarah
Muntahiyah Bit Tamlik Pada Produk KPR BRI Syariah KC Malang Kawi. FALAH:
Jurnal Ekonomi Syariah, 2(2), 156-176.

Harun, H. (2018). Multi Akad Dalam Tataran Fiqh. Suhuf, 30(2), 178–193.
Nurul Arafah, S. L. (2018). Multi Akad (Hybrid Contract) Inovasi Produk Lembaga
Keuangan Syariah. Eksisbank: Ekonomi Syariah Dan Bisnis Perbankan, 2(2), 49–54.

STUDI KASUS
Rumah atau perumahan merupakan salah satu kebutuhan utama atau kebutuhan
primer yang sangat dibutuhkan dan harus dimiliki oleh manusia, disamping kebutuhan
akan makanan, minuman, pakaian, kesehatan, dan pendidikan. Setidaknya 14 Juta dari
total penduduk Indonesia pada masa ini masih belum memiliki rumah yang layak huni.
Masyarakat akan melakukan berbagai cara yang telah diperbolehkan secara hukum
perundag-undangan dan hukum syariat untuk mendapatkan sebuah rumah yang layak
huni bagi dirinya sendiri dan juga keluarganya, tentunya akan disesuaikan dengan
budget yang ia miliki. Harga sebuah rumah pada saat ini terbilang cukup mahal
khususnya di kota-kota besar karena lahan yang semakin sedikit dan bahan baku
pembuatan rumah yang juga cukup mahal.
Harga rumah yang cukup mahal menyebabkan beberapa orang memilih untuk
melakukan angsuran atas biaya mendapatkan rumah sebab dana yang tidak mencukupi
untuk membeli sebuah rumah secara tunai. Hal ini didukung dengan banyaknya
penawaran untuk angsuran pembelian rumah dalam periode tertentu pada masa kini.
Pelaksanaan angsuran untuk mendapatkan sebuah rumah tidak hanya ditawarkan oleh
perbankan atau lembaga lain berbasis konvensional saja, akan tetapi juga dilakukan oleh
perbankan dan lembaga lain berbasis syariah. Masyarakat dapat melakukan angsuran
pembelian rumah pada bank syariah yang menawarkan program tersebut dengan
berbagai skema akad, salah satunya dengan menggunakan skema Ijarah Muntahiyyah
Bittamlik.

Pada dasarnya Ijarah Muntahiyyah Bittamlik dalam angsuran rumah merupakan


pelaksanaan dari multi akad karena menggabungkan skema ijarah (sewa) dengan skema
al-bai’ (jual beli) untuk mendapatkan rumah. Ijarah Muntahiyyah Bittamlik telah diatur
dalam Fatwa MUI Nomor 27/DSN-MUI/III/2002. Pelaksanaan multi akad semacam ini
merupakan salah satu contoh penggunaan metode Istishab dalam kegiatan ekonomi,
khususnya untuk pembiayaan rumah. Selama tidak adanya bunga atau riba yang
dikenakan dalam skema angsuran rumah ini, maka pelaksanaan Ijarah Muntahiyyah
Bittamlik untuk mendapatkan rumah diperbolehkan. Hal ini sejalan dengan Istishab al-
Ibaḥah al-Ashliyyah dimana menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia
adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

16

Anda mungkin juga menyukai