NIM :1183070012
JURUSAN/KELAS/SEMESTER :MKS/4/A
Kiadah fiqih merupakan istilah yang digunakan ulama fiqih untuk pengembangan cakupan
suatu hukum Ada beberapa definisi kaidah fiqih yang dikemukakan para ulama. Tajuddin As-
Subki, seorang ulama dari mazhab Syafii mengatakan, kaidah fiqih adalah suatu acuan umum
yang dapat diterapkan untuk mengetahui hukum dari kebanyakan persoalan parsial.
Sa’aduddin Mas’ud bin Umar At-Taftazani mengatakan, kaidah fiqih adalah ketentuan umum
yang dapat diterapkan untuk mengetahui hukum persoalan-persoalan parsial. Perbedaan
definisi tersebut terletak pada cakupannya. Menurut As-Subki, tidak semua persoalan parsial
dicakup oleh kaidah itu.
Karena itu, dalam definisinya ia menyebutkan “kebanyakan persoalan parsial”. Definisinya ini banyak
diikuti oleh para ahli fiqih. Adapun definisi At-Taftazani tidak membatasi persoalan parsial yang
dapat dicakup oleh kaidah fiqih. Nama lain dari qawaid fiqhiyah adalah al-asybahah wan nazhair,
yang artinya kemiripan dan kesejajaran. Kaidah fiqih merupakan ketentuan yang bisa dipakai untuk
mengetahui hukum tentang kasus-kasus yang tidak ada aturan pastinya di dalam Al-Qur’an, Sunnah
maupun ijmak sehingga lahirlah fiqih baru. Prosedur untuk mendapatkan fiqih baru ini disebut
dengan ilhaq, yaitu semacam proses kias yang contohnya tidak didapatkan dari sumber wahyu,
melainkan dari fiqih yang sudah jadi.
.kompasiana.com%2Fm-khaliqfiqhiyah-prinsipprinsip-umum-hukum-
islam&usg
2.OBJEK KAJIAN FIKIH
http://havidroby.blogspot.com/2014/06/fiqh-dan-ushul-fiqh-
pengertian-objek.html
Pertama: Kaedah fikih adalah di antara ilmu syari yang jika dipelajari termasuk dalam
beribadah kepada Allah.
Kedua: Kaedah fikih akan menolong para penuntut ilmu dalam menyelesaikan masalah fikih
yang masih rancu.
Keempat: Kaedah fikih sudah dapat dijadikan dalil karena kaedah ini sendiri diambil dari
dalil syari.
Kelima: Cukup mempelajari kaedah fikih yang sifatnya umum, maka berbagai juz masalah
fikih mudah dipahami.
Keenam: Kaedah fikih akan menolong para qadhi dan para hakim untuk menyelesaikan
berbagai masalah terkini.
Ketujuh: Kaedah fikih akan membantu mengaitkan masalah-masalah antar madzhab dan
sebab bisa terjadinya perbedaan pendapat.
Kedelapan: Kaedah fikih mengajarkan bagaimana baiknya agama ini karena mengajarkan
kaedah umum, bukan hanya mengurus masalah parsial saj
https://rumaysho.com/21989-apa-itu-kaedah-fikih-dan-manfaat-mempelajarinya.html
ILMU AKHLAK
ilmu Akhlak adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia sebagai gejala yang
tampak yang meliputi penerapannya kepada manusia dan juga ilmu pengetahuan, yang
memberikan pengertian tentang baik dan buruk suatu perbuatan manusia.
Ilmu fiqh tidak bisa dipisahkan dari ilmu akhlak, meskipun keduanya bisa dibedakan,
tetapi keduanya saling terkait.Pemisahan ilmu fiqh dari ilmu Akhlak secara tajam akan
mengakibatkan ilmu fiqh kehilangan keindahannya.Tanpa ilmu Akhlak, ilmu fiqh hanya
merupakan bangunan yang kosong, sunyi dan tidak membawa kepada ketentraman dan
ketenangan hati.2[3] Juga sebaliknya ilmu Akhlak tanpa ilmu fiqh dalam artinya yang luas akan
menyimpang dari ketentuan-ketentuan syari’ah
-Ilmu Sejarah
2
Masa lalu dan masa sekarang memberikan data dan fakta.Data dan fakta ini dicari latar belakangnya
serta ditelusuri kandungan maknanya, sehingga ditemukan benang merahnya yang merupakan
semangat ajaran Islam pada umumnya dan semangat ilmu fiqh pada khususnya yang berlaku
sepanjang masa, penterapan semangat ajaran ini akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang dihadapinya dengan tetap memperhatikan metodologi ilmu fiqh yaitu ushul fiqh
dan kaidah-kaidah fiqhiyah.Dari Tarikh al-asyri ini akan tahu pasang surutnya ilmu fiqh dan
bagaimana penterapannya di berbagai daerah di dunia Islam ini
-Ilmu Hukum
Maksud ilmu hukum disini adalah ilmu hukum sistem Romawi dan sistem hukum Adat.
Seperti sering terjadi, sistem hukum Islam dalam masyarakat bertemu dengan sistem hukum
Romawi dan atau sistem hukum Adat misalnya di Indonesia hukum Islam menghargai sistem
hukum lain yang telah menjadi adat kebiasaan masyarakat, selama tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dengan tegas didalam hukum Islam. Tidak
bertentangan dengan identitas hukum Islam. Dalam kaitan ini dalam hukum Islam ada
kaidah:
العادة محكمة
“Adat kebiasaan itu bisa ditetapkan sebagai hukum” 3[5]
Dari kaidah tersebut bahwa hukum Islam tidak menganut sistem yang tertutup yang
menyebabkannya statis dan tidak memiliki dinamika, tetapi tidak juga menganut sistem yang
terbuka secara mutlak yang mengakibatkan hilangnya identitas ebagai hukum Islam. Oleh
karena itu dalam batas-batas tertentu ada hubungan antara ilmu fiqh dengan ilmu hukum
lainnya, terutama didalam mengamati pengaturan-pengaturan manakah yang sama, sesuai
atau tidak bertentangan dengan hukum Islam dan pengaturan-pengaturan manakah yang
bertentangan.
http://administrasinegara2012b.blogspot.com/2013/04/s.html
3
Menurut Ali Ahmad al Nadawi , perkembangan qawaid fiqhiyyah dapat dibagi kedalam tiga
fase, yaitu:
Pada dasarnya peletakan batu dasar ilmu qawaid fiqhiyyah telah di mulai sejak tiga kurun
pertama dari tahun Hijriyyah, yaitu sejak masa Rasulullah SAW, Sahabat, dan Tabi’in. hal ini
dapat di lihat dari hal-hal berikut ini:
Terdapat beberapa Ayat dari Al Quran yang secara inplisit telah menunjukan Qawaid
Fiqhiyyah. Diantaranya adalah yang terdapat dalam QS. Al Baqarah 228:
“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma’ruf….”
Ayat ini dikemudian hari di jadikan sebagai landasan lahinya kaidah “ Adat kebiasaan
merupakan hukum”.
Terdapat hadist-hadist Rasulullah yang padat dan singkat. Di antaranya adalah hadist
“Innamal a’malu binniyah….” Dan hadist “La darara wa la dirara”.
Terdapat Atsar Sahabat yang singkat dan padat yang dapat dijadikan sebagai sumber
dalam mengambil keputusan hukum. Di antaranya atsar Ali bin Abi Tahlib r.a (wafat
40 H) yang diriwayatkan oleh Abdul Razaq (211 H) : “orang yang membagi
keuntungan tidak harus menanggung kerugian”.
Dan timbulnya kaidah-kaidah di kalangan para Tabi’in. di antaranya adalah
pernyataan Imam Syafi’i: “Apabila yang besar gugur, maka yang kecil pun gugur”.
Awal mula qawaid fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada
abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Ulama pertama yang melakukan
pembukuan ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah ulama dari mazhab Hanafi, yaitu Abu Hasan Al
Karkhi (wafat 340 H). Dalam risalahnya yang berjudul Ushul Al Karkhi, Abu Hasan Al
Karkhi mengembangkan 17 kaidah dari Imam Abu Tahir al Dabbas menjadi 39 kaidah.
Setelah Karkhi ulama mazhab Hanafi yang mengembangkan ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah
Abu Zaid Ubaidullah al Dabbusi (wafat 430 H) dalam kitabnya Ta’sis an Nadhar.
Selanjutnya Ilmu qawaid fiqhiyyah semangkin mengalami perkembangan. Pada abad ke-7 H
qawa’id fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlau dini
untuk dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis kitab qawa’id pada abad ini adalah
al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H) ia menulis kitab dengan
judul “al-Qawa’id fi Furu’I al- Syafi’iyah” , kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w.
660 H) menulis kitab “Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab
terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-
Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawa’id al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-
karya ini menunjukan bahwa qawa’id fiqhiyyah menglami perkembangan yang pesat pada
abad ke-7 H. Qawa’id fiqhiyyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikt
mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan
banyaknya bermunculannya kitab-kitab Qawa’if fiqhiyyah. Dalm hal ini, ulama Syafi’iyyah
termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
Karya-karya besar yang mengkaji qawa’id fiqhiyyah yang disusun pada abad IX H banyak
mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Diantara karya-karya tersebut adalah:
Dengan demikian, ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang secara berangsur-angsur. Pada abad
VIII H, perkembangan ini qawa’id fiqhiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya
para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat
misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase
kedua dari ilmu qawa’id fiqhiyyah adalah fase perkembangan dan pembukuan. Fase ini
ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang
waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu Qawa’id fiqhiyyah.
3. Fase pemantapan dan penyempurnaan (Abad XIII H)
Anwaar al-Buruuq fi Anwaar al-Furuuq atau lebih dikenal juga sebagai: Al-Furuuq;
Kitab al-Anwaar wal-Anwaa’; atau Kitab al-Anwaar wal-Qawaacid as-Sunniyyah
oleh al-Imam Syihabudin cAbdul-Abbas Ahmad as-Sonhaji al-Qarafi (260-340 H);
Al-Qawaacid oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Muqarri (758 H);
Iidhaah al- Masaalik ilaa Qawaacid al-Imaam Maalik hasil karya Ahmad ibn Yahya
ibn Muhammad at-Tilmisani al-Winsyarinsi (914 H);
Al-Iscaaf bit-Thalab Mukhtasar Sharh al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-
Madzhab karya as-Syaikh Abul-Qasim ibn Muhammad at-Tiwani ( 995 H)
https://gustani.blogspot.com/2011/09/sejarah-qawaid-fiqhiyyah.html
3. Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak itu
kemudian oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti
persamaannya dengan menggunakan pola piker deduktif kemudian
dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari
masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-
kaidah Fiqih;
ِ ات والْعوائِد
ِ ّ وال والنِّي
ِ ح ْ واْألSِمكِنة
ْ واْألSِمنة
ِ ب تغيُّرِ اْأل ْز
ِ س ْ تغي ُّ ُر الْفتْوى وا
ْ ختِالفُها بِح
"Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat
keadaan, niat, dan adat kebisaaan"
Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut, demikian pula
Ibnu Rusyd (w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya Bidayat al-Mujtahid Wa
Nihayat al-Muqtasid, sesudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama
tentang masalah batas maksimal kehamilan, beliau berkesimpulan
dengan kaidah :
ُ ْ ن يكُوْن بِال
ِمعْتاد ِ ال بِالنّادِر ْ بأ
ُ ج
ِ م إِنّما ي ُ ْ وال
ُ ْ حك
"Hukum itu wajib ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi bukan
dengan apa yang jarang terjadi"
Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa kepada khalifah
Harun al-Rasyid dengan kata-kata :
ُ ْ ن على ال
ِمدّعى عليْه ِ ي والْي
Sُ ْ مي ْ ع ُ ْ ة على ال
ِ ّ مد ُ الْبيِّن
"Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib
diberikan oleh yang mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu 'Abbas),
Atau juga hadits:
ضرار
ِ ال ضرر وال
"Jangan memudaratkan dan jangan dimudaratkan" (HR. Al-Hakim).
Hadits ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:
ُ رر يُزا
ل ُ ضّ ال
"Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok yang
lima)
Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam Fiqih maka harus
ditelusuri dahulu Fiqihnya, baru diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak
ayat dan banyak hadits, selanjutnya didiskusikan dan diuji oleh para
ulama, baru bisa dijadikan sebagai kaidah yang mapan.
Kaidah yang sudah mapan ini akan menjadi alat (metode) dalam
menjawab problem-problem di masyarakat dan memunculkan hukum-
hukum Fiqih baru. Misalnya kaidah:
ُ
صدِها ُ اْأل
ِ موْ ُر بِمقا
“Semua perkara itu tergantung kepada maksudnya”
Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai
suatu perbuatan tergantung kepada niatnya. Di dalam ibadah, apakah
niat ibadah itu wajib atau sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan
cara qadha. Dalam muamalah, apakah menyerahkan barang itu dengan
niat memberi (hibah) atau meminjamkan. Dalam jinayah apakah
perbuatan criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan niat) atau
kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan
kepada niat, maksud dan tujuannya.
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing-masing. Maka
muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits:
http://parawali99.blogspot.com/2017/01/makalah-proses-
pembentukan-kaidah.html
2. Kaidah Ushul Fiqh mengadopsi dari ushuluddin (pokok-pokok agama), lughoh (bahasa)
atau tashowwuril ahkam (gambaran hukum). Sedangkan kaidah Fiqh mengadopsi dari nash-
nash syar’iyyah secara langsung dalam menyimpulkan suatu hukum.
3. Objek kajian Ushul Fiqh adalah dalil-dalil syar’iyyah. Sedangkan objek kaidah Fiqh adalah
perbuatan manusia (mukallaf).
4. Kaidah Ushul Fiqh sifatnya tetap tidak mengalami perubahan karena berubahnya situasi
dan kondisi. Sedangkan kaidah Fiqh sifatnya kondisional sesuai ‘urf (kebiasaan setempat)
atau dalam rangka menolak mafsadah.
5. Kaidah Ushul Fiqh membutuhkan seorang mujtahid dalam menggali suatu hukum.
Sedangkan kaidah Fiqh membutuhkan seorang yang faqih atau mufti (juru fatwa).
6. Contoh kaidah Ushul seperti “Al-Ashlu fil Amri lil wujub” (hukum asal perintah itu
menunjukkan kewajibannya) seperti perintah shalat lima waktu. Contoh kaidah Fiqh seperti
“Saddudz dzari’ah” (menutup celah) segala sarana yang dapat mengantarkan kepada yang
haram maka hukumnya haram.
http://manhajul-haq.blogspot.com/2016/08/perbedaan-kaidah-ushul-
fiqh-kaidah-fiqh.html