Anda di halaman 1dari 16

NAMA :ALDI FAHRUL ROZZI ISKANDAR

NIM :1183070012

JURUSAN/KELAS/SEMESTER :MKS/4/A

A.Pengertian Kaidah Fikih

1.Defini Al-Qawa`id al-fiqiyah (kaidah fikih)

2. Objek kajian kaidah fikih

3.Manfaat mempelajari akidah fikih

4.Hubungan ilmu kaidah fikih dengan ilmu lain

5.sejarah perkembangan kaidah fikih

B.Proses pembentukan kaidah fikih

C.Perbedaan kaidah ushul dan kaidah Fiqih


JAWABAN:

A 1.Pengertian Qawaid Fiqhiyah

Kiadah fiqih merupakan istilah yang digunakan ulama fiqih untuk pengembangan cakupan
suatu hukum Ada beberapa definisi kaidah fiqih yang dikemukakan para ulama. Tajuddin As-
Subki, seorang ulama dari mazhab Syafii mengatakan, kaidah fiqih adalah suatu acuan umum
yang dapat diterapkan untuk mengetahui hukum dari kebanyakan persoalan parsial.
Sa’aduddin Mas’ud bin Umar At-Taftazani mengatakan, kaidah fiqih adalah ketentuan umum
yang dapat diterapkan untuk mengetahui hukum persoalan-persoalan parsial. Perbedaan
definisi tersebut terletak pada cakupannya. Menurut As-Subki, tidak semua persoalan parsial
dicakup oleh kaidah itu.

Karena itu, dalam definisinya ia menyebutkan “kebanyakan persoalan parsial”. Definisinya ini banyak
diikuti oleh para ahli fiqih. Adapun definisi At-Taftazani tidak membatasi persoalan parsial yang
dapat dicakup oleh kaidah fiqih. Nama lain dari qawaid fiqhiyah adalah al-asybahah wan nazhair,
yang artinya kemiripan dan kesejajaran. Kaidah fiqih merupakan ketentuan yang bisa dipakai untuk
mengetahui hukum tentang kasus-kasus yang tidak ada aturan pastinya di dalam Al-Qur’an, Sunnah
maupun ijmak sehingga lahirlah fiqih baru. Prosedur untuk mendapatkan fiqih baru ini disebut
dengan ilhaq, yaitu semacam proses kias yang contohnya tidak didapatkan dari sumber wahyu,
melainkan dari fiqih yang sudah jadi.

.kompasiana.com%2Fm-khaliqfiqhiyah-prinsipprinsip-umum-hukum-
islam&usg
2.OBJEK KAJIAN FIKIH

1.Perbuatan Mukallaf yang berhubungan dengan Allah (ibadah)

2,Perbuatan Mukallaf yang berhubungan dengan sesamanya (muamalah)

Bidang muamalah kemudian mengalami perkembangan dan perluasan wilayah


kajian, sehingga muncul bidang bidang baru dalam fiqh seperti: Fiqh Ahwal as-Syakhsiyah
(Hukum Keluarga), Fiqh Muamalah (Hukum Transaksi), Fiqh Mawaris, Fiqh Munakahat,
Fiqh Jinayah (Hukum Kriminal), Fiqh Murafa’at (Hukum Acara), Fiqh Siyasah (Politik) dan
sebagainya.

Usul Fiqh adalah: - kaidah kaidah pemahaman (etimologi)


-          Ilmu yang mempelajari dasar, kaidah, metode yang digunakan untuk mengistimbatkan
hukum syara’ (terminology).

Unsur yang terkandung:


a. Dasar atau dalil
b. Metode istimbath hukum
c. Implementasi atau penggunaan metode.

http://havidroby.blogspot.com/2014/06/fiqh-dan-ushul-fiqh-
pengertian-objek.html

3..Manfaat mempelajari kaedah fikih


 

Pertama: Kaedah fikih adalah di antara ilmu syari yang jika dipelajari termasuk dalam
beribadah kepada Allah.

Kedua: Kaedah fikih akan menolong para penuntut ilmu dalam menyelesaikan masalah fikih
yang masih rancu.

Ketiga: Kaedah fikih dapat menyelesaikan berbagai masalah-masalah baru.

Keempat: Kaedah fikih sudah dapat dijadikan dalil karena kaedah ini sendiri diambil dari
dalil syari.

Kelima: Cukup mempelajari kaedah fikih yang sifatnya umum, maka berbagai juz masalah
fikih mudah dipahami.
Keenam: Kaedah fikih akan menolong para qadhi dan para hakim untuk menyelesaikan
berbagai masalah terkini.

Ketujuh: Kaedah fikih akan membantu mengaitkan masalah-masalah antar madzhab dan
sebab bisa terjadinya perbedaan pendapat.

Kedelapan: Kaedah fikih mengajarkan bagaimana baiknya agama ini karena mengajarkan
kaedah umum, bukan hanya mengurus masalah parsial saj

https://rumaysho.com/21989-apa-itu-kaedah-fikih-dan-manfaat-mempelajarinya.html

4.Hubungan kaidah fikih dengan ilmu lain


-Ilmu Tauhid
Ilmu fiqh sangat erat hubungannya dengan ilmu Tauhid, karena sumber ilmu fiqh yang pokok
adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.1[1] Mengakui Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang
pertama dan paling utama, berangkat dari keimanan bahwa Al-Qur’an diturunkan Allah SWT
dengan perantaraan malaikat kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya.Disini ilmu
fiqh sudah memerlukan keimanan kepada Allah, keimanan kepada para malaikat, keimanan
kepada kitab-kitab Allah sebagai wahyu Allah SWT, keimanan kepada Rasul, keimanan
kepada Hari Kiamat dan keimanan kepada Qada dan Qadar.

ILMU AKHLAK

ilmu Akhlak adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia sebagai gejala yang
tampak yang meliputi penerapannya kepada manusia dan juga ilmu pengetahuan, yang
memberikan pengertian tentang baik dan buruk suatu perbuatan manusia.

Ilmu fiqh tidak bisa dipisahkan dari ilmu akhlak, meskipun keduanya bisa dibedakan,
tetapi keduanya saling terkait.Pemisahan ilmu fiqh dari ilmu Akhlak secara tajam akan
mengakibatkan ilmu fiqh kehilangan keindahannya.Tanpa ilmu Akhlak, ilmu fiqh hanya
merupakan bangunan yang kosong, sunyi dan tidak membawa kepada ketentraman dan
ketenangan hati.2[3] Juga sebaliknya ilmu Akhlak tanpa ilmu fiqh dalam artinya yang luas akan
menyimpang dari ketentuan-ketentuan syari’ah

-Ilmu Sejarah

2
Masa lalu dan masa sekarang memberikan data dan fakta.Data dan fakta ini dicari latar belakangnya
serta ditelusuri kandungan maknanya, sehingga ditemukan benang merahnya yang merupakan
semangat ajaran Islam pada umumnya dan semangat ilmu fiqh pada khususnya yang berlaku
sepanjang masa, penterapan semangat ajaran ini akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat yang dihadapinya dengan tetap memperhatikan metodologi ilmu fiqh yaitu ushul fiqh
dan kaidah-kaidah fiqhiyah.Dari Tarikh al-asyri ini akan tahu pasang surutnya ilmu fiqh dan
bagaimana penterapannya di berbagai daerah di dunia Islam ini

-Ilmu Hukum
Maksud ilmu hukum disini adalah ilmu hukum sistem Romawi dan sistem hukum Adat.
Seperti sering terjadi, sistem hukum Islam dalam masyarakat bertemu dengan sistem hukum
Romawi dan atau sistem hukum Adat misalnya di Indonesia hukum Islam menghargai sistem
hukum lain yang telah menjadi adat kebiasaan masyarakat, selama tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dengan tegas didalam hukum Islam. Tidak
bertentangan dengan identitas hukum Islam. Dalam kaitan ini dalam hukum Islam ada
kaidah:
‫العادة محكمة‬
“Adat kebiasaan itu bisa ditetapkan sebagai hukum” 3[5]
Dari kaidah tersebut bahwa hukum Islam tidak menganut sistem yang tertutup yang
menyebabkannya statis dan tidak memiliki dinamika, tetapi tidak juga menganut sistem yang
terbuka secara mutlak yang mengakibatkan hilangnya identitas ebagai hukum Islam. Oleh
karena itu dalam batas-batas tertentu ada hubungan antara ilmu fiqh dengan ilmu hukum
lainnya, terutama didalam mengamati pengaturan-pengaturan manakah yang sama, sesuai
atau tidak bertentangan dengan hukum Islam dan pengaturan-pengaturan manakah yang
bertentangan.

http://administrasinegara2012b.blogspot.com/2013/04/s.html

5.Sejarah perkembangan kaidah fikih


. Perkembangan dan Pengkodifikasian Qawaid Fiqhiyyah

3
Menurut Ali Ahmad al Nadawi , perkembangan qawaid fiqhiyyah dapat dibagi kedalam tiga
fase, yaitu:

1.Fase pertumbuhan dan pembentukan (Abad I-III H)

Pada dasarnya peletakan batu dasar ilmu qawaid fiqhiyyah telah di mulai sejak tiga kurun
pertama dari tahun Hijriyyah, yaitu sejak masa Rasulullah SAW, Sahabat, dan Tabi’in. hal ini
dapat di lihat dari hal-hal berikut ini:

 Terdapat beberapa Ayat dari Al Quran yang secara inplisit telah menunjukan Qawaid
Fiqhiyyah. Diantaranya adalah yang terdapat dalam QS. Al Baqarah 228:

“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma’ruf….”
Ayat ini dikemudian hari di jadikan sebagai landasan lahinya kaidah “ Adat kebiasaan
merupakan hukum”.

 Terdapat hadist-hadist Rasulullah yang padat dan singkat. Di antaranya adalah hadist
“Innamal a’malu binniyah….” Dan hadist “La darara wa la dirara”.
 Terdapat Atsar Sahabat yang singkat dan padat yang dapat dijadikan sebagai sumber
dalam mengambil keputusan hukum. Di antaranya atsar Ali bin Abi Tahlib r.a (wafat
40 H) yang diriwayatkan oleh Abdul Razaq (211 H) : “orang yang membagi
keuntungan tidak harus menanggung kerugian”.
 Dan timbulnya kaidah-kaidah di kalangan para Tabi’in. di antaranya adalah
pernyataan Imam Syafi’i: “Apabila yang besar gugur, maka yang kecil pun gugur”.

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa pernyataan berikut ini:

 Kaidah fiqh telah ada semenjak masa Ulama Mutaqaddimin (abad 1, 2, 3 H)


meskipun belum dikenal sebagai kaidah dan belum menjadi satu disiplin ilmu
tersendiri.
 Perkembangan qawa’id fiqhiyyah dapat ditelusuri lewat pernyatan-pernyatan para
ulama di atas, karena mereka adalah rujukan pertama ilmu ini.
 Beberapa kaidah yang dibentuk para ulama mutaqaddimin, terutama apa yang
disampaikan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Syafi’I , merupakan beberapa
kaidah ulama mutakhirin.
 Atsar dan pernyataan para ulama mutaqaddimin menjadi rujukan ulama mutakhirin
dalam membentuk, mangumpulkan, dan mengkodifikasikan qawa’id fiqhiyyah

2. Fase Perkembangan dan Pembukuan (Abad IV-XII H)

Awal mula qawaid fiqhiyyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada
abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Ulama pertama yang melakukan
pembukuan ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah ulama dari mazhab Hanafi, yaitu Abu Hasan Al
Karkhi (wafat 340 H). Dalam risalahnya yang berjudul Ushul Al Karkhi, Abu Hasan Al
Karkhi mengembangkan 17 kaidah dari Imam Abu Tahir al Dabbas menjadi 39 kaidah.
Setelah Karkhi ulama mazhab Hanafi yang mengembangkan ilmu Qawaid Fiqhiyyah adalah
Abu Zaid Ubaidullah al Dabbusi (wafat 430 H) dalam kitabnya Ta’sis an Nadhar.

Selanjutnya Ilmu qawaid fiqhiyyah semangkin mengalami perkembangan. Pada abad ke-7 H
qawa’id fiqhiyyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlau dini
untuk dikatakan matang. Diantara ulama yang menulis kitab qawa’id pada abad ini adalah
al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H) ia menulis kitab dengan
judul “al-Qawa’id fi Furu’I al- Syafi’iyah” , kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w.
660 H) menulis kitab “Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab
terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-
Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawa’id al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-
karya ini menunjukan bahwa qawa’id fiqhiyyah menglami perkembangan yang pesat pada
abad ke-7 H. Qawa’id fiqhiyyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikt
mulai meluas.

Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan
banyaknya bermunculannya kitab-kitab Qawa’if fiqhiyyah. Dalm hal ini, ulama Syafi’iyyah
termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:

 al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)


 kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
 al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H). dll

Karya-karya besar yang mengkaji qawa’id fiqhiyyah yang disusun pada abad IX H banyak
mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Diantara karya-karya tersebut adalah:

 Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)


 Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi
(w. 808 H)
 kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H). dll

Dengan demikian, ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang secara berangsur-angsur. Pada abad
VIII H, perkembangan ini qawa’id fiqhiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya
para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat
misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.

Pada abad X H, pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah semakin berkembang. Imam al-Suyuti


(w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyyah yang paling penting dari karya
al-‘Alai, al-subaki, dan al-zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya
al-Asybah wa al-Nadhai. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup
qawa’id ushuliyah dan qawa’id fiqhiyyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.

Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase
kedua dari ilmu qawa’id fiqhiyyah adalah fase perkembangan dan pembukuan. Fase ini
ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang
waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu Qawa’id fiqhiyyah.
3. Fase pemantapan dan penyempurnaan (Abad XIII H)

Pengkodefikasian ilmu qawaid fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusunya Al Majalla


Al Ahkam Al Adliyyah pada akhir abad ke 13 H oleh komite ulama pada masa khalifah Al
Ghazi Abdul Azis dari dinasti Ustmaniyyah. penyusunan dilakukan dengan melalui proses
pengumpulan dan penyeleksian terhadap berbagai kitab-kitab fiqh.

B. Kitab-Kitab dan Tokoh Ilmu Qawaid Fiqhiyyah

1. Dari Kalangan Mazhab Hanafi

 Usuul al-Karkhi karya cUbaidullah ibn Hasan al-Karkhi (260-340 H)


 Ta’siis al-Nadzr karya al-Qadhi, cUbaidullah ibn cUmar ad-Dabusi (430 H)
 Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Zainudddin ibn Ibrahim Ibn Nujaim (970 H)
 Majaamic al-Haqaa’iq yang ditulis oleh Abu Sa cid al-Khadimi. ( 1176 H),
 Al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah oleh Komite ‘Ulama Daulah cUsmaniyyah
(1286 H), dan
 Al-Faraa’id al-Bahiyyah fi al-Qawaacid al-Fawaa’id al-Fiqhiyyah karya Ibn Hamzah
al-Husaini (1305 H).

2. Dari Kalangan Mazhab Maliki

 Anwaar al-Buruuq fi Anwaar al-Furuuq atau lebih dikenal juga sebagai: Al-Furuuq;
Kitab al-Anwaar wal-Anwaa’; atau Kitab al-Anwaar wal-Qawaacid as-Sunniyyah
oleh al-Imam Syihabudin cAbdul-Abbas Ahmad as-Sonhaji al-Qarafi (260-340 H);
 Al-Qawaacid oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Muqarri (758 H);
 Iidhaah al- Masaalik ilaa Qawaacid al-Imaam Maalik hasil karya Ahmad ibn Yahya
ibn Muhammad at-Tilmisani al-Winsyarinsi (914 H);
 Al-Iscaaf bit-Thalab Mukhtasar Sharh al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-
Madzhab karya as-Syaikh Abul-Qasim ibn Muhammad at-Tiwani ( 995 H)

3. Dari Kalangan Mazhab Syafi’i

 Qawaacid al-Ahkaam fi Masaalih al-‘Anaam oleh cIzzuddin cAbdul cAziz ibn


cAbdus Salam ( 577 - 660 H);
 Kitaab Al-Asybaah wan-Nazhaa’ir karya Sadraddin Abi cAbdullah ibn Murahhil, Ibn
Wakil al-Syafi ci (716 H);
 Majmuuc al-Mudzhab fil-Qawaacid al-Madzhab oleh Salahuddin Abi Sa cid al-cAla’i
as-Syafi ci (761 H);
 Al-Asybaah wa al-Nazhaa’ir oleh cAbdul-Wahhab ibn cAli Tajuddin as-Subki (771
H);
 Al-Manthuur fi Tartiib al-Qawaacid al-Fiqhiyyah aw al-Qawaacid fi al-Furuuc oleh
Muhammad ibn Bahadur Badruddin az-Zarkashi (794 H);
 Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir karya Sirajudddin cUmar ibn cAli al-Ansari, yang lebih
terkenal dengan pangggilan Ibnul-Mulaqqin (804 H);
 Al-Qawaacid oleh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad ibn cAbdul-Mu’min, al-
Hisni (829 H);
 Al-Ashbaah wa al-Nazhaa’ir oleh Jalaluddin cAbdur Rahman ibn Abi Bakr ibn
Muhammad as-Suyuthi (al-Asyuthi) (804 H); dan
 Al-Istighnaa’ fi al-Furuuq wa al-Istithnaa’ karya Badruddin Muhammad ibn Abi Bakr
ibn Sulaiman al-Bakri

4. Dari kalangan Mazhab Hambali

 Al-Qawaacid al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah oleh Taqiyyuddin Abu al-cAbbas Ahmad


ibn cAbd al-Halim ibn Taymiyyah (661 - 728 H);
 Al-Qawaacid al-Fiqhiyyah oleh Sharifuddin Ahmad ibn al-Hasan, ibn Qadhi al-Jabal
al-Maqdisi (771 H);
 Taqriir al-Qawaacid wa Tahriir al-Fawaa’id (al-Qawaacid) karya cAbdurrahman
Shihab ibn Ahmad ibn Abi Rajab (Ibn Rajab) al-Hanbali (795H);
 Al-Qawaacid al-Kulliyyah wa al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah (771 H) karya Jamaluddin
Yusuf ibn Hasan ibn Ahmad ibn cAbdul-Hadi (1309-1359 H); dan
 (Qawaacid) Majallah al-Ahkaam al-Shar ciyyah calaa Madzhab al-Imaam Ahmad ibn
Hanbal oleh Ahmad ibn cAbdullah al-Qari (1309-1359 H)

C. Kehujjahan Qawaid Fiqhiyyah

Al Hariri, seorang ahli ilmu hukum Islam mengatakan:


“sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa jika ada dalil yang jelas dari sumber-sumber
yang berurusan langsung dengan perkara tertentu, maka penyandaan hukumnya harus dengan
dalil tersebut. Tapi, jika tidak ada dalil apapun terhadap perkara tersebut, tidak ada masalah
jika kaidah-kaidah fiqh menjadi dalil dalam perkara tersebut, asal saja kaidah-kaidah tersebut
tidak melenceng dari Al Quran, Al Hadist, dan Sumber hukum Islam lainnya”.

https://gustani.blogspot.com/2011/09/sejarah-qawaid-fiqhiyyah.html

B proses pembentukan kaidah fikih


Kaidah Fiqih memang bukan dalil, tetapi sarana bagi kita untuk
mempermudah menentukan hukum pada masalah-masalah yang kita
jumpai di masyarakat. Maka para ulama’ telah memberikan investasi
besar kepada kita agar kita dapat memahami hukum Islam ini dengan
mudah. Oleh karena itu, bahwa proses pembentukan kaidah Fiqih adalah
sebagai berikut :

1.      Sumber hukum Islam: Al-Quran dan Hadits;

2.      Kemudian muncul ushul fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan


hukum (istibath al-ahkam). Dengan metodologi ushul fiqih yang
menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan Fiqih;

3.      Fiqih ini banyak materinya. Dari materi Fiqih yang banyak itu
kemudian oleh ulama-ulama yang mendalami ilmu di bidang Fiqih, diteliti
persamaannya dengan menggunakan pola piker deduktif kemudian
dikelompokkan, dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari
masalah-masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-
kaidah Fiqih;

4.      Selanjutnya kaidah-kaidah tadi dikritisi kembali dengan menggunakan


banyak ayat dan banyak hadits, terutama untuk dinilai kesesuaiannya
dengan substansi ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabi;
5.      Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat Al-Quran dan banyak
hadits Nabi, baru kemudian kaidah fiqih tersebut menjadi kaidah yang
mapan;

6.      Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/akurat, maka ulama-ulama


Fiqih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab permasalahan
masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya, akhirnya
memunculkan hukum-hukum Fiqih baru;

7.      Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama memberikan


fatwa, terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan
kaidah-kaidah Fiqih, bahkan kekhalifahan Turki Utsmani di dalam Majalah
al-Ahkam al-Adliyah, menggunakan 99 kaidah di dalam membuat undang-
undang tentang akad-akad muamalah dengan 185 pasal;

8.      Seperti telah disinggung di muka.

Ibnu Qayyim al-Jauzaiyah (w.751 H) murid Ibnu Taimiyah dalam kitab


Fiqihnya "I'lam al-Muwaqi'in Rabb al-Alamin", memunculkan kaidah :

ِ ‫ات والْعوائِد‬
ِ ّ ‫وال والنِّي‬
ِ ‫ح‬ ْ ‫ واْأل‬Sِ‫مكِنة‬
ْ ‫ واْأل‬Sِ‫منة‬
ِ ‫ب تغيُّرِ اْأل ْز‬
ِ ‫س‬ ْ ‫تغي ُّ ُر الْفتْوى وا‬
ْ ‫ختِالفُها بِح‬
 "Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat
keadaan, niat, dan adat kebisaaan"
Ibnu Qayyim dianggap sebagai penemu kaidah tersebut, demikian pula
Ibnu Rusyd (w.520-595 H) dalam kitab Fiqihnya Bidayat al-Mujtahid Wa
Nihayat al-Muqtasid, sesudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama
tentang masalah batas maksimal kehamilan, beliau berkesimpulan
dengan kaidah :

ُ ْ ‫ن يكُوْن بِال‬
ِ‫معْتاد ِ ال بِالنّادِر‬ ْ ‫بأ‬
ُ ‫ج‬
ِ ‫م إِنّما ي‬ ُ ْ ‫وال‬
ُ ْ ‫حك‬
 "Hukum itu wajib ditetapkan dengan apa yang biasa terjadi bukan
dengan apa yang jarang terjadi"
Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf memberikan fatwa kepada khalifah
Harun al-Rasyid dengan kata-kata :

ٍّ‫ن يد ِ أحد ٍ إِال ّ بِحق‬ ِ ‫ شيْئًا‬S‫ن يُخْرِج‬


ْ ‫م‬ ْ ‫ليْس لِإلِمام ِ أ‬
 "Tidak ada kewenangan bagi kepala Negara (eksekutif) untuk mengambil
sesuatu dari tangan seseorang, kecuali dengan cara yang dibenarkan"
Contoh lain:  “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus
berorientasi kepada kemaslahatan.”
Kaidah ini berasal dari kata-kata Imam al-Syafi'i yang berbunyi :

ْ ِّ ِ ‫عيةِ كمنْزِلةِ الْول‬ ْ ِ ‫ة الْوال‬


ِ ‫من اليتِيْم‬
ِ ‫ي‬ ِ ‫الرا‬
ّ ‫من‬ِ ‫ي‬ ُ ‫منْزِل‬
 "Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan
wali kepada anak yatim"
Kata-kata Imam al-Syafi'i ini setelah ditelaah ulama-ulama lain, terutama
ulama di bidang fiqih siyasah, akhirnya memunculkan kaidah tersebut di
atas. Hanya saja sesudah jadi kaidah fiqih yang mapan dan dilegitimasi Al-
Quran dan Sunnah, kaidah tadi menjadi sumber dan di bawah kaidah itu
dimunculkan kembali Fiqih bahkan dikelompokkan lagi, inilah yang kita
lihat di dalam kitab-kitab kaidah Fiqih, setelah kaidah-kaidah Fiqih itu
dibukukan.

Di dalam proses pengujian kaidah-kaidah Fiqih oleh Al-Quran dan Sunnah


sering bertemu kaidah dengan hadits, maka hadits tersebut jadi kaidah,
seperti:

ُ ْ ‫ن على ال‬
ِ‫مدّعى عليْه‬ ِ ‫ي والْي‬
Sُ ْ ‫مي‬ ْ ‫ع‬ ُ ْ ‫ة على ال‬
ِ ّ ‫مد‬ ُ ‫الْبيِّن‬
 "Bukti/keterangan wajib disampaikan oleh penggugat dan sumpah wajib
diberikan oleh yang mengingkari/tergugat" (HR. Muslim dari Ibnu 'Abbas),
Atau juga hadits:
‫ضرار‬
ِ ‫ال ضرر وال‬
 "Jangan memudaratkan dan jangan dimudaratkan" (HR. Al-Hakim).
Hadits ini digunakan untuk melegitimasi kaidah:
ُ ‫رر يُزا‬
‫ل‬ ُ ‫ض‬ّ ‫ال‬
 "Kemudaratan harus dihilangkan" (salah satu kaidah Fiqih pokok yang
lima)
Apabila mau memunculkan kaidah-kaidah baru di dalam Fiqih maka harus
ditelusuri dahulu Fiqihnya, baru diukur akurasi kaidah tadi dengan banyak
ayat dan banyak hadits, selanjutnya didiskusikan dan diuji oleh para
ulama, baru bisa dijadikan sebagai kaidah yang mapan.
Kaidah yang sudah mapan ini akan menjadi alat (metode) dalam
menjawab problem-problem di masyarakat dan memunculkan hukum-
hukum Fiqih baru. Misalnya kaidah:

ُ
‫صدِها‬ ُ ‫اْأل‬
ِ ‫موْ ُر بِمقا‬
 “Semua perkara itu tergantung kepada maksudnya”
Kaidah ini berasal dari banyak materi Fiqih, karena di dalam Fiqih, nilai
suatu perbuatan tergantung kepada niatnya. Di dalam ibadah, apakah
niat ibadah itu wajib atau sunnah, dilaksanakan tepat waktu atau dengan
cara qadha. Dalam muamalah, apakah menyerahkan barang itu dengan
niat memberi (hibah) atau meminjamkan. Dalam jinayah apakah
perbuatan criminal itu dilakukan karena kesengajaan (dengan niat) atau
kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya, semua itu hukumnya dilandaskan
kepada niat, maksud dan tujuannya.
Hukumnya berbeda sesuai dengan niat dan tujuan masing-masing. Maka
muncul kaidah tersebut di atas. Kaidah tersebut dirujukkan kepada hadits:

‫ات‬ ُ ‫إِنّما اْألع ْما‬


ِ ّ ‫ل بِالنِّي‬
 "Setiap perbuatan tergantung niatnya" (HR. Bukhari Muslim dari Umar
bin Khattab)
Juga kepada Hadits:
ُ ُ
ِ‫ستُكْرِه عليْه‬
ْ ‫ن وما ا‬ ْ ِّ ‫ي الْخطأ والن‬
ُ ‫سيا‬ ْ ِ ‫مت‬
ّ ‫عن أ‬
ْ ‫ُرفِع‬
 "Diangkat dari umatku (tidak dituliskan berdosa) perbuatan karena
keliru, lupa, dan terpaksa" (HR. Ibnu Majah dari Ibnu 'Abbas)
Tidak hanya dengan dalil itu saja tapi juga disandarkan kepada ayat-ayat
Al-Quran yang berubungan dengan niat, seperti ayat berikut :  "Dan
tidaklah ada dosa atasmu terhadap apa yang kami khilaf padanya, tetapi
(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu" (QS. Al-Ahzab : 5)
Demikian pula dalam surat an-Nisaa' ayat 92 dan 93 yang menyatakan
adanya pembunuhan karena kesalahan (tanpa niat) dan pembunuhan
karena sengaja (dengan niat).
Selain itu juga dirujukkan kepada tujuannya, baik atau buruk,
apakah tujuannya penipuan yang dilarang atau bertujuan baik untuk
memberi manfaat kepada manusia. Dari sini bisa diambil kesimpulan
bahwa; Pertama, apabila dirujukkan kepada hadits, dan ternyata hadits-
hadits tadi sama dengan kaidah, maka hadits tadi bisa menjadi kaidah di
kalangan Ulama Fiqih. Kedua, kaidah yang dirujukkan kepada
pemahaman nash-nash (Al-Quran dan Al-Hadits), maka substansi
pemahaman itulah yang jadi kaidah. Seperti telah disinggung di muka,
setelah menjadi kaidah yang mapan, para ulama mengelompokkan
kembali materi-materi Fiqih yang masuk dalam kaidah tersebut dan apa-
apa yang keluar (pengecualian) sebagai contoh-contoh penerapan kaidah.
Misalnya, dalam kitab al-Asybah wa al Nazhair, Imam al-Suyuthi
menjelaskan kaidah:
ُ
‫صدِها‬ ُ ‫اْأل‬
ِ ‫موْ ُر بِمقا‬
 "Setiap perkara tergantung kepada niatnya"
Al-Suyuthi, membahas masalah niat dalam beberapa sub poko bahasan:
1. Kaidah-kaidah niat dilegimitasi oleh hadits niat;
2. Adanya masalah-masalah Fiqih yang lebih sempit di kelompokkan dan
disandarkan kepada kaidah tersebut, seperti masalah-masalah ibadah
mahdhah, munakahat, dan jinayat yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri;
3. Fungsi niat yang membedakan antara ibadah dan adat kebisaaan dan
masalah Fiqih yang tidak diperlukan niat;
4. Ta’yin niat/menentukan niat lebih spesifik dalam hal perbuatan-
perbuatan yang serupa;
5. Tempat niat adalah di dalam hati, hubungan antara talafuzh
(melafazkan niat) dengan apa yang ada di dalam hati, maka yang
dianggap sah adalah apa yang ada di dalam hati;
6. Syarat-syarat niat adalah tahu ilmunya, tidak mendapatkan yang
bertentangan dengan niat;
7. Perbedaan pendapat di dalam penerapan niat.
Dalam hal ini, dengan mengambil pendapat al-Rafi'i, al-Suyuthi
memunculkan dhabith, yaitu:
ّ ‫م الْخا‬
‫ص‬ ُ ‫م‬ ّ ‫ص اللّفْظ اْلعا‬
ِّ ‫م وال تُع‬ ُ ‫ص‬
ِّ ‫ن تُخ‬ ِ ‫ة فِي الْي‬
ِ ْ ‫مي‬ ُ ّ ‫النِّي‬
 "Niat di dalam sumpah mengkhususkan (yang diucapkan) dengan kata-
kata yang umum dan tidak bisa mengumumkan kata-kata yang khusus"
Bersumpah dengan tidak menyebutkan nama orang atau sesuatu secara
khusus maka harus dijelaskan apa yang diniatkan itu siapa. Tetapi tidak
sebaliknya, apa yang di niatkan kepada seseorang, maka tidak bisa
digeneralisir;
8. Pembahasan tentang kasus-kasus tertentu secara khusus yang tersebut
dalam kitab-kitab Fiqih mazhab Syafi'i. Dalam kitab al-Qawa'id fi al-Fiqih,
karangan Ibnu Rajab al-Hanbali, ada kaidah yang berbunyi:
ُ
Sِ‫ح ْرمانِه‬
ِ ِ ‫حرم ٍ ع ُوْقِب ب‬
ّ ‫م‬ ْ ‫ه قبْل وقْتِهِ على و‬
ُ ٍ‫جه‬ ُ ‫ ل‬S‫ه أوْ ما أبِيْح‬
ُ ّ‫جل حق‬
ّ ‫من تع‬
ْ
 "Barangsiapa yang mempercepat haknya atau yang membolehkannya
sebelum waktunya dengan cara yang haram, maka ia dihukum dengan
keharaman (dilarang) menerima hak tersebut"
Contoh kaidah ini adalah seperti ahli waris yang membunuh pewaris,
maka ia dilarang mendapatkan warisan tersebut. Atau ada orang yang
menikahi wanita sebelum habis masa iddah-nya, maka ia diharamkan
untuk menikahi wanita tersebut. Atau ada orang yang memburu binatang
dalam keadaan ihram, maka ia diharamkan memburu binatang tersebut.
Kaidah ini setelah dikritisi kemudian menjadi kaidah yang dianggap lebih
mapan dengan ungkapan:
ِ‫ح ْرمانِه‬
ِ ِ ‫ عُوْقِب ب‬Sِ‫جل بِشيءٍ قبْل أوانِه‬
ّ ‫من تع‬
ْ

 "Barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, diberi


sanksi dengan haramnya hal tersebut"

http://parawali99.blogspot.com/2017/01/makalah-proses-
pembentukan-kaidah.html

C.PERBEDAAN KAIDAH USHUL DAN KAIDAH FIQIH


1. Kaidah Ushul Fiqh adalah ilmu yang membahas dalil-dalil secara umum. Sedangkan
kaidah Fiqh adalah ilmu yang membahas perbuatan manusia (mukallaf) dengan tinjauan dalil
secara khusus.

2. Kaidah Ushul Fiqh mengadopsi dari ushuluddin (pokok-pokok agama), lughoh (bahasa)
atau tashowwuril ahkam (gambaran hukum). Sedangkan kaidah Fiqh mengadopsi dari nash-
nash syar’iyyah secara langsung dalam menyimpulkan suatu hukum.
3. Objek kajian Ushul Fiqh adalah dalil-dalil syar’iyyah. Sedangkan objek kaidah Fiqh adalah
perbuatan manusia (mukallaf).

4. Kaidah Ushul Fiqh sifatnya tetap tidak mengalami perubahan karena berubahnya situasi
dan kondisi. Sedangkan kaidah Fiqh sifatnya kondisional sesuai ‘urf (kebiasaan setempat)
atau dalam rangka menolak mafsadah.

5. Kaidah Ushul Fiqh membutuhkan seorang mujtahid dalam menggali suatu hukum.
Sedangkan kaidah Fiqh membutuhkan seorang yang faqih atau mufti (juru fatwa).

6. Contoh kaidah Ushul seperti “Al-Ashlu fil Amri lil wujub” (hukum asal perintah itu
menunjukkan kewajibannya) seperti perintah shalat lima waktu. Contoh kaidah Fiqh seperti
“Saddudz dzari’ah” (menutup celah) segala sarana yang dapat mengantarkan kepada yang
haram maka hukumnya haram.

http://manhajul-haq.blogspot.com/2016/08/perbedaan-kaidah-ushul-
fiqh-kaidah-fiqh.html

Anda mungkin juga menyukai