PERTANYAAN
b. Hawalah muqayyadah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang
kepada muhal sekaligus berpiutang kepada muhal alaih sebagaimana dimaksud dalam
Fatwa No.12/DSNMUI/IV/2000 tentang Hawalah.
c. Hawalah muthlaqah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang tetapi
tidak berpiutang kepada muhal alaih;
• Fatwa DSN No. 113 Taun 2017 tentang akad wakalah bil-ujrah
1. Akad wakalah adalah akad pemberian kuasa dari muwakkil kepada wakil untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu;
2. Akad wakalah bi al-trjrah adalah akad wakalah yang disertaidengan imbalan berupa
ujrah (fee);
5. Ujrah adalah imbalan yang wajib dlbayar atas jasa yang dilakukanoleh wakil;
Hubungan antara Fatwa No.09 Tahun 2000 dengan Fatwa No.27 Tahun 2002, Fatwa
No.56 Tahun 2006, Fatwa No.101 Tahun 2016, dan Fatwa No.102 Tahun 2016 adalah
sama-sama menggunakan Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas
suatu barang dan/atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) dengan
fatwa induk Fatwa No.09 Tahun 2000 mengenai Pembiayaan Ijarah, yaitu sewa-menyewa
tanpa ada pemindahan hak milik pada obyek ijarah tersebut lalu dimodifikasi pada Fatwa
No.27 Tahun 2002 mengenai al-Ijarah al- Muntahiyah bi al-Tamlik, yaitu sewa-beli
dimana nasabah harus menyelesaikan masa Ijarah lalu dibolehkan akad belinya
dilaksanakan lalu pada Fatwa No.56 Tahun 2006 mengenai Review Ujrah yang dilakukan
pada Akad Ijarah dengan penjelasan bagaimana ketentuan dalam meriveiw ujrah yang
diputuskan oleh DSN-MUI. Pada tahun 2016 Ijarah mengalami modifikasi lagi dengan
keberadaanya Fatwa No.101 Tahun 2016, yaitu akad- menyewa atas manfaat suatu barang
(manfaat 'ain) dan/atau jasa ('amal) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan
spesifikasinya (kuantitas dan kuaIitas), lalu dengan adanya kebutuhan masyarakat
mengenai Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) Inden maka terbitlah Fatwa 102
Tahun 2016 dengan Akad Al-Ijarah al- Maushufah fi al-Dzimmah dalam MMQ dan
IMBT. Fatwa No.52 Tahun 2006 dengan Fatwa No.113 Tahun 2017 adalah sama-sama
menggunakan Akad Wakalah, yaitu akad pemberian kuasa dari muwakkil kepada wakil
untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan Fatwa Induk yang diterbitkan pada
Fatwa No.113 Tahun 2017 dan sebelum fatwa itu diterbitkan fatwa mengenai Wakalah bi
al-Ujrah Pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah sudah lebih dulu terbit pada tahun
2006. Fatwa No.57 Tahun 2007 dan Fatwa No.58 Tahun 2007 sama-sama menggunakan
sistem Ujrah pada pemberian hak atas jasa atau layanan yang diberikan lembaga
keuangan syariah.
Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;
b. peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam
reasuransi syari'ah.
Ketentuan Hukum
1. Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan peserta.
2. Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi
untuk mengelola dana peserta dengan imbalan pemberian ujrah (fee).
3. Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang mengandung unsur
tabungan (saving) maupun unsur tabarru' (non-saving).
Ketentuan Akad
1. Akad yang digunakan adalah akad Wakalah bil Ujrah.
2. Objek Wakalah bil Ujrah meliputi antara lain:
a. kegiatan administrasi
b. pengelolaan dana
c. pembayaran klaim
d. underwriting
e. pengelolaan portofolio risiko
f. pemasaran
g. investasi
3. Dalam akad Wakalah bil Ujrah, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a. hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
b. besaran, cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi;
c. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
Kedudukan dan Ketentuan Para Pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah
1. Dalam akad ini, perusahaan bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk
mengelola dana.
2. Peserta (pemegang polis) sebagai individu, dalam produk saving dan tabarru',
bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana.
3. Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru' bertindak
sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana.
4. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya,
kecuali atas izin muwakkil (pemberi kuasa);
5. Akad Wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan tanggungan (yad
dhaman) sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan
mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.
6. Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil
investasi, karena akad yang digunakan adalah akad Wakalah. .
Investasi
1. Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang
terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
2. Dalam pengelolaan dana investasi, baik tabarru' maupun saving, dapat digunakan
akad Wakalah bil Ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di atas, akad
Mudharabah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah.
Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari'ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ketentuan Hukum
1. Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
2. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta
pemegang polis.
3. Asuransi syariah yang dimaksud pada point 1 adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian
dan reasuransi.
Ketentuan Akad
1. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan
tujuan kebajikan dan tolong menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial.
2. Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a. hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu;
b. hak dan kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku
peserta dalam arti badan/kelompok;
c. cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;
d. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru'
1. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan
untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah.
2. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’
(mu’amman/mutabarra’ lahu, متبرع له/ن
َّ )مؤ ّمdan secara kolektif selaku penanggung
(mu’ammin/mutabarri’ متبرع/ن
ّ ِّ )مؤ ّم.
3. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah
dari para peserta selain pengelolaan investasi.
Pengelolaan
1. Pengelolaan asuransi dan reasuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu
lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Pembukuan dana tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.
3. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam
akun tabarru’.
4. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah dapat memperoleh
bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau
memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad wakalah bil ujrah.
Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
- Fatwa No 81 taHun 2011 akad terkait tentang pengembalian dana tabarru bagi
peserta asuransi yg berhenti sebelum masa perjanjian berakhir
Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1. Dana Tabarru' adalah iuran/hibah sejumlah dana kepesertaan asuransi yang diberikan
oleh peserta asuransi syariah individu kepada peserta secara kolektif (Kumpulan
Dana Tabarru’/ Tabarru’ Pooling Fund) sesuai dengan kesepakatan; dan
2. Pengembalian Dana Tabarru’ adalah pengembalian sebagian Dana Tabarru’ kepada
peserta asuransi secara individu karena berhenti sebelum masa perjanjian berakhir.
Ketentuan Hukum Pengembalian Dana Tabarru' bagi Peserta Asuransi yang
Berhenti sebelum Masa Perjanjian Berakhir
1. Peserta Asuransi Syariah secara individu tidak boleh meminta kembali
Dana Tabarru’ yang sudah dibayarkan kepada Perusahaan Asuransi sebagai wakil
dari Peserta Asuransi secara kolektif;
2. Perusahaan Asuransi Syariah dalam kapasitasnya sebagai wakil peserta Asuransi,
tidak berwenang untuk mengembalikan Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud dalam
butir 1;
3. Peserta Asuransi Syariah secara kolektif sebagai penerima Dana Tabarru’, memiliki
kewenangan untuk membuat aturan-aturan mengenai penggunaan
Dana Tabarru’, termasuk mengembalikan Dana Tabarru’ kepada peserta asuransi
secara individu yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir;
4. Dalam hal Peserta Asuransi Syariah secara kolektif memberikan kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam butir 3 kepada Perusahaan Asuransi, maka
kewenangan tersebut harus dinyatakan secara jelas sejak akad dilakukan; dan
5. Dalam hal Perusahaan Asuransi Syariah mendapatkan kewenangan sebagaimana
dimaksud butir 4 dalam kapasitasnya sebagai wakil dari Peserta Asuransi secara
Kolektif, Perusahaan Asuransi Syariah harus membuat ketentuan-ketentuan mengenai
pengelolaan Dana Tabarru’, termasuk ketentuan mengenai pengembalian
Dana Tabarru’ kepada peserta asuransi secara individu yang berhenti sebelum masa
perjanjian berakhir.
Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1. Wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan dan/atau di-istitsmar-kan
tanpa lenyap bendanya, dengan tidak menjual, menghibahkan, dan/atau
mewariskannya, dan hasilnya disalurkan pada sesuatu yang mubah kepada penerima
manfaat wakaf yang ada.
2. Manfaat Asuransi adalah sejumlah dana yang bersumber dari Dana Tabarru’ yang
diserahkan kepada pihak yang mengalami musibah atau pihak yang ditunjuk untuk
menerimanya.
3. Manfaat Investasi adalah sejumlah dana yang diserahkan kepada peserta program
asuransi yang berasal dari kontribusi investasi peserta dan hasil investasinya.
Ketentuan Hukum
1. Pada prinsipnya Manfaat Asuransi dimaksudkan untuk melakukan mitigasi risiko
peserta atau pihak yang ditunjuk.
2. Mewakafkan Manfaat Asuransi dan Manfaat Investasi pada asuransi jiwa syariah
hukumnya boleh dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Fatwa ini.
Ketentuan Khusus
1. Ketentuan Wakaf Manfaat Asuransi
a. Pihak yang ditunjuk untuk menerima manfaat asuransi menyatakan janji yang
mengikat (wa’d mulzim) untuk mewakafkan manfaat asuransi;
b. Manfaat asuransi yang boleh diwakafkan paling banyak 45% dari total
manfaat asuransi;
c. Semua calon penerima manfaat asuransi yang ditunjuk atau penggantinya
menyatakan persetujuan dan kesepakatannya; dan
d. Ikrar wakaf dilaksanakan setelah manfaat asuransi secara prinsip sudah
menjadi hak pihak yang ditunjuk atau penggantinya.
2. Ketentuan Wakaf Manfaat Investasi
a. Manfaat investasi boleh diwakafkan oleh peserta asuransi;
b. Kadar jumlah manfaat investasi yang boleh diwakafkan paling banyak
sepertiga (1/3) dari total kekayaan dan/atau tirkah, kecuali disepakati lain
oleh semua ahli waris.
3. Ketentuan Ujrah terkait dengan produk wakaf
a. Ujrah tahun pertama paling banyak 45% dari kontribusi reguler;
b. Akumulasi ujrah tahun berikutnya paling banyak 50% dari kontribusi reguler.
Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian
sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Dalam fikih LKS akad musyarokah mutanaqisah, terdiri dari syirkah inan, syirkah
wujuh, syirkah abdan dan syirkah mufawadhah tetapi dalam Fatwa MUI No 73 tahun 2008
dibatasi pada syirkah inan saja. Hal tersebut dikarenakan syirkah wujuh belum diaplikasikan
benar-benar, syirkah mufawadhah seperti koperasi itu belum bisa diaplikasikan juga
sedangkan syirkah abdan dapat ditemui sehari-hari tetapi belum utuh. Syirkah inan dipakai
karena mudah diaplikasikan baik dalam pembelian saham maupun penyewaannya. Untuk
mengetahui bagaimana akad bisnis Syari’ah yang seharusnya silahkan lihat SE OJK No 36.
Hubungan antara konsep fikih dengan Fatwa Dewan Syari’ah Kontemporer ini sebenarnya
agak rumit bahkan praktisi perbankan pun kebingungan, sebagian ulama bahkan tidak
menyetujui produk-produk akad bisnis Syari’ah. Hanya ulama tertentu yang dapat memahami
dan menyetujuinya.
Secara kelembagaan, Bank Indonesia dan OJK berada diluar pemerintah, yang artinya
Bank Indonesia dan OJK tidaklah termasuk dalam wilayah kekuasaan eksekutif, namun
bukan berarti eksekutif dalam hal ini adalah pemerintah tidak memiliki hubungan koordinasi
dengan kedua lembaga ini. Koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK ini dilakukan dalam
rangka membentuk komitmen bersama terhadap pelaksanaan kebijakan guna memelihara
stabilitas perekonomian dan memperkuat daya tahan perekonomian Indonesia
Sebagai regulator diseluruh bidang industri keuangan perbankan, non-bank dan pasar
modal, pihak OJK pun telah melahirkan banyak peraturan – peraturan, yang disebut Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang berfungsi sebagai regulasi atau peraturan yang
memberikan rambu – rambu aturan main didalam sektor jasa keuangan yang dahulunya diatur
didalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Sifat dari POJK ini sendiri lebih pada
menyempurnakan PBI daripada mengganti atau meniadakan keberadaan PBI. Hal ini dapat
dilihat POJK – POJK yang dikeluarkan oleh OJK sejak awal berdirinya lembaga ini,
contohnya POJK pertama yang dikeluarkan oleh OJK adalah POJK Nomor 01/POJK.07/2013
tanggal 26 Juli 2013 yang berisi tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Namun dapat juga ditemui adanya POJK yang mengatur tentang hal yang telah diatur didalam
PBI, yakni POJK Nomor 34/POJK.03/2016 yang berisi tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum dan PBI Nomor 15/12/PBI/2013 yang juga mengatur tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Hubungan dan koordinasi ini
ditegaskan pada Pasal 39 UU No. 21 Tahun 2011, dimana OJK diwajibkan melakukan
koordinasi dengan Bank Indonesia contohnya dalam kewajiban pemenuhan modal minimum
bank, sinergisitas terhadap sistem informasi perbankan yang terpadu, penerimaan dana valuta
asing dan hal lainnya