Anda di halaman 1dari 13

UNIVERSITAS ISALAM NEGERI SGD FAKULTAS SYARI’AH BANDUNG

MANANJEMEN KEUANGAN SYARIAH


UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK 2020-2021

Nama : Akmal Al Baihaqi S


NIM : 1183070010
Mata Kuliah : Fiqh LKS Bank dan Non Bank
Hari/Tanggal : Selasa/2 Februari 2021
Jurusan/Smt./Kelas : MKS/V/A
Dosen : Dr., H. Atang Abd. Hakim, MA.

PERTANYAAN

1. Buat semacam hubungan/menyatukan/menghubungkan antar fatwa fatwa tentang ijarah dan


ujrah sehingga menjadi kesatuan yang utuh . Fatwa fatwanya diantaranya :
• Fatwa DSN No.9 Tahun 2000
• Fatwa DSN No.27 Tahun 2002
• Fatwa DSN No.52 Tahun 2006 Tentang Wakalah Bil Ujrah
• Fatwa DSN No. 56 Tentang Review Ujrah pada LKS
• Fatwa DSN No. 57 Tentang kafalah bil ujrah
• Fatwa DSN No. 58 Tentang hawalah bil ujrah
• Fatwa DSN No. 101 Taun 2016 Tentang Al-Ujrah Al-Mausufah Bi-Dzimmah
• Fatwa DSN No. 102 Tentang al-Ujrah dalam produk pembiayaan
• Fatwa DSN No. 113 Taun 2017 tentang akad wakalah bil-ujrah
2. Ambil makna utama dari setiap Fatwa kemudian analisis. Fatwanya:
• Fatwa No. 21 tahun 2001 tentang pedoman umum asuransi
• Fatwa No. 52 terkait akad wakalah bil-ujrah pada Asuransi syariah dan re- asuransi
syariah
• Fatwa No.53 tentang akad tabarru pada asuransi syariah
• Fatwa No 81 taun 2011 akad terkait tentang pengembalian dana tabarru bagi peserta
asuransi yg berhenti sebelum masa perjanjian berakhir
• Fatwa No. 106 tahun 2016 tentang wakaf manfaat asuransi
3. Jelaskan ruang lingkup fikih lembaga keuangan syariah dan bagaimana hubunganya dengan
fatwa dan bagaimana pula hubungannya dengan qanun\undang undang ( PBI dan POJK)
JAWABAN

1. Fatwa mengenai ijarah dan Ujrah

➢ Fatwa DSN No.9 Tahun 2000


Fatwa DSN MUI Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah,
menjelaskan bahwa objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
Serta kewajiban LKS dalam akad ijarah yaitu menyediakan barang yang disewakan atau
jasa yang diberikan.
Rukun dan Syarat Ijarah:
1) Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang
berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2) Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan
penyewa/pengguna jasa.
3) Obyek akad ijarah adalah :
a. manfaat barang dan sewa; atau
b. manfaat jasa dan upah.
Ketentuan Obyek Ijarah
1) Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2) Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam
kontrak.
3) barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
4) Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
5) Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan
jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6) Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya.
Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7) Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS
sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli
dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
8) Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang
sama dengan obyek kontrak.
9) Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan
dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
➢ Fatwa DSN No.27 Tahun 2002
Fatwa DSN MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 menyatakan bahwa pelaksanaan akad
ijarah al muntahiyah bi al-tamlik didahului dengan janji pemindahan kepemilikan
hukumnya tidak mengikat dan hanya dapat dilakukan setelah akad ijarah telah selesai.
• Fatwa DSN No.52 Tahun 2006 Tentang Wakalah Bil Ujrah
Fatwa DSN No.52 Tahun 2006 adalah fatwa tentang Wakalah bil Ujrah untuk
asuransi, yaitu salah satu bentuk akad Wakalah di mana peserta memberikan kuasa
kepada perusahaan asuransi dengan imbalan pemberian ujrah (fee);
• Fatwa DSN No. 56 Tentang Review Ujrah pada LKS
Fatwa DSN No. 56 Tahun 2007 Yaitu menjelaskan tentang Ijarah adalah akad
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan
pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu
sendiri serta Review Ujrah adalah peninjauan kembali terhadap besarnya ujrah dalam
akad Ijarah antara LKS dengan nasabah setelah periode tertentu.
• Fatwa DSN No. 57 Tentang kafalah bil ujrah
a. bahwa salah satu bentuk jasa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah penyediaan
fasilitas penjaminan transaksi perdagangan luar negeri yang dilakukan oleh nasabah, yang
dikenal dengan istilah Letter of Credit (L/C);
b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan transaksi L/C tersebut, LKS berkewajiban untuk
menyediakan skema penjaminan yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah;
c. bahwa di antara prinsip syariah dalam menjalankan transaksi tersebut adalah
penggunaan akad kafalah;
d. bahwa agar kegiatan L/C tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip syariah DSN-MUI
memandang perlu menetapkan fatwa tentang Letter Of Credit (L/C) dengan Akad Kafalah
bil Ujrah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
• Fatwa DSN No. 58 Tentang hawalah bil ujrah
Fatwa No.58/DSN-MUI/V/2007 Menjelaskan tentang :
a. Hawalah adalah pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain, terdiri atas hawalah
muqayyadah dan hawalah muthlaqah.

b. Hawalah muqayyadah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang
kepada muhal sekaligus berpiutang kepada muhal alaih sebagaimana dimaksud dalam
Fatwa No.12/DSNMUI/IV/2000 tentang Hawalah.

c. Hawalah muthlaqah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang tetapi
tidak berpiutang kepada muhal alaih;

d. Hawalah bil ujrah adalah hawalah dengan pengenaan ujrah/fee;


• Fatwa DSN No. 101 Taun 2016 Tentang Al-Ujrah Al-Mausufah Bi-Dzimmah
1. ljarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatubarang dan/atau jasa
dalam waktu tertentu dengan pembayaransewa (ujrah).;

2. Akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah adalah akad sewa-menyewa atas manfaat


suatu barang (manfaat 'ain) dan/atau jasa('amal) yang pada saat akad hanya disebutkan
sifat-sifat danspesifikasinya (kuantitas dan kuaIitas).

• Fatwa DSN No. 102 Tentang al-Ujrah dalam produk pembiayaan


1. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatubarang dan/atau jasa
dalam waktu tertentu dengan pembayaransewa (ujrah).;

2. Al-Ijarah al-Muntahiyyah bi al-Tamlik adalah akad sewa-menyewabarang yang disertai


dengan opsi pemindahan hak milik atas barangyang disewa kepada penyewa setelah
selesai masa sewa.;

3. Al-ljarah al-Maushufahfi al-Dzimmah adalah akad sewa-menyewaatas manfaat suatu


barang (manfaat 'ain) dan/atau jasa ('amal)yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-
sifat dan spesifikasinya(kuantitas dan kualitas).;

4. Al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah PPR Inden adalah produkPPR Tnden yang


menggunakan akad Al-Ijarah al-Maushufah fi alDzimmah dalam MMQ atau IMBT.

• Fatwa DSN No. 113 Taun 2017 tentang akad wakalah bil-ujrah
1. Akad wakalah adalah akad pemberian kuasa dari muwakkil kepada wakil untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu;

2. Akad wakalah bi al-trjrah adalah akad wakalah yang disertaidengan imbalan berupa
ujrah (fee);

3.Muwakkil adalah pihak yang memberikan kuasa, baik berupa orang(Syakhshiyah


thabi'iyah/natuurlijke persoon) maupun yangdipersamakan dengan orang, baik berbadan
hukum maupun tidak berbadan hukum (Syakhshiyah i'tibariah/syakhshiyah
hulcrniyah/rechtsperson);

4. Wakil adalah pihak yang menerima kuasa, baik berupa orang(Syakhshiyah


thabi'iyah/natuurlijke persoon') maupun yangdipersamakan dengan orang, baik berbadan
hukum maupun tidakberbadan hukum

5. Ujrah adalah imbalan yang wajib dlbayar atas jasa yang dilakukanoleh wakil;

6. Al-ta'addi adalah melakukan suatu perbuatan yang seharusnyatidak dilakukan;

7. Al aqshir adalah tidak melakukan suatu perbuatan yangseharusnya dilakukan;


8. Mukhalafat al-syuruth adalah menyalahi isi dan/atau substansi atausyarat-syarat yang
disepakati dalam akad.

Hubungan antara Fatwa No.09 Tahun 2000 dengan Fatwa No.27 Tahun 2002, Fatwa
No.56 Tahun 2006, Fatwa No.101 Tahun 2016, dan Fatwa No.102 Tahun 2016 adalah
sama-sama menggunakan Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas
suatu barang dan/atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) dengan
fatwa induk Fatwa No.09 Tahun 2000 mengenai Pembiayaan Ijarah, yaitu sewa-menyewa
tanpa ada pemindahan hak milik pada obyek ijarah tersebut lalu dimodifikasi pada Fatwa
No.27 Tahun 2002 mengenai al-Ijarah al- Muntahiyah bi al-Tamlik, yaitu sewa-beli
dimana nasabah harus menyelesaikan masa Ijarah lalu dibolehkan akad belinya
dilaksanakan lalu pada Fatwa No.56 Tahun 2006 mengenai Review Ujrah yang dilakukan
pada Akad Ijarah dengan penjelasan bagaimana ketentuan dalam meriveiw ujrah yang
diputuskan oleh DSN-MUI. Pada tahun 2016 Ijarah mengalami modifikasi lagi dengan
keberadaanya Fatwa No.101 Tahun 2016, yaitu akad- menyewa atas manfaat suatu barang
(manfaat 'ain) dan/atau jasa ('amal) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan
spesifikasinya (kuantitas dan kuaIitas), lalu dengan adanya kebutuhan masyarakat
mengenai Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) Inden maka terbitlah Fatwa 102
Tahun 2016 dengan Akad Al-Ijarah al- Maushufah fi al-Dzimmah dalam MMQ dan
IMBT. Fatwa No.52 Tahun 2006 dengan Fatwa No.113 Tahun 2017 adalah sama-sama
menggunakan Akad Wakalah, yaitu akad pemberian kuasa dari muwakkil kepada wakil
untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan Fatwa Induk yang diterbitkan pada
Fatwa No.113 Tahun 2017 dan sebelum fatwa itu diterbitkan fatwa mengenai Wakalah bi
al-Ujrah Pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah sudah lebih dulu terbit pada tahun
2006. Fatwa No.57 Tahun 2007 dan Fatwa No.58 Tahun 2007 sama-sama menggunakan
sistem Ujrah pada pemberian hak atas jasa atau layanan yang diberikan lembaga
keuangan syariah.

2. - Fatwa No. 21 tahun 2001 tentang pedoman umum asuransi


Ketentuan Umum
1. Asuransi Syariah (Ta'min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi
dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk
aset dan / atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak
mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan),
risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3. Akad tijarahadalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
4. Akad tabarru' adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan
dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5. Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada
perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi
sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Akad dalam Asuransi
1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan /
atau akad tabarru'.
2. Akad tijarahyang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan
akad tabarru'adalah hibah.
3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
1. hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
2. cara dan waktu pembayaran premi;
3. jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru' serta syarat-syarat yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru'
1. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak
sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang
polis);
2. Dalam akad tabarru' (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak
sebagai pengelola dana hibah.
Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru'
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan
haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak
yang belum menunaikan kewajibannya.
2. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Pengelolaan
1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang
berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang
terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3. Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana
akad tabarru' (hibah).
- Fatwa No. 52 terkait akad wakalah bil-ujrah pada Asuransi syariah dan re-
asuransi syariah

Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;
b. peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam
reasuransi syari'ah.
Ketentuan Hukum
1. Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan peserta.
2. Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi
untuk mengelola dana peserta dengan imbalan pemberian ujrah (fee).
3. Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang mengandung unsur
tabungan (saving) maupun unsur tabarru' (non-saving).
Ketentuan Akad
1. Akad yang digunakan adalah akad Wakalah bil Ujrah.
2. Objek Wakalah bil Ujrah meliputi antara lain:
a. kegiatan administrasi
b. pengelolaan dana
c. pembayaran klaim
d. underwriting
e. pengelolaan portofolio risiko
f. pemasaran
g. investasi
3. Dalam akad Wakalah bil Ujrah, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a. hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
b. besaran, cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi;
c. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
Kedudukan dan Ketentuan Para Pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah
1. Dalam akad ini, perusahaan bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk
mengelola dana.
2. Peserta (pemegang polis) sebagai individu, dalam produk saving dan tabarru',
bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana.
3. Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru' bertindak
sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana.
4. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya,
kecuali atas izin muwakkil (pemberi kuasa);
5. Akad Wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan tanggungan (yad
dhaman) sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan
mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.
6. Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil
investasi, karena akad yang digunakan adalah akad Wakalah. .
Investasi
1. Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang
terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
2. Dalam pengelolaan dana investasi, baik tabarru' maupun saving, dapat digunakan
akad Wakalah bil Ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di atas, akad
Mudharabah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah.
Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari'ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

- Fatwa No.53 tentang akad tabarru pada asuransi syariah

Ketentuan Hukum
1. Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
2. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta
pemegang polis.
3. Asuransi syariah yang dimaksud pada point 1 adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian
dan reasuransi.
Ketentuan Akad
1. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan
tujuan kebajikan dan tolong menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial.
2. Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a. hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu;
b. hak dan kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku
peserta dalam arti badan/kelompok;
c. cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;
d. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru'
1. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan
untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah.
2. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’
(mu’amman/mutabarra’ lahu, ‫متبرع له‬/‫ن‬
َّ ‫ )مؤ ّم‬dan secara kolektif selaku penanggung
(mu’ammin/mutabarri’ ‫متبرع‬/‫ن‬
ّ ِّ ‫)مؤ ّم‬.
3. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah
dari para peserta selain pengelolaan investasi.
Pengelolaan
1. Pengelolaan asuransi dan reasuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu
lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Pembukuan dana tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.
3. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam
akun tabarru’.
4. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah dapat memperoleh
bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau
memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad wakalah bil ujrah.
Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
- Fatwa No 81 taHun 2011 akad terkait tentang pengembalian dana tabarru bagi
peserta asuransi yg berhenti sebelum masa perjanjian berakhir

Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1. Dana Tabarru' adalah iuran/hibah sejumlah dana kepesertaan asuransi yang diberikan
oleh peserta asuransi syariah individu kepada peserta secara kolektif (Kumpulan
Dana Tabarru’/ Tabarru’ Pooling Fund) sesuai dengan kesepakatan; dan
2. Pengembalian Dana Tabarru’ adalah pengembalian sebagian Dana Tabarru’ kepada
peserta asuransi secara individu karena berhenti sebelum masa perjanjian berakhir.
Ketentuan Hukum Pengembalian Dana Tabarru' bagi Peserta Asuransi yang
Berhenti sebelum Masa Perjanjian Berakhir
1. Peserta Asuransi Syariah secara individu tidak boleh meminta kembali
Dana Tabarru’ yang sudah dibayarkan kepada Perusahaan Asuransi sebagai wakil
dari Peserta Asuransi secara kolektif;
2. Perusahaan Asuransi Syariah dalam kapasitasnya sebagai wakil peserta Asuransi,
tidak berwenang untuk mengembalikan Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud dalam
butir 1;
3. Peserta Asuransi Syariah secara kolektif sebagai penerima Dana Tabarru’, memiliki
kewenangan untuk membuat aturan-aturan mengenai penggunaan
Dana Tabarru’, termasuk mengembalikan Dana Tabarru’ kepada peserta asuransi
secara individu yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir;
4. Dalam hal Peserta Asuransi Syariah secara kolektif memberikan kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam butir 3 kepada Perusahaan Asuransi, maka
kewenangan tersebut harus dinyatakan secara jelas sejak akad dilakukan; dan
5. Dalam hal Perusahaan Asuransi Syariah mendapatkan kewenangan sebagaimana
dimaksud butir 4 dalam kapasitasnya sebagai wakil dari Peserta Asuransi secara
Kolektif, Perusahaan Asuransi Syariah harus membuat ketentuan-ketentuan mengenai
pengelolaan Dana Tabarru’, termasuk ketentuan mengenai pengembalian
Dana Tabarru’ kepada peserta asuransi secara individu yang berhenti sebelum masa
perjanjian berakhir.
Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

- Fatwa No. 106 tahun 2016 tentang wakaf manfaat asuransi

Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
1. Wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan dan/atau di-istitsmar-kan
tanpa lenyap bendanya, dengan tidak menjual, menghibahkan, dan/atau
mewariskannya, dan hasilnya disalurkan pada sesuatu yang mubah kepada penerima
manfaat wakaf yang ada.
2. Manfaat Asuransi adalah sejumlah dana yang bersumber dari Dana Tabarru’ yang
diserahkan kepada pihak yang mengalami musibah atau pihak yang ditunjuk untuk
menerimanya.
3. Manfaat Investasi adalah sejumlah dana yang diserahkan kepada peserta program
asuransi yang berasal dari kontribusi investasi peserta dan hasil investasinya.
Ketentuan Hukum
1. Pada prinsipnya Manfaat Asuransi dimaksudkan untuk melakukan mitigasi risiko
peserta atau pihak yang ditunjuk.
2. Mewakafkan Manfaat Asuransi dan Manfaat Investasi pada asuransi jiwa syariah
hukumnya boleh dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Fatwa ini.
Ketentuan Khusus
1. Ketentuan Wakaf Manfaat Asuransi
a. Pihak yang ditunjuk untuk menerima manfaat asuransi menyatakan janji yang
mengikat (wa’d mulzim) untuk mewakafkan manfaat asuransi;
b. Manfaat asuransi yang boleh diwakafkan paling banyak 45% dari total
manfaat asuransi;
c. Semua calon penerima manfaat asuransi yang ditunjuk atau penggantinya
menyatakan persetujuan dan kesepakatannya; dan
d. Ikrar wakaf dilaksanakan setelah manfaat asuransi secara prinsip sudah
menjadi hak pihak yang ditunjuk atau penggantinya.
2. Ketentuan Wakaf Manfaat Investasi
a. Manfaat investasi boleh diwakafkan oleh peserta asuransi;
b. Kadar jumlah manfaat investasi yang boleh diwakafkan paling banyak
sepertiga (1/3) dari total kekayaan dan/atau tirkah, kecuali disepakati lain
oleh semua ahli waris.
3. Ketentuan Ujrah terkait dengan produk wakaf
a. Ujrah tahun pertama paling banyak 45% dari kontribusi reguler;
b. Akumulasi ujrah tahun berikutnya paling banyak 50% dari kontribusi reguler.

Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian
sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

3. Ruang Linkup Fiqh LKS


Lembaga Keuangan Syariah (LKS) saat ini telah ada dan berkembang dengan cukup
pesat. Telah banyak varian dari LKS diseluruh Indonesia dan termasuk pula adalah Bank
Syariah. LKS merupakan lembaga keuangan yang beroperasional dan berjalan dengan prinsip
syariah Islam. Prinsip syariah Islam ini berbeda dari perbankan atau lembaga keuangan
konvensional. LKS sebagai lembaga keuangan dengan prinsip syariah awalnya hadir sebagai
pilihan sekaligus solusi untuk muslim yang ingin terhindar dari praktek bank atau lembaga
keuangan konvensional yang menggunakan system ribawi namun akhirnya juga dapat
menjadi pilihan bagi selain umat muslim. Penyelenggaraan LKS berarti wajib bertanggung
jawab secara syariah untuk menjaga tidak hanya agar praktek dalam LKS itu bebas riba saja
tapi juga harus bebas dari unsur unsur maysir/ judi dan Ghoror/spekulasi/judi. Islam
memerintahkan untuk menjauhi hal hal tersebut karena hal tersebut dianggap sebagai berbuat
zhalim atau kerusakan Penyelenggara LKS dituntut memiliki tidak hanya visi bisnis an sich
yang bertujuan mengeruk laba yang setinggi tingginya dengan mengesampingkan syariah
namun juga harus memiliki visi syariah. Proses agar LKS tentap berada dalam prinsip prinsip
syariah ketika beroperasional menjadi tanggung jawab bersama antara lain pengelola LKS
dan institusi negara yang ditunjuk untuk melakukan proses dan prosedur agar LKS tetap
dalam koridor yang seharusnya dan tidak melakukan hilah/trik hanya sekedar kamuflase
berkedok syariah dalam parktek dan operasionalnya

Hubungan Fikih dan Fatwa

Dalam fikih LKS akad musyarokah mutanaqisah, terdiri dari syirkah inan, syirkah
wujuh, syirkah abdan dan syirkah mufawadhah tetapi dalam Fatwa MUI No 73 tahun 2008
dibatasi pada syirkah inan saja. Hal tersebut dikarenakan syirkah wujuh belum diaplikasikan
benar-benar, syirkah mufawadhah seperti koperasi itu belum bisa diaplikasikan juga
sedangkan syirkah abdan dapat ditemui sehari-hari tetapi belum utuh. Syirkah inan dipakai
karena mudah diaplikasikan baik dalam pembelian saham maupun penyewaannya. Untuk
mengetahui bagaimana akad bisnis Syari’ah yang seharusnya silahkan lihat SE OJK No 36.
Hubungan antara konsep fikih dengan Fatwa Dewan Syari’ah Kontemporer ini sebenarnya
agak rumit bahkan praktisi perbankan pun kebingungan, sebagian ulama bahkan tidak
menyetujui produk-produk akad bisnis Syari’ah. Hanya ulama tertentu yang dapat memahami
dan menyetujuinya.

Rata-rata Bank Syari’ah pakai akad murobahah, melihat kemungkinan bunga di


pasaran naik jadi di Bank Syari’ah / Lembaga Keuangan Syari’ah mengambil harga yang
maksimum lalu nanti bisa didiskon. Harga barang di naikkan kan tidak boleh tapi kalau
dikasih diskon boleh, karena adanya diskon itu harganya jadi tidak tentu,

Hubungan UU PBI dan UU POJK

Secara kelembagaan, Bank Indonesia dan OJK berada diluar pemerintah, yang artinya
Bank Indonesia dan OJK tidaklah termasuk dalam wilayah kekuasaan eksekutif, namun
bukan berarti eksekutif dalam hal ini adalah pemerintah tidak memiliki hubungan koordinasi
dengan kedua lembaga ini. Koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK ini dilakukan dalam
rangka membentuk komitmen bersama terhadap pelaksanaan kebijakan guna memelihara
stabilitas perekonomian dan memperkuat daya tahan perekonomian Indonesia

Sebagai regulator diseluruh bidang industri keuangan perbankan, non-bank dan pasar
modal, pihak OJK pun telah melahirkan banyak peraturan – peraturan, yang disebut Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang berfungsi sebagai regulasi atau peraturan yang
memberikan rambu – rambu aturan main didalam sektor jasa keuangan yang dahulunya diatur
didalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Sifat dari POJK ini sendiri lebih pada
menyempurnakan PBI daripada mengganti atau meniadakan keberadaan PBI. Hal ini dapat
dilihat POJK – POJK yang dikeluarkan oleh OJK sejak awal berdirinya lembaga ini,
contohnya POJK pertama yang dikeluarkan oleh OJK adalah POJK Nomor 01/POJK.07/2013
tanggal 26 Juli 2013 yang berisi tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Namun dapat juga ditemui adanya POJK yang mengatur tentang hal yang telah diatur didalam
PBI, yakni POJK Nomor 34/POJK.03/2016 yang berisi tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum dan PBI Nomor 15/12/PBI/2013 yang juga mengatur tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Hubungan dan koordinasi ini
ditegaskan pada Pasal 39 UU No. 21 Tahun 2011, dimana OJK diwajibkan melakukan
koordinasi dengan Bank Indonesia contohnya dalam kewajiban pemenuhan modal minimum
bank, sinergisitas terhadap sistem informasi perbankan yang terpadu, penerimaan dana valuta
asing dan hal lainnya

Anda mungkin juga menyukai