KELAS :5C
RESUME 1
Pengertian, Ruang Lingkup dan Fungsi dan Urgensi, Sejarah perkembangan Qawaid
Fiqhiyah
A. Pengertian
Qawaid Fiqhiyyah berasal dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah. Secara bahasa, kata qaidah
() قاعدة, jamaknya qawaid ()قواعد. berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat
kongkret, materi, atau inderawi maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti
ushuluddin (dasar agama). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang
menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil. Sedangkan fiqih berarti Kumpulan hukum-hukum
syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut etimologi berarti
aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh. Sedangkan pengertian qawaid fiqhiyyah
menurut terminology yakni Suatu hukum yang bersifat universal yang dapat diterapkan kepada seluruh
bagiannya agar dapat diidentifikasikan hukum-hukum bagian tersebut darinya.
Dengan kata lain, Qawaid Fiqiyyah dapat dijelaskan sebagai suatu kumpulan aturan dan asas-asas
sebagai dasar atau patokan untuk menerapkan hukum fiqih secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari.
B. Ruang Lingkup
Menurut Mahbah az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah, ruang lingkup qowaid fiqiyyah
terbagi 4 bagian diantaranya :
1. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yang bersifat dasar dan
mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab.
Yang termasuk kategori ini adalah :
a. Al-Umuru bi maqashidiha (Setiap Perbuatan bergantung pada tujuannya)
b. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk (keyakinan tidak bisa dipatahkan dengan keraguan)
c. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir (Kesulitan dapat mendatangkan kemudahan)
d. Adh-Dhararu Yuzal (Kemudhorotan dhilangkan sebisa mungkin)
e. Al- ’Adatu Muhakkamah (kebiasan masyarakat dapat menjadi sumber hukum)
2. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh madzhab-madzhab, tetapi
cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi
adh-dhaman (Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian), dan kaidah
: adh-Dharar al- Asyaddu yudfa‟ bi adh-Dharar al-Akhaf (Bahaya yang lebih besar dihadapi dengan
bahaya yang lebih ringan).
3. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada sebagian
madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini terbagi pada 2 bagian :
a. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
b. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma‟ashiy (Dispensasi tidak didapatkan karena maksiat).
Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan
dirinci di kalangan madzhab Maliki
4. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan dalam satu
madzhab. Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yang dianggap itu
pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini diperselisihkan pada madzhab Syafi’i.
2. Periode Pembukuan
Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai munculnya
kecenderungan taqlid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat sampingan dari tersisanya
warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan pemikiran fiqh yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan
perselisihan pendapat antar mazhab beserta hasil perbandingannya (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan
yang tersisa pada periode ini adalah upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah
tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru. Karena faktor mulai
tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri, ditandai dengan dihimpunnya qaidah-
qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah dari bidang lain Periode pertumbuhan dan perkembangan
berakhir dengan tampilnya al-Majllah al-Ahkam al-„Adhiyyah pada abad ke 11 H.
3. Periode Penyempurnaan
Periode penyempurnaan dimulai pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah al-Ahkam al-Adhiyyah,
dalam versi yang telah disempurnakan. Misalnya qaidah: بالإذنه الغير فى يتصرف أن الحد يجوز ال
(sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik orang lain tanpa izin
pemeliknya). Jika dalam verdi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu hanya menyangkut
perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan. Akan tetapi dua-duanya menyampaikan
pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik. Al-Majallah merupakan undang-undang hukum
perdata yang dalam mukaddimahnya tercantum 100 butir ketentuan umum. Ketentuan umum pasal 1
adalah tentang definisi fiqh. Sedangkan pasal 2 sampai 100 adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan
dari pasal- pasal pada bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah fiqh disertai
dengan nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi rinciannya.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu qawid fiqhiyyah, dengan jelas menunjukkan bahwa para
ulama dalam bidang fiqh sejak awal abad ketiga Hijrah, telah begitu serius mengembangkan pembahasan
qawaid fiqhiyyah ini. Hal ini adalah berdasarkan kepada gerakan atau usaha pengumpulan dan
pembukuan qawaid tersebut yang ditemui sejak awal abad ketiga Hijrah. Sejumlah permasalahan yang
mempunyai persamaan dari sudut fiqhiyyah telah dihimpunkan serta diletakkan di bawah satu qaidah
fiqhiyyah. Apabila terdapat masalah fiqh yang dapat dicakup di bawah sesuatu qaidah fiqhiyyah, maka,
masalah fiqh itu ditempatkan di bawah qaidah fiqhiyyah tersebut. Selain itu, melanjutkan himpunan
Qawaid fiqhiyyah yang bersifat umum itu, juga ia memberikan peluang kepada generasi berikutnya
untuk terus mengkaji dan menelaah permasalahan yang dibicarakan dalam bidang fiqh yang secara
keseluruhan melibatkan pembahasan hukum. Dengan bantuan qawaid fiqhiyyah tersebut, permasalahan
tersebut akan lebih mudah diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama.