Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam diturunkan sebagai pedoman hidup yang melingkupi seluruh
aspek kehidupan. Ajaran-ajaran pokoknya tercantum di dalam Al-Quran,
sedangkan model impelementasinya dicontohkan melalui sunnah Rasulullah
SAW. Sepeninggal Rasulullah SAW muncul tokoh-tokoh ulama sebagai pewaris
Nabi untuk mengajarkan Islam berbagai aspeknya. Oleh karena itu, peranan
seorang tokoh ulama dalam sejarah perkembangan Islam sangat penting untuk
melanjutkan penyebaran Islam dan aspek-aspek ajarannya. Salah satu tokoh
terpenting dalam pemikiran kependidikan adalah Al-Ghazali atau yang dikenal
secara populer sebagai Imam Al- Ghazali serta Imam Ibnu Jama’ah. Pengaruh
kedua tokoh ulama pendidikan tersebut sampai juga ke Indonesia, melalui
pemikiran-pemikirannya yang diabadikan dalam berbagai kitab dan risalah.

Berikut ini, penyusun memaparkan tentang Biografi Imam Al-Ghazali dan


Imam Ibnu Jamaah yang disertai dengan pemikirannya di bidang pendidikan.

B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Imam Al-Ghazali dna Imam Ibnu Jamaah?
2. Bagaimana Biografi Kehdiupan dari Imam Al-Ghazali dan Imam Ibnu
Jama’ah?
3. Bagaimana pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan?
4. Bagaimana pemikiran Imam Ibnu Jama’ah tentang pendidikan?

C. Tujuan
1. Mengetahui biografi Kehdiupan dari Imam Al-Ghazali dan Imam Ibnu
Jama’ah?
2. Memahami pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan?
3. Memahami pemikiran Imam Ibnu Jama’ah tentang pendidikan?

1|SPI
BAB II
IMAM AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang tokoh besar dalam khazanah keilmuan Islam.
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Ta’us Al-Thusi Al-Syafi’i dan secara singkat disebut Al-Ghazali
atau Abu Hamid. Dalam bahasa latin namanya sering disebut dengan Algazel atau
Abuhamet. Ia dilahirkan tahun 445 H/1058 M di Ghazalah sebuah desa
dipinggiran Thus dekat Khurasan, Iran. Al-Ghazali kecil merupakan anak
berbakat dan berkecerdasan serta minat yang tinggi terhadap ilmu. Bakat dan
minatnya tersebut terlihat dari kemauannya untuk belajar. Sejarah pendidikan
yang dilaluinya sangat panjang. Mula-mula ia berguru pada Ahmad bin
Muhammad al-Razikani di Thus sampai usianya belasan tahun. Dengan al-
Razikani ia belajar fiqih. Sesudah itu ia mulai merantau untuk menuntut ilmu di
Jurjan pada Abu Nashi al-Isma’ili. Setelah selesai belajar di Jurjan ia kembali lagi
ke Thus untuk menetap selama tiga tahun. Waktu kepulangannya kembali di
Thrus, ia pergunakan untuk mempelajari tasawuf dan mempraktekan ajaran-
ajarannya di bawah bimbingan Yusuf Al-Nassaj, berguru kepada abu Al-Ma’ali
‘Abd Al-Malik Ibn Abi Muhammad al-Juwaini, Imam Al-Haramain, seorang
ulama terkemuka di Madrasah Nizham al-Muluk.1
Di Madrasah ini Al-Ghazali mempelajari teologi, falsafah, hukum, logika,
retorika, ilmu pengetahuan alam dan tasawuf. Dalam belajar ia terkenal rajin dan
pintar, sehingga dalam waktu yang sangat singkat ia sudah memperlihatkan
kemampuannya sebagai alim yang menandingi gurunya. Imam Al-Haramain
menggambarkan Al-Ghazali sebagai alim yang besar dan dalam pengetahuannnya
serta pintar dalam mengamalkannya, bila dibanding dengan murid yang lain.
Walaupun demikian ia menaruh hormat pada gurunya, Imam Al-Haramain.2

1
Ahmad Abidin, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali. (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 34
2
Ibid

2|SPI
Selanjutnya Al-Ghazali memasuki babak baru dalam sejarah hidupnya, yaitu
sebagai pengajar. Pada tahun 481 H/1091 M Al-Ghazali diserahi tugas mengajar
pada Jami’ah (Universitas) Baghdad yang didirikan oleh Nizham Al-Muluk di
Baghdad. Tahun 484 H/1091 M Al-Ghazali diangkat sebagai guru besar dalam
bidang syariat Islam. Padahal usianya pada waktu itu masih sangat muda, tiga
puluh empat tahun, sedang para guru besar sebelumnya tidak ada yang seusia itu.
Setelah menjadi guru besar ia diserahi tugas memangku jabatan sebagai rektor
Universitas Nizham Al-Muluk Baghdad.3
Al-Ghazali termasuk tokoh yang sukses mengemban tugas-tugas yang
diberikan kepadanya. Ia diakui dan dikagumi oleh para mahasiswa, ulama,
pemimpin dan pembesar dinasti Saljuk. Sukses yang diraihnya itu menarik
simpati dan perhatian para pembesar Dinasti Saljuk untuk meminta nasihat dan
pendapatnya dalam masalah agama dan negara. Semenjak itu mulailah ia
berpengaruh dalam Dinasti Saljuk. Ia merupakan guru istana dan mufti besar yang
hidup di bawah lindungan penguasa-penguasa keluarga Saljuk. Semua jabatan,
pengaruh, kebesaran, popularitas, kesenangan yang pantas dimiliki sebagai alim
besar sudah didapatinya dalam hidup.4
Selain sebagai tokoh ilmuan yang besar, Al-Ghazali juga dikenal sebagai
tokoh sufi ternama. Selama bertahun-tahun ia mempraktekan dan menjalani
kehidupan tasawuf sampai puncaknya di Madinah, ia memperoleh ilham atau al-
kasyf dari Allah SWT. Apabila dihitungan tahun, kehidupan dan praktek tasawuf
tersebut dijalankan Al-Ghazali kurang lebih sepuluh tahun lamanya yakni dari
tahun 488 – 498 H / 1095 – 1105 M.5

3
Ibid, hlm 35
4
Ahmad Utsmani Rofi, Al-Ghazali sang Sufi Sang Filsof, (Bandung: Pustaka, 1997) Hlm. 9
5
Zainudin, Sebeluk-beluk Pendidikan dari Al-Ghazali,(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 12

3|SPI
Setelah Al-Ghazali mencapai tujuan dari perjalanan spiritual (tasawuf)nya,
maka ia kembali lagi pada kehidupan masyarakat yang kebetulan tengah dilanda
krisis keimanan. Dengan keadaan masyarakat yang sudah lemah keimanannya,
agama Islam yang sudah lumpuh kekuatannya, ia berusaha memperbaiki dengan
membangkitkan suatu vitalitas baru yang sehat dan kuat. Di bidang tasawuf ia
seru umat untuk kembali kepada kehidupan tasawuf yang berdasarkan pada
prinsip-prinsip Islam serta mengikuti contoh yang diperlihatkan oleh Rasulullah
dan para sahabatnya. Dan ia mengingatkan pula kepada umat bahwa
pengembangan kehidupan beragama Islam di bidang tasawuf hendaknya
didasarkan atas asas-asas dan batasan ilmu syariat.6
Ajaran Al-Ghazali menekankan usahanya pada ajaran akhlak dan tasawuf
atau segi-segi moral dan mental karena pada segi-segi inilah letaknya pokok
pangkal segala krisis yang terjadi dan sekaligus bisa menjadi pokok pangkal
timbulnya keamanan, ketertiban dan kebahagiaan dalam masyarakat. Ia memilih
jalan tasawuf tersebut sama sekali tidaklah berarti ia memusuhi kehidupan dunia
dan hanya mencintai kehidupan akhirat belaka, akan tetapi untuk menciptakan
keseimbangan antara keduanya.
Pada tanggal 14 Jumadil akhir 505 H/ 19 desember 1111 M di Thabaran
dekat Thus, Al-Ghazali wafat dalam usia kurang lebih lima puluh lima tahun. Ia
dimakamkan di sana berdampingan dengan makam penyair Al-Firdaus. Sebelum
wafat ia sudah mendirikan madrasah khusus untuk mempelajari dan mendalami
ilmu syariat, serta khanaqah untuk mempelajari dan mempraktekan ajaran
tasawuf. Sejak ia melepaskan diri dari kehidupan khalwat dan uzlah sampai saat
wafatnya, ia tetap taat beribadah dan bermunajat kepada Allah dan berbakti
kepada masyarakatnya.7

6
Ibid
7
Ahmad Abidin, Op.Cit. hlm. 47

4|SPI
B. Pemikiran Imam Al Ghazali tentang Pendidikan
1. Hakikat Pendidikan
Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan berhubungan erat dengan
konsepnya tentang manusia, Sebab masalah manusia pada hakekatnya adalah
masalah pendidikan juga, dan begitu sebaliknya, Ada pula pandangan yang
mengatakan bahwa pendidikan merupakan obat bagi penyakit yang terdapat
dalam individu dan masyarakat. Malah kalau hendak disimpulkan semua
jawaban terhadap semua persoalan individu dan masyarakat dalam satu kata
saja, maka kata itu ialah pendidikan. Dari keterangan ini jelas bahwa antara
masalah manusia dan pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat, dan tidak
mungkin dipisahkan.
Menurut Al-Ghazali pendidikan memiliki pengertian yang luas dan dalam.
Pengertian dimulai dengan hal-hal yang yang individual seperti bimbingan dan
penyuluhan, dan sampai pada pengertian pendidikan secara masal dimana tidak
pernah terjadi tatap muka, namun hanya sekedar loncatan ide-ide melalui
berbagai sarana misalnya buku dan pembacaan syair. Dengan kata lain
pengertian pendidikan tidak terbatas pada pendidikan formal tetapi juga
meliputi pendidikan informal dan nonformal. Luasnya pengertian pendidikan
menurut Al-Ghazali dapat dilihat dari segi individu, masyarakat dan kejiwaan.
Dari segi individu pendidikan baginya berarti pengembangan sifat-sifat
ketuhanan yang terdapat dalam diri manusia sesuai dengan janjinya (misaq)
kepada Allah dan tuntutan fitrahnya kepada ilmu dan wahyu. Manusia rindu
berma’rifat kepada Allah, dan perjuangan terpokok dalam kehidupannya
adalah pengembangan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya sesuai
dengan batas kemampuan yang dimilikinya.8

8
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan,(Jakarta:
Pustaka Al Husna, 1986), Hlm. 130

5|SPI
Pengertian pendidikan bagi Al-Ghazali secara umum memiliki kemiripan
dengan pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan
modern. Pengertian pendidikan yang dikemukakan Al-Ghazali berintikan pada
pewarisan nilai-nilai budaya suatu masyarakat kepada setiap individu yang
terdapat agar kehidupan budaya dapat berkesinambungan adanya. Perbedaan
mungkin hanya terletak pada nilai yang diwariskan dalam pendidikan tersebut.
Kalau bagi Al-Ghazali nilai-nilai itu adalah nilai-nilai keislaman yang
berdasarkan atas al-Quran, sunah, asar dan kehidupan orang-orang salaf.
Makna lain adalah nilai-nilai tersebut dapat dikatakan sebagai ilmu dan akhlak
yang terdapat dalam Islam yang berintikan pula pada ketakwaan (ketaatan).
Takwa atau taat disini adalah dalam pengertian yang luas. Menurut Muh.
‘Abdullah Darraz Hasan nilai ketakwaan yang terdapat dalam Al-Quran dapat
disimpulkan dalam lima kategori besar, yaitu nilai-nilai perseorangan,
kekeluargaan, kemasyarakatan, kenegaraan, dan nilai-nilai keagamaan. Karena
itu tujuan pendidikan adalah untuk membentuk masyarakat muslim yang
berilmu dan bertakwa kepada Allah.9
Al-Ghazali dalam mengartikan pendidikan lebih meninjau pada segi
individu, masyarakat dan kejiwaan. Mengenai materi atau isi pendidikan,
konsep pendidikan al-Ghazali yaitu pada ilmu dan nilai. Kalau dalam konsep
pendidikan modern menurut Hasan Langgulung terdiri dari tiga unsur, yaitu
ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai,
Tujuannya tidak hanya terbatas pada kebahagiaan dunia, akan tetapi pada
kebahagiaan manusia di akhirat. Apakah itu ilmu yang bersifat keduniaan,
maupun ilmu yang diwahyukan (agama), semuanya mengacu kepada
pendekatan diri kepada Allah. Ini diantara alasan mengapa Al-Ghazali tidak
mengkategorikan keterampilan sebagai satu unsur terpisah dari materi
pendidikan. Dengan demikian materi pendidikan menurut Al-Ghazali hanya
dua yang dimasukan dalam kurikulum, yakni soal ilmu dan nilai.10

9
Ibid, hlm. 131
10
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, diterjemahkan oleh Moh. Zuhri, dkk, (Semarang : CV. Asy Syifa,
1994), hlm 24

6|SPI
2. Tujuan Pendidikan
Dalam soal tujuan pendidikan ia memiliki tujuan yang tinggi, karena
berhubungan erat dengan konsepnya tentang manusia. Oleh karena itu tidak
mengherankan kalau soal ini menempati tempat khusus dalam sistem
pemikiran dan pandangan filsafat tentang manusia. Menurutnya tujuan
pendidikan merupakan masalah pokok dari suatu sistem pendidikan karena
masalahnya menyangkut manusia yang bagaimana yang ingin dibentuk oleh
pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan harus sejalan dengan tujuan hidup
manusia. Kalau tujuan hidup manusia dijadikan Allah untuk beribadah (Q.S.
Al-Zariyat (51): 56), dan menjadi khalifah-Nya di bumi. (Q.S. Al-Baqarah (2):
30), maka usaha pendidikan dan pengajaran harus mengacu kepada
pembentukan manusia yang memiliki aspek ibadat dan siyadat atau nilai dan
ilmu. Dengan kata lain ia menegaskan tujuan pendidikan Islam itu untuk
mencapai dua kesempurnaan hidup manusia.11
Pertama, kesempurnaan manusia yang bertujuan untuk mendekatkan diri
kepada Allah (nilai ibadah). Kedua, kesempurnaan yang bertujuan untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (nilai ilmu atau siyadat). Dua tujuan
pendidikan ini tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya dan
keduanya harus dicapai sekaligus. Kesempurnaan yang pertama merupakan
pokok bagi tercapainya kesempurnaan yang kedua, sedangkan kesempurnaan
yang kedua merupakan pula tanda keberhasilan kesempurnaan yang pertama.
Tujuan pendidikan di atas masih perlu dijabarkan dalam tujuan umum dan
khusus dalam praktek pendidikan dan pengajaran.12

11
TK H. Ismail Yakub, Ihya Al-Ghazali, (Jakarta: Faizan, 1983), hlm 16
12
Ibid

7|SPI
Diantara tujuan umum pendidikan Islam menurut Al-Ghazali adalah:13
a. Membentuk akhlak mulia
b. Mendekatkan diri kepada Allah
c. Memperoleh ilmu
d. Mengembangkan fitrah
e. Menciptakan keseimbangan dalam diri
f. Mencari keridhaan Allah
g. Mewujudkan ketenangan dan ketentraman
h. Membiasakan diri untuk beramal soleh
i. Meningkatkan keimanan dan ketaatan kepada Allah
Sedangkan diantara tujuan khususnya adalah mendidik dan mengajar
orang agar pandai beribadat, berdoa, berdzikir, berbuat baik, menjauhkan diri
dari akhlak atau sifat tercela, dan bersikap dengan akhlak terpuji.

3. Metode Pendidikan
Pembicaraan mengenai tujuan pendidikan erat hubungannya dengan
metode pendidikan, karena metode merupakan cara atau jalan yang harus
ditempuh untuk bisa sampai kepada tujuan. Kalau pembicaraan tentang tujuan
banyak bersifat teori, maka pembicaraan tentang metode pada umumnya
banyak bersifat praktek.
Ada dua jenis metode yang dipergunakan Al-Ghazali dalam pendidikan
Islam, yaitu metode pembentukan kebiasaan dan metode tazkiyatu al-nafs.
Metode pertama ditekankan pemakaiannya pada pendidikan akhlak dan
pembinaan jiwa pada anak-anak. Sedangkan metode kedua ditekankan pada
pemakaiannya pada pendidikan akhlak dan pembinaan jiwa bagi orang dewasa.
Metode pembentukan kebiasaan ialah pembentukan kebiasaan yang baik dan
peninggalan kebiasaan yang buruk melalui bimbingan, latihan dan kerja keras.14

13
Ibid, hlm 17
14
AL-Ghazali, Op.Cit. hlm 105

8|SPI
BAB III
IMAM IBNU JAMA’AH

A. Riwayat Hidup Imam Ibnu Jama’ah

Nama lengkapnya adalah Badruddin Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Sa‟ad


Allah Ibn Jama‟ah Ibn Hazim Ibn Shakhr ibn Abd Allah al-Kinany. Ia lahir di
Hamwa, Mesir, tanggal 4 Rabi‟ul Akhir 639 H/1241 M., dan wafat pada tanggal
21 Jumadil Ula 733 H/1333 M., dimakamkan di Qirafah, Mesir. Dengan demikian
usianya 92 tahun 1 bulan 1 hari. Pendidikan awal yang diperoleh Ibn Jama‟ah
berasal dari ayahnya sendiri, Ibrahim Sa‟ad Allah ibn Jama‟ah (596-675 H.),
seorang ulama besar ahli Fiqih dan Sufi. Selain kepada ayahnya, Ibn Jama‟ah juga
berguru kepada sejumlah ulama. Ketika berada di Hammah ia berguru kepada Abi
al-Yasr, Ibn Abd Allah, Ibn al-Azraq, Ibn Ilaq ad-Dimasyqi. Selanjutnya ketika di
Kairo, ia berguru kepada Taqy ad-Din ibn Razim, Jamal ad-Din ibn Malik, Rasyid
al-Athar, Ibn Abi Umar, at-Taj al-Qasthalani, Al-Majd ibn Daqiq al-„Id, Ibn Abi
Musalamah, Masikki Ibn „Illan, Isma‟il al-Iraqi, Al-Musthafa, Al-Bazaraiy, dan
lain-lain.15
Hasil pendidikan dan pengembaraan dalam menuntut ilmu tersebut, Ibn
Jama‟ah kemudian menjadi seorang ahli hukum, ahli pendidikan, juru dakwah,
penyair, ahli tafsir, ahli hadits dan sejumlah keahlian dalam bidang lainnya.
Namun demikian Ibn Jama‟ah tampak lebih menonjol dan dikenal sebagai ahli
hukum, yakni sebagai hakim. Hal ini disebabkan karena dalam sebagian masa
hidupnya dihabiskan untuk melaksanakan tugasnya sebagai hakim di Syam dan
Mesir. Sedangkan profesinya sebagai pendidik, terjadi ketika ia bertugas mengajar
di beberapa lembaga pendidikan seperti di Qimyariyah, sebuah lembaga
pendidikan yang dibangun oleh Ibn Thulun di Damasyqus dalam waktu yang
cukup lama. Dilihat dari masa hidupnya.16

15
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-Press, 1985), hlm.
81
16
Ibid

9|SPI
Ibnu Jama‟ah hidup pada masa Dinasti Ayyubiyah dan Dinasti Mamluk.
Dinasti Ayyubiyah dengan pimpinannya Shalahuddin al-Ayyubi menggantikan
Dinasti Fatimiyah pada tahun 1174 M. Dinasti Ayyubiyah diketahui telah
membawa angin segar bagi pertumbuhan dan perkembangan paham Sunni,
terutama dalam bidang fiqih Syafi‟iyah. Sedangkan pada masa Dinasti Fatimiyah
yang dikembangkan adalah faham Syi‟ah.

Selanjutnya Dinasti Ayyubiyah ini jatuh ke tangan kekuasaan kaum Mamluk.


Mereka pada mulanya para budak yang mendapatkan perlakuan khusus dari
kalangan Ayyubiyah sehingga mendapat tempat di pemerintahan dan
menggantikan Dinasti Ayyubiyah. Sultan Mamluk yang pertama adalah Aybak
(1250-1257 M) dan yang terkenal adalah Sultan baybars (1260-1277 M.) yang
mampu mengalahkan Hulagu Khan di Ainun Jalut. Akhirnya kekuasaan kaum
Mamluk ini telah membawa pengaruh positif bagi kelangsungan Mesir dan Suria,
terutama dari serangan kaum Salib, serta mampu menahan serangan kaum
Mongol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk. Dengan usaha kaum
Mamluk itu, Mesir tidak mengalami kehancuran sebagaimana yang dialami negeri
Islam lainnya.17

Akhir hayat, beliau berkonsentrasi pada bidang hadits dan tasawuf. Orang-
orang datang belajar hadits dan meminta berkah darinya. Enam tahun buta dan
meninggalkan karir publik (Asari, 2008:35). Ibnu Jama‟ah wafat pada malam
Senin setelah Isya‟ tanggal 21 Jumadil Ula dalam usia 94 tahun. Beliau
disholatkan pada waktu pagi sebelum Dhuhur di Masjid Jami‟ al-Nashiriy Mesir.
Dikubur di daerah Qurafah. Jenazah beliau penuh dengan keagungan.

17
Ibid, hlm. 82

10 | S P I
B. Pemikiran tentang Pendidikan Ibnu Jama’ah
1. Konsep Etika dalam Pendidikan
Konsep yang dikemukakan oleh Ibn Jama‟ah secara keseluruhan
dituangkan dalam karyanya Tadzkirat as-Sami‟ wa al-Mutakallim fi Adab al-
Alim wa al-Muta‟allim. Di dalam buku tersebut Ibn Jama‟ah mengemukakan
sebagaian besar kajian kependidikannya berkaitan dengan etika. Diantara
konsep pendidikan Ibn Jama‟ah ini yang akan dibahas dalam paper ini yaitu
kajian tentang konsep Guru terutama mengenai etika guru, baik terhadap
dirinya sendiri, murid, dan pelajarannya termasuk proses pembelajarannya.
Menurut Ibn Jama‟ah bahwa ulama sebagai mikrokosmos manusia dan
secara umum dapat dijadikan sebagai tipologi makhluk terbaik (khair al-
bariyah). Atas dasar ini, maka derajat seorang alim berada setingkat di bawah
derajat Nabi. Hal ini didasarkan pada alasan karena para ulama adalah orang
yang paling takwa dan takut kepada Allah . Berdasarkan konsep tentang
seorang alim tersebut, Ibn Jama‟ah membawa konsep tentang guru ini dalam
rangka pemberdayaan peserta didik. Ibn Jama‟ah menawarkan sejumlah
kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan menjadi guru. Kriteria
pendidik tersebut meliputi enam hal. Pertama, menjaga akhlak selama
melaksanakan tugas pendidikan. Kedua, tidak menjadikan profesi guru sebagai
usaha untuk menutupi kebutuhan ekonominya. Ketiga, mengetahui situasi
sosial kemasyarakatan. Keempat, kasih sayang dan sabar. Kelima, adil dalam
memperlakukan peserta didik. Keenam, menolong dengan kemampuan yang
dimilikinya.18
Dalam kitab Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-
Muta’allim, Ibn Jama‟ah lebih rinci lagi menjelaskan konsep guru ini dalam
kaitannya dengan etika seorang guru, baik terhadap dirinya sendiri, maupun
terhadap muridnya, bahkan terhadap mata pelajaran termasuk etika dalam
proses belajar mengajar.

18
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000),
hlm 63

11 | S P I
2. Etika Guru
a. Etika Guru Terhadap Dirinya Sendiri (12 macam), yaitu :19
Pertama, seorang guru harus senantiasa menyadari keberadaan Allah
SWT baik dalam keadaan sendiri maupun bersama orang lain, dan takut
kepada-Nya di setiap gerak dan diam, ucapan serta perbuatan/tindakan.
Kedua, guru harus menjaga ilmu sebagaimana yang dilakukan oleh ulama
terdahulu serta mengamalkannya yang dapat menuntun menuju keagungan
dan kemuliaan. Ketiga, guru hendaknya bersikap zuhud terhadap kehidupan
dunia dan meminimalisir kebutuhan duniawi sehingga cukup untuk
memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Sebab kebutuhan yang
dipenuhi secara pas atau sekedarnya saja (tidak berlebih-lebihan) tidak
termasuk kategori kebutuhan duniawi yang dilarang. Keempat, pendidik
seharusnya tidak menyalahgunakan ilmu yang dimiliki sebagai perantara
untuk mencapai tujuan yang bersifat duniawi seperti untuk memperoleh
jabatan, harta, kesombongan diri, kemuliaan, pelayanan atau untuk menyaingi
orang lain. Kelima, seorang guru hendaknya menjaga diri dari profesi yang
bersifat rendahan dan hina atau yang tidak direkomendasikan baik oleh tradisi
masyarakat maupun agama, semisal profesi bekam dan menyamak kulit.
Keenam, seorang guru hendaknya senantiasa memelihara syiar-syiar dan
hukum-hukum Islam seperti mendirikan sholat di masjid secara berjamaah,
mengucap salam untuk orang tertentu maupun orang umum, memerintahkan
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ketujuh, seorang guru
hendaknya senantiasa memelihara untuk menunaikan ibadah-ibadah sunnah,
baik yang berupa tindakan maupun ucapan sebagai contoh senantiasa
memelihara melantukan Al-Qur‟an dan berdzikir kepada Allah baik dengan
dengan hati maupun lisan. Kedelapan, bersosialisasi dengan akhlaq yang
mulia terhadap masyarakat dengan cara memperlihatkan wajah yang berseri,
mengucapkan salam, berbagi makanan, menahan amarah dan tidak berbuat
jahat kepada mereka.

19
Asari Hasan, Etika Akademis Dalam Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm 47

12 | S P I
Kesembilan, membersihkan/mensucikan diri baik secara lahir maupun
batin dari akhlak tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
Akhlak tercela antara lain berupa tindakan iri, dengki, permusuhan dan marah
bukan karena Allah. Adapun akhlak terpuji antara lain senantiasa bertaubat,
ikhlas, taqwa, sabar, berprasangka baik, dan mensyukuri nikmat. Kesepuluh,
terus semangat untuk memperoleh ilmu lebih dengan senantiasa tekun, teguh
dan konsisten melantunkan ibadah wirid, sibuk dan menyibukkan diri untuk
belajar dan mengajar, mengkaji, mengutarakan pendapat dan memberikan
komentar, serta menghafalkan, menyusun dan meneliti. Kesebelas, tidak
gengsi atau malu untuk mengambil pengalaman dari orang yang posisinya
lebih rendah, baik secara pangkat, nasab maupun usia. Keduabelas, sibuk
untuk menyusun, mengumpulkan dan membuat buku dengan catatan ilmu
yang dimiliki telah mumpuni dan terhitung sebagai pakar di bidang tersebut.

b. Etika seorang guru dalam mengajar menurut Ibnu Jama’ah antara lain:20
1) Suci dari hadats dan kotoran
2) Menjernihkan hati dan pikiran (berdo’a ketika keluar dari rumah)
3) Harus duduk terlihat oleh semua yang hadir.
4) Memulai pelajaran dengan berdo’a terlebih dahulu.
5) Memprioritaskan pelajaran yang paling utama.
6) Tidak meninggikan suara melebihi yang dibutuhkan, dan tidak
merendahkannya hingga tidak memberikan manfaat yang sempurna.
7) Menjaga majelis dari kegaduhan.
8) Memberi tindakan bagi yang melanggar tata-tertib dalam proses belajar
mengajar.
9) Harus adil dalam menjawab, menjelaskan, dan menyimak pertanyaan yang
ditujukkan kepadanya sekalipun dari orang yang lebih kecil.
10) Menyenangi orang asing yang menghadiri majelisnya.
11) ketika menutup pelajaran hendaknya mengucapkan “wallahu a’lam”.
12) Harus menguasai bahan ajar yang akan disampaikan.

20
Ibid, hlm 48

13 | S P I
3. Etika Pelajar
Menurut Ibnu Jama’ah pelajar adalah orang yang belajar dalam kegiatan
belajar mengajar. Ibnu Jama’ajh dalam pemikiran pendidikannya tampaknya
sangat mengutamakan akhlak/etika yang haru dimiliki oleh para pelaksana
pendidikan. hal ini cukup wajar jika dikaitkan dengan kondisi sosial
masyarakat pada waktu itu secara umum yaitu kondisi masyarakat di luar
Mesir yang sedang mengalami kemunduran dan kemerosotan moral seiring
dengan mundur dan hancurnya pusat-pusat peradaban Islam, maka upaya
pembinaan dan penataan kembali moral para pelajar sebagai generasi yang
sangat dibutuhkan di masa berikutnya adalah menjadi sangat penting.
Pemikiran Ibnu Jama’ah tentang pelajar sangat terkait dengan pemikirannya
tentang ulama. Menurutnya pelajar yang baik adalah mereka yang memiliki
karakter sebagaimana ulama.21 Pelajar menurut Ibnu Jama’ah harus memiliki
etika sebagai berikut :
a. Etika Murid Terhadap Dirinya Sendiri, yaitu:22
1) Hendaknya siswa membersihkan hatinya dari segala macam kotoran, rasa
hasud, akidah yang buruk serta akhlak yang tercela.
2) Seorang murid harus mempunyai niat yang baik dalam menuntut ilmu
yaitu semata-mata karena ridho allah swt.
3) Seorang murid hendaknya memanfaatkan masa mudanya dan waktu-
waktunya untuk mencapai keberhasilan dalam menuntut ilmu dan tidak
terbujuk pada kebiasaan buruk yaitu menunda-nunda dan berkhayal atau
berangan-angan.
4) Seorang murid sebaiknya menerima apa yang ada padanya baik itu berupa
pakaian, makanan, dan lain sebagainya.
5) Seorang murid seyogianya memanage waktu antara siang dan malam.
Menggunakan dengan sungguh-sungguh umur yang dimilikinya untuk
belajar. Karena umur adalah hal yang tak ternilai harganya.

21
Safrodin Halimi, Etika Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Semarang: Walisongo Press,
2008), hlm 34
22
Ibid

14 | S P I
6) Salah satu kiat terbaik agar fokus belajar, mudah paham dan tidak bosan
adalah memakan makanan yang halal seperlunya saja
7) Hendaknya seorang murid bersifat wara‟ dalam segala hal. Mencari atau
memilih yang halal baik itu makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,
dan pada seluruh yang dia butuhkan.
8) Seorang murid hendaknya menyedikitkan makan yang dapat menjadikan
bodoh dan lemahnya panca indera seperti apel yang masam, kubis dan
minum cuka.
9) Seorang murid sebaiknya meminimalkan waktu tidur selagi tidak
berdampak buruk pada diri sendiri, akal, dan hatinya serta tidak
menambah alokasi waktu tidur lebih dari 8 jam (sepertiga waktu) dalam
sehari semalam.
10) Hendaknya seorang murid meninggalkan banyak pergaulan yang tidak
penting. Sebab meninggalkan hal tersebut sangat baik bagi murid apalagi
pada lawan jenis. Terlebih untuk orang-orang yang telalu banyak bermain,
bersenang-senang tanpa berpikir panjang karena bisa menjadi tabiat yang
buruk.

b. Etika Murid dalam Belajar sebagai berikut:23


1) Seorang murid hendaknya mengawali pembelajaran dengan menggunakan
kitab suci Al-Qur‟an yang lebih ditekankan untuk menghafalnya.
Bersungguh-sungguh dalam mendalami tafsir Al- Qur‟an dan segala ilmu
yang berkaitan dengannya.
2) Bagi pemula, hendaknya seorang murid jangan menyibukkan diri dengan
masalah yang terdapat dalam perbedaan pendapat ulama dahulu atau di
antara manusia.
3) Hendaknya seorang murid mentashih bacaannya (Al-Qur‟an) sebelum ia
menghafalnya baik gurunya yang mentashih ataupun lainnya yang sekiranya
dapat membantunya.

23
Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. (Jakarta: Rineka
Cipta, 2005), hlm 26

15 | S P I
4) Hendaknya seorang murid menyibukkan diri terhadap ilmu-ilmu hadits baik
yang berkaitan dengan sanadnya, rowinya, hukumnya, faidahnya,
bahasanya, maupun sejarahnya.
5) Kalau sudah bisa memahami yang sederhana dan menangkap maksud yang
terkandung di dalamnya silahkan pindah ke level berikutnya.
6) Hendaknya murid menghadiri halaqoh gurunya dalam hal pengajaran dan
pembacaan (Al-Qur‟an), bahkan semua majelisnya jika memungkinkan.
7) Ketika hadir dalam majelis gurunya, hendaknya seorang murid
mengucapkan salam kepada seluruh hadirin dengan suara yang bisa
didengar.
8) Seorang murid hendaknya bersikap sopan santun dengan seluruh yang hadir
di dalam majelis gurunya.
9) Seorang murid sebaiknya tidak malu untuk bertanya tentang sesuatu yang
menurutnya sulit/susah dan berusaha untuk memahaminya dengan pelan-
pelan dan hendaknya bertanya dengan adab yang baik.
10) Hendaknya seorang murid menunggu giliran untuk maju dengan tidak
mendahului yang lainnya, terkecuali mendapat ridha (izin) dari orang lain
tersebut.
11) Seorang murid seharusnya menjaga posisi duduk di depan gurunya seperti
penjabaran yang telah dijelaskan sebelumnya, berperilaku sopan santun
terhadapnya, mengeluarkan buku yang ia pelajari di hadapan guru dan
membawanya sendiri.
12) Apabila sampai pada gilirannya untuk membuka pelajaran dan sudah
meminta izin guru. Jika guru sudah memberikan izin, maka hendaknya
murid membuka pelajaran dengan membaca ta‟awudz, basmalah, tahmid,
dan shalawat kepada Nabi Muhammad saw berserta keluarga dan
sahabatnya. Kemudian berdoa untuk guru, kedua orangtua, diri sendiri, dan
seluruh umat Islam.
13) Hendaknya para murid mendorong semangat temannya dalam menuntut
ilmu, membantu menghilangkan keraguan dan kemalasan, serta senang hati
membagi pengetahuan yang diperoleh.

16 | S P I
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dipaparan dalam paper ini dapat diambil
kesimpulan bahwa Imam Al-Ghazali merupakan ulama sufi yang terfokus pada
bidang pendidikan sebab beliau memiliki konsep dan teori seputar pendidikan
yang meliputi konsep manusia, jiwa, dan juga kegiatan belajar mengajar. Konsep
pendidikan beliau berisikan nilai-nilai sebagai petunjuk untuk setiap manusia
untuk bisa membuat iklim pendidikan yang ideal menurut Al-Qur’an dan Hadist
agar tercetaknya generasi muda atau para penuntut ilmu yang memiliki kualitas
dan kuantitas yang tinggi sehingga mampu melakukan inovasi dan perubahan
yang berdampak baik pada kehidupan bermasyarakat. Sedangkan Imam Ibnu
Jama’ah memiliki konsep pendidikan sendiri yakni terfokus pada etika dan adab
bagi guru dan juga murid dalam kegiatan belajar mengajar agar dapat terciptanya
suasana pembelajaran yang nyaman dan berhasil. Dalam teori pendidikan Ibnu
Jama’ah ditekankan agar guru dan murid bisa saling bersinergi dalam
menciptakan suasana belajar yang kondusif .

B. Saran
Dalam rangka menciptakan kegiatan belajar-mengajar yang kondusif ada
beberapa catatan penting yang harus diperhatikan oleh guru dan murid. Antara
lain:
1. Bagi guru, hendaknya senantiasa menyayangi muridnya dengan belaian kasih
sayang yang tulus, bersikap yang adil dengan tidak mengistimewakan salah
satu muridnya, senantiasa memotivasi dan membantu murid yang mengalami
kesulitan dalam belajar.
2. Bagi Murid, hendaknya menghormati guru dengan cara mendengarkan apa
yang disampaikan olehnya dalam setiap pembelajaran, jangan sampai membuat
kegaduhan dalam proses pembelajaran karena itu dapat menyakiti perasaan
beliau.

17 | S P I

Anda mungkin juga menyukai