Anda di halaman 1dari 52

Menetapkan Hukum Dengan Ijma’ dan

Ijtihad Kolektif Serta Penerapannya Dalam


Ekonomi Islam
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqih/Ushul Fiqihy
Dosen Pengampuh : Drs. Ismail Puhi, M.A

DISUSUN
Kelompok 6
SEMESTER 1-A Ekonomi Syari’ah
1. Wahyu Firmansyah Palowa (204012029)
2. Desitasari (204012051)
3. Ria Listiawati Alinti (204012005)
4. Siti Nuralifa F. Miolo (204012013)
5. Paramita Kobandha (204012047)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
GORONTALO
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT,


karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah
yang berjudul “Menetapkan Hukum Dengan Ijma’ dan Ijtihad Kolektif Serta
Penerapannya Dalam Ekonomi Islam “
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula
penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Bapak Drs. Ismail Puhi, M.A
Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada
penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah sebagai
sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan
semua pembaca pada umumnya.

Gorontalo November 2020

Penulis
Kelompok (enam)
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................4
Pendahuluan.......................................................................................................................4
A. Latar Belakang......................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................8
BAB II...............................................................................................................................9
PEMBAHASAN................................................................................................................9
A. Ijtihad Kolektif Serta Penerapannya DalamEkonomi Islam...............................9
1. Pengertian Ijtihad Kolektif.................................................................................9
2. Kaidah-kaidah Umum Ijtihad Kolektif..........................................................15
3. Bentuk-bentuk Ijtihad Kolektif......................................................................16
4. Ijtihad Kolektif dan Ijma’ Modern....................................................................21
B. Ijma' Serta Penerapannya Dalam Ekonomi Islam.................................................25
1. Pengertian Ijma’...............................................................................................25
2. Kaidah, Rukun, Syarat dan Macam-macam Ijma>'........................................27
BAB III............................................................................................................................47
PENUTUP........................................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................49
BAB I

Pendahuluan
A. Latar Belakang

Hukum Islam mengandung semua kemaslahatan manusia, baik


kemaslahatan dunia maupun akhirat, kemaslahatan individu maupun
kelompok. Ia tidak hanya mengatur kemaslahatan dunia dan
mengabaikan kemaslahatan akhirat, atau hanya memperhatikan
kemaslahatan akhirat dan meninggalkan kemaslahatan dunia. Tidak
hanya mendahulukan kemaslahatan individu dan menomorduakan
kemaslahatan kelompok, melainkan ia meniti jalan keseimbangan
antara keduanya, memadukan dua kemaslahatan ini agar berjalan
secara imbang dan paralel. Kepastian terwujudnya kemaslahatan
manusia di dunia pada hakekatnya adalah upaya meretas jalan
terwujudnya kemaslahatan manusia di akhirat. Karena kemaslahatan
dan kemafsadatan dapat dianggap bila dapat menjadikan kehidupan
dunia sebagai pengantar kehidupan akhirat, dan bukan untuk
pemenuhan hawa nafsu belaka 1(Al-Syathibi, 1973: 2/25).

Kemaslahatan manusia ini diatur sedemikian rupa lewat piranti


hukum dan dalil-dalilnya. Salah satu upaya pemeliharaan
kemaslahatan ini adalah dengan memperhatikan kondisi yang
melingkupi seorang manusia ketika terjadi pembentukan hukum.
Perubahan waktu, pertukaran tempat, perbedaan adat istiadat menjadi
faktor yang signifikan dalam perubahan sebuah produk hukum. Hal
ini mengajarkan kita untuk selalu membuka pintu ijtihad, sehingga
proses pengadopsian kemaslahatan manusia dapat terus berjalan
dalam pembentukan produk hukum.

Ijtihad para ulama dalam hukum syara’ terkait dengan pencapaian


kemaslahatan manusia dapat berbentuk sebagai berikut :

1
Al-Syathibi, 1973: 2/25
1. Faham akan maksud syara’ secara sempurna,
2. Mampu menarik hukum berdasarkan pemahamannya
tersebut2(Al-Syathibi, 1973: 4/105- 106)

Dari sini, seorang mujtahid harus mampu memahami


penunjukkan lafadz yang ada dalam al- Quran dan Sunnah, baik dari
segi bahasa maupun penggunaan syara’. Setelah memahaminya dari
segi bahasa maupun penggunaan syara’, ia harus memverifikasi
apakah ada dalil lain yang kontradiksi dengan dalil pertama, sehingga
yakin bahwa tidak ada dalil lain yang menasakh (menghapus hukum),
mentaqyid (membatasi) atau mentakhshish (mengkhususkan). Jika
diyakini tidak ada dalil lain yang kontradiksi, maka ia dapat langsung
menggunakannya. Tetapi jika ditemukan dalil lain yang kontradiktif,
maka ia harus mencari jalan agar dapat menggunakan keduanya
bersamaan atau kalau tidak memungkinkan, maka ia harus melakukan
pentarjihan (mencari yang lebih kuat) salah satu dalil yang ada.

Selain itu, ia juga harus melakukan analogi ( qiyas ) atas hukum


yang belum ada dalil syara’nya dengan hukum yang telah mempunyai
kekuatan syara’, setelah melakukan kajian panjang dan teliti tentang
illat yang dapat menggabungkan keduanya. Di samping juga
memberikan nilai hukum atas sebuah perbuatan atau peristiwa yang
terjadi di kalangan manusia dan belum diketahui hukumnya lewat
dalil-dalil syara’ ataupun belum diketemukan padanannya dalam
qiyas.

Metodologi fiqh klasik juga membatasi ranah ijtihad hanya pada


3
(Az-Zuhaily, 1998: 2/108):

1. Hukum yang bersumber pada nash yang dzanniyyu ats-tsubut wa


ad-dilalah, atau yang dzanni salah satunya. Jika nash syara’nya
dzanniyyu ats-tsubut maka yang menjadi obyek ijtihad adalah

2
Al-Syathibi, 1973: 4/105- 106
3
Az-Zuhaily, 1998: 2/108
tentang rangkaian sanad dan tingkat keadilan dan ketepatan
perawi. Berdasarkan ini maka para mujtahid berbeda pendapat
tentang kualitas sebuah dalil. Sebagian mereka mengambilnya
sebagai dalil karena merasa yakin dengan kekuatannya.
Sebagian yang lain tidak menjadikannya sebagai dalil karena
dirasa tidak terlalu kuat sebagai hujjah. Perbedaan sikap ini
membuahkan perbedaan pendapat para mujtahid dalam
kebanyakan hukum fikih praktis. Sementara jika nash syara’nya
dzanniyyu ad-dilalah maka yang menjadi obyek ijtihad adalah
upaya mengetahui makna yang dimaksud nash. Nash syara’
kadang berbentuk umum, mutlak, perintah dan larangan. Bisa
saja sebuah nash tetap dalam keumumannya dan dapat pula
ditakhshish sebagian keumumannya tersebut. Kalimat perintah
dapat berarti menunjukkan kewajiban, dapat pula
menunjukkan sunnah dan mubah.
2. Ijtihad juga terjadi pada peristiwa yang belum ada hukumnya
dalam nash dan belum ada ketetapan ijma’ tentangnya. Maka
yang menjadi obyek ijtihad adalah pencarian hukumnya
dengan menggunakan dalil akal seperti qiyas, istihsan, maslahah
mursalah, urf, istishhab atau dalil-dalil yang masih
diperselisihkan kehujjahannya. Ini merupakan area yang
sangat luas bagi munculnya perbedaan pendapat di kalangan
ulama.

Ijtihad dimungkinkan untuk dilakukan pada dua ranah di atas.


Sedangkan dalam hukum- hukum yang sudah qath’i, karena ditetapkan
berdasarkan dalil yang qath’i baik tsubut maupun dilalahnya, tidak
diperbolehkan melakukan ijtihad atasnya. Begitupun terhadap hukum-
hukum agama yang telah diketahui secara keniscayaan, seperti
kewajiban shalat lima waktu, puasa, zakat dan seterusnya.

Bila dikaitkan dengan kekinian, di mana banyak muncul


persoalan-persoalan baru yang membutuhkan kontribusi cabang
keilmuan lain untuk menjawabnya, bukan hanya dari sudut pandang
agama, maka sangat perlu kiranya membuka ijtihad dengan bentuk
lain, ijtihad jama’iy (kolektif). Perkembangan ilmu umum modern
terkait erat dengan proses istinbath fikih. Ilmu umum modern sangat
mungkin memberikan batasan pada sebagian masalah yang masih
menjadi perselisihan dan perbedaan pendapat. Seperti halnya kita
meminjam sudut pandang ilmu umum modern dalam masalah
istihalah (perubahan bentuk). Ketika kita dihadapkan pada
munculnya produk-produk baru seperti jelatin, sabun dan lain-lain
yang dibuat dengan proses kimiawi, di mana materi dasarnya berasal
dari barang yang haram, akan tetapi sekarang kita ragu apakah benar
produk tersebut telah melewati fase istihalah? Apakah proses
kimiawi telah mengantarkannya pada istihalah atau tidak? Begitupun
kasus menopause bagi seorang perempuan, bisa dilacak dengan ilmu
umum modern masa kini. Pelbagai penelusuran ilmiah pada masalah
ini dapat memperkuat sebagian hadis, atau mengharuskan ta’ammul
pada sebagian yang lain, ketika ilmu umum modern berbicara bahwa
menopause terjadi pada umur tertentu misalkan, sedangkan hadis
berbicara bahwa menopause terjadi pada batasan umur yang lain.
Seorang ahli fikih pun dapat memanfaatkan penemuan ilmiah untuk
menjawab permasalahan-permasalahan dalam hal ini 4 (Al-Rifa’iy,
2000: 39-40).

Terlebih masa kini penuh dengan pelbagai perubahan, tantangan


dan kasus-kasus kontemporer, hingga mendorong beberapa ilmuwan
dan pemikir modern seperti Turabi dan Qaradhawi bersemangat
mengajak pada pentingnya mereview syarat-syarat kelaikan
berijtihad, dan berkesimpulan bahwa penting menjadikan ilmu umum
dan sosial sebagai salah satu bahan berijtihad di masa kini 5(Sano,

4
Al-Rifa’iy, 2000: 39-40
5
Sano, 2000: 93-95
2000: 93-95).

Maka bisa dikatakan bahwa bersatunya individu-individu yang


mempunyai kelaikan berijtihad secara kolektif demi mencapai hukum
yang diingini Allah atau demi menjawab kenyataan hidup sesuai
arahan syara’ adalah sebuah kewajiban yang akan mendapat pahala
karena melaksanakannya dan akan dikenai hukuman bila
meninggalkannya tanpa alasan (Sano, 2006: 126).

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Ijtihad dan bagaimana penerapannya dalam ekonomi
islam?
2. Apa itu Ijma’ dan bagaimana penerapannya dalam ekonomi islam?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ijtihad Kolektif

1. Pengertian Ijtihad Kolektif

Bila kita kembali kepada kamus-kamus bahasa, akan kita dapati


pengertian dan makna yang sama dari kata ijtihad. Mereka sepakat
bahwa kata ijtihad merupakan ifti’al dari kata al-juhdu yang
bermakna ath-thaqah (kekuatan), al-wus’u (kemampuan) dan al-
masyaqqah (kesulitan). Maka menurut ulama bahasa ijtihad bermakna
mengerahkan segenap kemampuan untuk memutuskan perkara
dengan cara yang sulit dan penuh kepayahan (Mandhur, 1999: 2/397).

Sedangkan makna ijtihad menurut istilah, kebanyakan ulama


sepakat memaknainya sebagai usaha keras ahli fikih. Misalnya definisi
yang diberikan oleh Ibnu al-Hajib : Ijtihad adalah upaya keras
seorang ahli fikih dalam mengeluarkan segenap kemampuannya
untuk mendapatkan hukum syar’i yang dzanni6 (Al-Hajib, 1985: 43).
Dalam ungkapan lain yang dikemukakan oleh Ibnu al-Hammam
dikatakan : ijtihad adalah pengerahan kemampuan seorang ahli fikih
untuk mendapatkan hukum syar’i yang dzanny7 (Al-Hammam, 1983:
4/178). Maka ijtihad dalam pengertian ini berarti pengerahan
kemampuan semaksimal mungkin, sehingga ahli fikih merasa sudah
tidak dapat lagi berupaya yang lain selain yang ia tetapkan saat itu,
karena apa yang ia tetapkan merupakan buah hasil usaha
maksimalnya dalam menggunakan semua kemampuan yang ada
dalam dirinya.

Kita perhatikan para ahli ushul sepakat memaknai ijtihad sebagai


6
Al-Hajib, 1985: 43
7
Al-Hammam, 1983: 4/178
upaya keras seorang ahli fikih, bahkan Imam asy-Syaukani
mengatakan sebuah keharusan untuk menambahkan lafadz al- fakih
dalam definisi ijtihad, karena pengerahan kemampuan yang dilakukan
oleh selain ahli fikih tidak dinamakan ijtihad secara istilah 8(Al-
Syawkaniy, 1992: 296).

Ibnu al-Hammam juga menegaskan bahwa meniadakan kata al-


faqih dalam definisi tersebut karena adanya hubungan kemestian
antara faqih dan ijtihad adalah sebuah kelalaian9 (Al-Hammam, 1983:
4/179).

Meskipun Ibnu al-Hajib, Ibnu al-Hammam dan asy-Syaukani


berpendapat bahwa ijtihad dibatasi pada pengerahan kemampuan
seorang ahli fikih, namun kita dapati sebagian ulama ushul yang lain
memaknai ijtihad tidak hanya sebatas itu. Mereka mengartikan ijtihad
pada sejauh mana kemampuan yang dimiliki seseorang, baik ia ahli
bahasa, ahli fikih, ahli hadis ataupun ahli ilmu kalam. Karenanya
mereka mendefinisikan ijtihad sebagai : “Kemampuan yang
dipergunakan untuk mengeluarkan hukum fara’ dari dalil-dalilnya
yang terperinci” 10(Al-‘Ubady, t.t.: 4/245).

Imam az-Zarkasyi mendefinisikannya sebagai berikut : “Kemampuan


yang dipergunakan untuk mendapatkan hukum dari tempatnya”11 (Az-
Zarkasyi, 1992: 6/199).

Begitupun Ibnu Hazm telah mendefinisikan ijtihad tanpa


melekatkan kata al-fakih. Dalam kitabnya al-Ihkam ia berkata : “Ijtihad
adalah pengerahan kemampuan atas hukum sebuah peristiwa dimana
hukum tersebut sebenarnya sudah ada” 12(Hazmin, 1997: 2/440). Ia
mengatakan bahwa sebenarnya ijtihad mengeluarkan hukum yang
sudah ada, karena seluruh hukum syara’ diyakini telah dijelaskan oleh
8
Al-Syawkaniy, 1992: 296
9
Al-Hammam, 1983: 4/179
10
Al-‘Ubady, t.t.: 4/245
11
Az-Zarkasyi, 1992: 6/199
12
Hazmin, 1997: 2/440
Allah Ta’ala tanpa ada perselisihan akan hal ini, dan keberadaannya
ini diketahui oleh kebanyakan ulama, meskipun sebagian manusia
tidak dapat mengetahuinya” 13(Hazmin, 1997: 2/440).

Sebagian ulama bahkan menyamakan ijtihad dengan qiyas, misalnya


yang dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i : “Ditanyakan : Apakah itu Qiyas?
Apakah ia sama dengan ijtihad? Ataukah keduanya berbeda?, Aku
menjawab : Dua nama tetapi memiliki satu arti” (Asy-Syafi’iy, 1999/255).
Sedangkan qiyas yang disamakan dengan ijtihad menurut Imam asy-Syafi’i
adalah : “Sesuatu yang dicari berdasarkan dalil-dalil yang sesuai dengan
apa yang terdapat dalam al-Quran dan hadis, karena keduanya ilmu yang
benar yang harus dicari...dan kesesuaiannya terdapat pada dua hal :
pertama, Allah dan Rasulnya telah mengharamkan atau menghalalkan
sesuatu dalam nashnya berdasarkan sebuah makna, kalau kita temukan
makna tersebut pada sebuah peristiwa yang tidak ada nashnya dalam al-
Quran maupun hadis, maka kita tetapkan keharaman atau kehalalannya,
karena peristiwa tersebut mengandung makna halal atau haram seperti
yang ada dalam nash..., kedua, kita menemukan sebuah permasalahan yang
mirip dengan hukum nash dan hukum yang bukan dari nash, dan kita tidak
dapati sesuatu yang paling mirip dari keduanya, maka kita lekatkan
permasalahan tersebut dengan hukum yang layak untuk digandengkan...”
14
(Asy-Syafi’iy, 1999: 47)

Maka ijtihad berdasarkan gambaran di atas sama dengan qiyas,


sebagaimana yang dipertegas oleh ar-Razy sebagaimana dinukil oleh az-
Zarkasyi dalam kitabnya al-Bahr al-Muhith :

“Nama Ijtihad dalam pengertian syara’ mengandung tiga makna :


pertama, qiyas syar’i, karena ‘illat ketika tidak menjadi penyebab hukum
karena bisa jadi keberadaan ‘illat kosong dari hukum, maka ilmu tentang
illat itu tidak sampai pada apa yang dipinta, karenanya jalan ke sana harus
dengan ijtihad. Kedua, sesuatu yang menguasai sebagian besar dzan tanpa
13
Hazmin, 1997: 2/440
14
Asy-Syafi’iy, 1999: 47
‘illat, seperti ijtihad tentang air,

qiblat, penaksiran nilai barang-barang yang rusak, mahar mitsil,


mut’ah, nafkah dan lain-lain. Ketiga, istidlal dengan ushul...”15 (Az-
Zarkasyi, 1992: 197-198)

Bila menilik perbedaan cara pendefinisian ijtihad di atas, kita dapat


menyimpulkan bahwa perbedaan dan beraneka ragamnya definisi menjadi
penegas terbukanya kemungkinan revisi atas definisi ijtihad klasik, atau
bahkan ditambahkan unsur-unsur baru dalam definisi ijtihad yang lebih
relevan untuk zaman sekarang. Bahkan suatu hal yang sangat kontradiktif
dengan fleksibilitas (murunah) Islam bila hanya terpaku pada definisi-
definisi klasik tanpa memperhatikan perubahan yang terjadi di masa kini.

Karenanya di antara pemikir kontemporer ada yang mendefinisikan


ijtihad yang disesuaikan dengan perubahan zaman sekarang dengan :
“Ijtihad adalah pekerjaan ilmiah yang sistematis yang dilakukan
seseorang yang memiliki kemampuan dasar-dasar ilmiah dan saintis
yang spesifik pada waktu tertentu dengan tujuan sampai kepada maksud
Allah dalam wahyuNya dalam sebuah permasalahan, dan bermaksud
sampai pada pemahaman yang tajam atas kenyataan hidup manusia,
sehingga wahyu Allah tersambung dengan kenyataan hidup manusia,
dan kenyataan hidup manusia berjalan selaras dengan ketentuan-
ketentuan wahyu dan arahan-arahannya, maka wahyu berlaku atas
kejadian sesungguhnya, dan kenyataan berjalan sesuai ketentuan
wahyu” (Sano, 2000: 19). Sano– pemilik definisi di atas— menegaskan
bahwa perubahan definisi di atas sebagai sebuah upaya melihat hakikat
proses ijtihad yang dianggap sebagai pemikiran yang paling tinggi, dan
pelakunya harus memiliki kemampuan pemikiran dan kecerdasan yang
lurus. Begitupun, faktor-faktor yang menolong seseorang mampu
melakukan proses ini dianggap sebagai faktor yang dapat berubah sesuai
dengan perubahan masa dan tempat, dan terpengaruh dengan nuansa

15
Az- Zarkasyi, 1992: 197-198
pengetahuan dan keunikan tantangan yang ada di masa pelaku ijtihad
itu hidup. Sehingga sangat perlu untuk meninjau ulang secara terus
menerus faktor-faktor ini hingga tepat dan sesuai dengan nuansa
pengetahuan dan kondisi pemikiran yang berkembang (Sano, 2006: 25).

Perlu ditegaskan, teori ijtihad yang diharapkan haruslah


mengakomodir dua tujuan utama, yaitu: pertama, sampai kepada
maksud Allah yang tersimpan dalam kasus-kasus dan permasalahan
yang berbeda-beda. Kedua, sampai pada implementasi maksud Allah
terhadap kenyataan individu dan kelompok. Ini dapat dilakukan
setelah memahami kenyataan dengan pemahaman yang mapan sesuai
dengan pemahaman wahyu (Sano, 2006: 25)

Ijtihad ada dua macam, ijtihad individu dan ijtihad jama’iy (kolektif).
Definisi-definisi yang sering dikemukakan para ahli ushul biasanya
berkisar pada ijtihad individu, hingga sangat sulit menemukan definisi
ijtihad kolektif dalam buku-buku ushul fikih klasik. Tetapi bukan berarti
ijtihad kolektif dengan makna aktifitas pemikiran yang dilakukan orang
yang punya kelaikan berijtihad pada satu kurun waktu, tidak ada dan
tidak dikenal mereka. Dengan bukti seperti adanya definisi ijma’
menurut ahli usul fikih yang bermakna : “kesepakatan seluruh mujtahid
pada satu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum ijtihadi
yang mempunyai sandaran syar’i” (Az-Zarkasyi, 1992: 3/486).

Dengan memperhatikan konsep ijma’ sebagai salah satu hasil dari


proses musyawarah dan dialog antara ulama yang memiliki kelaikan
berijtihad pada satu masa atas suatu perkara atau kasus, menunjukkan
kepada kita bahwa pemahaman ijtihad kolektif sudah ada dalam
benak ahli ushul fikih, karena tidak mungkin terjadi ijma’ tanpa
adanya ijtihad kolektif. Maka ijtihad kolektif merupakan pendahuluan
yang harus ada bagi terwujudnya ijma’. Dapat dikatakan semua ijma’
menghendaki adanya ijtihad kolektif, tetapi tidak semua ijtihad
kolektif menghasilkan ijma’. Karena orang-orang yang melakukan
proses konsensus bisa jadi bersepakat semua maka lahirlah ijma’ asli.
Sebagaimana konsensus bisa juga dicapai secara berselisih maka
lahirlah satu bentuk ijma’ yang lain yaitu kesepakatan mayoritas
(Sano, 2006: 27).

Berdasarkan ini, maka dapat dikatakan ijtihad kolektif tidak memiliki


arti harfi’ dalam buku- buku klasik, tetapi secara maknawi sudah tersirat
dalam setiap pembahasan tentang ijma’.

Sedangkan sebagian kecil ulama kontemporer sudah mulai


mendefinisikan ijtihad kolektif, diantaranya definisi yang diberikan Dr.
Taufik asy-Syawi bahwa ijtihad kolektif adalah : “Proses pembahasan dan
instinbath hukum oleh sekumpulan ulama, para pakar dan spesialist, baik
dengan jalan perundingan jarak jauh atau dalam satu majlis dimana mereka
bermusyawarah dan tukar pikiran hingga sampai pada pendapat yang
mereka sepakati, atau yang mayoritas dari mereka memilihnya, keputusan
mereka dihasilkan lewat permusyawaratan akan tetapi dalam bentuk fatwa”
(Asy-Syawi, 1992: 242).

Abdul Majid as-Sausah mendefinisikannya dengan: “Upaya keras


kebanyakan ahli fikih untuk mendapatkan hukum syara’ yang dhanni dengan
jalan istinbath, dan semua mereka atau kebanyakan mereka sepakat atas
sebuah hukum setelah musyawarah” (Al-Sausah, 1998: 46).

Definisi lain dari ijtihad kolektif dilontarkan oleh Syekh Yusuf al-
Qaradhawi, yaitu : “Permusyawarahan ahli ilmu dalam masalah yang
diajukan, khususnya yang memiliki karakteristik umum dan bermakna
penting bagi kebanyakan manusia” (Al-Qaradhawi, 1985: 182).

Berangkat dari definisi di atas menunjukkan bahwa ijtihad


kolektif adalah aktifitas ilmiah yang sistematis dan terarah yang
dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kemampuan
berijtihad pada satu masa, demi sampai kepada maksud Allah pada
sebuah perkara yang memiliki karakteristik umum yang menyentuh
kehidupan penduduk sebuah negara, regional atau umat, atau demi
sampai kepada aplikasi maksud Allah yang benar atas kenyataan
hidup masyarakat, negara dan umat.

2. Kaidah-kaidah Umum Ijtihad Kolektif

Ijtihad kolektif pada masa kini bersandar pada kaidah-kaidah


umum sebagai berikut (Sano, 2006: 43-52):

1. Ijtihad kolektif sebuah pemikiran dan praktik yang sistematis.

Ijtihad kolektif bukanlah pengerahan kemampuan yang tidak


sistematis dan tidak terarah, melainkan ia sebuah aktifitas
keilmuan yang sistematis, terarah dan seimbang antara akal
dan nash pada satu sisi, dan antara akal dan kenyataan yang
hidup pada sisi yang lain. Ini merupakan usaha menciptakan
keterhubungan dan keterikatan antara nash, akal dan
kenyataan, demi mencapai terwujudnya maksud Allah pada
kenyataan hidup manusia.
2. Ijtihad kolektif sebuah pemikiran yang lahir dari ahli ijtihad.

Ijtihad kolektif harus berasal dari orang-orang yang memiliki


kemampuan berijtihad dan tidak boleh dilakukan oleh orang
yang tidak memiliki kemampuan berijtihad dan tidak
menguasai tatacaranya.
3. Ijtihad kolektif memiliki ruang lingkup dan permasalahan yang
khusus.

Ijtihad kolektif membahas permasalahan yang menyangkut


kehidupan masyarakat umum, dibutuhkan jawabannya bagi
masyarakat negara, regional ataupun umat secara keseluruhan.
Konsekwensi dari kaidah ini hendaknya ijtihad individu tidak
merambah permasalahan yang menyangkut kehidupan umum demi
menjaga keteraturan umat, keberlangsungan harmonisasi masyarakat
dan menjauhinya dari perbedaan, perpecahan dan perselisihan.
4. Ijtihad kolektif memiliki dua tujuan dasar :
a. Mencapai maksud Allah pada setiap kasus, masalah dan
peristiwa, baik yang berupa pemikiran, sosial, ekonomi
dan politik yang menyentuh kehidupan anggota
masyarakat, atau penduduk negara atau umat Islam secara
keseluruhan.
b. Sampai kepada implementasi maksud Allah yang benar atas
peristiwa-peristiwa yang dicarikan jawabannya lewat ijtihad
kolektif.
5. Sarana yang menuju ijtihad kolektif itu bersifat lentur dan terus
berkembang.
Sarana pertemuan para ahli ijtihad mengalami banyak
perubahan, apalagi para ahli ini berdiam di berbagai negara
yang berjauhan, maka membatasi satu sarana pertemuan saja
akan sangat tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Sarana untuk
bermusyawarah bisa dengan pembentukan majlis, pendirian
majma’, menyelenggarakan seminar (nadwah), muktamar,
atau korespondensi (murasalat) dengan surat atau email.
6. Ijtihad kolektif dituntut pada setiap permasalahan umum yang
ada nashnya dan tidak ada nashnya.
Ijtihad kolektif harus membahas dan mengkaji seluruh nash
yang dzanni dilalah dan tsubut atau nash yang dzanni dilalah
saja selama nash tersebut mengandung permasalahan yang
menyangkut kepentingan umum.

3. Bentuk-bentuk Ijtihad Kolektif

Para ahli ijtihad (mujtahid) dan lembaganya (mujtama’) berbeda


karena perbedaan geografi, kebudayaan, politik, ekonomi, dan sosial.
Karenanya penting untuk memetakan ijtihad kolektif berdasarkan
geografi, karena dengan adanya perbedaan geografi akan timbul
pengaruh kebudayaan, adat dan tradisi yang berbeda pula terhadap
permasalahan baru dan bersifat umum.

Pada masa kini ijtihad kolektif dibagi pada tiga bentuk :

1. Ijtihad kolektif bersifat nasional;


2. Ijtihad kolektif bersifat regional;
3. Ijtihad kolektif bersifat internasional.

Masyarakat pada saat ini bersatu berdasarkan letak geografinya


dalam bentuk negara, regional dan internasional. Setiap negara
memiliki karakteristik sendiri, adat dan kebiasaan, begitupun setiap
regional ataupun masyarakat dunia. Permasalahan yang muncul pun
kadangkala berbeda antara tingkat nasional, regional dan
internasional. Maka sangat penting membagi ijtihad kolektif pada tiga
bentuk di atas dengan penjelasan sebagai berikut.

a. Ijtihad Kolektif Bersifat Nasional

Ijtihad kolektif bersifat nasional adalah “Aktifitas ilmiah yang sistematis


dan terarah yang dilakukan para ahli ijtihad sebuah negara, demi mencapai
maksud Allah pada setiap permasalahan yang menyentuh kehidupan
masyarakat umum di negara tersebut, atau demi mencapai implementasi
maksud Allah yang tepat terhadap peristiwa yang dialami
masyarakat.”(Sano, 2006: 65).

Memperhatikan definisi di atas, maka terlihat bahwa ijtihad


kolektif bersifat nasional juga mengandung kaidah-kaidah umum
ijtihad kolektif yang tersebut di atas. Hanya saja negara memiliki
karakteristik tersendiri, maka perlu ditambahkan kaidah lain untuk
ijtihad kolektif bersifat nasional ini, yaitu :

Keharusan bergabungnya semua ahli ijtihad di negara tersebut


haqiqatan (de facto) atau hukman (de jure), berdasarkan ini
maka tidak dapat disebut ijtihad kolektif bila tidak semua ahli
ijtihad negara tersebut bergabung dalam proses penggalian
(istinbath) hukum dan bila tidak semua ahli ijtihad diberikan
kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya baik secara
langsung maupun tidak;
a. Membatasi hanya pada ahli ijtihad negara tersebut tanpa
keterlibatan ahli ijtihad negara lain, karena ahli ijtihad negara
setempat lebih tahu keadaan negara dan masyarakatnya, maka
tidak bijaksana bila meminta pihak luar memutuskan hukum
permasalahan negara tersebut;
b. Keharusan menghubungkan permasalahan yang muncul
dengan kehidupan seluruh warga negara atau mayoritasnya.
Memisahkan permasalahan dengan kenyataan hidup
masyarakat negara setempat akan menimbulkan perbedaan
pendapat yang akan berujung pada perpecahan (Sano, 2006:
66-69).

Interaksi antara pemikir hukum Islam dengan lingkungan sosio-


kultural atau sosio-politik yang mengitarinya merupakan sebuah
pendekatan yang tepat dalam pembentukan produk hukum Islam.
Pendekatan ini penting karena dua hal :

Pertama, untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu


pada tempat yang seharusnya, dan kedua, untuk memberikan
tambahan keberanian kepada para pemikir hukum Islam sekarang
agar tidak ragu-ragu –bila merasa perlu-melakukan perubahan suatu
produk pemikiran hukum karena sejarah telah membuktikan, bahwa
umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukannya, tanpa
sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam (Mudzhar, 2000: 105).

b. Ijtihad Kolektif Bersifat Regional

Yang dimaksud regional adalah kumpulan beberapa negara yang


berdekatan yang memiliki kesamaan adat istiadat dan budaya. Ijtihad
kolektif bersifat regional adalah : “Aktifitas ilmiah yang sistematis dan
terarah yang dilakukan oleh para ahli ijtihad yang diutus oleh masing-
masing negaranya, demi mencapai maksud Allah pada masalah-masalah
yang menyentuh kehidupan orang-orang yang hidup di negara-negara
tersebut, atau demi aplikasi maksud Allah yang tepat terhadap kenyataan
hidup mereka” (Sano, 2006: 75)

Kaidah-kaidah umum ijtihad kolektif juga berlaku pada ijtihad


kolektif regional, hanya saja ada karakteristik tersendiri bagi ijtihad
ini yaitu :

a. Anggota ijtihad kolektif ini terdiri dari para ahli ijtihad yang
diutus dari negara-negara yang berada di regional tersebut.
Karakteristik ini menimbulkan konsekwensi keharusan adanya
majma’ fiqh pada tingkat negara yang selanjutnya pada saat yang
bersamaan juga mengharuskan adanya majma’ fiqh di tingkat
regional ;
b. Tidak disyaratkan dalam ijtihad kolektif regional ini
bergabungnya semua ahli ijtihad dari negara tersebut,
melainkan cukup dengan perwakilannya saja. Hal ini
menunjukkan pentingnya kerja sama dan saling mendukung
antara majma’ fiqh satu negara dengan negara lainnya dalam
bingkai sharing informasi dan musyawarah. Perwakilan dari
masing-masing negara dapat mengutarakan pendapatnya yang
sesuai dengan kondisi negaranya di forum istinbath hukum
tingkat regional ;
c. Ijtihad kolektif regional ini harus mencermati masalah-
masalah umum yang terkait dengan kehidupan regionalnya.
Dengan ini maka hendaknya dibatasi permasalahan yang
dibahas pada ijtihad kolektif regional khusus pada masalah-
masalah yang terjadi dan terkait dengan negara-negara
anggotanya (Sano, 2006: 76).

c. Ijtihad Kolektif Bersifat Internasional


Banyak masalah-masalah kontemporer yang bersifat lebih luas dan
menyentuh kehidupan masyarakat internasional. Masalah-maslah ini
lebih tepat diputuskan oleh majma’ fiqh setingkat internasional, bukan
lagi negara atau regional. Majma’ al-Fiqh al-Islamy al-Dauly
(International Islamic Fiqh Academy) yang berpusat di Jeddah menjadi
salah satu majma’ fiqh setingkat internasional yang sangat representatif
untuk melakukan ijtihad kolektif yang bersifat internasional. Ijtihad
kolektif internasional adalah:”Aktifitas keilmuan yang sistematis dan
terarah yang dilakukan oleh para ahli ijtihad yang diutus oleh lembaga fikih
masing-masing negara, demi mencapai maksud Allah pada masalah-
masalah yang menyangkut kehidupan umat secara umum, atau demi
terwujudnya maksud Allah pada kenyataan hidup umat tanpa melihat
batas geografi mereka” (Sano, 2006: 81).

Ijtihad kolektif internasional memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Anggotanya cukup dengan perwakilan masing-masing negara.


Para perwakilan ini menyampaikan pendapat majma’ fiqh
negaranya tentang suatu masalah, lalu sesama mereka
memusyawarahkan dan melakukan istinbath hukum;
b. Permasalahan yang diijtihadkan terbatas pada masalah yang
bersifat universal saja, yang menyangkut kehidupan umat
tanpa memperhatikan pengaruh geografi.

Permasalahan lain dari ijtihad kolektif ini adalah makna


kolektifitas dari ijtihad kolektif. Ijtihad dapat dikatakan kolektif bila
lahir dari semua ahli ijtihad tanpa pengecualian pada sebuah daerah
baik secara langsung maupun tidak. Keterlibatan ahli ijtihad dalam
proses ini ada dua macam:

1. Keterlibatan langsung : ini terjadi pada ijtihad pada ruang


lingkup negara, maka semua ahli ijtihad negara tersebut
terlibat secara langsung.
2. Keterlibatan tidak langsung : ini terjadi pada ijtihad dengan
ruang lingkup regional dan internasional. Pada ijtihad
semacam ini tidak diharuskan keterlibatan langsung semua
ahli ijtihad, tapi cukup dengan perwakilan (Sano, 2006: 55-
56).

Kehidupan modern memunculkan permasalahan-permasalahan


kompleks yang menyisakan pertanyaan tentang pendapat hukum
Islam tentang hal tersebut. Muamalah yang menjadi salahs atu bagian
dari fikih Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman. Tersebutlah optimalisasi harta zakat sebagai pengembangan
dari fikih zakat, wakaf saham sebagai pengembangan fikih wakaf,
produk perbankan seperti mudharabah, murabahah, deposito,
asuransi dan lain-lain.

Kedokteran yang terus maju juga menyisakan pertanyaan.


Penyewaan rahim bagi ibu-ibu yang tidak dapat mengandung sendiri,
donor organ tubuh, inseminasi buatan, penggunaan barang haram
untuk pengobatan misalnya lemak babi, bayi tabung, euthanasia dan
lain-lain, membutuhkan jawaban hukumnya menurut pandangan
syara’. Menentukan ini semua tidak dapat dilakukan oleh hanya ulama
fikih, melainkan harus ada sinergitas antara ahli fikih, ekonom, dokter
dan pakar- pakar lain.

Karenanya keterlibatan pihak lain selain ahli fikih demi


tercapainya jawaban yang benar-benar dapat mengakomodir
kemaslahatan dan tidak melenceng dari tuntunan syara’. Sebab tujuan
dari hukum Islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia
dan akhirat.

4. Ijtihad Kolektif dan Ijma’ Modern

Ijtihad kolektif dapat mencegah perpecahan umat Islam, karena


mereka sepakat dengan hukum yang sama. Banyak masalah yang jika
diputuskan dengan ijtihad individual maka akan timbul perselisihan
pendapat, misalnya masalah penentuan hilal bulan Ramadhan dan
Syawwal. Masalah ini kerap menimbulkan perselisihan dan
perdebatan antara pakar keilmuan pada satu negara, hingga kerap
menimbulkan perbedaan kelompok. Maka selayaknya permasalahan
seperti ini diputuskan lewat lembaga-lembaga ijtihad kolektif.
Ijtihad yang dilakukan secara kolektif oleh semua ahli ijtihad tidak mesti
membuahkan satu pendapat yang disepakati. Hanya saja meskipun tidak
sampai pada satu kesepakatan pendapat, paling tidak masalah tersebut telah
dimusyawarahkan dan diijtihadkan secara kolektif, dan akhirnya
mendapatkan kesepakatan mayoritas. Hasil ijtihad kolektif yang disepakati
oleh semua ahli ijtihad dapat dinamakan ijma’ qath’i, dan karena ia
merupakan ijma’ qath’i maka tidak boleh seorangpun menyalahi hukumnya.
Dan bila hasilnya disepakati oleh sebagian besar ahli ijtihad maka ia
dinamakan ijma’ mayoritas. Untuk jenis ijma’ ini terjadi perbedaan pendapat
di kalangan ulama tentang hukum menyalahinya. Bahkan mereka juga
berselisih tentang terbentuknya ijma’ atau tidak bila hasil yang diputuskan

bukan lahir dari kesepakatan semua pihak.1

Ijtihad kolektif merupakan wasilah atau sarana terbentuknya ijma’,


sedangkan ijma’ merupakan tujuan dari adanya ijtihad kolektif. Sebagian
pemikir kontemporer ada yang menyamakan antara ijtihad kolektif dengan
ijma’, dikatakan bahwa ijma’ yang nyata terjadi merupakan ijtihad kolektif,
padahal antara media (wasilah) dengan tujuan merupakan dua hal yang
berbeda. Ijma’ tidak dapat terwujud tanpa adanya ijtihad kolektif yang
dilakukan sekelompok ahli ijtihad. Pada saat bersamaan tidak semua ijtihad
kolektif menghasilkan ijma’, karena kadangkala hasil yang diputuskan tidak
menjadi kesepakatan semua orang yang terlibat, melainkan hanya suara
mayoritas.

Begitupun dengan ijma’ sukuti, tidak akan terbentuk tanpa adanya ijtihad
kolektif, karena asas ijma’ sukuti adalah saling dialognya sebagian besar
ulama dan menghasilkan keputusan di akhir dialog tersebut sementara yang
lain mendiamkan pendapat atau keputusan yang diambil dari dialog atau
musyawarah tersebut (Sano, 2006: 60).

Berdasarkan ini, maka untuk mencapai ijma’ sukuti atau i’tibari


tergantung dengan adanya ijtihad kolektif yang terdiri dari sekelompok ahli
ijtihad yang mengeluarkan pendapatnya secara terus terang sementara
kelompok yang lain mendiamkannya.

Alasan tidak diketahuinya hasil ijtihad kolektif oleh kelompok yang lain
tidak dapat diterima pada saat ini. Karena meskipun jarak berjauhan namun
kecanggihan teknologi membuat sangat mudah mengakses hasil ijtihad
kolektif yang dikeluarkan sekelompok ahli ijtihad. Sebuah peristiwa
pengambilan keputusan hukum saat ini dapat diakses secepat mungkin
dengan bantuan teknologi modern. Sehingga bila keputusan tersebut
dianggap tidak sesuai dengan maksud syara’, akan serta merta dibantah pihak
lain.

Terbentuknya majma’-majma’ (lembaga-lembaga fatwa) baik bersifat nasional,


regional dan internasional menjadikan ijtihad kolektif sangat mungkin dilakukan.
Keputusan yang disepakati oleh seluruh anggota lembaga ini dapat dianggap
sebagai bentuk baru dari ijma’, yaitu ijma’ modern, sebagaimana perkataan
Abdul Wahhab Khallaf: “Ijma’ dengan definisi dan rukun-rukunnya yang telah
kami jelaskan tidak mungkin terwujud jika diserahkan kepada setiap orang dari
umat Islam dan bangsa-bangsanya, akan tetapi dapat terwujud jika yang memegang
urusan ini adalah pemerintahan Islam. Setiap pemerintahan dapat menentukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk berijtihad, atau dengan
memberikan ijazah kepada orang yang memiliki syarat-syarat ini. Dengan demikian
pemerintah tahu para ahli ijtihadnya dan pendapat-pendapat mereka terhadap
perkara apapun yang terjadi. Jika pemerintah sepakat dengan pendapat ahli
ijtihadnya pada perkara yang terjadi, dan seluruh ahli ijtihad di seluruh
pemerintahan Islam sepakat atas hukum yang satu terhadap perkara tersebut, maka
ini menjadi ijma’, dan hukum yang diijma’kan ini menjadi hukum syara’ yang wajib
diikuti oleh seluruh umat Islam.” (Khallaf, 1978: 54).

Dibentuknya lembaga International Islamic Fiqh Academy (IIFA) di bawah


OKI merupakan upaya untuk mempermudah ijtihad kolektif. Lembaga ini
memiliki beragam ahli ijtihad yang dikirim oleh negara anggotanya, di
samping juga anggota yang memiliki kemampuan tersendiri di bidangnya,
misalnya ahli ekonomi, ahli kedokteran, ahli sains dan lain sebagainya. Hal
ini mempermudah proses pengistinbathan hukum, karena setiap orang
mampu memberikan jawaban atas sebuah permasalahan sesuai dengan
keahliannya.

Banyak keputusan yang telah dikeluarkan lembaga ini yang terkait


dengan kepentingan umum dan sangat dinantikan jawabannya oleh umat
Islam. Sebagai salah satu lembaga yang mewadahi ijtihad kolektif, IIFA
memiliki kedudukan yang strategis karena bersifat lebih luas keanggotaannya
dan internasional cakupannya.

B. Ijma'

1. Pengertian Ijma’

Ijma>' secara etimologi berarti )‫ر هذا‬Q‫ه مجمع أم‬Q ‫اق ( ٌعل‬QQ‫االتف‬ yang berarti
kesepakatan. Ada juga yang mengatakan; ‫ االعداد‬yang berarti mengumpulkan dan ada
juga yang mengatakan; ‫ العزم‬seperti yang terdapat dalam penafsiran ayat 71 surat
Yunus (‫)وشركاءكم أمركم فأجمعوا‬.

Menurut Wahbah Zuhaily, pengertian etimologi dari ijma>' ada dua, yaitu
al 'Azm dan al-Ittifaq, namun dalam pengertian keduanya memiliki konsekwensi
tersendiri karena yang pertama (al-'Azm ) cukup hanya dilakukan oleh satu orang
sedangkan yang kedua harus dengan kelompok (muta'addid).5
Berbeda dengan pengertian lughahnya yang diartikan hampir serupa oleh
ulama, pengertian ijma>' secara terminologinya banyak terdapat perbedaan
pendapat dikalangan fuqaha. Menurut al-T{ufi>, Ijma>' adalah:
‫اتفاق مجتهدي العصر من هذه األمة على أمر ًٌدن‬

"Kesepakatan para mujtahid dari umat Islam pada zamannya tentang


problematika agama"6
Sedangkan menurut al-Nazzam, 7 Ijma' adalah :

‫كل قول قامت حجته وان كان قول واحد‬

"Setiap perkatan yang memiliki argumentasi meskipun hanya satu qaul"

Al Ghazali,8 berpendapat lain dari al Nazzam, menurutnya ijma>' adalah:

‫اتفاق أمة محمد صلى هلال ٌعله وسلم خاصة على أمر من األمور الٌدنٌة‬
"Kesepakat umat Muhammad Saw khususnya dalam hal-hal yang
berkaitan dengan agama".9
Pendapat al Ghazali ini setidaknya, menurut Zuhaili memiliki dua
kekurangan. Pertama, memasukkan orang awam ke dalam bingkai ahli al-nazar
wa al-ma'rifah wa al-fiqh. Kedua tidak mencamtumkan setelah wafatnya nabi

5
Wahab al Zuhaily, Usul Fiqh al Islamiy,( Syiria: Dar al-Fikr, 1986), 490
6
Najmudin Abu Rubi' Sulaiman bin Abd Qawi bin Abd Karim bin Said al-Tufy,
Sharah Mukhtasar al Raudhah, Tahqiq, Abdullah bin Abd al-Mahsan al-Turky
(Bairut : Muassasah al- Risalah, 1989),9
7
Mereka dalah sekte Mu'tazilah pengikut dari Ibrahim bin Siyar al Nazzam, murid
dari Abi al Hazail al-Allaf lihat Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al
Islamiyah fial Siyasah wa al Aqaid wa Tarikh al Mazahib al Fiqhiyah, (Kairo:
Dar el Fikr al Araby),139
8
Beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi
Abu Hamid al Ghazali, lahir di Kharasan 450H/1059M. Beliau juga seorang
ilmuwan, filosof dan faqih yang telah banyak menyumbang berbagai
pemikirannya kepada dunia Islam hingga saat ini, lihat; Ahmad Shamsudin, al-
Ghazali, Hayatuhu, Atharuhu, Falsafatuhu, (Beirut: Dar el Kutb al
Ilmiyah,1990),4
9
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al Thusi Abu Hamid al-
Ghazali, al Mustafa min Ilm al- Usul , (Bairut: Dar Ihya al Turath al
Araby,1997),171. lihat juga Zuhaili, Usul al-Fiqh,490
karena tidak ada kebutuhan terhadap ijma>' di saat nabi masih hidup.10 Adapun
terminologi ijma>' menurut mayoritas ulama adalah:
tentang ‫ه‬Q Q Q Q ‫ر من العصور بعد وفات‬QQQQ‫ه وسلم ًف عص‬QQQٌ‫لى هلال عل‬QQQQ‫د ص‬QQQ‫ة محم‬QQQ‫اق المجتهدٌن من أم‬QQQ Q‫ر شر ًع اتف‬QQQ‫على أم‬
zamannya pada Muhammad umat dari mujtahid para "Kesepakatan nabi".11
meninggalnya setelah shar'I perkara
Dari pengertian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan penting yaitu
ijma>' merupakan hasil dari berbagai proses argumentasi yang dieksposisikan
oleh para mujtahid12 pada masanya setelah meninggalnya nabi Muhammad SAW
baik dengan perkataan (bi al-qaul) maupun perbuatan (bi al-fi'il ). Adapun yang
memiliki legalitas ber- ijma>' adalah orang-orang yang professional dalam bidang
shari'ah. Hal ini disebabkan oleh dua alasan; Pertama, Ijma>' merupakan
landasan hukum yang wajib untuk diikuti dan tercela jika ditinggalkan,
Kedua, Ijma>' terkadang menentukan hukum satu perkara dan menafsirkan teks-
teks wahyu, menganalogikannya (ta'wil) atau mencari alasan (ta'lil) hukum dari
teks (nas}).13
Beragamnya pengertian ijma'> di kalangan fuqaha'
mengindikasikan tingginya dinamika intelektual para pemikir muslim dan juga
membuktikan bahwa tidak ada satupun dari definisi di atas yang telah final
hingga bebas dari ruang pembenahan. Hal ini yang menyebabkan Mah}mud
Shalt}u>t agak sedikit meragukan apakah ijma>' yang telah dikenal banyak orang
itu sebagai fundamen dari usul tashri' dalam Islam?.14
2. Kaidah, Rukun, Syarat dan Macam-macam Ijma>'

10
Zuhaily, Usul al-Fiqh, 491
11
Hamdi Subh Thaha, al-Qaul al-Mubin fi al-Mujmal wa al-Mubayyan 'inda al
Usuliyin, (Kairo: Dar el Nahdan al Arabiyah,tt), 4
12
Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam mengambil
beberapa hukum dari dasarnya. al-Qardawi berpendapat, ada dua kriteria
mujtahid: Pertama, memiliki prasarana untuk berijtihad seperti yang banyak
dijelaskan dalam us}u>l fiqh, sebagian dari hadith itu bisa dikategorikan sebagai
mujtahid. Kedua, hendaknya seorang mujtahid itu memiliki sifat adil dan sirah
yang baik. Lihat: Zuhaili, Usul al Fiqh,495; Yusuf al Qardawi, al-Ijtihad al-
Mu'asir Baina al- Indibat wa al-Infirat, (Kairo: Dar el Tauzi wa al Nashr al
Islamiyah, 1994),99. Taha Rayan, Guru Besar fakultas Syari'ah Universitas al
Azhar Mesir menjelaskan beberapa keharusan bagi seorang mujtahid, yaitu;
mengetahui ayat-ayat ahkam, memahami Usul Fiqh, memahami kaidah dan
bahasa arab, mengetahui balaghah mengetahui nasikh dan mansukh baik dari
alQur'an dan hadith juga asbab nuzul dan wurudnya lihat; Taha Rayyan, al-
Ijtihadat bi dawabitiha zahirah ijabiyah", al-Iqtisad al-Islami, 187, Ramadlan
1416/Januari-Pebruari 1996.34.
13
Ibid., 12
14
Mahmud Shaltut,al-Islam, Aqidah wa Shari'ah, (Kairo:Dar el Shuruq,1972),80
Dari definisi ijma'> di atas, dapat disimpulkan bahwa ijma'> adalah metode
pendekatan yang melembaga dalam memproduksi sebuah hukum sehingga para
ulama' hampir semua sepakat tentang status ijma'> sebagai hujjah.15 Jika dilihat
dengan seksama, ijma'> berperan dan berfungsi besar dalam proses legislasi
hukum, maka perlu adanya kaidah atau kerangka aturan (al-dhawa>bit{) yang
berada dalam ijma'> diantaranya:
a. Timbulnya kesepakat. Artinya, kesepakatan yang dilahirkan atas dasar
kesamaan baik keyakinan, perbuatan dan perkataan.
b. Para Mujtahid. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan
dalam mengambil beberapa hukum dari dasarnya.16 Para ulama membagi
ijtihad17 kedalam dua bagian yaitu: a). Ijtihad Sempurna, yaitu teknik
ijtihad yang hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang yang betul-
betul mampu menggali hukum dan menetapkan hukum dari sumber
aslinya secara independen dalam arti mereka tidak terpengaruh oleh
metodologi ijtihad pendahulunya dan betul-betul menggali hukum

15
Muhammad Abu Zahrah, Usul al Fiqh, (Kairo: Dar al Fikr al Araby,tt),156
16
Zuhaili, Usul al Fiqh,495.
17
Ijtihad adalah kata arab dalam bentuk mas{dar dari kata ijtahada, dengan kata
dasar ja-ha-da yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh atau
mengerahkan segala daya upaya untuk mencapai suatu tujuan. Dijelaskan oleh
Sayyid Muhammad Musa Tuwana dan Wahbah al- Zuhaily bahwa kata dasar ja-
ha-da dan semua kata yang berasal dari kata dasar ini, biasanya dipakai untuk
arti yang berhubungan dengan suatu pekerjaan yang tidak biasa/berat, keadaan
yang memberatkan atau tidak disenangi. Kata ini telah menjadi istilah teknis
dikalangan para ahli hukum / para Yuris terutama para ahli Us{ul Fiqh. Ijtihad
yang telah menjadi istilah teknis
ini, oleh para ulma didefinisikan dalam bentuk dan redaksi yang sangat beragam
namun pada intinya adalah sama, al-Shaira>zi memberi definisi meluangkan
kesempatan dan mengerahkan segenap kemampuan dalam mencari ketentuan
hukum Shar'i. Al-Subki dan al-A<midy memberi defisi yang lebih mengarah pada
kedudukan hukum hasil ijtihad dan lapangan ijtihad, yaitu pengerahan
kemampuan seorang Yuris untuk memperoleh sangkaan kuat (Z{ann) adanya
hukum, lebih jelas lagi Abd al-Wahha>b Khallaf memberi definisi, pengerahan
kemampuan untuk menghasilkan hukum Shar'i dari dalil-dalilnya secara terinci.
Dan diperjelas oleh Abu Zahrah atau dalam aplikasinya. Dari beberapa definisi
tersebut secara umum dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah penalaran
maksimal seorang Yuris untuk memperoleh prediksi logis atau estimasi hukum
dalam masalah aktual yang secara jelas tidak ada pernyataan Nas} dalam al-Qur'an,
al-Hadith
ataupun ijma’. Lihat: Warson Munawwir, al-Munawwir (Yogjakarta,UPBIK,
1984), 234; Muhammad Abu Zahroh. Us}u>l al-Fiqh ( Cairo: Da>r al-Fikr al-Arabi,
1958), 379; Sayyid Muhammad Musa Tuwana, al-Ijtihad wa madha Ha>ja>tuna>
ilaih fi ha>dha> al-`Ashr ( Mesir: Da>r al-Kutub al-Hadi>thah, 1973), 97; Wahbah Al-
Zuhaili, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi. Juz.II. (Damasqus: Da>r al-Fikr, 1998),1065; Al-
Shairazi, al-Luma` fi> Us}u>l al-Fiqh ( Surbaya: Mat}ba`ah al-Hidayah, tth.),70; Al-
Subki, Jam`u al-Jawmi`Juz.II. (Bairut: Da>r al-Fikr, 1982), 379; Abdul Wahhab
Khallaf, `Ilm Us}u>l al-Fiqh (Cairo: al-Dar al-Kuwaitiah, 1968), 216; Muhammad
Abu Zahroh, Us}u>l al-Fiqh (Cairo: Da>r al-Fikr al-Arabi, 1958), 379.
dengan metode sendiri yang orisinil, seperti yang telah dilakukan oleh
para ulama Sahabat, Tabi'in dan para imam Madhhab seperti imam
Malik, Hanafi, Shafi'i Hanbali dan termasuk juga al-Auza'i, al-Thabari
dan imam Ja'far S}a>diq dari golongan Shi'ah18. b). Ijtihad
Pengembangan. Atau teknik ijtihad yang dilakukan oleh ulama yang
hanya mampu menerapkan dan mengembangkan metodologi atau teori-
teori hukum yang dihasilkan oleh pemula-pemulanya, seperti yang
dilakukan oleh Abu Yusuf al-Anshari, Muhammad bin Hasan al-
Shaibani, Abul Hasan al-Karkhi dan Muhammad bin Abi Sahal al-
Sarkhisi dari madhhab Hanafi, Abdullah Ziyad bin Abdurrahman al-
Qurtuby, Isa bin Dinar Abd Rahman bin Qo>sim al-'Idqi dan Muhammad
bin yahya al-Andalusi dari madhhab maliki, Abu al-Ma’a>li Abd al-
Ma<lik bin Abd Allah al-Juwainy, Abu Ibrahim al-Muzanni, Abu al-
Qa>sim al-Rafi>'i dan Abu Zakaria al- Nawawi dari madhhab Shafi'i,
serta Ahmad bin Muhammad al-Barwasi dari madhhab Hanbali.
al-Qardawi berpendapat, ada dua kriteria mujtahid: Pertama, memiliki
prasarana untuk berijtihad seperti yang banyak dijelaskan dalam us}u>l
fiqh.19 Kedua, hendaknya seorang mujtahid itu memiliki sifat adil dan sirah
yang baik.20
c. Para mujtahid (ahl al-Ijma'> ) harus dari umat Muhammad SAW.
Maksudnya adalah orang-orang Islam. Tentunya, seorang mujtahid harus
menguasai lapangan aplikasi ijtihad. Adapun lapangan aplikasi ijtihad

18
i, Falsafah al- fi> al- : Muqaddimah fi> al-
Mahmasa} Tashri`> Islam> Dira>sat>
n>
Isla>miah ala d}aw'i ib al-Mukhtalifah wa d}aw'i al- al-
Madhah> Qawa>nin>
Hadi>thah. Terj. (Bandung: PT. Al-Ma`arif, 1977), 145.
19
Taha Rayan, Guru Besar fakultas Syari'ah Universitas al Azhar Mesir
menjelaskan beberapa keharusan bagi seorang mujtahid, yaitu; mengetahui ayat-
ayat ahkam, memahami Usul Fiqh, memahami kaidah dan bahasa arab,
mengetahui balaghah mengetahui nasikh dan mansukh baik dari alQur'an dan
hadith juga asbab nuzul dan wurudnya lihat; Taha Rayyan, al-Ijtihadat bi
dawabitiha zahirah ijabiyah", al-Iqtisad al-Islami, 187, Ramadlan 1416/Januari-
Pebruari 1996.34
20
Yusuf al Qardawi, al-Ijtihad al-Mu'asir Baina al-Indibat wa al-Infirat, (Kairo:
Dar el Tauzi wa
al Nashr al Islamiyah, 1994),99
tersebut adalah: a). Masalah yang menyangkut materi hukum dalam
arti nas}-nas} yang bisa menjadi lapangan aplikasi ijtihad. b). Masalah
yang menyangkut kasus hukum yang membutuhkan penyelesaian dengan
cara mengembalikan kepada sumber pokok yang telah disepakati yaitu al-
Qur'an dan al-Sunnah21, karena setiap masalah dalam pandangan Islam
telah ada ketentuan hukumnya22 hanya ternyata mayoritas ketentuan
tersebut tidak dijelaskan secara rinci terutama yang: menyangkut
masalah non akidah-ibadah (mu'a>malah), bahkan tidak sedikit diantara
masalah-masalah tersebut seperti masalah pidana, perdata, tata negara,
hukum niaga dan lain sebagainya tidak ditemukan ketentuan yang jelas
dalan nas} al-Qur'an dan al-Sunnah.
Adapun nas}-nas} yang bisa menjadi lapangan ijtihad adalah nas} yang
Z{anni

indikasi/dala>lahnya, terdiri dari al-Qur'an atau al-Sunnah, atau nas}


al- Hadith yang Z{anni eksistensi/wuru>dnya. Adapun tugas mujtahid
terhadap nas} yang Z{anni eksistensinya adalah meneliti sanad sampai
pada Nabi, sifat-sifat perawi dari segi kejujuran, keadilan, dan thiqahnya,
dan terhadap materi hukum (al-Hadith) yang Z{anni indikasinya adalah
memberi tafsir dan ta'wil, mencari kuatnya petunjuk terhadap makna
yang dikehendaki, menyelamatkan apabila terjadi ta'a>rud, menentukan
bahwa: materi hukum tersebut menunjuk pada salah satu hukum taklifi23.
d. Terjadinya konsensus setelah wafatnya nabi Muhammad SAW.

e. Terjadinya kesepakatan mujtahid atas realitas kekinian dalam zamannya.


Kapabilitas mujtahid merupakan suatu pekerjaaan yang tidak semua
orang dapat melakukannya, karena pekerjaan ini terkait langsung dengan
hak-hak Sha>ri' (Allah dan RasulNya) dalam_arti, setiap ketentuan
hukum yang dihasilkan oleh seorang_mujtahid adalah mewakili
kehendak tuhan, atau singkatnya ia adalah kepanjangan tangan tuhan
dalam mengatur hamba-Nya. Oleh sebab itu tidak salah kalau para ulama
menetapkan
21
Al-Qur’an, 4 (al-Nisa>’):59.
22
Al-Qur’an, 6 (al-An’a>m):38.
23
Khallaf, 216-217. lihat juga, Al- al-Fiqh,1081.
Zuhaili, Us}ul>
syarat-syarat, meskipun syarat-syarat tersebut menurut Iqbal24 hampir
tidak mungkin direalisasikan pada badan perseorangan karena terlalu di
idealkan dengan capaian-capaian masa lalu para imam madhhab.
i. Syarat-Syarat Mujtahid

Syarat-syarat Mujtahid yang ditetapkan oleh ulama dikelompokkan


menjadi:
1. Syarat-syarat Umum

Yang termasuk syarat umum adalah; Dewasa,_berakal sehat,


mempunyai IQ. (Intellegence Quotient) tinggi dan beriman25.
2. Syarat-syarat Pokok

Diantara syarat-syarat pokok yang telah dirumuskan oleh ulama adalah:

1. Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya


seperti, Nahwu, Sharraf dan Balaghah, memahami makna-makna kosa
kata serta, sehingga bisa mengetahui susunan dan redaksi suatu kalimat
dan juga pada bentuk-bentuk muhkam dan mutasha>bih, haqi>qah dan
maja>z, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan serta a>m dan
kha>s}nya26.
2. Memahami al-Qur'an dan ilmu-ilmu ikutannya, seperti ilmu Asba>b al-
Nuzu>l dan na>sikh-mansu>kh, agar hasil ijtihadnya tidak termasuk
dalam hukum nas} yang telah dimansukh27 .
3. Menguasi al-Sunnah serta mengetahui jalan-jalan periwayatannya
sehingga bisa mengetahui tingkatan tingkatan kehujjahan dalam bentuk

24
Muhammad Iqbal, The Recontruction of Relgious Thought in
Islam. Terj.(Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1983), 205.
25
Tuwana, al-Ijtihad, 160-164.
26
Tuwana, al-Ijtihad, 168, lihat juga, Abu Zahroh. Us}u>l, 380.
27
Al-Mahalli, Sharh Matni Jam`i al-Jawa>mi`. Juz.II. (Bairut: Da>r al-Fikr,1982),
384. lihat juga, Al-Badakhsi, Sharh al-Badakhsy Minha>j al-`Uqu>l.Juz.III.
(Bairut: Da>r al-Kutub al-`Ilmiyah, tth.), 284, Al-Asnawi, Syarh al-
Asnawi: Niha>yah al-Su>l. juz.III. (Bairut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, tth.),
283., Al-Zuhaili, Us}u>l al-Fiqh,1074.
mutawatir, masyhur dan ahad-nya, serta mengetahui tingkatan-
tingkatan keabsahan dalam bentuk shahih, hasan dan dha'if-nya28.
4. Mengusai metode-metode Qiyas, karena menurut al-Shafi’i, ijtihad
tidak lain adalah Qiyas29, sedangkan untuk menguasainya dibutuhkan tiga
penguasaan30, yaitu:
a. Mengetahui latar belakang materi hukum yang menjadi dasar serta illat-
illat hukumnya, agar proses penalaran dan analoginya tidak salah.
b. Menguasai dengan pasti aturan-aturan serta batasan batasan dalam
mengoperasikan Kias.
c. Mengetahui metodologi ulama-ulama klasik dalam mencari illat hukum
dan sifat-sifat yang dijadikan alasan dalam menetapkan ketentuan hukum.
Sehubungan dengan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, al-
Shafi'i31 menyatakan bahwa syarat-syarat tersebut adalah bersifat
kumulatif (bukan alternatif) artinya, apabila salah satu dari syarat-syarat
tersebut tidak dijumpai dalam diri seorang mujtahid, maka ia terlarang
untuk melakukan ijtihad.

5. Mengetahui kaidah-kaidah umum.

Yang dimaksud kaidah-kaidah umum ini, menurut al-Subki yaitu


kaidah-kaidah pokok fiqhiyah (al-qawa'id al-fiqhiya>t al-kulliya>t)32 yaitu
al-umu>r bi maqa>s}idiha>, al-yaqi>n la yuza>lu bi al-Shak, al-Mashhaqqat tajlib a-
Ttaisir, al-d}araru yuza>lu dan al 'a>dat muhakkamat.
6. Mengetahui teori tarjih ketika terjadi perlawanan (ta'a>rudh) antara dua
dalil33, karena jika terjadi pertentangan antara dua dalil maka pertama-
kali yang harus dilakukan adalah mentauqif dan apabila tidak

28
Khallaf, `Ilm Us}u>l al-Fiqh, 219.
29
Al-Sha>fi`I, al-Risa>lah (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halaby, 1969), 318, 205.
30
Abu Zahroh. Us}u>l, 385.
31
Al-Sha>fi`i, al-Risa>lah, 318.
32
Al-Subki, Jam`u al-Jawa>mi’,383.
33
Al-Taftazani, Syarh al-Qad}I li Mukhtas}a al-Muntaha ...Juz.II.(Bairut: Da>r
al-Kutub al-
`ilmiyah,1983),390.
memungkinkan maka harus diadakan tarji>h dan wajib berpegang
pada salah satu dari kedua dalil tersebut34.
7. Memahami ideal moral Shari'ah atau Maqa>sid al-Tashri>' atau ru>h
al- Shari’ah. Sehubungan dengan syarat yang terakhir ini, al-Shathibi
mengatakan bahwa ideal moral Shari'ah adalah syarat yang sangat pokok
dalam melakukan ijtihad sedangkan syarat-syarat yang telah disebutkan
di atas adalah syarat yang mengiringinya atau syarat pelengkap35.
3. Syarat-syarat Pelengkap

Diantara syarat pelengkap yang dimaksud adalah:

1. Tidak ditemukan dalil qat}’i dalam suatu kasus hukum, baik berupa
dalil nas atau ijma’ atau masalah yang belum ada kepastian hukumnya.
2. Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh ulama.36
Dengan melihat pemaparan ijtihad di atas, maka secara umum,
mujtahid bisa diklasifiksikan dalam dua macam yaitu:

1. Mujtahid Mutlak

Mujtahid mutlak atau mujtahid fi al Shar'i atau_mujtahid ka>mil


adalah seorang ulama yang mampu menggali hukum-hukum agama_dari
dalil- dalilnya secara langsung dan mampu menetapkan metodologi dan
dasar- dasar pokok dalam aktivitas_ijtihadnya37.
Tingkatan mujtahid yang pertama ini dapat dibedakan dalam dua hal,
yaitu:
a. Mujtahid mutlak mustaqil atau mujtahid yang mampu_menggali hukum-
hukum baru dengan metodologinya yang_orisinil tanpa terpengaruh oleh
ulama-ulama pendahulunya seperti yang telah dilakukan oleh ulama-ulama
sahabat, tabi'in seperti Sa'id bin Musayyab dan Abdu

34
Al-Barzanji, al-Ta`a>rud wa al-Tarji>h baina al-Adilla>t al-Syar`iyah: Bahts Ushuly
wa muqaran bi al-Madha>hib al-Isla>miah al-Mukhtalifah .Juz.II. (Bairut: Da>r al-
Kutub al-
`Ilmiyah,1993), 308.
35
Al-Syathibi, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Ahka>m ,4 (Bairut: Da>r al-Fikr, tth),.105-
106.
36
Tuwana, al-Ijtihad, 200.
37
Abu Zahroh. Us}u>l, 385. lihat juga, Tuwana, al-Ijtihad, 356.
al-Rahman al-Nakha'i para pendiri madhhab seperti Abu Hanifah,
Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Shafi'i dan Ahmad bin Hambal
dan lain sebagainya38.
b. Mujtahid Mutlak Muntasib atau ulama yang mencapai tingkatan
mujtahid mutlak hanya saja mereka tidak menetapkan hukum dengan
metodenya sendiri tetapi memakai metodologi yang dipakai oleh
mujtahid mustaqil dan juga memakai keterangan-kerangannya dalam
hukum asal sebagai landasan penalaran dalam penggalian hukum masalah-
masalah cabang39
2. Mujtahid Madhhab

Mujtahid madhhab adalah ulama yang mengikuti metodologi salah


satu imam madhh{ab dalam hukum asal atau cabang dan hanya mampu
mengembangkan dan menerapkannya serta mengistimbat}kan hukum
yang belum terdapat di dalam madhhabnya.40.
Tingkatan mujtahid yang kedua ini dapat diklasifikasikan dalam dua
tingkatan, yaitu:
a.Mujtahid takhri>j atau ulama yang mengeluarkan ketentuan hukum
yang belum ditetapkan dengan metodologi pendahulunya.
b.Mujtahid tarji>h atau mujtahid fatwa ialah ulama yang
mentarjih pendapat yang berbeda dalam madhhhabnya untuk memperoleh
pendapat yang paling kuat dan lebih mendekati pada nas} atau qiyas yang
benar atau yang paling sesuai dengan kebutuhan manusia.
Disamping pembagian ijtihad diatas, dengan melihat_kapasitas
dan kualifikasi mujtahidnya dapat dibedakan juga kepada:
1. Mujtahid umum (general) atau mujtahid yang mampu melakukan
ijtihad dalam semua aspek kajian hukum Fiqh.

38
Al-Zuhaili, Us}u>l al-Fiqh,1107. Tuwana, al-Ijtihad,357.
39
Tuwana, al-Ijtihad, 357 lihat juga, Al-Zuhaili, Us}u>l al-Fiqh,1107, Mahmas}a>ni,
40
Falsafah, 145 . Al-Anshari, Gha>yah al-Wus}u>l Syarh lubb al-Us}u>l,
( Semarang: Syirkah al- Nur Asia, tth.)148, lihat juga, Al-Subki, Jam`u al-
Jawa>mi’,385, Al-
Mahalli, Sharh Matni Jam`i al-Jawa>mi`. 385.
2. Mujtahid khusus (parsial) atau mujtahid yang hanya mampu berijtihad
dalam masalah parsial hukum Fiqh seperti melakukan ijtihad dalam
hukum keluarga, hukum pidana dan dalam masalah-masalah yang lain
yang sifatnya parsial41.
6. Kesepakatan harus dalam area hukum shar'i.42

Beberapa kaidah di atas, mencerminkan bahwa ijma'> harus memiliki


aturan baku berupa arka>n dan shuru>t} sebagai penyangga dalam kelembagaannya.
Menurut para ilmuan ijma'> memiliki beberapa rukun diantaranya:
1. Kesepakatan suatau hukum dilahirkan oleh beberapa orang mujtahid

dan tidak dikatakan ijma'> jika hukum itu hasil dari ijtihad satu
orang.

2. Kesepakatan tentang suatu hukum harus berdasarkan keputusan bulat


seluruh mujtahid dan tidak cukup dengan pendapat mayoritas.
3. Kesepakatan harus dari seluruh mujtahid pada zamannya yang
beraasal dari seluruh negeri Islam.
4. Hendaknya proses kesepakatan terjadi setelah seluruh para mujtahid
mengemukakan pendapatnya secara elegan dan terbuka baik
perkataan ataupun perbuatan.43
Adapun sarat-sarat ijma'> adalah:

1. Hendaknya orang yang melakukan ijma'> adalah para mujtahid


yang profesional yang mempunyai problematika yang hendak
disepakati
2. Keputusan ijma'> hendaknya berargumentasi pada al-Qur'an
dan hadith yang dijadikan sebagai salah satu argumentasi dalam
ber- ijma'>. Menurut al-Sinqit{i> menjadikan qiyas44 dan ijtihad
sebagai

41
Mahmud Hilmi, Niz}a>m al-
42
Hukm,226. Zuhaili, Usul al-
43
Fiqh,891,895,524,536. Zuhaili,
Usul al-Fiqh,537
44
Qiya>s secara bahasa, bisa berarti mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain
dan kemudian menyamakan antara keduanya. Ada kalangan ulama yang
mengartikan Qiya>s sebagai mengukur dan menyamakan. Pengertian Qiya>s
menurut ulama ushul ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam Al-Qur’an dan hadith dengan cara membandingkannya dengan
sesuatu yang ditetapkan hukumnya secara nash. Mereka juga membuat definisi
lain : Qiya>s ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan
sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum. Lihat
Umar Abdullah, Sullam al-Wusul li Ilm al-Ushul,
dasar argumentasi ijma'> terdapat tiga pandangan
ulama, yaitu a). utopis (la yutasawwar) b). mungkin saja
akan tetapi tidak bisa dijadikan hujjah dan c). realistis dan
boleh, hal ini terjadi seperti konsensus mengharamkan
lemak babi (shahm al-khinzir) yang diqiyaskan dengan
dagingnya.45
Dari semua kaidah, sarat, dan rukun di atas pada dasarnya semua
itu termasuk ke dalam satu bingkai besar yaitu rukun ijma'>.
Setelah penjelasan kerangka ijma'> yang tercermin dari kaidah,
sarat dan rukunnya, para fuqaha mengklasifikasikan ijma'> ke dalam
beberapa bagian yaitu:
1. Ijma'> yang jelas dan transparan (s}ari>h}) artinya ijma'> yang
dilakukan oleh para mujtahid pada zamannya atas problematika
shar'i dan setiap mujtahid mengemukakan pendapatnya yang
positif dengan cara yang elegan dan transparan.
1. Ijma'> suku>ti>, yaitu produk hukum yang dihasilkan oleh sebagian
mujtahid pada zamannya dan diketahui oleh semua mujtahid
tanpa ada resistensi dari yang lain atas keputusan hukum tersebut.
46

(Mesir, Dar al-Ma’arif, 1956) 205; Mustafa Said al-Khin, Asr al-Ikhtilaf fi al-Qowaid al-
Ushuliyah fi Ikhtilafi al-Fuqaha’, (Kairo, Muassasah al-Risalah, 1969), 468; Muhammad
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta,Pustaka Firdaus, 2007), 336 pengertian kedua juga
terdapat dalam Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Fiqh, terj., (Jakarta,Pustaka Amani, 2003),
65
45
Muhammad al Amin bin al Mukhtar al Sinqity, Muzakkirah Usul al-Fiqh al-Raudah
al-Nazir li Ibn Qudamah, (Bairut: Dar al Qalam,tt), 158
46
Mahdi Fadlillah, al-Ijtihad wa al-Mantiq al-Fiqhi fi al-Islam, (Bairut : Dar al Tal'ah
li al Taba'ah wa al Nasr,1987),50
2.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Melihat perkembangan zaman yang semakin pesat dan permasalahan


yang muncul juga semakin kompleks maka perlu kiranya mereview teori
ijtihad klasik agar diselaraskan dengan kekinian, sehingga ijtihad
sebagai motor dinamisasi hukum Islam akan terus bergerak.

Ijtihad kolektif merupakan kewajiban yang harus dilakukan pada


masa kini, karena banyaknya kasus yang berkelindan didalamnya sisi
fikih dan sisi keilmuan yang lain, ekonomi, sosial, kedokteran dan lain
sebagainya. Sehingga diperlukan pandangan dari pakar pada bidangnya,
bukan hanya dalam perspektif fikih saja.

International Islamic Fiqh Academy yang berpusat di Jeddah dapat


dijadikan representasi ijtihad kolektif mengingat keanggotaannya yang
besar dan mencakup puluhan negara Islam. Aktifitas istinbath hukum di
lembaga ini akan mendorong lembaga lain yang lebih kecil cakupannya
seperti tingkat negara atau regional.
Ijma>' sebagai salah satu perangkat dalam sumber hukum Islam,
menjadi pijakan dalam setiap praktik ekonomi Syari’ah bagi siapapun yang
menjalankannya. Lebih-lebih, di Indonesia dimana Industri ekonomi Syari’ah
mengalami perkembangan yang pesat dari hari ke hari, dan telah menyumbang
5% dari market share industri keuangan di Indonesia. Sebuah prestasi yang
gemilang karena pertumbuhan ekonomi Syari’ah di Indonesia telah mengalami
pertumbuhan terbesar di seluruh dunia.
Kajian tentang penerapan beberapa masdar hukum Islam seperti Qiyas,
Istihsan, Istishab dan lain-lain dalam praktik ekonomi Syari’ah bisa dibilang
masih sedikit. Tentunya, ini menjadi penting karena dapat membantu para pelaku
ekonomi Syari’ah agar semua produk-produk ekonomi Syari’ah tetap berada
dalam ‘rel’ Syari’at Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Ubady. t.t. al-Ayat al-Bayyinat ‘ala Syarh Jam’i al-Jawami’. Kairo: Mathba’ah
al-Halaby
Al-Hajib, Ibnu. 1985. Muntaha al-Wushul wa al-Amali fi ‘Ilmai al-Ushul wa
al-Jidal. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Al-Hammam, Ibnu. 1983. Taysir at-Tahrir. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1985. al-Ijtihad fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah.
Kuwait: Dar el-Qalam Al-Syathibi, Imam. 1973. al-Muwafaqat.
Beirut: Dar el Fikr
Ar-Rifa’iy, Abd Al-Jabbar. 2000. Manahij al-Tajdid. Beirut: Dar el Fikr el-
Mu’ashir
As-Sausah, Abdul Majid. 1998. al-Ijtihad al-Jama’i fi at-Tasyri’ al-Islamy.
Qatar: Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyyah
Asy-Syafi’i. 1999. ar-Risalah. Beirut: Dar an-Nafais
Asy-Syaukani. 1992. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilmi al-Ushul.
Kairo: Dar al-Kutubi Asy-Syawi, Taufiq. 1992. Fiqh asy-Syura wa al-
Istisyarah. al-Manshurah: Dar al-Wafa
Az-Zarkasyi. 1992. al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh. Kuwait: Wizarah al-Awqaf
wa asy-Syu’un al- Islamiyyah
Hazm, Ibnu. 1997. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Beirut: Dar al-Fikr Khallaf, Abdul Wahhab. 1978.
Ilmu Ushul Fiqh. Kuwait: Dar el-Qalam Mandzur,
Ibnu. 1999. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Ihya at-
Turats al-‘Araby
Mudzhar, H.M. Atho. 2000. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan
Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press
Sano, Qutb Mushtafa. 2000. Adawat an-Nadhar al-Ijtihadi al-Mansyud fi
Dhau’i al-Waqi’ al- Muashir. Qatar: Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-
Islamiyyah
. 2006. al-Ijtihad al-Jama’iy al-Mansyud fi Dhaw’i al-
Waqi’ al-Mu’ashir. Qatar: Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyyah
Zuhaily, Wahbah. 1998. Ushul Fiqh al-Islamy. Beirut: Dar al-Fikr
Abd. Karim Zaidan, al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1998)

Abdul Wahhab Khallaf, `Ilm Us}u>l al-Fiqh (Cairo: al-Dar al-Kuwaitiah,


1968)

, Ushul Fiqh, terj., (Jakarta,Pustaka Amani, 2003)

Abi al-Husain Muhammad bin Ali bin al-Tayyaib al-basri al-Mu'taziliy, al-
Mu'tamad fi Usul al-Fiqh, juz 2, (Bairut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, tt)

Abi Muhamma Ali bin Ahmad bin Said Ibn Hazm, Maratib al-Ijma' fi
al-Ibadat wa al-Mu'amalat wa al-I'tiqadat, Naqd Maratib al-Ijma' li
IbnTaimiyah, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt)

Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rush, Muqaddimat Ibn Rush,
(Bairut: Dar al-Sadir, tt)

Ahmad Shamsudin, al-Ghazali, Hayatuhu, Atharuhu, Falsafatuhu,


(Beirut: Dar el Kutb al Ilmiyah,1990)

Ahmad Umar Hashim, Qawaid Usul al Hadith, (Kairo: Ma'had al Dirasat


al Islamiyah,1998)

Al-Anshari, Gha>yah al-Wus}u>l Syarh lubb al-Us}u>l, ( Semarang:


Syirkah al-Nur Asia, tth.)

Al-Asnawi, Syarh al-Asnawi: Niha>yah al-Su>l. juz.III. (Bairut: Da>r


al-Kutub al-Ilmiyah, tth.)

Al-Badakhsi, Sharh al-Badakhsy Minha>j al-`Uqu>l.Juz.III. (Bairut: Da>r


al-Kutub al-`Ilmiyah, tth.)

Al-Barzanji, al-Ta`a>rud wa al-Tarji>h baina al-Adilla>t al-Syar`iyah: Bahts


Ushuly wa muqaran bi al-Madha>hib al-Isla>miah al-Mukhtalifah .Juz.II.
(Bairut: Da>r al- Kutub al-`Ilmiyah,1993)

Anda mungkin juga menyukai