Anda di halaman 1dari 13

“SALING TOLERANSI DALAM MASALAH PERBEDAAN”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Kontemporer

Dosen Pengampu: Arifin Marpaung, M.A

Disusun Oleh:

Najla Liyana (0202191011)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

PRODI PERBANDINGAN MAZDHAB

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.  wb
 
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam semoga selalu
tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, serta kepada keluarga,sahabat,
kerabat beliau sekalian.Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah
memberikan kami semua kekuatan dan kelancaran dalam menyelesaikan makalah
mata kuliah Agama Islam yang berjudul “Fiqih dan Permasalahan Kontemporer” dapat
selesai sesuai waktu yang telah kami rencanakan. Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari
berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara materil dan moril, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada
teman saya Yang mana telah memberikan dukungan, bantuan, beserta dorongan semangat
agar makalah ini dapat diselesaikan.
Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna tapi penulis tentunya bertujuan untuk
menjelaskan atau memaparkan point-point di makalah ini, sesuai dengan pengetahuan
yang kami peroleh, baik dari buku maupun sumber sumber yang lain. Semoga semuanya
memberikan manfaat bagi kita. Bila ada kesalahan tulisan atau kata-kata didalam makalah ini,
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Medan, 08 Oktober 2022


Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................1

DAFTAR ISI................................................................................................2

BAB I PEMBAHASAN..............................................................................3

A. Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat .................................4


B. Perbedaan Pendapat Adalah Kekayaan Dan
Pada Masalah Furui’yah Adalah Kemestian.....................................5
C. Tata cara Penyelesaiannya ..............................................................6

BAB II PENUTUP......................................................................................9

A. Kesimpulan......................................................................................10
B. Saran................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................12
BAB I
PEMBAHASAN

A. Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ikhtilaf ini diartikan
sebagai perbedaan pendapat atau perselisihan pikiran.1 Sedangkan secara terminologi,
ikhtilaf adalah perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama (mujtahid) dalam
memahami sebuah teks syariat (al-Qur’an dan al-Hadits), demi mengafirmasi
kebenaran.2

Di antara sebab mengapa suatu perkara bisa menjadi masalah yang tidak
disepakati hukumnya antara lain:

1. Berbeda pengertian dalam mengartikan kata. Adanya teks yang berbeda satu
dengan lainnya secara zahirnya. Sehingga membutuhkan jalan keluar yang bisa
cocok untuk keduanya. Di titik inilah para ulama terkadang berbeda dalam
mengambil jalan keluar. Ini merupakan bahasan yang luas, terjadi karena adanya

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 574.
2
Terdapat beberapa definisi tentang ikhtilaf yang disampaikan oleh para ulama. Menurut Thaha Jabir, ikhtilaf
berarti kecenderungan seseorang terhadap suatu sikap atau pendapat tertentu. Lihat Thaha Jabir Fayyadh
al-‘Alwani, Adâb al-Ikhtilâf fî al-Islâm, (Jazair: Dâr al-S}ihâb, 1985), 23. Menurut Muhammad ‘Abd al-Ra’uf
Al-Manawi, ikhtilaf berarti sikap atau pendapat yang diambil oleh seseorang yang berbeda dari sebelumnya.
Lihat Muhammad ‘Abd al-Ra’uf al-Manawi, al-Taufîq ‘alâ Muhimmât al-Ta‘ârîf: Mu‘jam Lughawî
Mus}t}alâhiy, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‘âs}ir, Cetakan I, 1990), 322. Begitu juga alJurjani, menurutnya ikhtilaf
berarti perbedaan yang terjadi di antara dua orang untuk mengafirmasi suatu kebenaran dan menegasikan
kesalahan. Lihat ‘Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta‘rîfât, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Lubnâniy, 1991), 113.
kata-kata yang jarang digunakan, dan kata-kata yang mempunyai arti lebih dari
satu. Juga adanya kiasan (majâz) di samping pengertian hakiki (h}aqîqah) dan
perbedaan huruf mengenai arti kata yang digunakan.
2. Adanya perbedaan penilaian derajat suatu hadis di kalangan ahli hadis. Di mana
seorang ahli hadis menilai suatu hadis sahîh , namun ahli hadis lainnya menilainya
tidak sahîh. Sehingga ketika ditarik kesimpulan hukumnya, sangat bergantung dari
perbedaan ahli hadis dalam menilainya.3
3. Saling berlawanan dalil mengenai suatu kaidah. Sebagaimana ulama ada yang
menerima dalil mengenai suatu kaidah, sebagian lain menolaknya. Maka,
kemudian timbul perbedaan di antara ulama dalam menetapkan mana ayat yang
berlaku
4.

mujmal dan mana yang berlaku muqayyad. Juga dalam menetapkan mana yang
bersifat umum (‘âm) dan mana yang bersifat khusus (khâs).4

5. Adanya perbedaan ulama dalam menggunakan metodologi atau teknik


pengambilan kesimpulan hukum, setelah sumber yang disepakati. Misalnya, ada
yang menerima syar‘u man qablanâ dan ada yang tidak. Ada yang menerima
istih}sân dan ada juga yang tidak mau memakainya.5

Meski demikian, ikhtilaf tidak boleh terjadi dalam semua lingkup. Ia hanya
boleh terjadi pada lingkup yang dibenarkan oleh syariat. Pada hakikatnya, ruang
lingkup ikhtilaf ialah segala hal yang berada dalam ranah ijtihad di dalam Islam.
Menurut al-Ghazali, ranah ijtihad adalah semua permasalahan yang membutuhkan
hokum, namun tidak ada dalil qat}‘i-nya. Tidak jauh berbeda dengan alGhazali, al-
Amidi mengatakan, ranah ijtihad adalah semua hukum Islam yang dalilnya zanniy
(asumtif/belum pasti), sehingga tidak boleh ada ijtihad dalam hal-hal yang pasti.

3
M. Yusuf Amin Nugroho, Fiqh Ikhtilaf NU-Muhammadiyah, (Wonosobo: E-book, 2012), 14-15.
4
‘Abd al-Wahab Abd al-Salam Thawilah, Atsaru al-Lughah fî Ikhtilâf al-Mujtahidîn, (Dâr al-Salâm, 1414 H),
67.
5
‘Abd al-Wahab Khallaf menyatakan bahwa hanya ada enam metode istinbât hukum yang tidak disepakati:
istihsân, masalahah mursalah, istishab, ‘urf, madhhab sahâbiy, dan syar‘ man qablanâ. Lihat ‘Abd al-Wahab
Khallaf, Usûl Fiqh al-Islâmiy , (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islâmiyyah, T.Th.), 21. Sedangkan bagi
Wahbah al-Zuhaili ada tujuh, dengan menambah satu di antara enam yang disebutkan sebelumnya: saddu al-
dharî‘ah. Lihat Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, Juz I, (Damaskus: Dâr al-Fikr, Cetakan I, 1986),
417.
B. Perbedaan Pendapat Adalah Kekayaan Dan Pada Masalah Furui’yah
Adalah Kemestian

Dalam mengawali pembahasan konsep fikih ikhtilafnya di bagian ini, Yusuf


al-Qaradhawi hendak menyadarkan sebuah hal, bahwa perbedaan masalah furû‘
adalah sebuah kemestian. Ia mengungkapk6an:

“Orang-orang yang ingin menyatukan kaum Muslimin dalam satu pendapat


tentang hukum-hukum ibadah, muamalah, dan cabang-cabang agama lainnya,
hendaknya mengetahui dan menyadari bahwa mereka sebenarnya
menginginkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Upayaupaya mereka untuk
menghapuskan perbedaan (dalam masalah ini) tidak akan menghasilkan apa-
apa selain bertambah meluasnya perbedaan dan perselisihan itu sendiri.”

Maka, upaya untuk memperkuat persatuan umat Islam harus dimulai dengan
menyadari sebuah kenyataan akan perbedaanperbedaan masalah furû‘. Dengan

menyadari hal ini, dapat diambil sikap yang tepat dan benar dalam merespons
perbedaan-perbedaan masalah furû‘.

Yusuf al-Qaradhawi menegaskan, bahwa perbedaan-perbedaan masalah furû‘


merupakan rahmat. Selain itu, ia juga sebagai keleluasaan dan kekayaan khazanah
keilmuan Islam. Hal didasari dengan kenyataan, bahwa terdapat banyak ‘wilayah
kosong syariat’. Wilayah itu kemudian oleh para fuqahâ’ berusaha diisi sesuai dengan
dasar-dasar dan kecenderungan mazhabnya. Adanya ‘wilayah kosong’ ini bukan tanpa
tujuan, ia sebagai rahmat dan kemudahan bagi umat. 7 Kedua, berkaitan dengan
masalah-masalah besar yang dihadapi umat. Yusuf al-Qaradhawi mengungkapan di
pembahasan awalnya pada bagian ini bahwa:

“Di antara hal yang seringkali menyeret orang ke dalam kancah perselisihan
dan menjauhkannya dari persatuan ialah kekosongan jiwa mereka dari cita-cita dan

6
Yusuf al-Qaradhawi, al-S}ahwah al-Islâmiyyah bayna al-Ikhtilâf al-Masyrû‘ wa alTafarruq al-Mazmûm, (Kairo:
Dâr al-Syurûq, 1990), 69.
7
Ibid., 82-83.
persoalan-persoalan besar. Bila jiwa kosong dari cita-cita dan persoalan-persoalan
besar, terjadilah pertarungan dalam mempertentangkan masalah-masalah kecil.”8

Berdasarkan pernyataannya ini, al-Qaradhawi mengajak umat Islam untuk


menggarap masalah-masalah besar yang tengah dihadapi umat ini. Jika tidak, umat
hanya akan disibukkan dengan persoalan-persoalan kecil, seperti ikhtilaf dalam ranah
furû‘iyyah, yang jika dipermasalahkan hanya akan memperlebar jarak persatuan di
antara umat Islam dan melemahkan umat Islam. Di samping itu, jika umat Islam
mempunyai tujuan untuk menghadapi masalah besar, mereka akan bersatu. Sebab,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Ahmad Syauqi, “Sesungguhnya, musibah dapat
menyatukan orang orang yang terkena musibah”.19 Maka, memiliki satu tujuan untuk
memecahkan masalah besar bersama akan dapat membangun dan memperkokoh
kekuatan umat Islam.

C. Tata cara Penyelesaiannya


a. Persoalan yang Pernah dibahas oleh Ulama Klasik
Ada beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan oleh mujtahid kontemporer
dalam melakukan kajian terhadap persoalan yang pernah dibahas oleh ulama klasik.
Pertama, apakah persoalan ketetapan hukum suatu masalah itu disetujui, tetapi dalam
penerapan untuk penerapa sekarang apakah perlu penyesuaian. Kedua, apakah
persoalan dipeselisihkan oleh ulama mazhab, yang memerlukan pentarjihan, atau

Ketiga, kedua-duannya bersatu sekaligus. Persoalan-persoalan ini dapat terjadi


baik dalam bidang ibadah, muamalah dan lain-lain.
Perbedaan pendapat para fuqaha itu sebenarnya bersumber dari hadis nabi
yang beasal dari Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Turmuzi
dan lain-lain mengenai pencegahan penetapan harga.9 Hadis ini memberi penetapan
bahwa syari’at (hukum Islam) menetapkan kebebasan dalam perdagangan di pasar.
Hukum
Islam mebiarkan harga barangbarang bergerak sesuai dengan prinsip penawaran dan
permintaan pasar. Ilahi ini dapat dilihat dari pernyataan Nabi yang tidak bersedia
mempengaruhi urusan penetapan harga di pasar seperti permintaan sebagian sahabat.

8
Ibid., hal. 91.
9
Ibid., 91.
Keengganan Nabi tersebut cukup beralasan, karena proteksi yang dilakukan terhadap
pasar tanpa ada kepentingan apapun adalah perbuatan aniaya (kezaliman).

b. Persoalan yang Belum Pernah dibahas oleh Ulama Terdahulu


Mengingat demikian kompleksnya persoalan kontemporer yang muncul maka
Yusuf Qardhawi telah menjawabnya sebagaimana tertuang dari berbagai bukunya,
baik dalam bentuk penelitian maupun dalam bentuk fatwa. Persoalan-persoalan itu
antara lain persoalan saham, obligasi, bursa valas, asuransi, bedah operasi, cangkok
anggota tubuh, euthanasia, narkotika serta persoalan lainnya.10Akan tetapi dalam pasal
ini aka dikemukakan sebagian kecil dari persoalan yang dikemukakan oleh Yusuf
Qardhawi.
Dalam persoalan narkotika, Yusuf Qardhawi sangat keeras pendirinya. Dalam
buku fatwa Ma’ashirah, ia mengemukakan bahwa Mukhadirat (narkotik) termasuk
dalam kategori benda-benda yang diharamkan syara’. Ada tiga dalil yang
dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi untuk memperkuat pendapatnya. Pertama:
narkotik itu termasuk kategori khamar sesuai dengan balasan yang dikemukakan oleh
Umar bin Khattab, yaitu “segala sesuatu yang menutup akal. 11Yuusf Qardhawi
menjelaskan bahwa yang menutup akal adalah yang mengacaukan, menutup dan
mengeluarkan akal dari tabi’atnya yang dapat membedakan antara sesuatu dan
mampu menetapkan sesuatu. Benda-benda ini dapat mempengaruhi akal, dan
menghilangkan keseimbangan yang berakibat fatal terhadap diri pribadi yang
bersangkutan. Kedua, walaupun benda-benda

10
Persoalan-persoalan baru yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi dapat dilihat dalam bukunya Fatwa-fatwa
Kontemporer, yang merupakan kumpulan pertanyaan yang diajukan masyarakat. Baik yang terekam dalam kaset
maupun yang sudah dalam bentuk tulisan, selain itu persoalan baru itu juga dapat dilihat sebagian dalam buku
Halal Haram dalam Islam.
11
Kasus ini berbeda dengan kasus pertama, dimana kasus kedua ini keadaan penderita sudah dalam keadaan
koma dan penderita terserang oleh penyakit otak atau nagian kepala. Dan ia dapat hidup dengan bantuan alat
pernapasan dan dokter berkeyakinan penyakit itu tidak dapat disembuhkan. Jadi, disini persoalan tidak
tergantung orang lain tetapi karena kondisi pasien itu sendiri.
itu tidak termasuk dalam kategori khamar atau “Memabukkan” maka ia tetap
haram, dari segi “melemahkan” (menjadikan seseorang menjadi loyo). 12 Yuusf
Qardhawi
Mengutip hadis riwayat Abu Daud, di mana hadis tersebut bertujuan untuk
mengharamkan segala sesuatu yang menjadikan tubuh menjadi loyo, sedangkan
narkotik dapat membuat sesorang menjadi loyo, maka dengan sendirinya bila
dirangkaikan antara yang memabukkan, maka semakin jelas keharamannya. Ketiga,
kalaupun benda-benda itu (narkotik) tidak termasuk dalam kategori memabukkan atau
melemahkan, Yusuf Qardhawi paling tidak ia termasuk jenis “Khabaits” (sesuatu
yang buruk) dan membahayakan. Sedangkan salah satu ketetapan syara’ adalah Islam
mengharamkan memakan sesuatu yang buruk dan membahayakan.13
Di samping alasan tersebut di atas realitas yang terjadi di seluruh negara di
dunia memerangi narkotik dan menjatuhkan hukuman yang berat kepada pengguna
dan pengedarnya. Serta ditambah lagi narkotik itu menyebabkan sesorang kecanduan
dan memiliki sifat ketergantungan yang sulit untuk ditinggalkan oleh pengidapnya.
Hukuman itu memang tepat dan benar diberikan karena pada hakekatnya pada
pengedar itu ingin membunuh manusia secara perlahan-lahan. Oleh karena itu
menurut Yusuf Qardhawi mereka lebih layak mendapat hukum qishash dibandingkan
dengan orang yang hanya membunuh seorang atau dua orang.14 Selain itu menurut
Yusuf Qardhawi orang-orang yang menggunakan kekayaan dan jabatannya untuk
membantu orang yang terlibat narkotik termasuk orang yang merusak dan memerangi
Allah secara tidak langsung. Bahkan kenyataannya kejahatan dan kerusakan
diakibatkan oleh tindakan mereka melebihi perampok dan penyamun dan sangat wajar
kalau mereka dijatuhi hukum seperti perampok dan penyamun.
Titik tolak formulasi fiqh kontemporer Yusuf Qardhawi adalah bertumpu pada
landaan Rabbani yang kuat, sebagai konsekwensi keyakinan atas Islam sebagai ajaran
universal. Wujud konkrit dari formulasi fiqh dalam menangani berbagai problema
kehidupan kekinian, kaum muslimin harus mampu berinteraksi dengan Islam sebagai
sumber ajaran dan mengembalikan formulasinya sebagai sumber ajaran dan
mengembalikan formulasi fiqhnya, Yusuf Qardhawi mencari setiap akar teologis
sebagai pijakan bagi persoalanpersoalan modern termasuk dalam formulasi fiqhnya.
12
Lihat, Sunan Abu Daud, nomor 3686

13
Sesuatu yang membahayakan seperti dikutip oleh Yusuf Qardhawi ayat al-Qur’an Surat al-A’raf ayat. 157 dan
al-Baqarah 195 serta hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Majah
14
Mengenai hukum qishash ini dapat dilihat dalam surat alBaqarah ayat 179.
Yusuf Qardhawi berhasil membongkar situasi dan kondisi keterpisahan dunia
pemikiran dan dunia realitas dengan melakukan dan membuat formulasi fiqh yang
moderat sebagaimana yang selalu ia dengungkan dalam setiap kesempatan. Ia ingin
melakukan pemahaman terhadap kehidupan nyata dengan berbagai sebab yang,

Membentuknya Sehingga dapat mempersiapkan hakekat agama dalam


formulasinya yang sesuai dengan kondisi penyakit yang di derita oleh umat Islam.
Karena dalam bentuk normatifnya hukum (syari’at) adalah trasendental yang bersifat
Ilahiyah dan kekal sedangkan dalam bentuk prespektifnya ia selalu tunduk pada
tuntutan keadilan dan persamaan pada manfaat empiris dan spiritual dari individu dan
ummah. Formulasi fiqhnya yang menempuh jalan moderat (yaitu antara yang
berpaham liberal dan yang berpaham ekstrim). Dia dapat mengadopsi pemahaman
aliran liberal dan menolak setiap ektrim, baik yang menjurus ke arah pelalaian dan
pengabaian dari tuntutan formulasi fiqh yang sesungguhnya. Format pemikirannya
dapat mengharmonisasikan antara akal dan wahyu, mengaitkan antara agama dan
dunia, mensinkronkan antara ketetapan prinsip syari’at dengan tuntutan kondisi
zaman, menjelaskan antara hal-hal yang konstan dengan yang nisbi, memadukan
antara nilai salafi dengan pembaharuan, mengambil inspirasi aktual, menyongsong
masa depan, mengakui keterbukaan tanpa harus terjerumus ke dalam pelarutan dan
memiliki semangat toleransi tanpa menyederhanakan yang bersifat prinsip.

Rumusan formulasi fiqh Yusuf Qardhawi, yang pada dasarnya berisi upaya
merumuskan prinsip realitas dalam penerapan fiqh kontemporer, bukanlah merupakan
pemikiran yusuf Qardhawi yang semata-mata baru. Namun setidak-tidaknya Yusuf
Qardhawi telah berusaha untuk mengembangkan prinsip yang dianut oleh ulama
klasik seperti ulama mazhab empat serta konsep yang dikembangkan oleh al-Syatibi.
Walaupun dalam operasionalnya yang tetap memiliki inovasi-inovasi dalam
penerapan prinsip realitas. Hal ini sangat dimungkinkan, karen a Qardhawi memiliki
kemampuan pemahaman dan komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah s.a.w sebagai sumber hukum Islam.

Formulasi fiqh Yusuf Qardhawi dengan mengembangkan model ijtihad


(insya’iy dan intiqa’iy) adalah wujud nyata dari prinsip yang dianutnya. Formulasi
yang telah dihasilkan oleh ulama klasik yang begitu hidup dan realistic di zamannya,
bukan merupakan suatu penghalang untuk dilakukan kreasi baru, sesuai dengan
ketentuan zaman kontemporer. Lebih-lebih lagi terhadap persoalan fiqh yang belum
pernah

dibahas dan muncul pada zaman klasik, sangat memelukan penyelesaian dan
langkah-langkah praktis untuk penyelesainnya dengan tetap menerapkan prinsip-
prinsip metodologi yang dianutnya. Moderat-moderat yang dikmbangkan Yusuf
Qardhawi tidak lain adalah untuk menghimpun dan memadukan seluruh potensi serta
merangkai Informasi- informasinya untuk menuju suatu sasaran tertentu, sehingga
menjadi efektif dan fungsional bagi pembaharuan, kreatifitas dan penciptaan fiqh
kontemporer.

Yusuf Qardhawi walaupun formatnya berbeda dengan tokoh lainnya dalam


menyajikan karyanya, akan tetapi ia tetap merupakan kelanjutan dari sebuah proses
kesinambungan pemikiran klasik. Oleh sebab itu rumusan formulasi fiqh yang
dirancang dalam situasi dan kondisi kemapanan sosial politik pada zamannya, tidak
menghalanginya untuk melakukan pembaharuan, sesuai dengan perubahan
masyarakat modern saat ini. Pemikiran Yusuf Qardhawi tentang formulasi fiqh
setidaknya menjadi informasi perkembangan pemikiran bahkan memungkinkan
sebagai alternative pilihan dalam menghadapi permasalahan hukum aktual saat
sekarang ini.
BAB II

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Teks Al-Qur’an tentunya tidak mengalai perubahan, tetapi pemahaman
dan penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan
zaman.Karena perubanhan sosial merupakan suatu proses kemasyarakatan yang
berjalan secara terus menerus, maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran
islam juga harus bersifat kontinu sepanjang zaman. Dengan demikian islam akan
tetap relevan dan aktual, serta mampu menjawab tantangan modernitas.
Ruang lingkup fiqh kontemporer meliputi aspek hukum keluarg, aspek
ekonomi, aspek pidana, aspek kewanitaan, aspek medis, aspek teknologi,
aspek politik (kenegaraan), dan aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.
Sifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekuensi logis
daritugas fiqh, yang harus selalu berusaha menyelaraskan problema kemanusiaan
yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif dengan dua sumber rujukan
utamanya yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Kompleksitas persoalan-persolan baru yang muncul di masa kini tentunya
akan membutuhkan pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai agama. Di sinilah
letak betapa pentingnya rumusan ideal moral maupun formal dari fiqh
kontemporer tersebut
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang maka
lah di atasdengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di
pertanggung jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa.

Nugroho, M. Yusuf Amin. 2012. Fiqh Ikhtilaf NU-Muhammadiyah. Wonosobo: T.P.

Thowilah, Abd al-Wahab Abd al-Salam. 1414 H. Atsâr al-Lughah fî Ikhtilâf al-Mujtahidîn.
Dâr al-Salâm.

Khallaf, ‘Abd al-Wahab. T.Th. Us}ûl al-Fiqh al-Islâmiy. Mesir: Maktabah al-Da‘wah al-
Islâmiyyah.

Anda mungkin juga menyukai