Anda di halaman 1dari 11

Cara Menyikapi Perbedaan Pandangan dalam Fikih

Dosen Pengampu:
Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag

Disusun oleh :
Nur Ridha Febriyanto Putri
NIM : 200602110042

Jurusan Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang
1
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Cara Menyikapi Perbedaan
Pandangan dalam Fikih ” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Dr. H. Munirul
Abidin, M. Ag pada mata kuliah Studi Fiqih. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
Untuk menambah wawasan tentang pengertian Ikhtilaf, faktor penyebabnya, dan juga cara
menyikapi ikhtilaf itu sendiri bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. H. Munirul Abidin, M. Ag selaku dosen mata
Kuliah Studi Fiqih yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
Kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bojonegoro, September 2021

Penulis

2
Daftar Isi

Halaman Judul..................................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR............................................................................................................................................2
Daftar Isi...........................................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang........................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................................................6
2.1 Pengertian Ikhtilaf..................................................................................................................................6
2.2 Penyebab Terjadinya Ikhtilaf..................................................................................................................7
2.3 Sikap dan Etika dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat....................................................................10
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan...........................................................................................................................................12
Daftar Pustaka................................................................................................................................................13

3
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perbedaan merupakan sesuatu yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Perbedaan
senantiasa hadir dalam setiap persoalan manusia. Oleh sebab itu, pembahasan tentang perbedaan
akan menjadi tema yang tidak berujung untuk dibahas, karena perbedaan itu sendiri sudah lahir
sejak dahulu kala dan merupakan sebuah keniscayaan.
Meskipun dari awal penciptaan manusia berasal dari bapak yang sama, yaitu Nabi Adam Alaihi
salam, akan tetapi Allah SWT juga memberikan keistimewaan pada setiap diri manusia.
Keistimewaan itulah yang merupakan sebuah perbedaan yang telah Allah SWT berikan
seseorang yang tidak Dia berikan kepada yang lainnya. Perbedaan inilah yang merupakan
sesuatu yang indah dan anugerah dari Allah SWT.
Allah telah memberikan banyak perbedaan di antara manusia, baik dalam segi fisik, pola pikir,
kecerdasan, jalan hidupnya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dengan begitu banyaknya
perbedaan yang dimiliki manusia, tidak dikecualikan terbentuk perbedaan dalam cara pandang
manusia dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah, terutama masalah-masalah seputar fiqih.
Baik itu yang terjadi pada zaman dahulu maupun sekarang. Apalagi dengan persoalan-persoalan
baru yang muncul di zaman sekarang yang sebelumnya belum pernah terjadi di zaman dahulu.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut tentunya akan melahirkan
perbedaan-perbedaan yang menjadi sifat manusia.
Jika pada zaman dahulu di kala Rasulullah SAW masih hidup terdapat persoalan perbedaan
(ikhtilaf), maka hal tersebut akan dikembalikan kepada Rasulullah SAW. Namun pada masa
sahabat setelah Rasulullah wafat, terjadi banyak persoalan baru yang menimbulkan perbedaan
pendapat dalam hal menetapkan hukum terhadap persoalan tersebut.
1.1 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Ikhtilaf?
2. Apa penyebab terjadinya ikhtilaf?
3. Bagaimana sikap dan etika dalam menghadapi perbedaan pendapat?
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai ikhtilaf dan penyebab terjadinya ikhtilaf
2. Untuk mengetahui bagaimana sikap dan etika kita dalam menghadapi persoalan
perbedaan pendapat

4
3. Untuk mempelajari peristiwa pada zaman Rasulullah SAW yang berkaitan dengan
tema penulisan makalah ini.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ikhtilaf

Kata ikhtilaf secara bahasa berasal dari kata khalafa-yakhlifu-khalfan. Mengenai arti
khilafan sendiri yaitu berbeda, mengganti, membelakangi, dan meninggalkan keturunan. Selain
itu, khilafan juga dapat diartikan sebagai bertentangan, tidak sepakat, berselisih paham,
perbedaan pendapat atau pikiran yang sedang dibahas oleh para ulama.
Sedangkan untuk pengertian secara istilah, ikhtilaf diartikan sebagai berikut, dari Taha
Jabir yang menyatakan bahwasanya ikhtilaf merupakan : “Ikhtilaf dan Mukhalifah proses yang
dilalui melalui metode yang berbeda, antara seorang dan lainnya dalam bentuk perbuatan
atau perkataan.”
Sedangkan menurut Al Jurjani yang berpendapat bahwa ikhtilaf adalah sebagai berikut,
“Perbedaan pendapat yang terjadi di antara beberapa pertentangan untuk menggali
kebenarannya dan sekaligus untuk menghilangkan kesalahannya.”
Dilihat dari kedua pengertian yang disampaikan oleh beberapa pakar hukum Islam di
atas, dapat diartikan bahwa, perbedaan pendapat adalah perbedaan cara atau metode yang
dilalui oleh seseorang yang berbeda dengan orang lain, baik dari perkataan, perbuatan, prinsip,
maupun keadaan. Akan tetapi, Al Jurjani menerangkan bahwasanya, arah atau maksud dari
perbedaan pendapat ini yaitu untuk menyakinkan kebenaran atau menolak kebatilan. Pendapat
ini dirasa berbeda dengan pengertian lain dari ikhtilaf yang tidak menerangkan tujuan dari
ikhtilaf itu sendiri.
Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah cara yang tepat dan benar untuk mengetahui
kebenaran dan kesalahan dalam ikhtilaf. Sehingga lahirlah ilmu khilaf sebagai jawabannya.
Menurut Taha Jabir, ilmu khilaf merupakan ilmu yang mengulas akan kemungkinan
terpeliharanya masalah yang didiskusikan oleh para Imam Mazhab dan juga merupakan ilmu
yang mengkaji perihal perselisihan tanpa sandaran yang jelas terhadap dalil yang dimaksud.
Ilmu ikhtilaf mengutamakan dalam segi penetapan hukum yang sesuai dengan apa yang
dilaksanakan oleh para Imam Mazhab terdahulu dan juga mengelak terjadinya perselisihan
yang tidak diinginkan. Dari sini dapat diartikan bahwasanya ikhtilaf yang mulanya hanya

5
sekedar perdebatan antara masing-masing mazhab atau pengikutnya, dapat menciptakan sebuah
ilmu, yaitu ilmu khilaf.
Dari beberapa pernyataan di atas, maka ikhtilaf dapat diartikan sebagai perbedaan
pendapat yang terjadi di antara ahli hukum Islam dalam menentukan sebagian hukum Islam
yang bersifat furu’, tidak pada persoalan hukum Islam yang bersifat ushul, yang diakibatkan
karena perbedaan dalam pemahaman aray perbedaan metode yang digunakan untuk
menentukan hukum suatu masalah.

2.2 Penyebab Terjadinya Ikhtilaf


Dalam kemajuan hukum Islam, perbedaan pendapat (ikhtilaf) perihal penentuan hukum
sudah ada sejak zaman para sahabat Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu di mana Rasulullah
SAW masih hidup, segala perbedaan pendapat segera dihadapkan dengan mengembalikannya
kepada Rasulullah SAW. Namun sepeninggalnya Rasulullah SAW, semakin banyak persoalan-
persoalan baru yang timbul dan sering kali menciptakan perbedaan pendapat saat menentukan
hukum terhadap suatu masalah.
Permasalahan tersebut bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia Islam. Bahkan banyak
dari para ulama yang memiliki karya khusus dalam bidang meneliti, membandingkan, yang
kemudian mengulas berbagai paham yang berbeda dengan argumentasi yang dimiliki oleh
masing-masing. Salah satu kitab yang mengulas mengenai perbedaan pendapat dalam bidang
hukum Islam yaitu, kitab al-Mughni karya dari Imam Ibnu Qudamah yang dicetak dalam 15
jilid. Kitab ini juga dapat dikatakan sebagai ensiklopedia dari ragamnya pandangan dalam
bidang hukum Islam menurut berbagai mazhabnya. Karena dalam kitab ini tidak hanya sebatas
pada empat madzhab yang populer saja, melainkan juga berisi mengenai pendapat-pendapat
dari ulama lain yang juga hidup semenjak zaman sahabat, Tabi’in dan tabi’ Tabi’in.
Selain itu juga terdapat kitab lain seperti Kitab al-Mabsut karangan Imam Sarkhasi,
yang juga membahas perihal hukum dengan cara membuat perbandingan dengan mazhab-
mazhab lain, meskipun Sarkhasi sendiri berposisi sebagai penganut mazhab Hanafi. Ada juga
kitab karya Ibnu Rusdi yaitu kitab Bidayatul Mujtahid. Kitab ini juga mengulas perihal hukum
yang ada pada berbagai Mazhab dan juga kitab lainnya yang sama-sama berisi akan perbedaan
pendapat.
Penyebab dari terciptanya perbedaan pendapat dalam menentukan hukum Islam tersebut
disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor manusiawi dan juga faktor agama. Faktor-faktor
tersebut mengalami kemajuan selama pertumbuhan hukum pada keturunan selanjutnya,

6
sehingga sewaktu-waktu dapat melahirkan perselisihan sengit, apalagi di kalangan masyarakat
awam. Akan tetapi pada peradaban yang semakin m aju seperti sekarang ini, persoalan
khilafiah dalam perkara furu’iyah tidak lagi diperdebatkan. Ini terjadi karena adanya
pemahaman dan pengertian yang dilakukan dalam mempelajari ikhtilaf dan cara menyikapinya.
Dalam usaha menyatukan faktor-faktor penyebab ikhtilaf, para ulama juga memiliki
argumentasi yang berbeda-beda. Namun secara totalitas penyebab dari terciptanya perbedaan
pendapat dapat dikatakan sebagai berikut:
1. Muhammad Abdul Fath al-Bayanuni dalam kitabnya: Dirasat fi al-Ikhtilaf al-
Fiqhiyyah menerangkan bahwasanya, awal perbedaan dalam hukum-hukum fiqih dikarenakan
adanya ijtihad tentang hukum, khususnya pasca Rasulullah SAW dan sahabat meninggal dunia.
Di sini al-Bayanuni menerangkan bahwasanya terdapat 4 faktor utama dalam perbedaan
pendapat tersebut, yaitu: 1) Perbedaan pendapat mengenai ada atau tidaknya nas Al-Qur’an
maupun hadist yang digunakan, 2) Perbedaan mengenai pemahaman suatu nas, 3) Perbedaan
dalam metode jama’ dan tarjih, dan 4) Perbedaan dalam kaidah ushul fiqih dan sumber-sumber
hukum.
2. Taha Jabir dalam kitabnya yang berjudul Adabul Ikhtilaf. Kitab ini menerangkan
bahwasanya faktor-faktor pemicu adanya ikhtilaf ada 4 macam, yaitu faktor bahasa, faktor
periwayatan Sunnah, faktor kaidah dan metode istinbath.dahh
3. Mahmud Syaltut menyatakan bahwasanya ikhtilaf di lingkungan para ulama terjadi
diakibatkan oleh beberapa faktor yang sulit untuk dihindari, yaitu :
a. Dalam Al-Qur’an terdapat lafadz-lafadz yang mempunyai arti ganda (musytarak),
seperti contohnya adalah kata quru’. Kata quru’ mempunyai makna suci dan haid. Imam Abu
Hanifah beranggapan, perempuan yang ditalak oleh suaminya dikenakan untuk beriddah tiga
kali haid. Sedangkan Imam Syafi’i beranggapan bahwa perempuan yang dicerai oleh suaminya
dikenakan untuk beriddah tiga kali suci. Dalam Al-Qur’an juga terdapat kata Hakiki dan
Majazi, yang mana sering terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan hukum saat
menghadapi kata hakikat dan majaz tersebut.
b. Perbedaan waktu, tempat, dan kasus yang sedang dihadapi oleh para ulama,
diperoleh nas hukumnya. Akibatnya mereka wajib untuk berijtihad. Saat berijtihad itu pula,
para ulama menggunakan sebuah metode yang antara satu dengan yang lainnya berbeda.
Sehingga dari sinilah akhirnya mengakibatkan terbentuknya hukum yang berbeda-beda.
c. Tidak semua ulama memiliki tingkatan yang sama dalam menerima hadist dari
Rasulullah SAW. Masalah tersebut diakibatkan karena perbedaan jumlah sahabat yang dapat

7
dijumpai. Selain itu tidak semua sahabat juga memiliki tingkatan yang sama dalam mendengar
hadist dari Rasulullah. Ada sahabat yang mendengar satu hadist saja, ada yang puluhan, ratusan
bahkan ribuan hadist. Akibatnya ada hadist yang sampai pada sebagian ulama, sedangkan
mungkin saja tidak sampai kepada sebagian yang lain.
d. Berselisih dalam menggunakan kaidah-kaidah Ushul dalam menentukan hukum.
e. Berselisih dalil yang digunakannya, seperti halnya istihsan, maslahah mursalah,
qaul sahabat, ‘uruf, dan lain sebagainya.
f. Perbedaan daya serap intelektual setiap para ulama.
Dari pernyataan di atas, dapat diartikan bahwasanya persoalan khilafiah merupakan
persoalan yang nyata dalam kehidupan manusia. Sebab adanya daya pikir yang membuat orang
selalu berpikir dinamis dalam menentukan suatu hukum. Sehingga akhirnya dapat disimpulkan
menjadi empat faktor utama, yaitu: 1) Perbedaan pendapat perihal benar tidaknya suatu teks
dalil syar’i sebagai hujjah, 2) Perbedaan pendapat dalam mendefinisikan teks dalil syar’i
tertentu, 3) Perbedaan pendapat perihal beberapa kaidah usul fiqih dan juga beberapa dalil
hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak terdapat nas-nya), seperti halnya qiyas,
istihsan, mashalih mursalah, ‘urf, saddud-dhara’i, syar’u man qablana, dan lain sebagainya, 4)
Perbedaan pendapat yang didasari oleh perubahan situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan lain
semacamnya.

2.3 Sikap dan Etika dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat


Berkaitan dengan sikap dan etika saat menjumpai perbedaan pendapat adalah dengan
merujuk seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW pula. Yaitu dengan cara
mendengarkan seluruh pendapat yang berbeda-beda dari para sahabat terlebih dahulu. Hal ini
sesuai dengan persoalan-persoalan terdahulu yang telah membuktikan sikap Rasulullah
tersebut. Karena sejatinya prinsip sikap Rasulullah untuk mendengar dan bermusyawarah
tersebut ternyata merupakan perwujudan dari firman-firman Allah SWT dalam Al-Qur’an,
salah satunya adalah dalam surat Ali Imran:159 yang berbunyi:
‫اورْ هُ ْم فِى ااْل َ ْم ۚ ِر‬
ِ ‫َو َش‬
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu ....” (QS. Ali Imran: 159)
Rasulullah SAW senantiasa selalu mendengarkan pendapat dari para sahabatnya, yang
lalu menyaring dan memilih pendapat terbaik sekaligus bermanfaat. Menurut penjelasan ayat
dan hadist menjelaskan bahwasanya pada masa Rasulullah SAW, persoalan-persoalan tersebut
diselesaikan dengan cara musyawarah. Banyak kejadian atau peristiwa di masa lalu yang

8
menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati meskipun berada di atas perbedaan
pendapat. Pernyataan tersebut dapat diketahui dari beberapa peristiwa di bawah ini,
1. Para sahabat Imam Hanafi dan Imam Syafi’i begitu juga dengan imam-imam yang lain
berpendapat bahwasanya membaca basmalah dalam shalat hukumnya adalah wajib. Karena
basmalah sendiri adalah salah satu ayat dalam surat Al Fatihah. Sedangkan pada kebiasaannya
di Kota Madinah yang ketika shalat berjama’ah mengikuti madzhab Maliki, maka tentang
persoalan tersebut para pengikut Hanafi dan Syafi’itidak mempermasalahkannya ketika
mengikuti shalat bersama mereka.
2. Pada suatu waktu Imam Syafi’i pernah shalat shubuh di dekat kuburan Abu Hanifah tanpa
disertai kunut. Meskipun menurut Imam Syafi’i sendiri, kunut merupakan perbuatan sunat
ab’ad, tetapi beliau tidak menjalankannya hanya karena menghormati Imam Abu Hanifah. Dari
peristiwa tersebut dapat diketahui bahwa begitu mulia dan hormatnya Imam Syafi’i terhadap
para ulama, meskipun tidak sesuai dengan Mazhab yang diikutinya.
3. Ibnu Taymiyah pernah berkata: “Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda
pendapat dalam suatu masalah saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa
sedikitpun ikatan ukhuwah di antara kaum muslimin.” Perkataan Ibnu Taymiyah tersebut
menekankan bahwasanya perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang dapat mengakibatkan
terjadinya permusuhan sesama muslim dan bukan cara untuk memutuskan tali persaudaraan.
Dalam kenyataannya, para Imam Mazhab bukan hanya menghormati pendapat dari Mazhab
lain, tetapi bahkan juga tidak segan untuk saling memuji di antara mereka. Seperti halnya
berikut ini:
Imam Syafi’i : Siapa saja mau tahu ilmu fikih, maka bergantung kepada Abu Hanifah, siapa
yang mau tahu sejarah, maka bergantung pada Muhammad ibn Ishak. Dan siapa saja yang
mau tahu hadist, maka bergantung pada Imam Malik dan siapa saja yang mau tahu tafsir,
maka bergantung pada Maqatil bin Sulaiman.”
Dari uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa telah adanya perbedaan pendapat sejak
masa Rasulullah SAW, masa sahabat, Tabi’in hingga ke masa Imam Mazhab lalu terus
berlanjut sampai kehidupan saat ini. Tetapi hal tersebut dihadapi dengan suasana yang
harmonis, saling menghargai, saling memuji dan juga toleransi.
Bahkan ada ungkapan salah satu ulama yang populer mengenai perbedaan pendapat
tersebut, dia antaranya adalah dari Imam Qatadah Ra yang berbunyi:
َ ‫ش َّم لَ ْم ااِل ْخ ِتاَل‬
ْ‫ف َيعْ َرفِ لَ ْم َمن‬ َ ‫ِبَأ ْنف ِِه ْالفِ ْق ِه َر‬
ُ ‫اِئح َة َي‬

9
“Barang siapa yang tidak mengenal adanya perbedaan pendapat, maka dia belum mencium
fikih dengan hidungnya.”

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ikhtilaf dapat diartikan sebagai perbedaan pendapat yang terjadi di antara ahli hukum
Islam dalam menentukan sebagian hukum Islam yang bersifat furu’, tidak pada persoalan
hukum Islam yang bersifat ushul. Dari uraian-uraian di atas dapat dipahami bahwasanya
pentingnya untuk mengetahui perbedaan yang terjadi di kalangan ulama, dalil, argumentasi dan
juga cara menyikapinya. Oleh sebab itu timbulnya perselisihan akibat dari perbedaan pendapat
akan beresiko rendah kehadirannya.

10
Daftar Pustaka

Al-Imam bin Abdul Barr Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Ahlihi Juz 2


Al-Barikan, Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah. 1442 H. Al-Ikhtilaffi Ushuluddin: Asbabuhu wa
Ahkanuhu. Diktat pada Fakultas al-Mu’allimin di Danam.
Dedi Supriadi, Perbandingan Madzab dengan Pendekatan Baru, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Masduqi, Irwan. 2011. Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama. Mizan:
Jakarta.
Sarwat, Ahmad. 2007. Fikih Ikhtilaf: Panduan Umat di Tengah Belantara Perbedaan Pendapat.
Jakarta: Darul Ulum Al Islamiyah.

11

Anda mungkin juga menyukai