DAN PERMASALAHANNYA
Disusun Oleh :
Maisyarah
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
Daftar Isi................................................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN...................................................................................................1
1. Latar belakang masalah..............................................................................................1
2. Rumusan masalah.......................................................................................................1
3. Tujuan masalah...........................................................................................................2
BAB II: PEMBAHASAN “PERBEDAAN PENDAPAT (IKHTILAF) PARA ULAMA
DAN PERMASALAHANNYA”.........................................................................................
A. Ikhtilaf .......................................................................................................................
B. Sejarah Ikhtilaf...........................................................................................................
C. Antara Ikhtilaf Dengan Tafarruq................................................................................
D. Macam-macam Ikhtilaf..............................................................................................
E. Faktor-faktor yang terdapat dalam ikhtilaf.................................................................
F. Metode yang dipakai ulama dalam mengatasi ikhtilaf...............................................
BAB III : PENUTUP............................................................................................................
1. Kesimpulan.................................................................................................................
Daftar pustaka.........................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
2. Rumusan Masalah
1. Apakah itu ikhtilaf?
2. Bagaimana sejarah ikhtilaf?
3. Apa perbedaan Antara ikhtilaf dengan tafarruq?
4. Apa saja Macam – macam ikhtilaf?
5. Apa saja faktor-faktor yang terdapat dalam ikhtilaf?
6. Metode apakah yang dipakai ulama dalam mengatasi ikhtilaf?
3. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa itu ikhtilaf
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah ikhtilaf
3. Untuk mengetahui perbedaan ikhtilaf dengan tafarruq
4. Untuk mengetahui macam-macam ikhtilaf
5. Untuk mengetahui faktor-faktor ikhtilaf
6. Untuk mengetahui metode yang dipakai dalam ikhtilaf
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ikhtilaf
Menurut bahasa kata إختالفberasal dari kata إختلف – يختلفyang berarti perbedaan,
keragaman membedakan1. Sedangkan menurut istilah ikhtilaf menurut para ulama adalah
perbedaan pendapat di kalangan para Fuqaha dalam menentukan suatu hukum yang berkaitan
dengan masalah ijtihad2.
Perbedaan pendapat adalah perbedaan, cara, metode yang ditempuh seseorang dengan
orang lain baik itu didalam perkataan, perbuatan maupun keadaan. Dan di dalam kitab Al-
Ta’rifat karya Al- Jurjani mengatakan Jika pengertian Ikhtilaf itu adalah Perbedaan pendapat,
yang terjadi antara dua orang untuk mengetahui suatu kebenaran dan mengukuhkan
kesalahan3.
Ikhtilaf merupakan salah satu tanda-tanda tentang kebesaran Allah swt, sebagaimana
yang telah dituliskan di dalam Qs Al-Hudd : 118-119.
Artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu,
tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi
rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat
Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi
neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.
Minhajuddin membagi dalam dua bagian besar yakni: Pertama, ikhtilaf dalam
kepastian nash kualitasnya, Kedua. Ikhtilaf dalam pemahaman nas dan hikmahnya. Dari
beberapa definisi di atas dapat kita ketahui bahwa perbedaan pendapat adalah perbedaan cara
atau metode yang dilalui oleh seseorang di dalam prinsip, keadaan, perbuatan dan perkataan.4
B. Sejarah Perbedaan Pendapat
a. Perbedaan Pendapat Para Nabi
Meski para Nabi dan Rasul memiliki kedudukan yang mulia serta mendapatkan
‘ishmah (penjagaan) dari Allah SWT agar tidak tercebur ke dalam dosa, namun dalam
1
Mutahar, Ali, et al. Kamus Arab-Indonesia. Hikmah, 2005 hal.,
2
Nanang Abdillah, Madzhab Dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan, Jurnal Fikroh 08, 01
(2014), hal. 21
3
Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Beirut : Dar al-Kitab al-Lubnaniy, 1991) hal. 113.
4
Anwar Sadat, Ikhtilaf di Kalangan Ulama Al-Mujtahidin, Jurnal Al-Risalah 15, 02 (2015), hal. 182
prakteknya masih dimungkinkan mereka berbeda pandangan, bukan dengan kaumnya, tetapi
dengan sesama Nabi dan rasul, yang sama-sama menjadi utusan Allah SWT Nabi Musa dan
saudaranya sendrii, yaitu Nabi Harun, mereka berdua pernah berselisih dan berbeda
pandangan dalam satu urusan.
Dan Musa juga pernah berbeda pandangan dengan Nabi Khidhir alihimussalam. Nabi
Sulaiman dan ayahnya yang juga samasama utusan Allah, yaitu Nabi Daud alihimussalam,
juga pernah berbeda pandangan ketika memutuskan perkara di tengah umat mereka.
Perbedaan Pendapat Antara Nabi Musa dan Harun Nabi Musa pernah berselisih dengan
saudaranya, Nabi Harun alaihimassalam. Perselisihan itu bukan hanya sebatas perang
katakata, bahkan sampai Musa menarik rambut di kepala dan jenggot saudaranya itu dengan
marah dan kecewa. Yang terdapat dalam Qs Thaha : 92-93
Artinya : Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat
mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu
telah (sengaja) mendurhakai perintahku?"
Sumber keributan antara keduanya berhulu ketika Nabi Musa SAW dipanggil Allah
SWT untuk menerima wahyu di atas bukit Thursina. Musa menitipkan urusan kaumnya itu
kepada saudaranya, Harun. Namun pendekatan Harun agak sedikit berbeda dengan Musa.
Harun konon lebih lemah lembut, halus, lebih banyak bermain perasaan, sehingga
memberikan lebih banyak toleransi atas kedegilan bangsa Yahudi itu. Tidak seperti sikap
Nabi Musa yang lebih keras dalam menghadapi mereka. Sehingga ketika Musa kembali dari
menghadap Allah SWT dan dilihatnya kaumnya seperti itu, meledaklah marahnya. Seperti
yang terdapat di dalam Qs Al-A’raf :150
Artinya : Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati
berkatalah dia, "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah
kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musa pun
melemparkan luh-luh itu dan memegang kepala saudaranya sambil menariknya ke
arahnya, Harun berkata, "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah
menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu
janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah
kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim”
Dan pada pada itu, Nabi Harun saudaranya itu pun menjawab dalam Qs Thaha : 94
Artinya : Harun menjawab' "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan
kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata, "Kamu telah
memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku".
Penting untuk kita garis-bawahi disini, bahwa Musa dan Harun, keduanya adalah
saudara, samasama diangkat menjadi Nabi untuk kaum yang sama, yaitu kaum Yahudi.
Tetapi pola pendekatan yang masing-masing lakukan ternyata berbeda, dan terjadilah tarik
menarik rambut dan jenggot di antara mereka. Padahal kalau dipikir-pikir, Nabi Musa ini
amat kuat fisiknya, dan pernah meninju orang dengan sekali pukulan hingga mati. Dan dalam
riwayat yang shahih disebutkan bahkan malaikat Izrail pun pernah kena tinju matanya hingga
picek, lalu mengadu kepada Allah SWT Artinya, perbedaan pendapat antara Musa dan Harun
malah sampai kepada keributan fisik. Tetapi begitulah, keduanya tetap berkedudukan sebagai
utusan Allah SWT Perbedaan Pendapat Antara Musa dan Khidhir Masih terkait dengan Nabi
Musa lagi, kali ini beliau berbeda pandangan dengan Nabi Khidhir alaihissalam.
Kisahnya disebutkan juga di dalam AlQuran, meski tidak sampai keributan fisik.
Sebab saat itu posisi Nabi Musa bukan sebagai pemimpin, melainkan sebagai murid yang
sedang belajar untuk mendapatkan ilmu dari orang yang derajatnya lebih tinggi. Dan
begitulah, keduanya selalu berselisih dan beda pendapat dalam perjalanan. Musa selalu
mempertanyakan semua tindakan shahabatnya itu, meski pada akhirnya beliau selalu harus
dibuat mengerti. Tetapi intinya, beda pemahaman itu adalah sesuatu yang wajar dan mungkin
terjadi, bahkan di kalangan sesama para nabi. Dan tidak ada kebenaran tunggal dalam hal ini.
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami. (QS. Al-Kahfi : 65)
Artinya : Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?" (QS. Al-Kahfi : 66
Artinya : Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama
aku. (QS. AlKahfi : 67)
Artinya : Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (QS. Al-Kahfi : 68)
Artinya : Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar,
dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".(QS. AlKahfi : 69)
Artinya : Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".(QS. Al-
Kahfi : 70)
Artinya : Khidir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan
kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. ".(QS. AlKahfi : 78)
Perbedaan Pendapat Antara Nabi Sulaiman dan Daud
ُكمان ِ ليمان إ ُ ود
ِ ذ ِ ِث إ ِف احلر ذ حي
21.78 ُكم ِهم شاه ِ حل
ِ ِ وس ُ ّ وداو ا ُوكن ِ القوم ُ غنم ِ يه ِ نفشت ف ين ِد.
Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan
mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya.
Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
b. Perbedaan Pendapat Malaikat
Bahkan sesama malaikat yang mulia dan tanpa hawa nafsu sekali pun tetap terjadi
beda pendapat. Masih ingat kisah seorang yang taubat karena telah membunuh 99 nyawa
ditambah satu nyawa? Dalam perjalanan menuju taubatnya, Allah mencabut nyawanya. Maka
berikhtilaflah dua malaikat tentang nasibnya. Malaikat kasih sayang ingin membawanya ke
surga lantaran kematiannya didahului dengan taubat nashuha. Namun rekannya yang juga
malaikat tetapi job-nya mengurusi orang pendosa ingin membawanya ke neraka, lantaran
masih banyak urusan dosa yang belum diselesaikanya terkait dengan hutang nyawa.
Bayangkan, bahkan dua malaikat yang tidak punya kepentingan hewani, tidak punya
perasaan, tidak punya kepentingan terpendam, tetap saja ditaqdirkan Allah SWT untuk
berbeda pendapat. Kisah lengkapnya seperti yang sudah terdapat dalam kitab tarshahih kedua
setelah Al-Qur’an dan Sunnah yaitu kitab hadits Jami’ Shahih Bukhari yang selalu menjadi
rujukan.
ض فَ ُد َّل َعلَى ِ ِ ِ ِ
ْ َأعلَ ِم َْأه ِل
ِ اَألر ْ َأل َع ْن
َ ني َن ْف ًس ا فَ َس
َ يم ْن َك ا َن َقْبلَ ُك ْم َر ُج ٌل َقتَ َل ت ْس َعةً َوت ْس ع
َ َك ا َن ف
َّ َف َقَتلَ هُ فَ َك َّم َل بِ ِه ِماَئةً مُث.َال ال
َ ني َن ْف ًس ا َف َه ْل لَ هُ ِم َن َت ْوبَ ٍة َف َقِ ِ ِ
َ ال ِإنَّهُ َقتَ َل ت ْس َعةً َوت ْس ع ٍ ر ِاه
َ ب فََأتَاهُ َف َق َ
َ س َف َه ْل لَ هُ ِم ْن َت ْوبَ ٍة َف َق
ال َ َ ض فَ ُد َّل َعلَى َر ُج ٍل َع امِلٍ َف َق
ٍ ال ِإنَّهُ َقتَ ل ِماَئةَ َن ْف ْ َأعلَ ِم َْأه ِل
ِ اَألر ْ َأل َع ْن
َ َس
ِ َض َك َذا و َك َذا فَ ِإ َّن هِب ا ُأنَاس ا يعب ُدو َن اللَّه ف
ِ ول َبْينَ هُ َو َبنْي َ الت َّْوبَ ِة انْطَلِ ْق ِإىَل َْأر
َاعبُ د اللَّه
ْ َ ُْ َ ً َ َ ُ َُن َع ْم َو َم ْن حَي
ٍ ِ
ُ ف الطَِّري َق َأتَ اهُ الْ َم ْو
ت َ َ فَ انْطَلَ َق َحىَّت ِإذَا ن.ض َس ْوء
َ ص َ َم َع ُه ْم َوالَ َت ْرج ْع ِإىَل َْأر ِض
ُ ك فَِإن ََّه ا َْأر
ت َمالَِئ َك ةُ الرَّمْح َ ِة َج اءَ تَاِئبً ا ُم ْقبِالً بَِق ْلبِ ِه ِإىَل ِ ت فِي ِه مالَِئ َك ةُ الرَّمْح َ ِة ومالَِئ َك ةُ الْع َذ
ْ َاب َف َق ال َ ََ َ ْ ص َم َ َاخت
ْ َف
آد ِم ٍّى فَ َج َعلُ وهُ َبْيَن ُه ْم
َ ور ِة
َ صُ ك ىِف ُ َ فََأت.ط
ٌ َاه ْم َمل ً ْ
ِ ت مالَِئ َك ةُ الْع َذ
ُّ َاب ِإنَّهُ مَلْ َي ْع َم ل َخْي را ق َ
ِ
َ ْ َ َوقَ ال.اللَّه
ِ ِإ ِال ق
ض الَّىِت ْ اس وهُ َف َو َج ُدوهُ َْأدىَن ِإىَل
ِ اَألر ُ َف َق.ُاَألرضَنْي ِ فَ ىَل َأيَّت ِه َم ا َك ا َن َْأدىَن َف ُه َو لَه
ْ َ يسوا َم ا َبنْي
ُ َ َف َق
ضْتهُ َمالَِئ َكةُ الرَّمْح َِة
َ َََأر َاد َف َقب
Artinya : Pada umat sebelum kalian ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 jiwa.
Kemudian ia bertanya tentang siapakah penduduk bumi yang paling berilmu. Ia
pun ditunjukkan pada seorang ahli ibadah. Ia mendatanginya dan berkata
bahwasanya ia telah membunuh 99 jiwa. Apakah masih ada peluang tobat untuk
dia. Ahli ibadah itu menjawab: Tidak. Orang itu pun membunuh ahli ibadah
tersebut. Sehingga genaplah menjadi 100 jiwa (yang pernah dibunuhnya).
Kemudian ia bertanya tentang penduduk bumi yang paling berilmu. Ia ditunjukkan
pada seorang yang berilmu. Orang itu berkata bahwa ia telah membunuh 100 jiwa.
Apakah masih ada tobat untuknya. Orang berilmu berkata: Ya, siapakah yang bisa
menghalangi antara dirinya dengan pertobatan? Pergilah ke tempat ini dan ini
karena di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah. Beribadahlah kepada
Allah bersama mereka. Jangan kembali ke tempat asalmu karena itu tempat yang
buruk. Ia pun pergi hingga di pertengahan jalan ia meninggal. Malaikat rahmat
berdebat dengan Malaikat azab. Malaikat rahmat berkata: Ia telah datang dengan
bertobat menghadapkan hatinya kepada Allah. Malaikat azab berkata:
Sesungguhnya ia belum melakukan kebaikan sama sekali. Kemudian datanglah
Malaikat dalam bentuk manusia. Mereka pun menjadikannya sebagai hakim
pemutus perkara di antara mereka. Malaikat (dalam bentuk manusia) itu berkata:
Ukurlah antar 2 tempat itu. Ke manakah yang lebih dekat, diputuskan dengannya.
Mereka pun mengukurnya dan didapati bahwa ia lebih dekat ke tempat yang dituju.
Kemudian ia dibawa oleh Malaikat rahmat
Atas kejadian itu Malaikat rahmat dan malaikat adzab berselisih Menarik sekali, ada
dua malaikat berselisih. Mungkin tidak terbayangkan di tengah kita, bagaimana bisa malaikat
dengan sesama mereka berselisih pandangan. Tetapi itu urusan Allah SWT Buat kita, cukup
kita tahu bahwa berselisih itu tidak berarti haram dan dosa. Ada perselisihan yang
diharamkan, tetapi ada juga yang dibenarkan. Kalau berpeda pandangan itu haram dan dosa,
seharusnya malaikat tidak boleh berbeda pandangan. Setidaknya, Rasulullah SAW tidak perlu
menceritakan kisah perselisihan mereka, seharusnya ditutup rapat saja, menjadi urusan dunia
ghaib.
5
Ahmad Sarwat, Lc,.MA, Perbedaan Pendapat Ulama, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing
2019), hal 33-36
jalan berarti mengumpulkan dua dalil. Mereka memperoleh dua keutamaan, sehingga
menerima dua pahala.
Perbedaan pendapat pertama di kalangan rasulullah sepeninggalnya yaitu tentang
kematian Rasulullah, yaitu sebagian jumhur telah ikhlas atas kepergian nabi, akan tetapi
Umar Bin Khattab tetap bersikukuh dengan lantang mengatkan bahwa nabi tidak meninggal.
Dan pada saat itulah Abu Bakar Berdiri dan mebacakan QS Ali Imran: 144
dan Abu bakar juga membaca Qs Az-Zumar: 30
Dan seketika mendengar 2 ayat inilah Umar Bin Khattab menjadi lemas kemudian
menjatuhkan pedangnya, dan karena 2 ayat ini Umar menjadi yakin bahwa nabi Muhammad
telah tiada.
Kemudian terjadi lagi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat yaitu, ketika nabi
hendak dimakamkan, dari kalangan sahabat Muhajirin menginginkan Rasulullah
dimakamkan di Mekkah. Sedangakan kalangan sahabat dari Anshar menginginkan Rsulullah
dimakamkan di Madinah karena disanalah tempat hijrahnya nabi, sementara sebagian para
sahabat mengusulkan untuk dimakamkan di Baitul Maqdis, karena disanalah tempat nabi
melaksanakan isra’ dan Mi’raj. Dan pada saat itulah Abu Bakar berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “dimana seorang nabi menghembuskan nafas terakhirnya di situlah dia di
makamkan”.
Dan masih banyak perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat nabi
seperti perbendaan pendapat antara Umar dengan Ali, antara Umar Bin Khattab dengan
Abdullah Bin Mas’ud, dan antara Ibn Abbas dengan Zaid bin Tsabit.
7
Dr. Khalid Bin Sa’ad Al-Khasyalan, IKHTILAF TANAWWU: Mengenal Beragam Perbedaan Fikih
Yang Dibolehkan dan Dilarang, (Bekasi: PT Darul Falah, 2016) hal. 12-18
8
Opcit.,
9
Mohammad Hanief Sirajulhuda, Konsep Fikih Ikhtilaf Yusuf al-Qaradhawi, Jurnal Tsaqafah 13, 02
(2017) hal.260-261
10
Ahmad Sarwat, Lc,.MA, Perbedaan Pendapat Ulama, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing
2019), hal 33-36
1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Naskah
Perbedaan makna ini karena adanya lafadz umum (mujmal) atau lafadz tersebut
memiliki lebih dari satu makna (musytarak), ataupun maknanya memiliki makna yang
umum dan khusus, ataupun lafadznya memiliki makna hakiki atau adat kebiasaan dan
lain sebagainya.
Misalnya QS Al-baqarah: 228
Di dalam Qs Al-Baqarah ini lafadz Quru’ memiliki 2 makna yaitu haid dan suci, dan
lafadz amr (perintah) bisa bermakna anjuran atau wajib, juga lafadz nahy memiliki
arti larangan yang haram atau makruh.
2. Perbedaan Riwayat Hadits
Perbedaan riwayat hadits, yang menyebabkan umat berbeda pendapat karena beberapa
faktor:
pertama, karena hadits itu sampai pada satu perawi saja dan tidak sampai kepada
perawi lainnya.
Kedua, hadit tersebut sampai pada perawi itu namun dengan jalan perawi yang lemah.
Ketiga, sampai pada seorang perawi dengan satu jalan atau salah seorang ulama hadits
melihat satu jalan perawi lemah namun ulama lain menilai jalan hadits itu kuat.
Keempat, dia menilai tidak ada penghalang untuk menerima suatu hadits.
Kelima, sebuah hadits yang sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah
disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang kriteria dalam menilai keshahihan
hadits-hadits itu.
3. Perbedaan Sumber Pengambilan Hukum
Ada sebagian berdasarkan sumber istihsan, maslahah mursalah, perkataan sahabat,
istishab, dan ada beberapa ulama tidak mengambil hukum itu
4. Perbedaan Kaidah Ushul Fiqh
Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi landasan (pegangan), dan mafhum
(pemahaman gamblang) nash tidak dijadikan dasar, tambahan terhadap nash Al-
Qur’an dalam hukum adalah nasakh (penghapusan), kaidah inilah yang menyebabkan
perbedaan pendapat antara ulama.11
5. Ijtihad dengan Qiyas
Dan dari ijtihadlah perbedaan pendapat menjadi banyak dan luas, karena qiyas
memiliki dasar, syarat dan illat. Dan illat memiliki beberapa syarat dan langkah yang
harus terpenuhi agar syarat kaidah bisa diterima. Inilah yang menyebabkan
munculnya banyak perbedaan dari hasil qiyas.
6. Pertentangan Antar Dalil
Pertentangan terjadi biasanya karena nash ataupun qiyas,ataupun antara sunnah nabi
baik itu perbuatan perkataan dalam penetapannya. Meski demikian perlu diketahui
bahwa tidak semuanya bisa menyatakan sebagai syariat yang diturunkan kepada
Rasulullah. Perbedaan diantara para ulama tidak boleh menjadi pemicu kita menjadi
golongan Ashabiyah (fanatisme), perpecahan dan permusuhan yang dibenci Allah di
antara kaum muslimin.
E. Para Ulama
a) Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi)
Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir di kufah (Irak) yang penduduknya merupakan
masyarakat yang sudah banyak menganal kebudayaan dan peradaban. Fuqaha daerah ini
sering dihadapkan pada berbagai persoalan hidup berikut problematikanyua yang beragam.
Untuk mengatasinya, mereka “terpaksa” memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda
dengan Hijaz. Masyarakat daerah ini masih dalam suasana kehidupan sederhana, seperti
keadaan pada masa Nabi. Untuk mengatasinya, para fuqaha Hijaz cukup mengandalkan Al-
Qur’an, Sunnah, dan ijma para sahabat. Oleh karena itulah, mereka tidak merasa perlu untuk
berijtihad seperti fuqaha Irak. Sebaliknya, Imam Abu Hanifah menghadapi persoalan
kemasyarakatan di Irak daerah yang sarat dengan budaya dan peradaban, tetapi jauh dari
pusat informasi hadis nabi “terpaksa” atau “selalu” menggunakan akal (rasio)nya. Faktor lain
yang memengaruhi Imam Abu Hanifah adalah kajian awalnya pada ilmu kalam (teologi),
kemudian fiqh berguru kepada Syekh Hammad bin Sulaiman ahli hukum Kuffah (wafat 120
H/ 738 M) dan pengalaman yang nyata sebagai pedagang kain sehingga ia memiliki
pengalaman luas tentang perdagangan. Studi awal terhadap ilmu kalam, tentu saja, membuat
Imam Abu Hanifah mahir dalam menggunakan logika untuk mengatasi berbagai masalah
11
Ibid.,
fiqh. Oleh karena itu, julukan sebagai arab dari para pengikutnya diberikan kepada Imam
Abu Hanifah. Imam yang mendasarkan logika kepada rayu, qiyas, dan istihsan.
dasar-dasar pegangan madzhab Hanafi adalah: 1. Kitab Allah (Al-Qur’an) 2. Sunnah
Rasulullah dan atsar-atsar yang sahih serta telah masyhur di antara para ulama yang ahlu 3.
Fatwa-fatwa dari sahabat 4. Ijma 5. Al-Qiyas 6. Al-Istihsan 7. Al-‘Urf
1. Al-Kitab (Al-Qur’an)
Suatu hal yang menjadi permasalahan Al-Kitab dalam pandangan Madzhab Hanafi
adalah apakah yang dinamakan Al-Qur’an itu hanya makna lafaznya saja atau kedua-duanya,
menurut As-Sarkhasi, Al-Quran dalam pandangan Hanafi hanya maknanya saja, bukan lafazh
dan makna. Adapun menurut Al-Badzdzawi, Abu Hanifah menetapkan Al-Quran adalah
lafazh dan maknanya. Jika diambil pendapat As-Sarkhasi, Abu Hanifah membolehkan kita
shalat dengan membaca terjemahan Al-Fatihah dan dapat dipandang bahwa terjemahan Al-
Quran sama dengan Al-Quran itu sendiri. Perbedaan pendapat itu disebabkan oleh tidak
adanya pendapat yang jelas dari Abu Hanifah. Akan tetapi, menurut sebuah riwayat, Abu
Hanifah pernah berkata, “Ia membolehkan membaca terjemahan Al-Quran dalam shalat, baik
kita dapat membaca ataupun tidak. Pendapat tersebut dibantah Abu Yusuf dan Muhammad
Al-Hasan, yang tidak membolahkan hal tersebut, kecuali apabila tidak sanggup membaca Al-
Quran dengan lafazh arabnya.
Ulama Madzhab Hanafi berpandangan bahwa pesan Al-Quran tidak semuanya qath’i
ad-dalalah. Ada beberapa hal yang memerlukan interpretasi terhadap hukum yang di tunjukan
oleh Al-Quran tersebut, terutama ayat-ayat yang menerangkan muamalah umum antar
manusia. Dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah tersebut, porsi penggunaan
akal dalam mencari hukum suatu mashlahah lebih besar. Hal itu telah dibuktikan, baik oleh
Imam Hanafi maupun oleh murid-muridnya, dank arena ini juga Madzhab Hanafi dijuluki
sebagai madzhab yang paling Umari, dan madzhab liberalis, dan rasionalis. Dalam
memahami Al-Quran, ualama Madzhab Hanafi tidak hanya melakukan interpretasi terhadap
ayat-ayat yang masih mujmal, tetapi mereka juga melakukan penelaahan terhadap ‘aam dank
has ayat Al-Quran tersebut. Dan inilah yang tampaknya menjadi ciri khas ulama-ulama Irak
yang dipelopori oleh Imam Hanafi dan ulama-ulama Hijaz yang semadzhab dengan mereka.
Menurut ulama Hanafiyah, hukum khas mencapai yang muhkam adalah qath’I tanpa perlu
adanya bayan, karena khasbasul qur’an.
Qath’i di dalamnya, dan segala nash yang mengubah hukumnya di pandang nasikh,
dan nasikh harus sama kuatnya dari segala tsubut-nya. Pendapat ulama Hanafiyah tersebut
merupakan hasil takhrij dari hukum-hukum furu yang ditetapkan oleh Abu Hanifah sendiri.
Hal inilah yang menjadikan salah satu titik yang membedakan fuqaha ra’yi dan fuqaha hadis.
Fuqaha ra’yi mengumumkan Al-Quran, tidak mengkhususkan dengan hadis ahad. Fuqaha
hadits sebagaimana yang dikemukakan oleh Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah dan Al-Umm,
mengkhususkan amm Al-Quran dengan hadis ahad. Ayat-ayat Al-Quran yang berpautan
dengan hukum, selain diteliti dari segi amm dank has-nya, juga harus ada usaha bayan,
karena sifatnya mujmal atau agak tersembunyi maknanya, memerlukan tafsir, takwil, atau
sifat-sifatnya muthlaq memerlukan taqyid.
Oleh Karena itu ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Assunnah bias menjadi bayan
bagi Al-Quran. Bayan Al-Quran menurut hanafi terbagi tiga bagian: 1. Bayan taqrir, seperti
sabda Nabi, “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah
melihatnya” 2. Bayan tafsir, seperti hadits yang menerangkan kaifiyat shalat, kaifiyat haji,
zakat, cara memotong tangan pencuri dan menerangkan hukum-hukum yang berkenaan
dengan riba. 3. Bayan tabdin atau yang disebut juga bayan nasakh. Al-Quran boleh
dinasahkan dengan As-sunnah dengan syarat bahwa As-sunnah tersebut adalah mutawatir
atau masyhurah dan mustafidhah.
2. As-Sunnah
Dasar yang digunakan oleh Mazhab Hanafi adalah As-Sunnah. Martabat AsSunnah
terletak dibawah Al-Quran. Imam Abu Yusuf berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang
yang lebih alim tentang menafsirkan hadis daripada Abu Hanifah. Ia adalah seorang yang
mengerti tentang penyakit-penyakit hadis dan men-ta’dil dan men-tarjib hadis.” Tentang
dasar yang kedua ini, Mazhab Hanafi sepakat mengamalkan AsSunnah yang mutawatir,
mashur, dan shahih. Hanya saja, Imam Hanafi sebagaimana ulama Hanafiyah, agak ketat
menetapkan syarat-syarat yang dipergunakan untuk menerima hadis ahad. Abu Hanifah
menolak hadis ahad apabila berlawanan dengan ma’na Al-Quran, baik makna yang diambil
dari nash, atau yang diambil dari illat hukum. Ali Hasan Abd. Al-Qadir mengatakan,
“Musuh-musuh Abu Hanifah (orang yang tidak senang dengan Abu Hanifah) menuduhnya
tidak memberikan perhatian yang besar terhadap hadis. Ia memprioritaskan ra’yu. Abu Shalih
Al-Fura menuturkan, “Aku mendengar Ibn Asbath berkata, “Abu Hanifah menolak 400 atau
lebih hadis.” Abu Hanifah menerima hadis ahad, jika tidak berlawanan dengan qiyas. Tetapi
jika berlawanan hadis ahad dengan qiyas yang illatnya mustanbath dari suatu ashal yang
dhanni, walaupun dari ashal yang qath’i, atau diistanbathkan dari ashal yang qath’i, tetapi
penetapannya kepada furu adalah dhanni, maka hadis ahad didahulukan atas qiyas.
3. Fatwa Shahabi
Imam Abu Hanifah sangat menghargai pendapat para sahabat. Dia menerima,
mengambil, serta mengharuskan umat Islam mengikutinya. Jika ada pada suatu masalah
beberapa pendapat sahabat, maka ia mengambil salah satunya. Dan jika tidak ada pendapat-
pendapat sahabat pada suatu masalah, ia berijtihad dan tidak mengikuti pendapat tabiin.
Menurut Abu Hanifah, ijma sahabat ialah: “Kesepakatan para mujtahidin dari umat Islam di
suatu masa sesudah Nabi, atas suatu urusan.” Ta’rif itulah yang disepakati ulama Ahlu Al-
Ushul. Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma itu dijadikan sebagai hujjah. Mereka
menerima ijma qauli dan ijma sukuti. Mereka menetapkan bahwa tidak boleh ada hukum baru
terhadap suatu urusan yang telah disepakati oleh para ulama, karena membuat hukum baru
adalah menyalahi ijma. Paling tidak, ada tiga alasan yang dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah dalam menerima ijma’ sebagai hujjah: a. Para sahabat berijtihad dalam
menghadapi masalah yang timbul. Umar bin Khaththab dalam menghadapi suatu masalah,
sering memanggil para sahabat untuk diajak bermusyawarah dan bertukar pikiran. Apabila
dalam musyawarah tersebut diambil kesepakatan, Umar pun melaksanakannya. b. Para Imam
salalu menyesuaikan pahamnya dengan paham yang telah diambil oleh ulama-ulama di
negerinya, agar tidak dipandang ganjil, dan tidak dipandang menyalahi umum. Dan Abu
Hanifah tidak mau menyalahi sesuatu yang telah difatwakan oleh ulama-ulama Kufah. c.
Hadis-hadis yang menunjukkan keharusan menghargai ijma seperti: Dengan demikian,
jelaslah bahwa ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma merupakan salah sartu hujjah
dalam agama, yang merupakan hujjah qath’iyyah. Mereka tidak membedakan antara macam-
macam ijma. Oleh karena itu, apapun bentuknya kesepakatan yang datangnya dari
kesepakatan para ulama/masyarakat, itu berhak atas penetapan suatu hukum dan sekaligus
menjadi hujjah hukum.
4. Qiyas
Qiyas adalah penjelasan dan penetapan suatu hukum tertentu yang tidak ada nashnya
dengan melihat masalah lain yang jelas hukumnya dalam Kitabullah atau As-Sunnah atau
ijma’ karena kesamaan illatnya. Yang menjadi pokok pegangan dalam menjalankan qjyas
adalah bahwa segalanya hukum syara’ ditetapkan untuk menghasilkan kemashlahatan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hukum-hukum itu mengandung pengertan-
pengertian dan hikmah-hikmah yang menghasilkan kemashlahatan, baik yang diperintahkan
maupun yang dilarang, atau yang dibolehkan maupun yang dimakruhkan. Semuanya demi,
kemashlahatan umat. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa semua masalah yang baru
timbul dan tidak ada hukumnya dalam Al-Quran dan As- Sunnah serta ijma’, boleh diqoaskan
begitu saja, atas dalil kemashlahatan umum. Ada beberapa syarat dan rukun yang harus
dipenuhi tatkala hendak mengqiaskan suatu permasalahan kepada hukum lama. Di antara
rukun yang harus dipenuhi dalam qias adalah: 1). ashal, yaitu sesuatu yang dinashkan
hukumnya yang menjadi tempat mengqiaskan, dalam istilah ushul fiqh disebut al-ashlu atau
al-musyabbah bihi; 2) cabang (al-far’u), yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya.
Dalam istilah ushul fiqh disebut al-far’u almaqis atau al-musyabbah; 3) hukum ashal, yaitu
hukum yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang; 4) illat
hukum, yaitu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau yang munasabah dengan ada
dan tidak adanya hukum. Dan illat inilah yang akan menjadi titik tolak serta pijakan dalam
melaksanakan qiyas. Tentang illat hukum yang ada dalam nash, tidak semua nash itu dapat
diselami illatnya oleh akal pikiran. Oleh karena itu Hanafiyah membagi nash itu pada dua
bagian: 1. Nushus ta’abbudiyah, yaitu nash-nash yang berkenaan dengan masalah-masalah
ibadah, seperti masalah tayamum, ibadah haji dan lainnya. Pada nash ini tidak dilakukan
qiyas. Karena hukumnya telah disyariatkan Allah, serta ada kaidah yang mengatakan “tidak
ada qias dalam masalah ibadah”. 2. nash-nash yang dibahas illatnya dan ditetapkan hukum
berdasarkan illatnya itu. Nash inilah yang disebut nash mu’allal, nash-nash yang diteliti
illatnya, maksudnya, sebab, dan ghayah- ghayahnya, dan pada nash ini berlaku qias.
5. Istihsan
Istihsan yang, diartikan sebagai “konstruksi yang menguntungkan” (favourable
construction), atau juga sering dikatakan sebagai pilihan hukum (juristic preference)
dijadikan hujjah oleh fuqaha Madzhab Hanafi (Abdullah Ahmed An-Naim, 1994: 50).
Daripada menggunakan dan mengikuti qiyas secara kaku, seorang fuqaha Hanafi lebih suka
memilih (yabtasin) jalan keluar yang lain, yaitu meninggalkan qias yang tersembunyi atau
halus (qiyas khafi), sebuah divergensi qiyas yang jelas (jali) dan bersifat eksternal dengan
model pengambilan keputusan dari dalam diri yang terkondisi.
6. Al-‘urf
Urf (adat kebiasaan), dalam batas-batas tertentu diterima sebagai sumber syariah oleh
madzhab Hanafi. Menurut madzhab Hanafi, ‘urf dapat melampaui qias, namun tidak dapat
melampaui nash Al-Quran dan As-Sunnah. Sahal ibn Muzahim berkata, “Pendirian Abu
Hanifah adalah mengambil yang tepercaya dan lari dari keburukan Pola Pemikiran setta
memethatikan muamalah manusia dan apa yang mendatangkan mashlahat bagi mereka. Ia
melakukan segald urusan atas qiyas. Apabila tidak baik dilakukan qiyas, ia melakukannya
atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, kembalilah
ia kepada ‘urf manusia. (Abdullah Ahmed An-Naim, 1994: 53). Dari berbagai uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa karakteristik metode Abu Hanifah adalah: pertama, Abu Hanifah
menggunakan qias atau istihsan yang tidak ada, nash. Abu Hanifah hanya mengambil yang
lebih tepat di antara qiyas dan istihsan. Kedua, apabila tidak dapat dijalankan qiyas atau
istihsan, Abu Hanifah mengambil ‘urf, apabila tidak ada nash Al-Quran, As-Sunnah, ijma,
dan istihsan, baik istihsan qiyas maupun istihsan istisna’i (atsar, istihsan ijma, dan istihsan
darurat). Dalam pandangan Barat, Abu Hanifah tampaknya telah memainkan peranan sebagai
seorang penyusun teori yang sistematis yang telah mencapai banyak kemajuan di dalam
mengembangkan dasar hukum yang bersifat teknis. Abu Hanifah bukanlah seorang qadhi
seperti Abu Layla, karena itu, cara berpikirnya tidak begitu terikat dengan pertimbangan-
pertimbangan yang berkaitan dengan tugas sehari-hari atau praktis. Meskipun diakui bahwa
pemikirannya berpandangan lebih luas dan cermat daripada tokoh tua semasanya.
c) Imam As-Syafi’i
Faktor keberagaman pemikiran. Situasi dan kondisi saat Imam Syafi’i (150-204 H)
lahir dan hidup sangat jauh [karya ulama sudah banyak] berbeda dengan kedua imam
sebelumnya. Pada masa Syafi’i hidup, sudah banyak ahli fiqh, baik sebagai murid Imam Abu
Hanifah atau Imam Malik sendiri masih hidup. Akumulasi Madinah, Irak, Syam dan mesir
menjadikan syafi’i memiliki wawasan yang luas tentang berbagai aliran pemikiran fiqh.
Faktor tempat, faktor ini merupakan faktor secara alamiah negara Mesir tempat Asy-syafi’i,
lahir.
Mesir adalah daerah kaya, dengan warisan budaya Yunani, Persia, Romawi, dan Arab.
Kondisi budaya yang kosmopolit ini tentu saja memberikin Pengaruh besar terhadap pola
pikir Imam Asy-Syafi’i. Hal itu terlihat dari kitabnya I1mu Mantiq yang dipengaruhi oleh
aliran Aristoteles Abu Zahrah mengatakan bahwa “Hampir semua ulama terkemuka yang
hidup pada zaman Asy-Syafi’i pernah menjadi gurunya atau paling tidak berdiskusi dengan
ulama tersebut.” ‘Kurang lebih, jumlah guru Imam Asy-Syafii 19 fuqaha. Kondisi ini
menjadikan bekal bagi Imam Asy-Syafi’i dalam membangun pemikiran fiqhnya. Karena
Imam Asy-Syafi’I menguasai dan mengetahui kekuatan dan kelemahan aliran ahl ra’yu
(Hanafi) dan aliran hadis (Maliki).12
Faktor sosial dan budaya ikut memengaruhi terhadap pola pikir Imam Syafi’i dengan
qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim dibangun di Irak tahun 195 H, sebagaimana Sya’ban
Muhammad Isma’il menjelaskan bahwa pada tahun 195 H, Imam Asy-Syafi’i tinggal di Irak
pada zaman pemerintahan Al-Amin. Di Irak, Imam Asy-Syafi’I banyak belajar kepada ulama
Irak dan, banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl ar-ra’yu. Di antara
ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam Asy-Syafi’i dan berhasil dipengaruhi
olehnya: (a) Ahmad Ibn Hanbal; (b) Al-Karabisi; (c) Al-Za’farani; dan (d) Abu Tsaur.
Setelah tinggal di Irak, Asy-Syafi’I melakukan perjalanan ke beberapa daerah dan kemudian
tinggal di Mesir. Di Mesir, ia bertemu berguru kepada ulama Mesir yang pada umumnya
adalah rekan Imam Malik. Imam Malik adalah penerus fiqh ulama Madinah atau ahl al-hadis.
12
K.H Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta Selatan : Pustaka Baru,
2010), hal. 153-159
Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam Asy-Syafi’i mengubah beberapa
pendapatnya yang kemudian disebut qaul jadid Dengan demikian, qaul qadim adalah
pendapat Imam Asy-Syafi’i yang bercorak ra’yu; sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya
yang bercorak hadis.
Untuk lebih memperjelas tentang metode istinbath al-ahkam Safi’i Musthafa
Muhammad Asy-Syakah,” dalam kitabnya Islamu Bila Madzahib menjelaskan sebagai
berikut.
1. Imam Asy-Syafii mendasari Al-Quran, As-Sunnah, ijma, dan qiyas.
Itulah unsur-unsur dasar yang saling terkait dan disebutkannya dalam kitab yang
ditulisnya. Keterkaitan unsur-unsur tersebut merupakan hal yang baru dalam pemahaman
para Ahlu fiqih pada umumnya. Karena salah seorang Ahlu fiqh, Al.-Karabisi, menyatakan,
“Sebelumnya kami tidak pernah tahu apa yang dimaksud kitabullah, As-Sunnah dan ijma,
hingga datang Syafi’I yang memaparkannya secara terinci”.
Sementara itu, Abu Tsur, seorang Ahlu fiqh lainnya menyatakan bahwa ia memahami
adanya nash yang umum, tetapi bermakna khusus, dan sebaliknya nash yang khusus, tetapi
bermakna umum, setelah mendapat penjelasan dari Syafi’i. Sebelumnya, kami tidak
memahami adanya nash-nash seperti itu, demikan pengakuannya. Contoh ittihad Syafi’i
dalam firman Allah: Ayat di atas, menurut Syafi›i, ditujukan kepada Nabi, tetapi maksudnya
adalah semua manusia. Metode seperti ini merupakan metode baru dalam i1mu fiqh dan
ushul, dan umat Islam pada umumnya tidak mengenalnya sebelum datangnya Imam Syafii.
2. fiqh Syafi’i merupakan campuran antara fiqh Ahlu Ar- Ra’yi dengan fiqh Ahlu Al-
Hadis.
Kedua metode tersebut memilki cara tersendiri dalam mengambil istinbath. Ahlu Ar-
Ra’yi adalah para cendekiawan yang memiliki pandangan yang luas. Akan tetapi,
kemampuan mereka untuk menerima atsar dan As-Sunnah sangat terbatas. Sementara itu,
Ahlu Al-Hadis sangat gigih mengumpulkan hadis, atsar dan beberapa hal lainnya yang
berkaitan dengan perbuatan para sahabat. Namun, mereka bukan Ahlu munaqasyah dan
istinbath. jadi, Ahlu fiqh hendaknya menggunakan ra’yi dan hadis sekaligus. Dan Syafi’i
adalah. seorang ahlu dalam metode tersebut.
Kecerdasannya yang sangat tinggi menjadikannya seorang yang ahlu dalam ra’yi dan
munaqayah. Pada saat yang sama, ia juga seorang yang ahli dalam ilmu hadis yang mampu
membangkitkan para ahlul hadis lainnya sehingga oleh para uhuna lainnya ia dijuluki
“penolong, As-Sunnah”. Lebih dari itu, ia tidak sekadar ahli dalam kedua pendekatan
tersebut, tetapi juga mampu untuk menyatukan keduanya dan membangun fiqih di atasnya
serta mencetuskan ilmu ushul fiqih yang merupakan salah satu unsure pokok dalam
madzhabnya. Dalam kaitan ini, fakhru Ar-Razi mengatakan, “keterakaitan ilmu ushul fiqih
adalah sebagaimana keterkaitan Aristoteles dengan ilmu kalam, dan Khlalil Ibn Ahmad
dengan ilmu “Arudh. Mereka yang membaca karya-karyanya akan mendapat kejelasan
tentang kemampuannya dalam menentukan urutan-urutan dalam penetapan dalil.
3. dalam pandangan syafi’i, pendekatan Ahlu Al-Hadits lebih jelas dalam masalah
ushul.
Oleh karena itu, ia menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan pokok-pokok
syariat. Setelah itu, ia merujuk kepada hadis. Jika dalam penggunaan hadis telah dianggap
cukup dalam menetapkan hukum, ia tidak menggunakan ra’yi. Prinsip yang digunakannya
adalah seperti yang diucapkannya, “Apa pun pendapat yang telah aku kemukakan, bila
kemudian ada hadis yang berlawanan dengan pendapatku itu, pernyataan Rasulullah itulah
pendapatku.”
4. fiqh Syafi’i menggunakan ijma’
Sebagai dasar ketetapan hukum. Hal itu karena kenyataan secara syar’i untuk
menjadikannya sebagai hujjah yang wajib diamalkan lalu ia membuat rumusan untuk
pengaturan Syafi’i menempatkan ijma’ pada urutan tiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah
(sekalipun berupa hadis ahad atau satu sanad).
5. Syafi’i juga mengukuhkan qiyas sebagai dasar madzhab.
Dapat dikatakan bahwa Syafi’i adalah orang pertama yang masalah qiyas secara
terinci. Pada waktu itu para Ahlu belum membuat pembatasan antara ra’yu yang sahih dan
rayu yang tidak sahih. Syafi’i kemudian memaparkan kaidah ra’yu yang dianggapnya sahih
dan istinbath yang tidak sahih. Ia jelaskan pula perbedaan besar antara bermacam-macam
istinbath dan qiyas, menurut kadar yang ditentukannya dalam kaidah itu.
6. Syafi’i menolak penggunaan kaidah istihsan,
Sebagaimana dinyatakan dalam kitabnya, ibthalul istihsan, metode ini adalah metode
yang biasa digunakan Abu Hanifah. Menurut syafi’I dalam penerapan metode ini, seorang
Ahlu Fiqh setelah merujuk kepada Al-Quran, As-Sunnah, Ijma, Qiyas, ia menetapkan hukum
yang dipandangnya baik, bukan hanya berpegang pada dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Lebih
lanjut, Imam Syafi’I menyatakan, “Bila Ijtihad digunakan dengan metode istihsan, tanpa
sepenuhnya bersandar pada pokok syariat atau nash dan As-Sunah, ijtihad tersebut batil.
Dengan demikian seluruh hasil ijtihad yang menggunakan metode ini batil pula hukumnya.”
Selanjutnya, pada periode ini, interaksi antara qiyas dan ijma tidak dipandang sebagai
prinsip yang statis, tetapi sebagai suatu proses asimilasi, interpretasi, dan adaptasi yang
dinamis dan wajar. Hal ini terlihat dengan jelas dalam bagian lain dari tulisan Syafi’i yang
walaupun agak berkepanjangan, adalah yang paling komprehensif mengenai masalah tersebut
dengan mengungkapkan sikap yang sebenimya dan yang serba meliputi ijma. Oleh karena itu,
metode dan paradigma pemikiran Syafi’i selalu terlihat dalam pemikiran-pemikiran yang
dibangun ulama sebelumnya. Penalaran analogis (qiyas) Imam Syafi’i, juga menawarkan
pemahaman baru. Apa yang dirumuskan ulama-ulama sebelumnya disebut oleh Syafi’i qiyas
bil furu, penalaran analogis terhadap masalah-masalah partikular dengan berpijak pada suatu
prinsip tertentu terkandung dalam suatu preseden.
Sebuah kasus dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau disamakan dengan
preseden tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang disebut illat. Adapun
metode-metode yang lain, seperti istihsan, istishab, sad dzara’i dan metode lainnya
dimasukkan ke dalam qiyas bil qawaid (penalaran analogis) terhadap prinsip umum yang
terkandung dalam suatu preseden itu sendiri.` Karena nuansa pemikirannya yang sangat luas
itu, beberapa metode Syafi”i menjadi sebuah “jalan tengah” dan karena itu, ia dijuluki imam
yang moderat. Hal itu ia lakukan demi tegaknya suatu hukum dengan penuh objektivitas dan
ilmiah.
Tak jarang ia lakukan beberapa observasi atau penelitian tentang suatu kasus. Analisis
objektif diberikan oleh orientalis, seperti Joseph Schacht terhadap pola pikir Imam Asy-
Syafii. Menutut Schacht, sistematika dan Islamisasi logika formal dalam Islam telah sampai
pada puncaknya oleh Imam Asy-Syafi’i.” Pada prinsipnya, Syafii hanya mengakui cara
berpikir analogis dan sistematis yang terbatas (qiyas, Ijtihad, juga ‘akl ataupun ma’kul,
pokoknya, apa yang dapat dikatakan rajionable secara sempit). Dia tidak menerima pendapat-
pendapat arbitret dan ketetapan-ketetapan yang bebas (ra’y) dan istihsan yang dipakai
(Syafi’i sebagai sinonim), hal semacam tetsebut menjadi kebiasaan bagi pendahulu-
pendahulunya. Ini merupakan pembaharuan penting dengan pembaruan teori hukum Syafi’i
sangat berbeda dengan teori aliran hukum lama. Pandangan Schacht secara keseluruhan
kepada Imam Asy-Syafi’i penulis kutip sebagai berikut: Syafii berkeyakinan penuh bahwa
Al-Quran tidak akan berlawanan dengan hadis-hadis dari Nabi dan hadis-hadis itu merupakin
penjelasan Al-Quran. Oleh karena itu, Al Quran haruslah diinterpretasikan dengan
menggunakan keterangan hadis, bukan sebaliknya.
Bagi Syafi’i, As- Sunnah tidak lagi merupakan praktik ideal sebagaimana yang diakui
oleh ulama-ulama representatif, As-Sunnah identik dengan isi hadis formal dari Nabi
walaupun hadis semacam itu diriwayatkan oleh hanya satu orang dalam satu generasi.
Menurut Syafi’i dan juga aliran-aliran lama, hanya para sahabat Nabi yang sangat
mengetahui apa yang dimaksud oleh Nabi sendiri. Pendapat dan praktik-praktik yang
berdasarkan pendapat pribadi, yakni pendapat yang tidak bersurnberpada para sahabat Nabi
tidak mempunyai otoritas sama sekali.
Konsep baru As-Sunnah ini tercermin dalam hadis resmi Nabi mengungguli konsep
hadis yang berkembang di kalangan ahran hadis lama. Hadis-hadis Nabi dari Nabi dapat
ditolak otoritasnya dengan referensi Al-Quran.... kesimpulannya.... secara keseluruhan teori
hukum Syafi’i merupakan suatu hasil karya sistematis yang sempurna yang jauh lebih unggul
daripada teori aliran lama, dan dia menjadi pendiri ilmu ushul_fiqh, satu disiplin ilmu yang
membahas dasar-dasar teoretis hukum Islam.
Ini adalah prestasi dari satu pikiran yang perkasa dan sekaligus merupakan suatu hasil
logis dari suatu proses yang telah dimulai pada masa-masa awal perkembangan hukum-
hukum Islam. Sistematika Hukum Imam Syafi’i, secara substansial tidak berubah, tetapi
secara realitasnya, ijtihadnya mengalami dinamika seperti adanya qaul qadim dan qaul jadid.
Sekadar ilustrasi, berikut ini disajikan beberapa qaul qadim dan qaul jadid hasil penelitian
Jaih Mubarok, pada hakman berikut.
13
Muhammad Ajib, Masalah Khilafiah 4 Mazhab Terpopuler, (Jakarta Selatan : Rumah Fiqih Publising
2018), hal 19
b. Imam Maliki
Madzhab Maliki berpendapat bahwa mengusap kepala ketika wudhu wajib diratakan ke
seluruh kepala.14 Dalam masalah ini, Madzhab Maliki menggunakan dalil shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:
c. Imam Syafi’i
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa mengusap kepala ketika wudhu cukup dengan
sebagian dari kepala saja walaupun hanya beberapa rambut saja. Dalam masalah ini,
Madzhab Syafi’i menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan
sanad yang shahih:
d. Imam Hanbali
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa mengusap kepala ketika wudhu wajib diratakan
ke seluruh kepala.15 Pendapat Madzhab Hanbali ini sama seperti pendapat Madzhab Maliki.
Dalam masalah ini, Madzhab Hanbali menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:
B. Batalkah Wudhu Jika Bersentuhan
a. Imam Hanafi
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan
tidak membatalkan wudhu. Dalam masalah ini, Madzhab Hanafi menggunakan dalil shahih
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:
كان يصلي وهي معرتضة بينه وبين القبلة فإذا أراد: وعن عائشة أن النيب صلى هلال عليه وسلم
. رواه البخاري ومسلم. فقبضتها,أن يسجد غمز رجلها
Artinya: Dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat. Sementara Aisyah
tidur diantara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser
kaki Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim)
Dan juga menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu
Dawud & AlBaihaqi:
عن حبيب ابن أيب اثبت عن عروة عن عائشة رضي هلال عنها أن النيب صلى هلال عليه وسلم
. رواه الرمتذي وابن ماجه وداود والبيهقي.قبل بعض نسائه مث خرج إىل الصالة ومل يتوضأ
Artinya : Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW
pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu lagi.
(HR.at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-Baihaqi)
14
Ibid.., 19
15
Muhammad Ajib., 20
b. Imam Maliki
Madzhab Maliki berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan jika
disertai dengan sahwat maka membatalkan wudhu, namun jika tidak disertai sahwat maka
tidak membatalkan wudhu. Dalam masalah ini, Madzhab Maliki menggunakan dalil shahih
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:
كان يصلي وهي معرتضة بينه وبين القبلة فإذا أراد: وعن عائشة أن النيب صلى هلال عليه وسلم
. رواه البخاري ومسلم. فقبضتها,أن يسجد غمز رجلها
Artinya : Dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat. Sementara Aisyah
tidur diantara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser
kaki Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim)
Dan juga menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud &
AlBaihaqi:
عن حبيب ابن أيب اثبت عن عروة عن عائشة رضي هلال عنها أن النيب صلى هلال عليه وسلم
. رواه الرمتذي وابن ماجه وداود والبيهقي.قبل بعض نسائه مث خرج إىل الصالة ومل يتوضأ
Artinya : Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW
pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu lagi.
(HR.at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-Baihaqi)
Dan juga menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam Al-
Baihaqi dengan sanad yang shahih:
قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من:عن ابن شهاب عن سامل بن عبد هلال ابن عمر عن أبيه قال
وهذا. رواه مالك يف املوطأ والبيهقي.امالملسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء
.إسناد يف هناية من الصحة
Artinya: Dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah bin Ibnu Umar dari Umar bin al-Khattab
RA. Berkata : Mencium istri dan menyentuhnya termasuk Mulamasah. Siapa yang
mencium istrinya atau Menyentuhnya dengan tangannya maka wajib baginya
wudhu. (HR. Malik dalam Al-Muwatto’ dan Imam Baihaqi. Sanad Hadits Ini
Paling Shahih)
c. Imam Syafi’i
Madzhab Syafi’iy berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan
jika dengan yang bukan mahram maka membatalkan wudhu, namun jika sesama mahram
maka tidak membatalkan wudhu. Dalam masalah ini, Madzhab Syafi’iy menggunakan dalil
shahih yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih:
قبلة الرجل امرأته وجسها بيده:عن ابن شهاب عن سامل بن عبد هلال ابن عمر عن أبيه قال
وهذا. رواه مالك يف املوطأ والبيهقي.من امالملسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء
.إسناد يف هناية من الصحة
Artinya : Dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah bin Ibnu Umar dari Umar bin al-Khattab
RA. Berkata : Mencium istri dan menyentuhnya termasuk Mulamasah. Siapa yang
mencium istrinya atau Menyentuhnya dengan tangannya maka wajib baginya
wudhu. (HR. Malik dalam Al-Muwatto’ dan Imam Baihaqi. Sanad Hadits Ini
Paling Shahih)
Dan juga menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim dengan sanad yang shahih:
عن أيب قتادة رضي هلال عنه أن النيب صلى هلال عليه وسلم صلى وهو حامل أمامة بنت زينب
. رواه البخاري ومسلم.رضي هلال عنهما فكان إذا سجد وضعها وإذا قام رفعها
Artinya : Dari Abu Qatadah RA. Sesungguhnya Nabi SAW shalat dan beliau menggendong Umamah
binti Zainab, apabila beliau hendak sujud maka beliau meletakkannya dan apabila berdiri
beliau mengangkatnya. (HR.Bukhari dan Muslim)
d. Imam Hanbali
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan
jika disertai dengan sahwat maka membatalkan wudhu, namun jika tidak disertai sahwat
maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat Madzhab Hanbali ini sama seperti pendapat
Madzhab Maliki. Dalam masalah ini, Madzhab Hanbali menggunakan dalil shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:
كان يصلي وهي معرتضة بينه وبين القبلة فإذا أراد: وعن عائشة أن النيب صلى هلال عليه وسلم
. رواه البخاري ومسلم. فقبضتها,أن يسجد غمز رجلها
Artinya : Dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat. Sementara Aisyah
tidur diantara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser
kaki Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim)
Dan juga menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud &
AlBaihaqi:
عن حبيب ابن أيب اثبت عن عروة عن عائشة رضي هلال عنها أن النيب صلى هلال عليه وسلم
. رواه الرمتذي وابن ماجه وداود والبيهقي.قبل بعض نسائه مث خرج إىل الصالة ومل يتوضأ
Artinya : Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW
pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu lagi.
(HR.at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-Baihaqi)
Dan juga menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam Al-
Baihaqi dengan sanad yang shahih:
قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من:عن ابن شهاب عن سامل بن عبد هلال ابن عمر عن أبيه قال
وه ذا. رواه مال ك ي ف املوطأ والبيهقي.امالملس ة فمن قب ل امرأت ه أو جس ها بي ده فعلي ه الوض وء
.إسناد يف هناية من الصحة
Artinya : Dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah bin Ibnu Umar dari Umar bin al-Khattab
RA. Berkata : Mencium istri dan menyentuhnya termasuk Mulamasah. Siapa yang
mencium istrinya atau Menyentuhnya dengan tangannya maka wajib baginya
wudhu. (HR. Malik dalam Al-Muwatto’ dan Imam Baihaqi. Sanad Hadits Ini
Paling Shahih)