Anda di halaman 1dari 38

PERBEDAAN PENDAPAT (IKHTILAF) PARA ULAMA

DAN PERMASALAHANNYA

Disusun Oleh :
Maisyarah

PONDOK PESANTREN TERPADU BUSTANUL ULUM


PERMATA BENER MERIAH
ACEH 2022/2023
KATA PENGANTAR

‫الر ِحْي ِم‬


َّ ‫بِ ْس ِم اللَّ ِه الرَّمْح َ ِن‬
Alhamdulillah, Puji dan syukur kehadiran Allaah Swt, atar berkah dan rahmatnya saya
maisyarah sebagai penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam
kepada nabi Muhammad Saw dan keluarganya, beliau yang telah bersusah payah membawa
umatnya dari alam jahiliyah ke alam islamiyah, dari jalan gelap menuju jalan yang terang,
beliaulah teladan seluruh umat manusia.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dengan mendapat bantuan dari
berbagai pihak keluarga, Ayah Ibu saya, guru-guru , beserta teman-teman saya. sehingga saya
dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, saya sadar sepenuhnya bahwa makalah saya masih
banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
kami saya memiliki harapan, dan dengan lapang dada menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini sehingga menjadi makalah yang lebih
baik lagi.
Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf)
Para Ulama Dan Permasalahannya ini bisa memberikan manfaat, dan menambah
pengetahaun maupun inspirasi untuk pembaca.
Daftar Isi

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
Daftar Isi................................................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN...................................................................................................1
1. Latar belakang masalah..............................................................................................1
2. Rumusan masalah.......................................................................................................1
3. Tujuan masalah...........................................................................................................2
BAB II: PEMBAHASAN “PERBEDAAN PENDAPAT (IKHTILAF) PARA ULAMA
DAN PERMASALAHANNYA”.........................................................................................
A. Ikhtilaf .......................................................................................................................
B. Sejarah Ikhtilaf...........................................................................................................
C. Antara Ikhtilaf Dengan Tafarruq................................................................................
D. Macam-macam Ikhtilaf..............................................................................................
E. Faktor-faktor yang terdapat dalam ikhtilaf.................................................................
F. Metode yang dipakai ulama dalam mengatasi ikhtilaf...............................................
BAB III : PENUTUP............................................................................................................
1. Kesimpulan.................................................................................................................
Daftar pustaka.........................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Islam, salah satu agama yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW untuk memperbaiki
akhlak manusia di muka bumi ini. Muhammad seorang rasul yang di utus untuk
menyampaikan agama ini kepada para manusia. semasa hidupnya seolah tak pernah telepas
dari sorotan-sorotan mulai dari gerakannya, ucapannya dan semua yang ada padanya itu
dianggap sebagai sesuatu yang baik.
Pada saat itu agama islam merupakan agama yang besar didasarkan kepada
sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Sunnah nabi. Para sahabat yang pada saat itu tidak mengerti
akan sesuatu, ataupun adanya perbedaan pendapat antara mereka maka bisa menanyakan
langsung kepada nabi Muhammad. Dan ketika Rasulullah wafat, inilah awal mula perbedaan
pendapat muncul yaitu ketika umar tidak percaya akan itu kemudian Abu Bakar membaca
satu ayat dan langsung percaya atas ketiadaan Rasullah.
Setiap orang mempunyai hak dalam menyampaikan pendapatnya, di dalam kalangan
ulama sejak awal telah terjadi perdebatan di dalam persoalan keagamaan dalam kelompok Al-
Naqli dan Al-Ra’yi. Yang pada awal perkembangan islam pada umumnya didominasi oleh
kaum Al-Naqli. Setiap ulama yang melakukan ijtihad akan merasa bahwa dirinya tidak
merasa bahwa dialah yang paling baik. Dari sinilah setiap ulama memiliki sudut pandang
yang berbeda yang menyebabkan ulama memiliki perbedaan pendapat. Ini terjadi karena
perubahan zaman yang menyebabbkan munculnya suatu kasus dan permasalahan baru, tujuan
dari mengemukakan pendapat adalah untuk mencari jawaban yang paling benar dan bisa
diterima disetiap kalangan umat.
Walaupun demikian para ulama tetap hidup harmonis karena dengan beberapa
perbedaan yang ada. Jauh perbedaannya dengan zaman sekarang, banyak orang yang
melakuakan kekerasan dalam mempertahankan pendapatnya tanpa menghiraukan pendapat
orang lain, dan menghiraukan larangan Allah untuk tidak bercerai berai.

2. Rumusan Masalah
1. Apakah itu ikhtilaf?
2. Bagaimana sejarah ikhtilaf?
3. Apa perbedaan Antara ikhtilaf dengan tafarruq?
4. Apa saja Macam – macam ikhtilaf?
5. Apa saja faktor-faktor yang terdapat dalam ikhtilaf?
6. Metode apakah yang dipakai ulama dalam mengatasi ikhtilaf?

3. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa itu ikhtilaf
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah ikhtilaf
3. Untuk mengetahui perbedaan ikhtilaf dengan tafarruq
4. Untuk mengetahui macam-macam ikhtilaf
5. Untuk mengetahui faktor-faktor ikhtilaf
6. Untuk mengetahui metode yang dipakai dalam ikhtilaf
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ikhtilaf
Menurut bahasa kata ‫ إختالف‬berasal dari kata ‫ إختلف – يختلف‬yang berarti perbedaan,
keragaman membedakan1. Sedangkan menurut istilah ikhtilaf menurut para ulama adalah
perbedaan pendapat di kalangan para Fuqaha dalam menentukan suatu hukum yang berkaitan
dengan masalah ijtihad2.
Perbedaan pendapat adalah perbedaan, cara, metode yang ditempuh seseorang dengan
orang lain baik itu didalam perkataan, perbuatan maupun keadaan. Dan di dalam kitab Al-
Ta’rifat karya Al- Jurjani mengatakan Jika pengertian Ikhtilaf itu adalah Perbedaan pendapat,
yang terjadi antara dua orang untuk mengetahui suatu kebenaran dan mengukuhkan
kesalahan3.
Ikhtilaf merupakan salah satu tanda-tanda tentang kebesaran Allah swt, sebagaimana
yang telah dituliskan di dalam Qs Al-Hudd : 118-119.
           
            
    
Artinya: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu,
tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi
rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat
Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi
neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.
Minhajuddin membagi dalam dua bagian besar yakni: Pertama, ikhtilaf dalam
kepastian nash kualitasnya, Kedua. Ikhtilaf dalam pemahaman nas dan hikmahnya. Dari
beberapa definisi di atas dapat kita ketahui bahwa perbedaan pendapat adalah perbedaan cara
atau metode yang dilalui oleh seseorang di dalam prinsip, keadaan, perbuatan dan perkataan.4
B. Sejarah Perbedaan Pendapat
a. Perbedaan Pendapat Para Nabi
Meski para Nabi dan Rasul memiliki kedudukan yang mulia serta mendapatkan
‘ishmah (penjagaan) dari Allah SWT agar tidak tercebur ke dalam dosa, namun dalam
1
Mutahar, Ali, et al. Kamus Arab-Indonesia. Hikmah, 2005 hal.,
2
Nanang Abdillah, Madzhab Dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan, Jurnal Fikroh 08, 01
(2014), hal. 21
3
Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Beirut : Dar al-Kitab al-Lubnaniy, 1991) hal. 113.
4
Anwar Sadat, Ikhtilaf di Kalangan Ulama Al-Mujtahidin, Jurnal Al-Risalah 15, 02 (2015), hal. 182
prakteknya masih dimungkinkan mereka berbeda pandangan, bukan dengan kaumnya, tetapi
dengan sesama Nabi dan rasul, yang sama-sama menjadi utusan Allah SWT Nabi Musa dan
saudaranya sendrii, yaitu Nabi Harun, mereka berdua pernah berselisih dan berbeda
pandangan dalam satu urusan.
Dan Musa juga pernah berbeda pandangan dengan Nabi Khidhir alihimussalam. Nabi
Sulaiman dan ayahnya yang juga samasama utusan Allah, yaitu Nabi Daud alihimussalam,
juga pernah berbeda pandangan ketika memutuskan perkara di tengah umat mereka.
Perbedaan Pendapat Antara Nabi Musa dan Harun Nabi Musa pernah berselisih dengan
saudaranya, Nabi Harun alaihimassalam. Perselisihan itu bukan hanya sebatas perang
katakata, bahkan sampai Musa menarik rambut di kepala dan jenggot saudaranya itu dengan
marah dan kecewa. Yang terdapat dalam Qs Thaha : 92-93
          
  
Artinya : Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat
mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu
telah (sengaja) mendurhakai perintahku?"
Sumber keributan antara keduanya berhulu ketika Nabi Musa SAW dipanggil Allah
SWT untuk menerima wahyu di atas bukit Thursina. Musa menitipkan urusan kaumnya itu
kepada saudaranya, Harun. Namun pendekatan Harun agak sedikit berbeda dengan Musa.
Harun konon lebih lemah lembut, halus, lebih banyak bermain perasaan, sehingga
memberikan lebih banyak toleransi atas kedegilan bangsa Yahudi itu. Tidak seperti sikap
Nabi Musa yang lebih keras dalam menghadapi mereka. Sehingga ketika Musa kembali dari
menghadap Allah SWT dan dilihatnya kaumnya seperti itu, meledaklah marahnya. Seperti
yang terdapat di dalam Qs Al-A’raf :150
          
          
         
        
 
Artinya : Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati
berkatalah dia, "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah
kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musa pun
melemparkan luh-luh itu dan memegang kepala saudaranya sambil menariknya ke
arahnya, Harun berkata, "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah
menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu
janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah
kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim”
Dan pada pada itu, Nabi Harun saudaranya itu pun menjawab dalam Qs Thaha : 94
           
       
Artinya : Harun menjawab' "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan
kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata, "Kamu telah
memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku".
Penting untuk kita garis-bawahi disini, bahwa Musa dan Harun, keduanya adalah
saudara, samasama diangkat menjadi Nabi untuk kaum yang sama, yaitu kaum Yahudi.
Tetapi pola pendekatan yang masing-masing lakukan ternyata berbeda, dan terjadilah tarik
menarik rambut dan jenggot di antara mereka. Padahal kalau dipikir-pikir, Nabi Musa ini
amat kuat fisiknya, dan pernah meninju orang dengan sekali pukulan hingga mati. Dan dalam
riwayat yang shahih disebutkan bahkan malaikat Izrail pun pernah kena tinju matanya hingga
picek, lalu mengadu kepada Allah SWT Artinya, perbedaan pendapat antara Musa dan Harun
malah sampai kepada keributan fisik. Tetapi begitulah, keduanya tetap berkedudukan sebagai
utusan Allah SWT Perbedaan Pendapat Antara Musa dan Khidhir Masih terkait dengan Nabi
Musa lagi, kali ini beliau berbeda pandangan dengan Nabi Khidhir alaihissalam.
Kisahnya disebutkan juga di dalam AlQuran, meski tidak sampai keributan fisik.
Sebab saat itu posisi Nabi Musa bukan sebagai pemimpin, melainkan sebagai murid yang
sedang belajar untuk mendapatkan ilmu dari orang yang derajatnya lebih tinggi. Dan
begitulah, keduanya selalu berselisih dan beda pendapat dalam perjalanan. Musa selalu
mempertanyakan semua tindakan shahabatnya itu, meski pada akhirnya beliau selalu harus
dibuat mengerti. Tetapi intinya, beda pemahaman itu adalah sesuatu yang wajar dan mungkin
terjadi, bahkan di kalangan sesama para nabi. Dan tidak ada kebenaran tunggal dalam hal ini.
         
  
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami. (QS. Al-Kahfi : 65)
           
Artinya : Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?" (QS. Al-Kahfi : 66
      
Artinya : Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama
aku. (QS. AlKahfi : 67)
        
Artinya : Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (QS. Al-Kahfi : 68)
          
Artinya : Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar,
dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".(QS. AlKahfi : 69)
           

Artinya : Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".(QS. Al-
Kahfi : 70)
          
  
Artinya : Khidir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan
kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. ".(QS. AlKahfi : 78)
Perbedaan Pendapat Antara Nabi Sulaiman dan Daud
‫ُكمان ِ ليمان إ ُ ود‬
ِ ‫ذ ِ ِث إ ِف احلر ذ حي‬
21.78 ‫ُكم ِهم شاه ِ حل‬
ِ ِ ‫وس ُ ّ وداو ا ُوكن ِ القوم ُ غنم ِ يه ِ نفشت ف ين ِد‬.
Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan
mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya.
Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
b. Perbedaan Pendapat Malaikat
Bahkan sesama malaikat yang mulia dan tanpa hawa nafsu sekali pun tetap terjadi
beda pendapat. Masih ingat kisah seorang yang taubat karena telah membunuh 99 nyawa
ditambah satu nyawa? Dalam perjalanan menuju taubatnya, Allah mencabut nyawanya. Maka
berikhtilaflah dua malaikat tentang nasibnya. Malaikat kasih sayang ingin membawanya ke
surga lantaran kematiannya didahului dengan taubat nashuha. Namun rekannya yang juga
malaikat tetapi job-nya mengurusi orang pendosa ingin membawanya ke neraka, lantaran
masih banyak urusan dosa yang belum diselesaikanya terkait dengan hutang nyawa.
Bayangkan, bahkan dua malaikat yang tidak punya kepentingan hewani, tidak punya
perasaan, tidak punya kepentingan terpendam, tetap saja ditaqdirkan Allah SWT untuk
berbeda pendapat. Kisah lengkapnya seperti yang sudah terdapat dalam kitab tarshahih kedua
setelah Al-Qur’an dan Sunnah yaitu kitab hadits Jami’ Shahih Bukhari yang selalu menjadi
rujukan.

‫ض فَ ُد َّل َعلَى‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫َأعلَ ِم َْأه ِل‬
ِ ‫اَألر‬ ْ ‫َأل َع ْن‬
َ ‫ني َن ْف ًس ا فَ َس‬
َ ‫يم ْن َك ا َن َقْبلَ ُك ْم َر ُج ٌل َقتَ َل ت ْس َعةً َوت ْس ع‬
َ ‫َك ا َن ف‬
َّ‫ َف َقَتلَ هُ فَ َك َّم َل بِ ِه ِماَئةً مُث‬.َ‫ال ال‬
َ ‫ني َن ْف ًس ا َف َه ْل لَ هُ ِم َن َت ْوبَ ٍة َف َق‬ِ ِ ِ
َ ‫ال ِإنَّهُ َقتَ َل ت ْس َعةً َوت ْس ع‬ ٍ ‫ر ِاه‬
َ ‫ب فََأتَاهُ َف َق‬ َ
َ ‫س َف َه ْل لَ هُ ِم ْن َت ْوبَ ٍة َف َق‬
‫ال‬ َ َ ‫ض فَ ُد َّل َعلَى َر ُج ٍل َع امِلٍ َف َق‬
ٍ ‫ال ِإنَّهُ َقتَ ل ِماَئةَ َن ْف‬ ْ ‫َأعلَ ِم َْأه ِل‬
ِ ‫اَألر‬ ْ ‫َأل َع ْن‬
َ ‫َس‬
ِ َ‫ض َك َذا و َك َذا فَ ِإ َّن هِب ا ُأنَاس ا يعب ُدو َن اللَّه ف‬
ِ ‫ول َبْينَ هُ َو َبنْي َ الت َّْوبَ ِة انْطَلِ ْق ِإىَل َْأر‬
َ‫اعبُ د اللَّه‬
ْ َ ُْ َ ً َ َ ُ ُ‫َن َع ْم َو َم ْن حَي‬
ٍ ِ
ُ ‫ف الطَِّري َق َأتَ اهُ الْ َم ْو‬
‫ت‬ َ َ‫ فَ انْطَلَ َق َحىَّت ِإذَا ن‬.‫ض َس ْوء‬
َ ‫ص‬ َ ‫َم َع ُه ْم َوالَ َت ْرج ْع ِإىَل َْأر ِض‬
ُ ‫ك فَِإن ََّه ا َْأر‬

‫ت َمالَِئ َك ةُ الرَّمْح َ ِة َج اءَ تَاِئبً ا ُم ْقبِالً بَِق ْلبِ ِه ِإىَل‬ ِ ‫ت فِي ِه مالَِئ َك ةُ الرَّمْح َ ِة ومالَِئ َك ةُ الْع َذ‬
ْ َ‫اب َف َق ال‬ َ ََ َ ْ ‫ص َم‬ َ َ‫اخت‬
ْ َ‫ف‬
‫آد ِم ٍّى فَ َج َعلُ وهُ َبْيَن ُه ْم‬
َ ‫ور ِة‬
َ ‫ص‬ُ ‫ك ىِف‬ ُ َ‫ فََأت‬.‫ط‬
ٌ َ‫اه ْم َمل‬ ً ْ
ِ ‫ت مالَِئ َك ةُ الْع َذ‬
ُّ َ‫اب ِإنَّهُ مَلْ َي ْع َم ل َخْي را ق‬ َ
ِ
َ ْ َ‫ َوقَ ال‬.‫اللَّه‬
ِ ‫ِإ‬ ِ‫ال ق‬
‫ض الَّىِت‬ ْ ‫اس وهُ َف َو َج ُدوهُ َْأدىَن ِإىَل‬
ِ ‫اَألر‬ ُ ‫ َف َق‬.ُ‫اَألرضَنْي ِ فَ ىَل َأيَّت ِه َم ا َك ا َن َْأدىَن َف ُه َو لَه‬
ْ َ ‫يسوا َم ا َبنْي‬
ُ َ ‫َف َق‬
‫ضْتهُ َمالَِئ َكةُ الرَّمْح َِة‬
َ َ‫ََأر َاد َف َقب‬
Artinya : Pada umat sebelum kalian ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 jiwa.
Kemudian ia bertanya tentang siapakah penduduk bumi yang paling berilmu. Ia
pun ditunjukkan pada seorang ahli ibadah. Ia mendatanginya dan berkata
bahwasanya ia telah membunuh 99 jiwa. Apakah masih ada peluang tobat untuk
dia. Ahli ibadah itu menjawab: Tidak. Orang itu pun membunuh ahli ibadah
tersebut. Sehingga genaplah menjadi 100 jiwa (yang pernah dibunuhnya).
Kemudian ia bertanya tentang penduduk bumi yang paling berilmu. Ia ditunjukkan
pada seorang yang berilmu. Orang itu berkata bahwa ia telah membunuh 100 jiwa.
Apakah masih ada tobat untuknya. Orang berilmu berkata: Ya, siapakah yang bisa
menghalangi antara dirinya dengan pertobatan? Pergilah ke tempat ini dan ini
karena di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah. Beribadahlah kepada
Allah bersama mereka. Jangan kembali ke tempat asalmu karena itu tempat yang
buruk. Ia pun pergi hingga di pertengahan jalan ia meninggal. Malaikat rahmat
berdebat dengan Malaikat azab. Malaikat rahmat berkata: Ia telah datang dengan
bertobat menghadapkan hatinya kepada Allah. Malaikat azab berkata:
Sesungguhnya ia belum melakukan kebaikan sama sekali. Kemudian datanglah
Malaikat dalam bentuk manusia. Mereka pun menjadikannya sebagai hakim
pemutus perkara di antara mereka. Malaikat (dalam bentuk manusia) itu berkata:
Ukurlah antar 2 tempat itu. Ke manakah yang lebih dekat, diputuskan dengannya.
Mereka pun mengukurnya dan didapati bahwa ia lebih dekat ke tempat yang dituju.
Kemudian ia dibawa oleh Malaikat rahmat

Atas kejadian itu Malaikat rahmat dan malaikat adzab berselisih Menarik sekali, ada
dua malaikat berselisih. Mungkin tidak terbayangkan di tengah kita, bagaimana bisa malaikat
dengan sesama mereka berselisih pandangan. Tetapi itu urusan Allah SWT Buat kita, cukup
kita tahu bahwa berselisih itu tidak berarti haram dan dosa. Ada perselisihan yang
diharamkan, tetapi ada juga yang dibenarkan. Kalau berpeda pandangan itu haram dan dosa,
seharusnya malaikat tidak boleh berbeda pandangan. Setidaknya, Rasulullah SAW tidak perlu
menceritakan kisah perselisihan mereka, seharusnya ditutup rapat saja, menjadi urusan dunia
ghaib.

c. Perbedaan Pendapat Nabi dan Shahabat


Sirah nabawiyah mencatat beberapa kali sempat terjadi perbedaan pendapat antara
Rasulullah SAW dengan para shahabat sendiri. Saat itu memang tidak turun wahyu, sehingga
beliau SAW berijtihad sendiri tanpa didasari wahyu. Kemudian akhirnya jelas bahwa ijtihad
beliau tidak tepat sementara pendapat shahabat malah yang lebih tepat. Posisi Pasukan Dalam
kasus penempatan pasukan perang di medan Badar, terjadi perbedaan pendapat antara
Rasulullah SAW dengan seorang shahabat. Menurut shahabat yang ahli perang ini, pendapat
Rasulullah SAW yang bukan berdasarkan wahyu kurang tepat. Setelah beliau menjelaskan
pikirannya, ternyata Rasulullah SAW kagum atas strategi shahabatnya itu dan bersedia
memindahkan posisi pasukan ke tempat yang lebih strategis.
Di sini, Nabi SAW bahkan menyerah dan kalah dalam berpendapat dengan seorang
shahabatnya. Namun beliau tetap menghargai pendapat itu. Toh, pendapat beliau SAW
sendiri tidak berdasarkan wahyu. Tawanan Perang Badar Masih dalam perang yang sama,
saat perang hampir berakhir, muncul keinginan di dalam diri Rasululah SAW untuk
menghentikan peperangan dan menjadikan lawan sebagai tawanan perang. Tindakan itu
didasari oleh banyak pertimbangan, selain itu juga karena saat itu belum ada ketentuan dari
langit. Maka Nabi SAW bermusyawarah dengan para shahabatnya dan diambil keputusan
untuk menawan dan meminta tebusan saja. Saat itu hanya satu orang yang berbeda pendapat,
yaitu Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu. Beliau tidak sepakat untuk menghentikan
perang dan meminta agar Nabi SAW meneruskan perang hingga musuh mati semua. Tidak
layak kita menghentikan perang begitu saja karena mengharapkan kekayaan dan kasihan.
Tentu saja pendapat seperti ini tidak diterima forum musyarawah dan Rasulullah SAW serta
para shahabat lain tetap pada keputusan semula, hentikan perang. Tidak lama kemudian turun
wahyu yang membuat Rasulullah SAW gemetar ketakutan, karena ayat itu justru
membenarkan pendapat Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu dan menyalahkan semua
pendapat yang ada.
            
         
Artinya : Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda
duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

d. Perbedaan Pendapat Para Shahabat


Para shahabat Nabi SAW adalah generasi terbaik, dimana status yang Allah SWT
sandangkan kepada mereka tidak pernah diberikan kepada generasi yang lain, yaitu
ridwanullahi ‘alaihim.
      
          
        
Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selamalamanya.
Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah : 100)
Namun demikian, keridhaan dari Allah SWT telah mereka dapat tidak menghalangi
adanya perbedaan pendapat dalam memahami nash-nash syariah di tengah mereka. Bahkan
perbedaan itu bukan hanya terjadi selepas Rasulullah SAW wafat, bahkan jauh ketika beliau
SAW masih berada di tengah-tengah mereka sendiri.
Perbedaaan pendapat dan pemahaman dikalangan para sahabat telah terjadi ketika
perbedaan pendapat. akan tetapi, maksud mereka adalah untuk mencari kebenaran dan tidak
mengakibatkan lemahnya akidah ataupun tidak mendatangkan keraguan terhadap agama yang
disampaikan oleh nabi Muhammad SAW, yang membenarkan satu dari dua pendapat,
ataupun membenarkan keduanya. contohnya pada saat para sahabat memahami hadits nabi
Muhammad SAW tentang shalat asar.

َ‫صَر ِإاَّل يِف بَيِن ُقَريْظَة‬ َ َّ ‫صلِّنَي‬


ْ ‫َأح ٌد الْ َع‬ َ ُ‫اَل ي‬
Artinya: Janganlah ada satupun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah
(H.R Bukhari dan Muslim)
Ketika waktu asar telah tiba para sahabat berhenti di dalam perjalanan. Sebagian
sahabat berkata “kita tidak shalat kecuali sampai di kampung bani Quraizhah”. Sebagian
sahabat berkata: “kita harus shalat sekarang”. Dan pada saat mereka bertemu dengan nabi
Muhammad SAW, mereka menanyakan perbedaan pendapat mereka kepada Muhammad,
nabi tidak marah akan perbedaan pendapat mereka, karena pendapat pertama mengambil
makna zahir hadits sedangkan kelompok kedua mengambil makna khusus, yaitu isyarat agar
para sahabat mempercepat perjalanan mereka.5
Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan1 bahwa para ahli fiqih berselisih pendapat,
mana dari kedua kelompok ini yang benar. Satu kelompok menyatakan bahwa yang benar
adalah mereka yang menundanya. Seandainya kita bersama mereka tentulah kita tunda seperti
mereka menundanya. Dan kita tidak mengerjakannya kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah karena mengikuti perintah beliau sekaligus meninggalkan takwilan yang
bertentangan dengan dzahir hadits tersebut. Yang lain mengatakan bahwa yang benar adalah
yang melakukan shalat di jalan, pada waktunya.
Mereka memperoleh dua keutamaan; bersegera mengerjakan perintah untuk berangkat
menuju Bani Quraizhah dan segera menuju keridhaan Allah SWT dengan mendirikan shalat
pada waktunya lalu menyusul rombongan. Maka mereka mendapat dua keutamaan;
keutamaan jihad dan shalat pada 1 Zadul Ma’ad jilid 3 hal. 131 waktunya. Sedangkan mereka
yang mengakhirkan shalat ‘Ashar paling mungkin adalah mereka udzur, bahkan menerima
satu pahala karena bersandar kepada dzahir dalil tersebut. Niat mereka hanyalah menjalankan
perintah. Tapi untuk dikatakan bahwa mereka benar, sementara yang segera mengerjakan
shalat dan berangkat jihad adalah salah, adalah tidak mungkin. Karena mereka yang shalat di

5
Ahmad Sarwat, Lc,.MA, Perbedaan Pendapat Ulama, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing
2019), hal 33-36
jalan berarti mengumpulkan dua dalil. Mereka memperoleh dua keutamaan, sehingga
menerima dua pahala.
Perbedaan pendapat pertama di kalangan rasulullah sepeninggalnya yaitu tentang
kematian Rasulullah, yaitu sebagian jumhur telah ikhlas atas kepergian nabi, akan tetapi
Umar Bin Khattab tetap bersikukuh dengan lantang mengatkan bahwa nabi tidak meninggal.
Dan pada saat itulah Abu Bakar Berdiri dan mebacakan QS Ali Imran: 144
             
          
     
dan Abu bakar juga membaca Qs Az-Zumar: 30
    
Dan seketika mendengar 2 ayat inilah Umar Bin Khattab menjadi lemas kemudian
menjatuhkan pedangnya, dan karena 2 ayat ini Umar menjadi yakin bahwa nabi Muhammad
telah tiada.
Kemudian terjadi lagi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat yaitu, ketika nabi
hendak dimakamkan, dari kalangan sahabat Muhajirin menginginkan Rasulullah
dimakamkan di Mekkah. Sedangakan kalangan sahabat dari Anshar menginginkan Rsulullah
dimakamkan di Madinah karena disanalah tempat hijrahnya nabi, sementara sebagian para
sahabat mengusulkan untuk dimakamkan di Baitul Maqdis, karena disanalah tempat nabi
melaksanakan isra’ dan Mi’raj. Dan pada saat itulah Abu Bakar berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “dimana seorang nabi menghembuskan nafas terakhirnya di situlah dia di
makamkan”.
Dan masih banyak perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat nabi
seperti perbendaan pendapat antara Umar dengan Ali, antara Umar Bin Khattab dengan
Abdullah Bin Mas’ud, dan antara Ibn Abbas dengan Zaid bin Tsabit.

e. Perbedaan Pendapat Para Ulama


Para ulama, khususnya dari empat mazhab yang berbeda, Al-Hanafiyah, Al-
Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah, banyak berbeda pendapat dalam masalah fiqih
yang sifatnya cabang (furu'iyah). Sebagian dari mereka ada yang membaca basmalah saat
membaca surat Al-Fatihah dalam shalat, namun sebagian dari mereka tidak membacanya.
Sebagian dari mereka mengerjakan qunut pada shalat shubuh dan menetapkan hukumnya
sunnah muakkadah, sementara sebagian lain menetapkan hukumnya bid'ah. Sebagian dari
mereka menganggap muntah, mimisan dan berbekam membatalkan wudhu, sebagian lagi
mengatakan tidak batal, sehingga tetap melakukan shalat meski hal-hal seperti itu terjadi.
Sebagian dari mereka menetapkan bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang
bukan mahram tanpa lapisan membatalkan wudhu, sementara yang lain bilang tidak.
Sebagian dari mereka ada yang bilang bahwa memakan daging unta atau daging yang
langsung dibakar dengan api membatalkan wudhu', sedangkan yang lain mengatakan tidak.
Namun meski mereka berbeda-beda dalam pendapat, namun perbedaan itu tidak sampai
mencegah mereka dari shalat berjamaah, dimana imam dan makmum berbeda mazhab dan
pendapat. Abu Yusuf berpendapat bahwa bekam itu membatalkan wudhu', namun beliau
tetap melakukan shalat dengan bermakmum kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid, padahal sang
khalifah ketika selesai berbekam langsung mengimami shalat tanpa berwudhu' kembali.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berfatwa bahwa orang yang mengalami mimisan di
hidung serta orang yang melakukan bekam, shalatnya batal. Namun demikian, beliau tetap
membolehkan shalat di belakang imam yang mimisan atau berbekam. Ketika ditanya, kenapa
hal itu dibolehkan? Beliau menjawab,"Apakah harus dilarang shalat di belakang Al-Imam
Malik dan Said ibnu Al-Musayyib?" Keduanya berfatwa bahwa bekam dan mimisan tidak
membatalkan shalat, dan Al-Imam Ahmad tetap menghormati pendapat keduanya. Al-Imam
Asy-Syafi'i tegas menyebutkan bahwa qunut pada shalat shubuh hukumnya sunnah
muakkadah. Namun beliau sengaja meninggalkan qunut ketika shalat di masjid dekat dengan
maqam Al-Imam Abu Hanifah. Ketika ditanya kenapa saat itu meninggalkan qunut pada
shalat shubuh, beliau menjawab,"Apakah saya harus menentang Abu Hanifah di hadapan
beliau?
Didalam perkembangan hukum agama islam, ikhtilaf (perbedaan pendapat) sudah
terjadi di kalangan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Dulu ketika nabi Muhammad masih
hidup segala sasuatu persoalan yang kurang jelas, atau adanya perbedaan pendapat di
kalangan para umat maka langsung bisa mengembalikan perkara itu kepada Rasulullah SAW.
Dan setelah nabi Muhammad wafat, sahabat-sahabat nabi sering timbul perbedaan pendapat
dalam menentukan dan menetapkan suatu masalah hukum.
Contohnya Ibnu Qudamah yang menuliskan kitab tentang hukum yang dicetak
sebanyak 15 jilid, kitab ini berisi tentang hukum islam dalam berbagai mazhab. Ibnu
qudamah tidak hanya fokus kepada mazhab 4 saja, Ibnu Qudamah juga mengambil pendapat
ulama-ulama yang lain yang hidup pada masa sahabat, dan tabi’in.6

C. Macam Macam Ikhtilaf


6
H. Hasbiyallah, Perbandingan Mdzhab, (Jakarta Pusat: Maktubullah, 2012) hal. 43
Adapun ikhtilaf itu dibedakan menjadi 2 macam yaitu:
1. Iqhtilaf Qulub (perbedaan perselisihan hati) ini juga termasuk kedalam tafarruq,
ini melingkupi semua jenis perbedaan yang terjadi diantara umat, tanpa
membedakan tingkatan, isu masalah, penyebab, perilaku dan sebagainya. Maka
dari itu muncullah rasa kebencian, permusuhan dan semacamnya sehingga ini
termasuk tafarruk (perpecahan) yang ditolak7.
2. Ikhtilaf fil aqal wa afkar (perbedaan perselisihan di dalam masalah pemikiran dan
pemahaman), dan perbedaan ini terbagi menjadi 2 yaitu:
1. Ikhtilaf dalam masalah Ushul (Dasar), ikhtilaf ini jelas masuk kedalam bagian
Iftiraq atau Tafarruq, jadi pembahasan didalamnya tidak ada materi fiqhul Ikhtilaf,
tetapi masuk kedalam materi aqidah. Dan didalam perselisihan jenis inilah
melahirkan kelompok-kelompok yang menyimpang di dalam islam. Dan
kelompok ini sering disebut firaq dallah (fiqrah-fiqrah sesat), juga Ahlul bida wal
ahwa (ahli bid’ah yang mengikuti hawa nafsu) ini seperti kelompok Khawarij,
syi’ah, mu’tazilah, jabariyah, murji’ah dan lain sebagainya
2. Ikhtilaf dalam masalah furu’ (cabang, bukan dasar), inilah perselisihan dan
perbedaan yang secara umum tergolong kedalam ikhtilaf fil tanawwu’ (perbedaan
keberagaman) yang dapat diterima dan di analisis, ketika belum menjadi
perbedaan perselisihan hati. Ikhtilaf ini menjadi pokok bahasan terbaik di dalam
materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya.8
D. Faktor – Faktor Terjadinya Ikhtilaf
Telah terjadi perbedaan pendapat didalam menetapkan hukum islam, ada faktor
manusiawi ada juga faktor agama. Faktor ini terus berkembang sepanjang perkembangan
hukum pada generasi berikutnya. Sehingga adakalanya perbedaan pendapat ini menimbulkan
pertentangan keras, terutama di kalangan orang awam. Bahkan dengan adanya kemajuan
teknologi digital membuat perkembangan dan perbedaan pendapat menjadi lebih banyak.
Yusuf Qardawi mengatakan bahwa faktor terjadinya ikhtilaf ada dua 2, yaitu faktor akhlaq
dan faktor pemikiran.9
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf yaitu10:

7
Dr. Khalid Bin Sa’ad Al-Khasyalan, IKHTILAF TANAWWU: Mengenal Beragam Perbedaan Fikih
Yang Dibolehkan dan Dilarang, (Bekasi: PT Darul Falah, 2016) hal. 12-18
8
Opcit.,
9
Mohammad Hanief Sirajulhuda, Konsep Fikih Ikhtilaf Yusuf al-Qaradhawi, Jurnal Tsaqafah 13, 02
(2017) hal.260-261
10
Ahmad Sarwat, Lc,.MA, Perbedaan Pendapat Ulama, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing
2019), hal 33-36
1. Perbedaan Makna Lafadz Teks Naskah
Perbedaan makna ini karena adanya lafadz umum (mujmal) atau lafadz tersebut
memiliki lebih dari satu makna (musytarak), ataupun maknanya memiliki makna yang
umum dan khusus, ataupun lafadznya memiliki makna hakiki atau adat kebiasaan dan
lain sebagainya.
Misalnya QS Al-baqarah: 228
         
            
          
         
 
Di dalam Qs Al-Baqarah ini lafadz Quru’ memiliki 2 makna yaitu haid dan suci, dan
lafadz amr (perintah) bisa bermakna anjuran atau wajib, juga lafadz nahy memiliki
arti larangan yang haram atau makruh.
2. Perbedaan Riwayat Hadits
Perbedaan riwayat hadits, yang menyebabkan umat berbeda pendapat karena beberapa
faktor:
pertama, karena hadits itu sampai pada satu perawi saja dan tidak sampai kepada
perawi lainnya.
Kedua, hadit tersebut sampai pada perawi itu namun dengan jalan perawi yang lemah.
Ketiga, sampai pada seorang perawi dengan satu jalan atau salah seorang ulama hadits
melihat satu jalan perawi lemah namun ulama lain menilai jalan hadits itu kuat.
Keempat, dia menilai tidak ada penghalang untuk menerima suatu hadits.
Kelima, sebuah hadits yang sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah
disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang kriteria dalam menilai keshahihan
hadits-hadits itu.
3. Perbedaan Sumber Pengambilan Hukum
Ada sebagian berdasarkan sumber istihsan, maslahah mursalah, perkataan sahabat,
istishab, dan ada beberapa ulama tidak mengambil hukum itu
4. Perbedaan Kaidah Ushul Fiqh
Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi landasan (pegangan), dan mafhum
(pemahaman gamblang) nash tidak dijadikan dasar, tambahan terhadap nash Al-
Qur’an dalam hukum adalah nasakh (penghapusan), kaidah inilah yang menyebabkan
perbedaan pendapat antara ulama.11
5. Ijtihad dengan Qiyas
Dan dari ijtihadlah perbedaan pendapat menjadi banyak dan luas, karena qiyas
memiliki dasar, syarat dan illat. Dan illat memiliki beberapa syarat dan langkah yang
harus terpenuhi agar syarat kaidah bisa diterima. Inilah yang menyebabkan
munculnya banyak perbedaan dari hasil qiyas.
6. Pertentangan Antar Dalil
Pertentangan terjadi biasanya karena nash ataupun qiyas,ataupun antara sunnah nabi
baik itu perbuatan perkataan dalam penetapannya. Meski demikian perlu diketahui
bahwa tidak semuanya bisa menyatakan sebagai syariat yang diturunkan kepada
Rasulullah. Perbedaan diantara para ulama tidak boleh menjadi pemicu kita menjadi
golongan Ashabiyah (fanatisme), perpecahan dan permusuhan yang dibenci Allah di
antara kaum muslimin.

E. Para Ulama
a) Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi)
Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir di kufah (Irak) yang penduduknya merupakan
masyarakat yang sudah banyak menganal kebudayaan dan peradaban. Fuqaha daerah ini
sering dihadapkan pada berbagai persoalan hidup berikut problematikanyua yang beragam.
Untuk mengatasinya, mereka “terpaksa” memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda
dengan Hijaz. Masyarakat daerah ini masih dalam suasana kehidupan sederhana, seperti
keadaan pada masa Nabi. Untuk mengatasinya, para fuqaha Hijaz cukup mengandalkan Al-
Qur’an, Sunnah, dan ijma para sahabat. Oleh karena itulah, mereka tidak merasa perlu untuk
berijtihad seperti fuqaha Irak. Sebaliknya, Imam Abu Hanifah menghadapi persoalan
kemasyarakatan di Irak daerah yang sarat dengan budaya dan peradaban, tetapi jauh dari
pusat informasi hadis nabi “terpaksa” atau “selalu” menggunakan akal (rasio)nya. Faktor lain
yang memengaruhi Imam Abu Hanifah adalah kajian awalnya pada ilmu kalam (teologi),
kemudian fiqh berguru kepada Syekh Hammad bin Sulaiman ahli hukum Kuffah (wafat 120
H/ 738 M) dan pengalaman yang nyata sebagai pedagang kain sehingga ia memiliki
pengalaman luas tentang perdagangan. Studi awal terhadap ilmu kalam, tentu saja, membuat
Imam Abu Hanifah mahir dalam menggunakan logika untuk mengatasi berbagai masalah

11
Ibid.,
fiqh. Oleh karena itu, julukan sebagai arab dari para pengikutnya diberikan kepada Imam
Abu Hanifah. Imam yang mendasarkan logika kepada rayu, qiyas, dan istihsan.
dasar-dasar pegangan madzhab Hanafi adalah: 1. Kitab Allah (Al-Qur’an) 2. Sunnah
Rasulullah dan atsar-atsar yang sahih serta telah masyhur di antara para ulama yang ahlu 3.
Fatwa-fatwa dari sahabat 4. Ijma 5. Al-Qiyas 6. Al-Istihsan 7. Al-‘Urf
1. Al-Kitab (Al-Qur’an)
Suatu hal yang menjadi permasalahan Al-Kitab dalam pandangan Madzhab Hanafi
adalah apakah yang dinamakan Al-Qur’an itu hanya makna lafaznya saja atau kedua-duanya,
menurut As-Sarkhasi, Al-Quran dalam pandangan Hanafi hanya maknanya saja, bukan lafazh
dan makna. Adapun menurut Al-Badzdzawi, Abu Hanifah menetapkan Al-Quran adalah
lafazh dan maknanya. Jika diambil pendapat As-Sarkhasi, Abu Hanifah membolehkan kita
shalat dengan membaca terjemahan Al-Fatihah dan dapat dipandang bahwa terjemahan Al-
Quran sama dengan Al-Quran itu sendiri. Perbedaan pendapat itu disebabkan oleh tidak
adanya pendapat yang jelas dari Abu Hanifah. Akan tetapi, menurut sebuah riwayat, Abu
Hanifah pernah berkata, “Ia membolehkan membaca terjemahan Al-Quran dalam shalat, baik
kita dapat membaca ataupun tidak. Pendapat tersebut dibantah Abu Yusuf dan Muhammad
Al-Hasan, yang tidak membolahkan hal tersebut, kecuali apabila tidak sanggup membaca Al-
Quran dengan lafazh arabnya.
Ulama Madzhab Hanafi berpandangan bahwa pesan Al-Quran tidak semuanya qath’i
ad-dalalah. Ada beberapa hal yang memerlukan interpretasi terhadap hukum yang di tunjukan
oleh Al-Quran tersebut, terutama ayat-ayat yang menerangkan muamalah umum antar
manusia. Dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah tersebut, porsi penggunaan
akal dalam mencari hukum suatu mashlahah lebih besar. Hal itu telah dibuktikan, baik oleh
Imam Hanafi maupun oleh murid-muridnya, dank arena ini juga Madzhab Hanafi dijuluki
sebagai madzhab yang paling Umari, dan madzhab liberalis, dan rasionalis. Dalam
memahami Al-Quran, ualama Madzhab Hanafi tidak hanya melakukan interpretasi terhadap
ayat-ayat yang masih mujmal, tetapi mereka juga melakukan penelaahan terhadap ‘aam dank
has ayat Al-Quran tersebut. Dan inilah yang tampaknya menjadi ciri khas ulama-ulama Irak
yang dipelopori oleh Imam Hanafi dan ulama-ulama Hijaz yang semadzhab dengan mereka.
Menurut ulama Hanafiyah, hukum khas mencapai yang muhkam adalah qath’I tanpa perlu
adanya bayan, karena khasbasul qur’an.
Qath’i di dalamnya, dan segala nash yang mengubah hukumnya di pandang nasikh,
dan nasikh harus sama kuatnya dari segala tsubut-nya. Pendapat ulama Hanafiyah tersebut
merupakan hasil takhrij dari hukum-hukum furu yang ditetapkan oleh Abu Hanifah sendiri.
Hal inilah yang menjadikan salah satu titik yang membedakan fuqaha ra’yi dan fuqaha hadis.
Fuqaha ra’yi mengumumkan Al-Quran, tidak mengkhususkan dengan hadis ahad. Fuqaha
hadits sebagaimana yang dikemukakan oleh Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah dan Al-Umm,
mengkhususkan amm Al-Quran dengan hadis ahad. Ayat-ayat Al-Quran yang berpautan
dengan hukum, selain diteliti dari segi amm dank has-nya, juga harus ada usaha bayan,
karena sifatnya mujmal atau agak tersembunyi maknanya, memerlukan tafsir, takwil, atau
sifat-sifatnya muthlaq memerlukan taqyid.
Oleh Karena itu ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Assunnah bias menjadi bayan
bagi Al-Quran. Bayan Al-Quran menurut hanafi terbagi tiga bagian: 1. Bayan taqrir, seperti
sabda Nabi, “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah
melihatnya” 2. Bayan tafsir, seperti hadits yang menerangkan kaifiyat shalat, kaifiyat haji,
zakat, cara memotong tangan pencuri dan menerangkan hukum-hukum yang berkenaan
dengan riba. 3. Bayan tabdin atau yang disebut juga bayan nasakh. Al-Quran boleh
dinasahkan dengan As-sunnah dengan syarat bahwa As-sunnah tersebut adalah mutawatir
atau masyhurah dan mustafidhah.
2. As-Sunnah
Dasar yang digunakan oleh Mazhab Hanafi adalah As-Sunnah. Martabat AsSunnah
terletak dibawah Al-Quran. Imam Abu Yusuf berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang
yang lebih alim tentang menafsirkan hadis daripada Abu Hanifah. Ia adalah seorang yang
mengerti tentang penyakit-penyakit hadis dan men-ta’dil dan men-tarjib hadis.” Tentang
dasar yang kedua ini, Mazhab Hanafi sepakat mengamalkan AsSunnah yang mutawatir,
mashur, dan shahih. Hanya saja, Imam Hanafi sebagaimana ulama Hanafiyah, agak ketat
menetapkan syarat-syarat yang dipergunakan untuk menerima hadis ahad. Abu Hanifah
menolak hadis ahad apabila berlawanan dengan ma’na Al-Quran, baik makna yang diambil
dari nash, atau yang diambil dari illat hukum. Ali Hasan Abd. Al-Qadir mengatakan,
“Musuh-musuh Abu Hanifah (orang yang tidak senang dengan Abu Hanifah) menuduhnya
tidak memberikan perhatian yang besar terhadap hadis. Ia memprioritaskan ra’yu. Abu Shalih
Al-Fura menuturkan, “Aku mendengar Ibn Asbath berkata, “Abu Hanifah menolak 400 atau
lebih hadis.” Abu Hanifah menerima hadis ahad, jika tidak berlawanan dengan qiyas. Tetapi
jika berlawanan hadis ahad dengan qiyas yang illatnya mustanbath dari suatu ashal yang
dhanni, walaupun dari ashal yang qath’i, atau diistanbathkan dari ashal yang qath’i, tetapi
penetapannya kepada furu adalah dhanni, maka hadis ahad didahulukan atas qiyas.
3. Fatwa Shahabi
Imam Abu Hanifah sangat menghargai pendapat para sahabat. Dia menerima,
mengambil, serta mengharuskan umat Islam mengikutinya. Jika ada pada suatu masalah
beberapa pendapat sahabat, maka ia mengambil salah satunya. Dan jika tidak ada pendapat-
pendapat sahabat pada suatu masalah, ia berijtihad dan tidak mengikuti pendapat tabiin.
Menurut Abu Hanifah, ijma sahabat ialah: “Kesepakatan para mujtahidin dari umat Islam di
suatu masa sesudah Nabi, atas suatu urusan.” Ta’rif itulah yang disepakati ulama Ahlu Al-
Ushul. Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma itu dijadikan sebagai hujjah. Mereka
menerima ijma qauli dan ijma sukuti. Mereka menetapkan bahwa tidak boleh ada hukum baru
terhadap suatu urusan yang telah disepakati oleh para ulama, karena membuat hukum baru
adalah menyalahi ijma. Paling tidak, ada tiga alasan yang dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah dalam menerima ijma’ sebagai hujjah: a. Para sahabat berijtihad dalam
menghadapi masalah yang timbul. Umar bin Khaththab dalam menghadapi suatu masalah,
sering memanggil para sahabat untuk diajak bermusyawarah dan bertukar pikiran. Apabila
dalam musyawarah tersebut diambil kesepakatan, Umar pun melaksanakannya. b. Para Imam
salalu menyesuaikan pahamnya dengan paham yang telah diambil oleh ulama-ulama di
negerinya, agar tidak dipandang ganjil, dan tidak dipandang menyalahi umum. Dan Abu
Hanifah tidak mau menyalahi sesuatu yang telah difatwakan oleh ulama-ulama Kufah. c.
Hadis-hadis yang menunjukkan keharusan menghargai ijma seperti: Dengan demikian,
jelaslah bahwa ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma merupakan salah sartu hujjah
dalam agama, yang merupakan hujjah qath’iyyah. Mereka tidak membedakan antara macam-
macam ijma. Oleh karena itu, apapun bentuknya kesepakatan yang datangnya dari
kesepakatan para ulama/masyarakat, itu berhak atas penetapan suatu hukum dan sekaligus
menjadi hujjah hukum.
4. Qiyas
Qiyas adalah penjelasan dan penetapan suatu hukum tertentu yang tidak ada nashnya
dengan melihat masalah lain yang jelas hukumnya dalam Kitabullah atau As-Sunnah atau
ijma’ karena kesamaan illatnya. Yang menjadi pokok pegangan dalam menjalankan qjyas
adalah bahwa segalanya hukum syara’ ditetapkan untuk menghasilkan kemashlahatan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hukum-hukum itu mengandung pengertan-
pengertian dan hikmah-hikmah yang menghasilkan kemashlahatan, baik yang diperintahkan
maupun yang dilarang, atau yang dibolehkan maupun yang dimakruhkan. Semuanya demi,
kemashlahatan umat. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa semua masalah yang baru
timbul dan tidak ada hukumnya dalam Al-Quran dan As- Sunnah serta ijma’, boleh diqoaskan
begitu saja, atas dalil kemashlahatan umum. Ada beberapa syarat dan rukun yang harus
dipenuhi tatkala hendak mengqiaskan suatu permasalahan kepada hukum lama. Di antara
rukun yang harus dipenuhi dalam qias adalah: 1). ashal, yaitu sesuatu yang dinashkan
hukumnya yang menjadi tempat mengqiaskan, dalam istilah ushul fiqh disebut al-ashlu atau
al-musyabbah bihi; 2) cabang (al-far’u), yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya.
Dalam istilah ushul fiqh disebut al-far’u almaqis atau al-musyabbah; 3) hukum ashal, yaitu
hukum yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang; 4) illat
hukum, yaitu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau yang munasabah dengan ada
dan tidak adanya hukum. Dan illat inilah yang akan menjadi titik tolak serta pijakan dalam
melaksanakan qiyas. Tentang illat hukum yang ada dalam nash, tidak semua nash itu dapat
diselami illatnya oleh akal pikiran. Oleh karena itu Hanafiyah membagi nash itu pada dua
bagian: 1. Nushus ta’abbudiyah, yaitu nash-nash yang berkenaan dengan masalah-masalah
ibadah, seperti masalah tayamum, ibadah haji dan lainnya. Pada nash ini tidak dilakukan
qiyas. Karena hukumnya telah disyariatkan Allah, serta ada kaidah yang mengatakan “tidak
ada qias dalam masalah ibadah”. 2. nash-nash yang dibahas illatnya dan ditetapkan hukum
berdasarkan illatnya itu. Nash inilah yang disebut nash mu’allal, nash-nash yang diteliti
illatnya, maksudnya, sebab, dan ghayah- ghayahnya, dan pada nash ini berlaku qias.
5. Istihsan
Istihsan yang, diartikan sebagai “konstruksi yang menguntungkan” (favourable
construction), atau juga sering dikatakan sebagai pilihan hukum (juristic preference)
dijadikan hujjah oleh fuqaha Madzhab Hanafi (Abdullah Ahmed An-Naim, 1994: 50).
Daripada menggunakan dan mengikuti qiyas secara kaku, seorang fuqaha Hanafi lebih suka
memilih (yabtasin) jalan keluar yang lain, yaitu meninggalkan qias yang tersembunyi atau
halus (qiyas khafi), sebuah divergensi qiyas yang jelas (jali) dan bersifat eksternal dengan
model pengambilan keputusan dari dalam diri yang terkondisi.
6. Al-‘urf
Urf (adat kebiasaan), dalam batas-batas tertentu diterima sebagai sumber syariah oleh
madzhab Hanafi. Menurut madzhab Hanafi, ‘urf dapat melampaui qias, namun tidak dapat
melampaui nash Al-Quran dan As-Sunnah. Sahal ibn Muzahim berkata, “Pendirian Abu
Hanifah adalah mengambil yang tepercaya dan lari dari keburukan Pola Pemikiran setta
memethatikan muamalah manusia dan apa yang mendatangkan mashlahat bagi mereka. Ia
melakukan segald urusan atas qiyas. Apabila tidak baik dilakukan qiyas, ia melakukannya
atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, kembalilah
ia kepada ‘urf manusia. (Abdullah Ahmed An-Naim, 1994: 53). Dari berbagai uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa karakteristik metode Abu Hanifah adalah: pertama, Abu Hanifah
menggunakan qias atau istihsan yang tidak ada, nash. Abu Hanifah hanya mengambil yang
lebih tepat di antara qiyas dan istihsan. Kedua, apabila tidak dapat dijalankan qiyas atau
istihsan, Abu Hanifah mengambil ‘urf, apabila tidak ada nash Al-Quran, As-Sunnah, ijma,
dan istihsan, baik istihsan qiyas maupun istihsan istisna’i (atsar, istihsan ijma, dan istihsan
darurat). Dalam pandangan Barat, Abu Hanifah tampaknya telah memainkan peranan sebagai
seorang penyusun teori yang sistematis yang telah mencapai banyak kemajuan di dalam
mengembangkan dasar hukum yang bersifat teknis. Abu Hanifah bukanlah seorang qadhi
seperti Abu Layla, karena itu, cara berpikirnya tidak begitu terikat dengan pertimbangan-
pertimbangan yang berkaitan dengan tugas sehari-hari atau praktis. Meskipun diakui bahwa
pemikirannya berpandangan lebih luas dan cermat daripada tokoh tua semasanya.

b) Imam Maliki (Mazhab Maliki)


Imam Malik (93-179 H) lahir di Madinah yang dikenal sebagai “Daerah Hadis” dan
tempat tinggal Para sahabat Nabi. Fuqaha di sini lebih mengerti hadis dibanding dengan
fuqaha lainnya, misalnya Irak. Madinah pun merupakan suatu tempat yang masih bernuansa,
kampung dan sederhana-suatu kehidupan yang menjadikan Al-Quran dan Sunnah serta ijma
sahabat sudah cukup untuk dijadikan sebagai dasar acuan keputusan hukum. Di sini jelas,
Para fuqaha tidak perlu lagi ijtihad dan rasio-karena Madinah sebagai “tempat asal dan dekat
Mekah”. Atas hal itu wajarlah kalau Imam Maliki lebih cenderung menguasai hadis dan
kurang menggunakan rasio dibanding Imam Abu Hanifah karena faktor sosial dan budaya
masyarakat.
Dalam ringkasan Thaha Jabir, Madzhab Malik atau madzhab orang Hijaz-sahabat
Imam Said Al-Musayyab, memiliki kaidah-kaidah ijtihad sebagai berikut:
(1) Mengambil dari Al-Quran [Al-Kitab Al-Aziz];
(2) Menggunakan zhahir Al-Quran, yaitu lafazh yang umum;
(3) Menggunakan “dahr” Al-Quran, yakni mafhum al-mukhalafah;
(4) Menggunakan “mafhum” Al-Quran, yaitu mafhum muwafaqah;
(5) Menggunakan “tanbih” Al-Quran, yaitu memerhatikan illat.
Lima langkah di atas disebut sebagai Ushul Khamsah. Adapun langkah-langkah dari
segi “Al-Sunnah” ada sepuluh, yaitu: (1) ljma (2) Qiyas, (3) Amal penduduk Madinah, (4)
Istihsan, (5) Sadd adZ-Zara’i, (6) Al-mashalih al-mursalab, (7) Qaul ash-shahabi, [jika
sanadnya sahih, ia bagian yang diterima] (8) Muralat al-khilaf, [jika dalil ikhtilafnya kuat],
(9) Al-istishhab dan, (10) Syaru’ man qablana.
1. Al-Qur’an
Dahun pandangan Malik, Al-Quran adalah di atas semua dalil-dalil hukum. Ia
menggunakan nash sharih [jelas] dan tidak menerima ta’wil. Dzahir Al-Quran diambil ketika
bersesuaian dengan takwil selama tidak didapati dalil yang mewajibkan takwil. Imam Malik
menggunakan mafhum al-Muwafaqat, yaitu fahwa al-kitab. Selain itu, Imam Malik
menggunakan mafhum al-mukhalafah, tanbih atas illat, isyarat [qarinah]. Imam Malik
mendahulukan Al-Quran selama tidak ada dalam As-Sunnah.
2. As-Sunnah
Madzhab Malik Imam Malik mengambil sunnah yang mutawatir, masyhur (setingkat
dibawah mutawatirl, dan kbabar ahad [sebagian besar, mendahulukan hadis ahad dari qiyas).”
Selain itu, Imam Malik menggunakan hadis munqathi dan mursal selama tidak bertentangan
dengan tradisi orang-orang Madinah.
3. Amalan Ahlu Al-Madinah (Al-’urf)
Imam Malik memegang tradisi Madinah sebagai hujjah (dalil) hukum karena
amalannya, dinukil langsung dari Nabi. Ia mendahulukan amal Ahlu Al-Madinah ketimbang
khabar ahad sedangkan para fuqaha tidak seperti itu.
4. Fatwa sahabat
Fatwa sahabat digunakan oleh Imam Malik karena ia atsar di mana sebagian para
sahabat melakukan manasik haji dengan Nabi. Oleh karena itu, qaul shahabi Pola Pemikiran
digunakan sebab bila dinukil dari hadis. Bahkan, Imam Malik mengambil juga fatwa para
kibar attabiin meskipun derajatnya tidak sampai ke fatwa sahabat, kecuali adanya ijma para
Ahlu Madinah.”
5. ljma
Imam Malik paling banyak menyandarkan pendapatnya pada iima’ seperti tertera
dalam kitabnya Al-Muwatbtba kata-kata al-amru al-mujtama’ ‘alaih dan sebagainya. Ijma
Ahli Madinah pun dijadikan hujjah, seperti ungkapannya, hadza huwa al-amru al-mujtama’
alaihi indana. Asal amalan Madinah tersebut berdasarkan Sunnah, bukan hasil ijtihad fatwa.
6. Qiyas, Mashlahat Mursalat, dan Istihsan
Qiyas yang digunakan Imam Malik adalah qias isthilahi,sedangkan istihsan adalah
memperkuat hukum mashlahat juziyah atas hukum qiyas. Qiyas adalah menghubungkan
suatu kasus yang tidak dijejaskan nash dengan suatu perkara yang ada nashnya karena ada
kesesuaian antara kedua perkara tersebut pada Mat kedua hukum tersebut. Adapun mashlahat
juziyah tidak se’perti itu. Dalam menetapkan hukum, inilah yang disebut isfibsan isbtbilabi.
Menurut kami, istihsan adalah hukum mashlahat yang tidak ada nashnya.
Sedangkan mashlahat mursalat adalah mashlahat yang tidak adanashnya untuk
melaksanakan atau tidak. Mashlahat mursalah yang kami gunakan dengan syarat bertujuan
meniadakan kesukatan. Hal itu merupakan mashlahat yang. sudah umum dalam hukum Islam
meskipun tidak ada nashnya secara tersendiri. Mashlahat yang kami gunakan tak lain adalal?
isdhsan, sementara qiyas yang kami pegang adalah qiyas yang tidak ada nashnya tentang
kesempitan yang luas. Secara umum, Imam Malik menggunakan mashlahat meskipun tidak
ada nash atau-hadis Nabi karena tujuan syara’ adalah untuk kemashlahatan umat manusia,
dan setiap nash pasti mengandung nilai mashlahat jika tidak ada nash, mashlahat hakiki
adalah melihat tujuan hukum syara.
7. Adz-Dzara’i
Sadz Adz-Dzara’i, dasar istinbath yang sering dipakai oleh Imam Malik. Maknanya
adalah menyumbat jalan. Wasilahnya haram, haram, wasilahnya hahd, hakd. Demikian pula
dalam mashlahat yang harus dicari. Wasilah kepada keinunkaran haram dan harus dicegah.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Imam Malik ibn Anas dalam berfatwa, pertama,
Al-Quran, As-Sunnah terutama As Sunnah orang-orang Madinah yang setingliat dengan As-
Sunnah mutawatirah.
Pen, ijma, dan qiyas. Demikian pula, Asy-Syatibi menyederhanakan dasar-dasar
Imam Malik adalah Al-Quran, Sunnah, ijma dan ra’yu. Penyederhanaan tersebut tampaknya
beralasan; sebab qaul sahabat dan tradisi orang Madinah dalam pandangan Malik adalah
bagian dari Sunnah, sedangkan ra’yu meliputi mashlahat mursalat, sadd adZ-dzariat, urf,
istihsan, dan istishab. Dari berbagai uraian di atas dapat dipahami bahwa Imam Malik adalah
seorang yang berpikiran tradisional. Hanya karena kedalaman ilmunya, ia dapat
mengimbangi berbagai perkembangan yang terjadi saat itu. Namun, ada beberapa hal yang
perlu digaris bawahi dalam manhij Imam Malik. Pertama, Imam Malik mendahulukan
amalan orang-orang Madinah sebelum qiyas, suatu metode yang tidak dipergunakan fuqaha
lainnya. Amalan orang-orang Madinah dalam pandangan Imam Malik, termasuk kategori As-
Sunnah mutawatirah, karena pewatisannya melalui generasi ke generasi yang dilakukan
secara serernpak sehingga menutup kemungkinan terjadinya penyimpangan dari As-Sunnah.
Hal itu terbukti karena orang-orang Madinah [para sahabat] bergaul langsung dengan Nabi
dan mengembangkan tradisi hidup Nabi yang dikemudian hari diwariskan kepada tabi’in
dengan cara yang sama. Pola ini diikuti pula tabi at-tabiin. “Tradisi orang Madinah” lebih
jelas diterima oleh Imam Malik dalam peneritnaan hadis ahad. Menurutnya, suatu hadis ahad
dapat diterima sepanjang tidak bertentangan dengan tradisi orang-orang Madinah. Kedua,
qaul sahabat sebagai dalil syar’i yang didahulukan daripada qiyas. Pendapat ini ditanggapi
keras oleh Imam Syafi’i, dengan alasan bahwa dalil hanya dapat diperoleh dari orang-orang
ma’sum. Ketiga, Imam Malik menggunakan mashlahat al-mursalah. Hal ini menunjukkan
bahwa Imam Malik menggunakan rasio ketika tidak ada penjelasan Al-Quran dan Al-Hads
tentang kasus tertentu.

c) Imam As-Syafi’i
Faktor keberagaman pemikiran. Situasi dan kondisi saat Imam Syafi’i (150-204 H)
lahir dan hidup sangat jauh [karya ulama sudah banyak] berbeda dengan kedua imam
sebelumnya. Pada masa Syafi’i hidup, sudah banyak ahli fiqh, baik sebagai murid Imam Abu
Hanifah atau Imam Malik sendiri masih hidup. Akumulasi Madinah, Irak, Syam dan mesir
menjadikan syafi’i memiliki wawasan yang luas tentang berbagai aliran pemikiran fiqh.
Faktor tempat, faktor ini merupakan faktor secara alamiah negara Mesir tempat Asy-syafi’i,
lahir.
Mesir adalah daerah kaya, dengan warisan budaya Yunani, Persia, Romawi, dan Arab.
Kondisi budaya yang kosmopolit ini tentu saja memberikin Pengaruh besar terhadap pola
pikir Imam Asy-Syafi’i. Hal itu terlihat dari kitabnya I1mu Mantiq yang dipengaruhi oleh
aliran Aristoteles Abu Zahrah mengatakan bahwa “Hampir semua ulama terkemuka yang
hidup pada zaman Asy-Syafi’i pernah menjadi gurunya atau paling tidak berdiskusi dengan
ulama tersebut.” ‘Kurang lebih, jumlah guru Imam Asy-Syafii 19 fuqaha. Kondisi ini
menjadikan bekal bagi Imam Asy-Syafi’i dalam membangun pemikiran fiqhnya. Karena
Imam Asy-Syafi’I menguasai dan mengetahui kekuatan dan kelemahan aliran ahl ra’yu
(Hanafi) dan aliran hadis (Maliki).12
Faktor sosial dan budaya ikut memengaruhi terhadap pola pikir Imam Syafi’i dengan
qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim dibangun di Irak tahun 195 H, sebagaimana Sya’ban
Muhammad Isma’il menjelaskan bahwa pada tahun 195 H, Imam Asy-Syafi’i tinggal di Irak
pada zaman pemerintahan Al-Amin. Di Irak, Imam Asy-Syafi’I banyak belajar kepada ulama
Irak dan, banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl ar-ra’yu. Di antara
ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam Asy-Syafi’i dan berhasil dipengaruhi
olehnya: (a) Ahmad Ibn Hanbal; (b) Al-Karabisi; (c) Al-Za’farani; dan (d) Abu Tsaur.
Setelah tinggal di Irak, Asy-Syafi’I melakukan perjalanan ke beberapa daerah dan kemudian
tinggal di Mesir. Di Mesir, ia bertemu berguru kepada ulama Mesir yang pada umumnya
adalah rekan Imam Malik. Imam Malik adalah penerus fiqh ulama Madinah atau ahl al-hadis.

12
K.H Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta Selatan : Pustaka Baru,
2010), hal. 153-159
Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam Asy-Syafi’i mengubah beberapa
pendapatnya yang kemudian disebut qaul jadid Dengan demikian, qaul qadim adalah
pendapat Imam Asy-Syafi’i yang bercorak ra’yu; sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya
yang bercorak hadis.
Untuk lebih memperjelas tentang metode istinbath al-ahkam Safi’i Musthafa
Muhammad Asy-Syakah,” dalam kitabnya Islamu Bila Madzahib menjelaskan sebagai
berikut.
1. Imam Asy-Syafii mendasari Al-Quran, As-Sunnah, ijma, dan qiyas.
Itulah unsur-unsur dasar yang saling terkait dan disebutkannya dalam kitab yang
ditulisnya. Keterkaitan unsur-unsur tersebut merupakan hal yang baru dalam pemahaman
para Ahlu fiqih pada umumnya. Karena salah seorang Ahlu fiqh, Al.-Karabisi, menyatakan,
“Sebelumnya kami tidak pernah tahu apa yang dimaksud kitabullah, As-Sunnah dan ijma,
hingga datang Syafi’I yang memaparkannya secara terinci”.
Sementara itu, Abu Tsur, seorang Ahlu fiqh lainnya menyatakan bahwa ia memahami
adanya nash yang umum, tetapi bermakna khusus, dan sebaliknya nash yang khusus, tetapi
bermakna umum, setelah mendapat penjelasan dari Syafi’i. Sebelumnya, kami tidak
memahami adanya nash-nash seperti itu, demikan pengakuannya. Contoh ittihad Syafi’i
dalam firman Allah: Ayat di atas, menurut Syafi›i, ditujukan kepada Nabi, tetapi maksudnya
adalah semua manusia. Metode seperti ini merupakan metode baru dalam i1mu fiqh dan
ushul, dan umat Islam pada umumnya tidak mengenalnya sebelum datangnya Imam Syafii.
2. fiqh Syafi’i merupakan campuran antara fiqh Ahlu Ar- Ra’yi dengan fiqh Ahlu Al-
Hadis.
Kedua metode tersebut memilki cara tersendiri dalam mengambil istinbath. Ahlu Ar-
Ra’yi adalah para cendekiawan yang memiliki pandangan yang luas. Akan tetapi,
kemampuan mereka untuk menerima atsar dan As-Sunnah sangat terbatas. Sementara itu,
Ahlu Al-Hadis sangat gigih mengumpulkan hadis, atsar dan beberapa hal lainnya yang
berkaitan dengan perbuatan para sahabat. Namun, mereka bukan Ahlu munaqasyah dan
istinbath. jadi, Ahlu fiqh hendaknya menggunakan ra’yi dan hadis sekaligus. Dan Syafi’i
adalah. seorang ahlu dalam metode tersebut.
Kecerdasannya yang sangat tinggi menjadikannya seorang yang ahlu dalam ra’yi dan
munaqayah. Pada saat yang sama, ia juga seorang yang ahli dalam ilmu hadis yang mampu
membangkitkan para ahlul hadis lainnya sehingga oleh para uhuna lainnya ia dijuluki
“penolong, As-Sunnah”. Lebih dari itu, ia tidak sekadar ahli dalam kedua pendekatan
tersebut, tetapi juga mampu untuk menyatukan keduanya dan membangun fiqih di atasnya
serta mencetuskan ilmu ushul fiqih yang merupakan salah satu unsure pokok dalam
madzhabnya. Dalam kaitan ini, fakhru Ar-Razi mengatakan, “keterakaitan ilmu ushul fiqih
adalah sebagaimana keterkaitan Aristoteles dengan ilmu kalam, dan Khlalil Ibn Ahmad
dengan ilmu “Arudh. Mereka yang membaca karya-karyanya akan mendapat kejelasan
tentang kemampuannya dalam menentukan urutan-urutan dalam penetapan dalil.
3. dalam pandangan syafi’i, pendekatan Ahlu Al-Hadits lebih jelas dalam masalah
ushul.
Oleh karena itu, ia menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan pokok-pokok
syariat. Setelah itu, ia merujuk kepada hadis. Jika dalam penggunaan hadis telah dianggap
cukup dalam menetapkan hukum, ia tidak menggunakan ra’yi. Prinsip yang digunakannya
adalah seperti yang diucapkannya, “Apa pun pendapat yang telah aku kemukakan, bila
kemudian ada hadis yang berlawanan dengan pendapatku itu, pernyataan Rasulullah itulah
pendapatku.”
4. fiqh Syafi’i menggunakan ijma’
Sebagai dasar ketetapan hukum. Hal itu karena kenyataan secara syar’i untuk
menjadikannya sebagai hujjah yang wajib diamalkan lalu ia membuat rumusan untuk
pengaturan Syafi’i menempatkan ijma’ pada urutan tiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah
(sekalipun berupa hadis ahad atau satu sanad).
5. Syafi’i juga mengukuhkan qiyas sebagai dasar madzhab.
Dapat dikatakan bahwa Syafi’i adalah orang pertama yang masalah qiyas secara
terinci. Pada waktu itu para Ahlu belum membuat pembatasan antara ra’yu yang sahih dan
rayu yang tidak sahih. Syafi’i kemudian memaparkan kaidah ra’yu yang dianggapnya sahih
dan istinbath yang tidak sahih. Ia jelaskan pula perbedaan besar antara bermacam-macam
istinbath dan qiyas, menurut kadar yang ditentukannya dalam kaidah itu.
6. Syafi’i menolak penggunaan kaidah istihsan,
Sebagaimana dinyatakan dalam kitabnya, ibthalul istihsan, metode ini adalah metode
yang biasa digunakan Abu Hanifah. Menurut syafi’I dalam penerapan metode ini, seorang
Ahlu Fiqh setelah merujuk kepada Al-Quran, As-Sunnah, Ijma, Qiyas, ia menetapkan hukum
yang dipandangnya baik, bukan hanya berpegang pada dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Lebih
lanjut, Imam Syafi’I menyatakan, “Bila Ijtihad digunakan dengan metode istihsan, tanpa
sepenuhnya bersandar pada pokok syariat atau nash dan As-Sunah, ijtihad tersebut batil.
Dengan demikian seluruh hasil ijtihad yang menggunakan metode ini batil pula hukumnya.”
Selanjutnya, pada periode ini, interaksi antara qiyas dan ijma tidak dipandang sebagai
prinsip yang statis, tetapi sebagai suatu proses asimilasi, interpretasi, dan adaptasi yang
dinamis dan wajar. Hal ini terlihat dengan jelas dalam bagian lain dari tulisan Syafi’i yang
walaupun agak berkepanjangan, adalah yang paling komprehensif mengenai masalah tersebut
dengan mengungkapkan sikap yang sebenimya dan yang serba meliputi ijma. Oleh karena itu,
metode dan paradigma pemikiran Syafi’i selalu terlihat dalam pemikiran-pemikiran yang
dibangun ulama sebelumnya. Penalaran analogis (qiyas) Imam Syafi’i, juga menawarkan
pemahaman baru. Apa yang dirumuskan ulama-ulama sebelumnya disebut oleh Syafi’i qiyas
bil furu, penalaran analogis terhadap masalah-masalah partikular dengan berpijak pada suatu
prinsip tertentu terkandung dalam suatu preseden.
Sebuah kasus dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau disamakan dengan
preseden tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang disebut illat. Adapun
metode-metode yang lain, seperti istihsan, istishab, sad dzara’i dan metode lainnya
dimasukkan ke dalam qiyas bil qawaid (penalaran analogis) terhadap prinsip umum yang
terkandung dalam suatu preseden itu sendiri.` Karena nuansa pemikirannya yang sangat luas
itu, beberapa metode Syafi”i menjadi sebuah “jalan tengah” dan karena itu, ia dijuluki imam
yang moderat. Hal itu ia lakukan demi tegaknya suatu hukum dengan penuh objektivitas dan
ilmiah.
Tak jarang ia lakukan beberapa observasi atau penelitian tentang suatu kasus. Analisis
objektif diberikan oleh orientalis, seperti Joseph Schacht terhadap pola pikir Imam Asy-
Syafii. Menutut Schacht, sistematika dan Islamisasi logika formal dalam Islam telah sampai
pada puncaknya oleh Imam Asy-Syafi’i.” Pada prinsipnya, Syafii hanya mengakui cara
berpikir analogis dan sistematis yang terbatas (qiyas, Ijtihad, juga ‘akl ataupun ma’kul,
pokoknya, apa yang dapat dikatakan rajionable secara sempit). Dia tidak menerima pendapat-
pendapat arbitret dan ketetapan-ketetapan yang bebas (ra’y) dan istihsan yang dipakai
(Syafi’i sebagai sinonim), hal semacam tetsebut menjadi kebiasaan bagi pendahulu-
pendahulunya. Ini merupakan pembaharuan penting dengan pembaruan teori hukum Syafi’i
sangat berbeda dengan teori aliran hukum lama. Pandangan Schacht secara keseluruhan
kepada Imam Asy-Syafi’i penulis kutip sebagai berikut: Syafii berkeyakinan penuh bahwa
Al-Quran tidak akan berlawanan dengan hadis-hadis dari Nabi dan hadis-hadis itu merupakin
penjelasan Al-Quran. Oleh karena itu, Al Quran haruslah diinterpretasikan dengan
menggunakan keterangan hadis, bukan sebaliknya.
Bagi Syafi’i, As- Sunnah tidak lagi merupakan praktik ideal sebagaimana yang diakui
oleh ulama-ulama representatif, As-Sunnah identik dengan isi hadis formal dari Nabi
walaupun hadis semacam itu diriwayatkan oleh hanya satu orang dalam satu generasi.
Menurut Syafi’i dan juga aliran-aliran lama, hanya para sahabat Nabi yang sangat
mengetahui apa yang dimaksud oleh Nabi sendiri. Pendapat dan praktik-praktik yang
berdasarkan pendapat pribadi, yakni pendapat yang tidak bersurnberpada para sahabat Nabi
tidak mempunyai otoritas sama sekali.
Konsep baru As-Sunnah ini tercermin dalam hadis resmi Nabi mengungguli konsep
hadis yang berkembang di kalangan ahran hadis lama. Hadis-hadis Nabi dari Nabi dapat
ditolak otoritasnya dengan referensi Al-Quran.... kesimpulannya.... secara keseluruhan teori
hukum Syafi’i merupakan suatu hasil karya sistematis yang sempurna yang jauh lebih unggul
daripada teori aliran lama, dan dia menjadi pendiri ilmu ushul_fiqh, satu disiplin ilmu yang
membahas dasar-dasar teoretis hukum Islam.
Ini adalah prestasi dari satu pikiran yang perkasa dan sekaligus merupakan suatu hasil
logis dari suatu proses yang telah dimulai pada masa-masa awal perkembangan hukum-
hukum Islam. Sistematika Hukum Imam Syafi’i, secara substansial tidak berubah, tetapi
secara realitasnya, ijtihadnya mengalami dinamika seperti adanya qaul qadim dan qaul jadid.
Sekadar ilustrasi, berikut ini disajikan beberapa qaul qadim dan qaul jadid hasil penelitian
Jaih Mubarok, pada hakman berikut.

d) Imam Hanbali (Mazhab Hanbali)


Pesatnya perkembangan zaman tidak membuat Imam Hanbali (164-241 H) berpikir
rasional bahkan hasil rumusannya lebih ketat dan kaku dibanding Imam Maliki yang
tradisional. Paling tidak, ada dua faktor yang menjadikan Imam Hanbali berpikir seperti itu;
Pola Pemikiran Faktor munculnya berbagai aliran. Pada masa ini aliran syi’ah, Khawarij,
Qadariyah, jahamiyah, dan Murji’ah semua aliran ini telah banyak, keluar atau menyimpang
dari ajaran Islam yang sebenarnya. Misalnya, Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Quran
adalah makhluk, suatu pendapat yang melanggar konsensus ulama pada saat itu. Faktor inilah
yang menyebabkan Imam Hanbali mengajak kepada masyarakat dan berpegang teguh kepada
hadis dan sunnah. Sikap ini berbeda dengan Imam Asy-Syafi’i yang melawan ijtihad rasional
pada saat itu dengan memadukan hadis dan rasio. Sebaliknya, Imam Hanbali, justru
berpendapat bahwa ijtihad itu sendiri harus dilawan dengan kembali berpegang teguh kepada
hadis dan sunnah. Penyimpangan lain atau paling tidak berbeda secara mendasar antara
orang-orang Syi’ah dengan Ahlu Sunnah tentang dasar-dasar hukum, sebagaimana
digambarkan oleh Muhammad Yusuf Musa, sebagai berikut “Pertama, Syi’ah menafsirkan
Al-Quran secara sepihak sesuai dengan prinsip-prinsip Syiah dan tidak menyukai tafsiran
orang lain dan tidak memegang hadis-hadis selain dari imam mereka; kedua, Syi’ah tidak
menerima, hadis- hadis, ushul atau cabang, kecuali sesuai dengan thariqat imam mereka
karena derajat lebih tinggi dan ketiga, Syiah tidak mempergunakan ijma dan ra’yu, karena
imam mereka lebih ma’sum [terjaga dari salah] dari berpendapat bahwa sesungguhnya agama
tidak diambil, kecuali dari Al-Quran, Sunnah Rasulullah, dan perkataan para imam ma’sum
[imam Syi’ah].” Faktor politik dan budaya. Ahmad bin Hanbal hidup pada periode
pertengahan kekhalifahan Abasiyah, ketika unsur Persia mendominasi unsur Arab. Pada
periode ini sering kali timbul pergolakan, konflik, dan pertentangan yang berkisar pada soal
kedudukan putra mahkota dan khilafat antara anak-anak khalifah dan saudara-saudaranya.
Saat itu, aliran Mu’tazilAh berkembang, bahkan menjadi madzhab resmi negara pada masa
pemerintahan Al- Makmun, Al-Mutashim, dan Al-Watsiq.
Thaha jabir, dalam kitabnya Adab Al-lkhtilaf dan Abu Zahrah, dalam kitabnya Tarikh
Madzhabib al-Fiqhyah, menjelaskan bahwa cara ijtihad Imam Ahmad Ibn Hanbal sangat
dekat dengan cara ijtihad Asy-Syafi’i. Ibn Qayyim Al-jauziyyah menjelaskan bahwa
pendapat-pendapat Ahmad Ibn Hanbal dibangun atas lima dasar, yaitu:
1. An-nushnush dari Al-Quran dan As-Sunnah. Apabila telah terdapat ketentuannya
dalam nash tersebut, ia berfatwa dan tidak mengambil yang lainnya; karena itu nash
didahulukan atas fatwa sahabat;
2. Ahmad Ibn Hanbal berfatwa dengan fatwa sahabat, ia memilih pendapat sahabat
ying tidak menyalahinya (ikhtilaf) (sudah sepakat);
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad Ibn Hanbal memilih salah satu
pendapat mereka yang lebih dekat kepada Al-Quran dan As-Sunnah;
4. Ahmad Ibn Hanbal menggunakan hadis mursal dan dhaif apabila tidak ada atsar,
qaul sahabat, atau ijma yang menyalahinya;
5. Apabila tidak ada dalam nash, As-Sunnah, qaul sahabat, riwayat masyhur, hadis
mursal dan dhaif, Ahmad Ibn Hanbal menganalogikan (menggunakan qiyas) dan
qiyas baginya adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa. Dengan demikian,
sistematika sumber hukum dan istidlal Madzhab Hanbali [Imam Ahmad],
sebagaimana diringkas oleh, Salim Ali Ats-Tsaqafi, terdiri dari:
1. nushus [AI-Quran, As-Sunnah dan nash ijmal]
2. fatwa-fatwa sahabat;
3. hadis-hadis mursal dan dhaif,
4. qiyas;
5. istihsan;
6. sadd adz-dzirai;
7. istishab; dan
8. al-mashlahat al-mursalat.
Melihat dasar-dasar Imam Hanbali, tampak bahwa penggunaan rasio dipersepit
sampai batas tertentu. Bahkan, dalam analisis Mun’im A. Sirry, dalam banyak hal, pemikiran
Imam Hanbali dirujukkan pada fatwa-fatwa sahabat tanpa membedakan apakah fatwa itu
berdasarkan As-Sunnah, atsar atau ijdhad. Meskipun fatwa itu merupakan rujukan kedua
setelah As-Sunnah. Berbeda dengan Asy-Syafi’i bila terjadi taarud antara hadis dan fatwa
sahabat, mengambil hadis. Apalagi Imam Hanafi tidak mengagunakan fatwa abat, kecuali
setelah diketahui melalui qiyas. Predikat sebagai imam tradisional tampaknya “tepat” bagi
Imam Ahmad di samping faktor multialiran dan pemahaman pada saat yang memengaruhi
pemikiran tradisionalisnya. Predikat imam tradisionalis kepada Imam Ahmad tampaknya
tidak kaku dan mati. Sebab, dalam. beberapa hal, Imam Hanbali menggunakan mashlahat
mursalahat. Sebagaimana dikatakan, oleh Abu Zahrah, bahwa, “Imam Hanbal. menggunakan
mashlahat mursalah sebagai bagian dari qiyas. Karena mashlahat mursalah adalah qiyas
terhadap kemashlahatan umum yang memberikan manfaat yang didasarkan kepada
sekumpulan nash Al-Quran dan nubuwah sebagaimana Imam Maliki menggunakannya”.
Beberapa contoh fiqh Imam Ahmad, sebagai berikut: Dalam bidang pemerintahan,
sebagaimana dikatakan oleh Abu Zahtah, “Pemikiran Ahmad Ibn Hanbal tentang
kepemimpinan mengikuti manhaj salaf [dari kalangan Quraisy], sedangkan ketaatan kepada
khalifah adalah mutlak meskipun khalifah termasuk fajir Ahmad Ibn Hanbal berpendapat
sebagai berikut: Artinya: Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mukminin
(adalah wajib), baik ia seorang yang baik mampun yang fajir” Selanjutnya, Ahmad Ibn
Hanbal berpendapat bahwa umat Islam wajib taat kepada imam dan amirul mukminin,
apabila seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak taat kepada pemimpin, ia termasuk
yang mati sebagai jahiliah; sebagaimana atsar dari Nabi Muhammad bersabda: Artinya:
“Apabila mati dalam keadaan keluar dari ketaatan kepada imam, ia mati sebagai jahiliah.”
F. Masalah Khilafiah 4 Mazhab
A. Mengusap Kepala Ketika Wudhu
a. Imam Hanafi
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa mengusap kepala ketika wudhu cukup dengan
seperempat dari bagian kepala saja. Yaitu dengan cara mengusap bagian ubun-ubun kepala
misalny13. Dalam masalah ini, Madzhab Hanafi menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dengan sanad yang shahih:

13
Muhammad Ajib, Masalah Khilafiah 4 Mazhab Terpopuler, (Jakarta Selatan : Rumah Fiqih Publising
2018), hal 19
b. Imam Maliki
Madzhab Maliki berpendapat bahwa mengusap kepala ketika wudhu wajib diratakan ke
seluruh kepala.14 Dalam masalah ini, Madzhab Maliki menggunakan dalil shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:
c. Imam Syafi’i
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa mengusap kepala ketika wudhu cukup dengan
sebagian dari kepala saja walaupun hanya beberapa rambut saja. Dalam masalah ini,
Madzhab Syafi’i menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan
sanad yang shahih:
d. Imam Hanbali
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa mengusap kepala ketika wudhu wajib diratakan
ke seluruh kepala.15 Pendapat Madzhab Hanbali ini sama seperti pendapat Madzhab Maliki.
Dalam masalah ini, Madzhab Hanbali menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:
B. Batalkah Wudhu Jika Bersentuhan
a. Imam Hanafi
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan
tidak membatalkan wudhu. Dalam masalah ini, Madzhab Hanafi menggunakan dalil shahih
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:

‫كان يصلي وهي معرتضة بينه وبين القبلة فإذا أراد‬: ‫وعن عائشة أن النيب صلى هلال عليه وسلم‬
.‫ رواه البخاري ومسلم‬.‫ فقبضتها‬,‫أن يسجد غمز رجلها‬
Artinya: Dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat. Sementara Aisyah
tidur diantara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser
kaki Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim)
Dan juga menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu
Dawud & AlBaihaqi:

‫عن حبيب ابن أيب اثبت عن عروة عن عائشة رضي هلال عنها أن النيب صلى هلال عليه وسلم‬
.‫ رواه الرمتذي وابن ماجه وداود والبيهقي‬.‫قبل بعض نسائه مث خرج إىل الصالة ومل يتوضأ‬
Artinya : Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW
pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu lagi.
(HR.at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-Baihaqi)
14
Ibid.., 19
15
Muhammad Ajib., 20
b. Imam Maliki
Madzhab Maliki berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan jika
disertai dengan sahwat maka membatalkan wudhu, namun jika tidak disertai sahwat maka
tidak membatalkan wudhu. Dalam masalah ini, Madzhab Maliki menggunakan dalil shahih
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:

‫كان يصلي وهي معرتضة بينه وبين القبلة فإذا أراد‬: ‫وعن عائشة أن النيب صلى هلال عليه وسلم‬
.‫ رواه البخاري ومسلم‬.‫ فقبضتها‬,‫أن يسجد غمز رجلها‬
Artinya : Dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat. Sementara Aisyah
tidur diantara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser
kaki Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim)
Dan juga menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud &
AlBaihaqi:

‫عن حبيب ابن أيب اثبت عن عروة عن عائشة رضي هلال عنها أن النيب صلى هلال عليه وسلم‬
.‫ رواه الرمتذي وابن ماجه وداود والبيهقي‬.‫قبل بعض نسائه مث خرج إىل الصالة ومل يتوضأ‬
Artinya : Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW
pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu lagi.
(HR.at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-Baihaqi)
Dan juga menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam Al-
Baihaqi dengan sanad yang shahih:

‫ قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من‬:‫عن ابن شهاب عن سامل بن عبد هلال ابن عمر عن أبيه قال‬
‫ وهذا‬.‫ رواه مالك يف املوطأ والبيهقي‬.‫امالملسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء‬
.‫إسناد يف هناية من الصحة‬
Artinya: Dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah bin Ibnu Umar dari Umar bin al-Khattab
RA. Berkata : Mencium istri dan menyentuhnya termasuk Mulamasah. Siapa yang
mencium istrinya atau Menyentuhnya dengan tangannya maka wajib baginya
wudhu. (HR. Malik dalam Al-Muwatto’ dan Imam Baihaqi. Sanad Hadits Ini
Paling Shahih)
c. Imam Syafi’i
Madzhab Syafi’iy berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan
jika dengan yang bukan mahram maka membatalkan wudhu, namun jika sesama mahram
maka tidak membatalkan wudhu. Dalam masalah ini, Madzhab Syafi’iy menggunakan dalil
shahih yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih:

‫ قبلة الرجل امرأته وجسها بيده‬:‫عن ابن شهاب عن سامل بن عبد هلال ابن عمر عن أبيه قال‬
‫ وهذا‬.‫ رواه مالك يف املوطأ والبيهقي‬.‫من امالملسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء‬
.‫إسناد يف هناية من الصحة‬
Artinya : Dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah bin Ibnu Umar dari Umar bin al-Khattab
RA. Berkata : Mencium istri dan menyentuhnya termasuk Mulamasah. Siapa yang
mencium istrinya atau Menyentuhnya dengan tangannya maka wajib baginya
wudhu. (HR. Malik dalam Al-Muwatto’ dan Imam Baihaqi. Sanad Hadits Ini
Paling Shahih)
Dan juga menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim dengan sanad yang shahih:

‫عن أيب قتادة رضي هلال عنه أن النيب صلى هلال عليه وسلم صلى وهو حامل أمامة بنت زينب‬
.‫ رواه البخاري ومسلم‬.‫رضي هلال عنهما فكان إذا سجد وضعها وإذا قام رفعها‬
Artinya : Dari Abu Qatadah RA. Sesungguhnya Nabi SAW shalat dan beliau menggendong Umamah
binti Zainab, apabila beliau hendak sujud maka beliau meletakkannya dan apabila berdiri
beliau mengangkatnya. (HR.Bukhari dan Muslim)
d. Imam Hanbali
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan
jika disertai dengan sahwat maka membatalkan wudhu, namun jika tidak disertai sahwat
maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat Madzhab Hanbali ini sama seperti pendapat
Madzhab Maliki. Dalam masalah ini, Madzhab Hanbali menggunakan dalil shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:

‫كان يصلي وهي معرتضة بينه وبين القبلة فإذا أراد‬: ‫وعن عائشة أن النيب صلى هلال عليه وسلم‬
.‫ رواه البخاري ومسلم‬.‫ فقبضتها‬,‫أن يسجد غمز رجلها‬
Artinya : Dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat. Sementara Aisyah
tidur diantara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser
kaki Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim)
Dan juga menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud &
AlBaihaqi:
‫عن حبيب ابن أيب اثبت عن عروة عن عائشة رضي هلال عنها أن النيب صلى هلال عليه وسلم‬
.‫ رواه الرمتذي وابن ماجه وداود والبيهقي‬.‫قبل بعض نسائه مث خرج إىل الصالة ومل يتوضأ‬
Artinya : Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW
pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu lagi.
(HR.at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-Baihaqi)
Dan juga menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam Al-
Baihaqi dengan sanad yang shahih:

‫ قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من‬:‫عن ابن شهاب عن سامل بن عبد هلال ابن عمر عن أبيه قال‬
‫ وه ذا‬.‫ رواه مال ك ي ف املوطأ والبيهقي‬.‫امالملس ة فمن قب ل امرأت ه أو جس ها بي ده فعلي ه الوض وء‬
.‫إسناد يف هناية من الصحة‬
Artinya : Dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdullah bin Ibnu Umar dari Umar bin al-Khattab
RA. Berkata : Mencium istri dan menyentuhnya termasuk Mulamasah. Siapa yang
mencium istrinya atau Menyentuhnya dengan tangannya maka wajib baginya
wudhu. (HR. Malik dalam Al-Muwatto’ dan Imam Baihaqi. Sanad Hadits Ini
Paling Shahih)

G. Sikap Dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat


Sebagaimana telah diungkapkan, (Jurnal 40325) ikhtilaf atau perbedaan pendapat di
kalangan muslimin selalu terjadi secara alami bersama relativitas akal manusia itu sendiri.
Meski demikian, Islam pada dasarnya sangat hatihati dan berupaya ketat membatasi agar
ikhtilaf tidak mudah terjadi. Islam tidak memungkiri kenyataan ikhtilaf, namun Islam hanya
membenarkan ikhtilaf yang tidak menyimpang dari al-Qur‘an, alSunnah, dan atsar sahabat
atau ijma sahabat. Islam tetap mengingatkan umatnya agar semaksimal mungkin menghindari
ikhtilaf, tidak berlebih-lebihan membahas dan mempertanyakan hal-hal yang tidak perlu
didiskusikan lebih jauh. Al-Qur‘an, antara lain, mengingatkan: …dan janganlah kamu
termasuk orangorang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan
mereka pun menjadi beberapa golongan, yang masing-masing bangga dengan apa yang ada
pada golongan mereka (Ar-Rum: 31-32).
        
          
   
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali setelah dating pengetahuan kepada mereka
karena kedengkian yang ada di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat
Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabNya (Ali Imran: 19).
           
           
    
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah
menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggungjawabmu terhadap mereka.
Sesungguhnya urusan mereka terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan
kepada mereka apa yang mereka perbuat (al-An‘am: 159).
           
        
Memperkuat peringatan al-Qur‘an, Rasulullah SAW kembali mengingatkan, antara
lain, sabda beliau: Janganlah kalian berselisih, maka hati kalian akan berselisih. Dari
Abdullah Ibn Umar berkata: Suatu ketika aku ke rumah Rasulullah SAW, beliau mendengar
dua orang sahabat berbeda dan berdebat tentang satu ayat, lalu beliau keluar dengan muka
marah seraya bersabda: Sesungguhnya umat sebelum kalian hancur, karena mereka berselisih
soal al-Kitab. Demikian, Allah dan RasulNya mengingatkan umat agar selalu menahan diri
dari ikhtilaf, dan para sahabat, Tabi‘in, dan ulama salaf menyadari bahwa ikhtilaf lebih
banyak buruknya ketimbang baiknya. Lebih-lebih bila ikhtilaf terjadi dalam politik yang
dihubungkan dengan akidah, maka perpecahan tidak ter dan, akibatnya, umat menjadi pecah
dan lemah: Dan taatlah kepada Allah dan rasulNya dan janganlah kamu berbantah-bantahan,
yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan dan bersabarlah.
Sesungguhnya bersama orang yang sabar (al-Anfal:46).
        
      
Kendati Allah dan RasulNya sangat tegas mengingatkan agar muslimin jangan
gampang berikhtilaf atau berselisih pendapat, namun secara alami ini terus terjadi dari zaman
ke zaman, dari generasi ke genarasi. Maka ikhtilaf itu mesti harus dibedakan kepada yang
dibolehkan dan yang terlarang, al-mahmud wa al-madzmum, al-maqbul wa al-mardud. Yang
terpuji dan dibolehkan adalah ikhtilaf yang terjadi di kalangan sahabat, tabi‘in dan al-salaf
alshaleh, bahwa mereka berbeda manhaj dan istinbath semata-mata untuk mencari ridha
Allah dalam upaya mencari kebenaran agama Allah dan rasul-Nya.
Mereka berikhtilaf berdasarkan ilmu yang mumpuni tentang agama Allah yang
dipahami dari al-Qur‘an dan al-Sunnah. Mereka ikhlas dan siap menerima pendapat lain yang
mempunyai dasar yang lebih kuat dan jelas, atau minimal menghargai pendapat lain yang
berbeda, sejauh itu berdasarkan dalil yang jelas dan tidak bertentangan dengan al-Qur‘an dan
al-Sunnah. Ikhtilaf dilakukan dengan adab atau etika yang mulia dengan bahasa santun dan
bijaksana.
Inilah ikhtilaf yang dapat dikategorikan rahmat dan bermanfaat bagi kekayaan
khazanah Islam dan kejayaan muslimin. Sebaliknya, yang tercela dan terlarang adalah ikhtilaf
yang dilakukan atas dasar nafsu egoistis yang tujuannya memenangkan perdebatan dan
merendahkan lawan, dilakukan oleh orang-orang yang kurang ilmu bahkan bodoh tentang
Islam. Mungkin saja, mereka adalah intelektual secara akademis, karena sarjana, tetapi bukan
sarjana tentang ilmu keislaman. Mereka adalah sarjana muslim, tapi bukan sarjana Suryan A.
Jamarah: Ikhtilaf dan Etika Perbedaan dalam Islam Islam. Mungkin hanya ditokohkan oleh
masyarakat, dia pun merasa harus berpendapat termasuk tentang Islam. Adalah kenyataan
bahwa sistem dan kurikulum pendidikan Islam sendiri saat ini tidak terbayang mampu
melahirkan alumni mujtahidmutlak dengan syarat minimal menguasai ulum al-Qur‘an, ulum
al-Hadits, dan ushul al-Fiqh.
Maka dalam menghadapi setiap perbedaan pemahaman dan pendapat keislaman yang
pasti dan terus terjadi, ada beberapa prinsip etika yang seyogianya menjadi acuan. Ketika
sebuah ikhtilaf masih dalam kategori terpuji dan dibolehkan, kedua belah pihak, kalau harus
bertahan dengan pendapatnya, seyogianya tidak perlu menyalahkan apalagi mencela pendapat
yang lain. Inilah etika ikhtilaf para sahabat, tabi‘in, dan ulama salaf, termasuk para imam
mazhab fikih yang empat dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Bagi umat, untuk menerima atau
menolak sebuah pendapat dalam ikhtilaf seharusnya eklektif dan selektif, harus
dipertimbangkan apakah yang diikhtilafkan itu layak dan bermanfaat bagi Islam dan
muslimin, apakah orang yang berpendapat tersebut memiliki kapasitas dan otoritas serta
berkualitas mujtahid sesuai syarat yang telah ditetapkan dan disepakati oleh para ulama salaf
dan khalaf Tidak hanya dalam kasus ikhtilaf, setiap pendapat atau ajaran yang didengar
seyogianya dihadapi dengan hati-hati dan dicermati dengan teliti.

Anda mungkin juga menyukai