Anda di halaman 1dari 23

Tugas Kelompok

AL-JARH WA AL-TA’DIL

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas

Mata Kuliah : Ulumul Hadis

Dosen Pembina : Munib, M.Ag

Disusun oleh

M. Syahru Ramadhan ( 1102110363 )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

JURUSAN SYARIAH PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

TAHUN 1433 H / 2012 M


KATA PEGANTAR

‫الرِح ْي ِم‬
َّ ‫الر ْحمٰ ِن‬ ِ ‫بِس ِم‬
َّ ‫اهلل‬ ْ
Alhamdulillah berkat taufik dan hidayah-Nya, makalah yang berjudul AL-

JARH WA AL-TA’DIL ini dapat diselesaikan tepat waktunya.

Atas keberhasilan tersebut tidak lupa penulis panjatkan shalawat dan salam

kepada Nabi Muhammad SAW. Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tanpa

kehadiran beliau di muka bumi ini mustahil kita menjadi mukmin sejati dengan

akidah yang kokoh dan benar. Semoga beliau mendapat tempat yang layak di sisi

Allah SWT, amin.

Akhirnya, sebagai suatu runtunan kecil, tulisan-tulisan yang termuat dalam

makalah ini juga tidak mungkin bebas sepenuhnya dari kekurangan dan kesalahan.

Oleh karena itu, penulis membuka pintu selebar-lebarnya untuk kritik-kritik yang

membangun.

Palangkaraya, 29 Mei 2012

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………........... I

Daftar isi……………………………………………………………........... II

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang ....................................................................... 1

2. Rumusan Masalah.................................................................. 2

3. Tujuan Penulisan.................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Al-Jarh Wa Al-Ta’dil................................................3

2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi rawi yang akan

melakukan Al-Jarh Wa Al-Ta’dil............................................... 4

3. Jumlah rawi yang ditetapkan dalam Al-Jarh Wa Al-Ta’dil.... 5

4. Kriteria penetapan keta’dilan rawi............................................. 6

5. Susunan lafadh-lafadh untuk men-ta’dilkan dan

mentarjihkan rawi......................................................................... 7

6. Kitab-kitab Al-Jarh Wa Al-Ta’dil............................................... 11

7. Faedah Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil.............................................15

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan............................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis merupakan salah satu sumber pokok ajaran Islam. Tanpa adanya

hadis, umat Islam tidak akan mengetahui bagaimana cara melaksanakan

perintah yang ada dalam al-Qur’an. Allah menegaskan bahwa selain al-

Qur’an, bila menyelesaikan suatu masalah, maka rujuklah hadis. Oleh karena

itu, wajarlah bila ada seorang ulama yang mengatakan bahwa untuk

melaksanakan ajaran Islam, kita langsung merujuk kepada hadis karena

melaksanakan hadis bearti melaksanakan al-Qur’an pula. Tentunya hadis yang

dimaksud adalah hadis yang betul-betul terbukti kesahihannya. Namun, untuk

mengetahui hadis yang sahih tentu tidak mudah. Hal ini di antaranya

disebabkan pengumpulan atau pembukuan hadis dilakukan sekitar satu abad

setelah wafatnya Rasul. Oleh karena itu, untuk mengetahui kesahihan suatu

hadis perlu dilakukan pengkajian dan penelitian yang mendalam, teliti, dan

cermat. Selanjutnya dalam makalah ini, penulis akan mencoba membahas

tentang Al-Jarh Wa Al-Ta’dil yang mana di dalamnya membahas tentang sifat-

sifat tercela dan terpuji rawi dan lain-lain.


B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, maka dapat ditarik suatu

rumusan masalah yang akan dibahas dalam sub bab makalah ini yaitu tentang

Al-Jarh Wa Al-Ta’dil yakni sebagai berikut:

1. Apakah pengertian Al-Jarh Wa Al-Ta’dil ?

2. Apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi rawi yang akan melakukan

Al-Jarh Wa Al-Ta’dil ?

3. Berapakah jumlah rawi yang ditetapkan dalam Al-Jarh Wa Al-Ta’dil ?

4. Apakah kriteria penetapan keta’dilan rawi ?

5. Apakah susunan lafadh-lafadh untuk men-ta’dilkan dan mentarjihkan

rawi ?

6. Apasajakah kitab-kitab Al-Jarh Wa Al-Ta’dil ?

7. Apakah faedah Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil ?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui pengertian Al-Jarh Wa Al-Ta’dil.

2. Mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi rawi yang akan

melakukan Al-Jarh Wa Al-Ta’dil.

3. Mengetahui jumlah rawi yang ditetapkan dalam Al-Jarh Wa Al-Ta’dil.

4. Mengetahui kriteria penetapan keta’dilan rawi.

5. Mengetahui susunan lafadh-lafadh untuk men-ta’dilkan dan mentarjihkan

rawi.
6. Mengetahui kitab-kitab Al-Jarh Wa Al-Ta’dil.

7. Mengetahui faedah Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Jarh Wa Al-Ta’dil

1. Jarh

Kata Jarh menurut bahasa sebagai bentuk masdar dari “jaraha”, seperti

pada contoh kalimat man jarahahu bi bi lisanihi jarhan. Kata Jarh

kebanyakan digunakan dalam bentuk abstrak (nonfisik) dan juga dalam bentuk

konkret (fisik).

Sedangkan menurut istilah adalah penolakan seorang rawi yang hafal

dan kuat daya ingatnya terhadap periwayatan perawi karena adanya cacat yang

mencederakan atau terhadap periwayatan rawi fasik, tadlis, syadz, rawi

pendusta, dan lain sebagainya.

Jadi jarh itu adalah pengungkapan kecacatan perawi hadis. Dengan

pengungkapannya itu bisa menggugurkan periwayatannya karena hal itu

merupakan cacat dalam segi keeta’dilan atau cacat dalam segi kedhabit-an

mereka.1

2. Ta’dil

1
Abdul Mauwjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh Wa Ta’dil, Bandung: Gema Media Pustakatama,
1986, h. 28.
Ta’dil menurut bahasa ada beberapa arti; a) Menegakkan, misalnya

orang menegakkan hukum; b) Membersihkan, misalnya orang membersihkan

sesuatu; c) Membuat seimbang, misalanya orang membuat seimbang dalam

penimbangan. Jadi, dalam hal ini ta’dil mempunyai tiga pengertian, yaitu

menegakkan (al-taqwim), membersihkan (al-tazkiyah), dan membuat

seimbang (al-taswiyah).

Sedangkan menurut istilah adalah menyebutkan tentang keadaan rawi

yang diterima periwayatannya. Hal ini merupakan gambaran terhadap sifat-

sifat seorang rawi yang diterima.2

Jadi secara garis besarnya Al-Jarh Wa Al-Ta’dil adalah suatu ilmu yang

membahas tentang jarh (sifat-sifat tercela rawi) dan ta’dil (sifat-sifat terpuji

rawi).

B. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi rawi yang akan melakukan Al-

Jarh Wa Al-Ta’dil

Disyariatkan bagi seorang rawi yang akan melakukan Al-Jarh Wa Al-

Ta’dil sebagai berikut:

1. Jarih dan mu’addil bersifat ‘adalah.

2. Jarih dan mu’addil mengetahui sebab-sebab al-jarh wa al-ta’dil.

3. Jarih dan mu’addil bertutur kata dengan bahasa yang baik, cermat, dan

mengetahui dalil-dalil (petunujuk-petunjuk) al-jarh wa al-ta’dil yang

populer dikalangan ulama.

4. Jarih dan mu’addil bersifat dhabith (cermat) terhadap sifat-sifat yang

muncul dari diri dan pandai mencermati diri rawi dengan ucapan-ucapan

yang digunakan dengan tepat.

2
Ibid., h. 29-30.
5. Jarih dan mu’addil hendaknya mengatahui hukum syara’ karena banyak

atau sering terjadi dengan ketidaktauannya terhadap hukum syara’,

mereka mengira bahwa hukum sesuatu itu halal padahal haram sehingga

mereka menjarh pada sesuatu yang sebenarnya tidak jarh.

6. Jarih dan mu’addil adalah seorang yang bersih, takwa, jujur, dan selalu

bertanya kepada orang yang berilmu supaya mereka membantu

menentukan keputusan dengan tapat dan benar.

7. Jarih dan mu’addil adalah seorang yang tengah-tengah, tidak berlebihan

dalam mencela, memuji, dan tidak terkagum-kagum yang berdamapak

pada hasil penetapan yang tidak objektif karena sifat permusuhan, fanatik

mazhab, atau perbedaan akidah dan hal lain yang dipengaruhi oleh

pendapat pribadi.

8. Jarih dan mu’addil harus orang yang dapat dipercaya dalam penukilannya

menyebutkan sifat-sifat jarh dan ta’dil dari para ulama dengan

menggunakan lafal-lafal jarh dan ta’dil secara cermat di dalam

penetapannya.

9. Jarih dan mu’addil hendaknya tidak mempuyai teman persaingan, karena

teman persaingan yang hidup dalam satu masa yang berbarengan akan

berakibat membesar pada masa-masa berikutnya terhadap pengikut-

pengikutnya.

10. Jarih dan mu’addil hendaknya bijaksana dan jujur sehingga tidak

terdorong oleh kemarahan dalam melontarkan kritikan kepada manusia

dengan sesuatu yang tidak selayaknya.

11. Jarih dan mu’addil hendaknya bukan kerabatnya (ada tali persaudaraan)

sehingga akan menyimpangkan kebenaran dalam penetapan kepada rawi.3


3
Ibid., h. 47-51.
C. Jumlah rawi yang ditetapkan dalam Al-Jarh Wa Al-Ta’dil

Dalam masalah ini ada terdapat perselisihan tentang jumlah orang yang

dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan rawi-rawi.

Perselisihan tersebut sebagai berikut:

1. Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal

riwayah. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan lainnya.

2. Cukup soarang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab

bilangan itu tidak menjadi syarat dalam peneriamaan hadis, maka tidak

pula disyaratkan dalam men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan rawi-rawi.

3. Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal dirayah.

Adapun kalau ke-‘adalah-annya (keadilannya) itu diperoleh atas dasar

pujian orang banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak

memerlukan orang yang men-ta’dil-kan (muzakky = mu’addil). Seperti Malik,

As-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Al-Laits, Ibnu’l-Mubarak, Syu’bah, Is-haq

dan lain-lainnya.4

D. Kriteria penetapan keta’dilan rawi

Ke-ta’dilan rawi ditetapkan dengan beberapa hal. Sebagian telah

disepakati ulama dan sebagian lainnya masih diperselisihkan.

1. Pendapat yang talah disepakati

a) Penetapan ulama al-jarh wa al-ta’dil atau salah satu darinya di dalam

kitabnya. Hal ini bagi rawi yang belum jelas perihal keadaannya dan

belum sampai ketingkat masyhur dikalangan orang.

b) Sudah tersebar dan termasyhur perihal dirinya. Di antara orang-orang

yang sudah termasyhur ke-ta’dil-annya di kalangan ahli hadis atau di


4
Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, Bandung: PT Alma’arif, 1974, h.312.
kalangan ahli Ilmu, sudah tersebar, dikenal ke-tsiqat-annya, dan

keamanahannya sehingga tidak perlu penetapan ke-ta’dil-annya.

2. Pendapat yang masih diperselisihkan

a) Pen-takhrij-an hadis (periwayatan) dari penyusun kitab-kitab sumber

atau pokok hadis yang dalam periwayatannya mengguakan metode

periwayatan hadis yang sahih.

b) Pen-tahkhrij-an hadis atau periwayatan hadis dari soerang rawi yang

menyatakan dirinya hanya meriwayatkan hadis dari rawi yang tsiqat,

baik dengan menyebutkan nama-nama rawi tersebut dengan jelas

maupun dengan menyebutkan predikatnya saja.

c) Keta’dilan sifat ‘adalah bagi setiap orang yang menyandung

(mengemban) ilmu hadis berdasarkan sabda Rasulullah saw.5

E. Susunan lafadh-lafadh untuk men-ta’dilkan dan mentarjihkan rawi

Lafadh-lafadh yang digunakan untuk men-ta’dil-kan dan men-tarjih-

kan rawi-rawi itu bertingkat-tingkat. Menurut Ibn Abi Hatim, Ibnu’s-Shalah,

dan Imam Nawawi, lafdh-lafadh itu disusun menjadi 4 tingkatan. Menurut Al-

Hafidh Ad-Dzahaby dan Al-‘Iraqy menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar

menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yakni :

Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk men-ta’dil-kan rawi-rawi.

1. Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dalam

keadilan dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af’ alut-tafdil

atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya

‫اوثق الناس‬ : Orang yang paling tsiqah/Jujur

5
Abdul Mauwjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh Wa Ta’dil, h. 33-35.
‫ثبت الناس حفظا و عدالة‬ : Orang yang paling mantap hafalannya

‫اليه المنتهي في التثبت‬ : Orang yang paling top keteguhan hati dan

lidahnya

‫ثقة فوق الثقة‬ : Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah

2. Memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat

yang menunjukkan keadilan dan kedlabitannya seperti :

‫ثبت ثبت‬ : orang yang teguh (lagi) teguh

‫ثقة ثقة‬ : orang yang tsiqah (lagi) tsiqah

‫حجة حجة‬ : orang yang ahli (lagi) teguh lidahnya

‫ثبت ثقة‬ : orang yang teguh lagi tsiqah

‫حافظ حجة‬ : orang yang hafidh lagi teguh lidahnya

‫ضابط متقن‬ : orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya

3. Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat

ingatan, misalnya:

‫ثبت‬ : orang yang teguh hati dan lidahnya

‫ثقة‬ : orang yang meyakinkan ilmunya

‫متقن‬ : orang yang tsiqah

‫حافظ‬ : orang yang khafidz (kuat hafalannya)

‫حجة‬ : orang yang teguh lidahnya


4. Menunjuk keadilan dan kedhabitan, tetapi dengan lafadh yang tidak

mengandung arti kuat ingatan dan adil.

‫صدوق‬ : orang yang sangat jujur

‫ماءمون‬ : orang yang dapat memegang amanat

‫الباءس به‬ : orang yang tidak cacat

5. Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedhabitan :

‫محله الصدق‬ : orang yang berstatus jujur

‫جيد الحديث‬ : orang yang baik hadisnya

‫حسن الحديث‬ : orang yang bagus hadisnya

‫مقارب الحديث‬ : orang yang hadisnya berdekatan dengan hadis-hadis

orang lain yang tsiqah

6. Menunjuk arti mendekati cacat

‫صدوق ان شاء هللا‬ : orang yang jujur , insya Allah

‫فالن ارجو بان ال باءس به‬ : orang yang diharapkan tsiqah

‫فالن صويلح‬ : orang yang sedikit kesalehannya

‫فالن مقبول حديثه‬ : orang yang diterima hadisnya.

Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk mentajrih rawi-rawi :

1. Menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan

menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af’a-lut-tafdlil:


‫اوضع الناس‬ : orang yang paling dusta

‫اكذب الناس‬ : orang yang paling bohong

‫ اليه المنتهي في الوضع‬: orang yang paling top kebohongannya

2. Menunjukkan arti yang sangat cacat dengan menggunakan lafdh-lafdh

berbentuk shighat muballagah:

‫كذاب‬ : pembohong

‫وضاع‬ : pendusta

‫دجال‬ : penipu

3. Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau selainnya

‫فالم متهم بالكذب‬ : orang yang dituduh bohong

‫او متهم بالوضع‬ : orang yang dituduh dusta

‫فالم فيه نظر‬ : orang yang perlu diteliti

‫فالن ساقط‬ : orang yang gugur

‫فالن ذاهب الحديث‬ : orang yang hadisnya telah hilang

‫فالن متروك الحديث‬ : orang yang ditinggalkan hadisnya

4. Menunjuk arti sangat lemahnya rawi

‫مطرح الحديث‬ : orang yang dilempar hadisnya

‫فالن ضعيف‬ : orang yang lemah


‫فالن مردود الحديث‬ : orang yang ditolak hadisnya

5. Menunjuk kepada kecacatan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya :

‫فالن ال يحتج به‬ : orang yang tidak dapat dijadikan hujah

hadisnya

‫فالن مجهول‬ : orang yang tidak diketahui identitasnya

‫فالن منكر الحديث‬ : orang yang mungkar hadisnya

‫فالن مضطرب الحديث‬ : orang yang kacau hadisnya

‫فالن واه‬ : orang yang banyak menduga-duga

6. Menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya,

tetapi sifat

itu berdekatan dengan adil :

‫ضعف حديثه‬ : orang yang didhaifkan hadisnya

‫فالن مقال فيه‬ : orang yang diperbincangkan

‫فالن فيه خلف‬ : orang yang disingkiri

‫فالن لين‬ : orang yang lunak

‫فالن ليس بالحجة‬ : orang yang tidak dapat dijadikan hujah

hadisnya

‫فالن ليس بالقوي‬ : orang yang tidak kuat.6

6
Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, h. 313-318.
F. Kitab-kitab Al-Jarh Wa Al-Ta’dil

Para penulis kitab-kitab Jarh wa-Ta’dil berbeda-beda dalam menyusun

buku-bukunya. Sebagian ada yang kecil, hanya terdiri satu jilid dan hanya

mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya

menjadi beberapa jilid besar-besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua

puluh ribu rijalus-sanad.7

Penyusun karya dalam ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil telah berkembang

sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara

mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika

permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in,

Ali bin Al-Madiny, Ahmad bin Hambal, maka penyusunan secara meluas

terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi

awal tersebut.

Para penyusun mempunyai metode yang berlainan:

a. Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dhaif

saja dalam karyanya.

b. Dan sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqat.

c. Dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dhaif dan tsiqat.

Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengareng adalah mengurutkan

nama-nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini

karya-karya mereka yang sampai kepada mereka.

1. Kitab Ma’rifat Ar-Rijal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H),

terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.

7
Ibid., h. 319.
2. Kitab Adh-Dhu’afa’ Al-Kahir dan Adh-Dhu’afa’ Ash-Shaghir, karya Imam

Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India.

Karya beliau yang lain: At-Tharikh Al-Kabir, dan Al-Awsath, serta Ash-

Shagir.

3. Kitab Ats-Tsiqat, karya Abu-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly

(wafat tahun 261 H), manuskrip.

4. Kitab Adh-Dhu’afa’ wa Al-Matruukiin, karya Abu Zu’rah Ubaidillah bin

Abdulkarim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.

5. Kitab Adh-Dhu’afa’ wa Al-Kadzdzabun wa Al-Marukuun min Ashabi Al-

Hadits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin Amr Al-Bardza’i (wafat tahun 292

H).

6. Kitab Adh-Dhu’afa’ wa Al-Matrukin, karya Imam Ahmad bin Ali An-

Nasa’i (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adh-

Dhu’afa’ karya Imam Bukhari.

7. Kitab Adh-Dhu’afa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin Amr bin Musa bin

Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.

8. Kitab Ma’rifat Al-Majruhin min Al-Muhadditsin, karya Muhammad bin

Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H) manuskrip, dan karya

kitab Ats-Tsiqat, juga manuskrip.

Dan di antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi hadits

secara umum, tidak hanya terbatas pada biografi para tokoh saja, atau

biografi para tsiqat saja, atau para Dhu’afa’ saja, seperti:

9. Kitab At-Tarikh Al-Kabir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H)

mencakup atas 12315 biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak

dengan nomor.
10. Kitab Al-Jarh wa Al-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Hatim Ar-Razi (wafat

tahun 327 H) dan dia termasuk diantara yang paling besar dari kitab-kitab

tentang Al-Jarh wa At-Ta’dil yang sampai kepada kita, dan palinh banyak

faidahnya, dimana dia mencakup banyak perkataan para imam Al Jarh wa

At Fa’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan

dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi

hadits secara umum.

Kemudian karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam

kutub sittah dan lainnya, sebagian diantaranya khusus pada perawi satu

kitab, dan sebagian yang lain khusus dengan kitab-kitab hadits, dan

sebagian yang lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.

11. Kitab Asami Man Rawa’Anhum Al-Bukhari, Karya Ibn Al-Qaththan

Abdullah bin Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.

12. Kitab Dzikri Asma’i At-tabi’in wa Man Ba’dahum Min Man Shalihat

Riwayatuhu min Ats-Tsiqat ‘Inda Al-Bukhari, karya Abu Al-Hasan Ali bin

Umar Ad-Daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.

13. Kitab Al-Hidayah wa Al-Irsyad fi Ma’rifati Ahli Ats-Tsiqah wa As-Sadaad,

karya Abu Nasr Ahmad bin Muhammad Al-Kalabadzi (wafat tahun 398 H)

khusus tentang perawi Imam Bukhari, manuskrip.

14. Kitab At-Ta’dil wa At-Tajrih li Man Rawa’anhu Al-Bukhari fi Ash-Shahih,

karya Abu Al-Walid sulaiman bin Khalaf Al-Baji Al-Andalusi (wafat tahun

474 H), manuskrip.

15. Kitab At-Ta’rif bi Rijal Al-Muwattha’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-

Hidza’ At-Tamimi (wafat tahun 416 H), manuskrip.


16. Kitab Rijal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin

Manjawaih Al-Ashfani (wafat tahun 247 H), manuskrip.

17. Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Al-Hasan Ali bin Umar Ad-

Daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.

18. Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-Hakim An-

Naisabury (wafat tahun 404 H), telah dicetak.

19. Kitab Al-Jam’i baina Rijal Ash-Shahihain, karya Abu Al-Fadhl

Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H), dicetak.

20. Kitab Al-Kumal fi Asma’ Ar-Rijal, karya Al-Hafizh Abdul Ghani bin Abdul

Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ili (wafat tahun 600 H), termasuk karya

tertua yang sampai kepada kita yang secara khusus membahas para perawi

kutub sittah. Kitab ini dianggap sebagai asal bagi orang setelahnya dalam

bab ini.

Dan sejumlah ulama telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.

21. Kitab Tahdzib Al-Kamal, karya Al-Hafizh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-

Mizzi (wafat tahun 742 H).

22. Kitab Tadzkirah Al-Huffazh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad

bin Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).

23. Kitab Tadzhib At-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.

24. Kitab Al-Kasyif fi Ma’rifat man lahu Riwayat fi Al-Kutub As-Sittah,karya

Adz-Dzahabi juga.

25. Kitab Tahdzib At-Tahdzib, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat

tahun 852 H) ringkasan dan perbaikan dari kitab Tahdzib Al-Kamal karya

Al-Mizzi, dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara

terus menerus. Di dalamnya, Ibnu Hajar telah meringkas hal-hal yang


perlu diringkas, dan menambah terhadap apa yang terlewatkan dari kitab

asli, dan dia adalah kitab yang paling baik dan paling detil.

26. Kitab Taqrib At-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.

27. Kitab khulasah Tadzhibu Tahdzib Al-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad

bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).

28. Kitab Ta’jil Al-Manfa’ah bi Zawa’id Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-

Hafizh Ibn Hajar Al-‘Asqalani.

29. Kitab Mizan Al-I’tidal fi Naqdi A-Rijal, karya Al-Hafizh Adz-Dzahabi

(wafat tahun 748 H). Dan termasuk kitab paling lengkap tentang biografi

orang-orang yang dijarh.

30. Kitab Lisan Al-Mizan, karya Al-Hafizh Ibn Hajar Al-‘Asqalani.

31. Kitab At-Tadzkirah bi Rijal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad

bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H).

Kitab ini mencakup atas biografi sepuluh orang perawi dari kitab-kitab

hadits, yaitu: kutub sittah, yang menjadi obyek pembahasan pada kitab

Tahdzibul kamal karya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya para imam

empat madzhab: Al-Muwaththa’, musnad Asy-Syafi’i, Musnad Ahmad, Al-

Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husein bin Muhammad bin Khasru dari

hadits Abi Hanifah. Dan terdapat menuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah

ini.8

G. Faedah ilmu al-jarh wa al-ta’dil

Faedah mengetahui Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil itu ialah untuk

menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus

8
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Islam Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 90-
94.
ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai rawi

yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi

dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya akan diterima, selama

syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis dipenuhi.9

9
Fatchur Rahman, Ikhtishar, h. 307.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengertian Al-Jarh Wa Al-Ta’dil

Jarh itu adalah pengungkapan kecacatan perawi hadis. Dengan

pengungkapannya itu bisa menggugurkan periwayatannya karena hal itu

merupakan cacat dalam segi keeta’dilan atau cacat dalam segi kedhabit-an

mereka.

Ta’dil adalah menyebutkan tentang keadaan rawi yang diterima

periwayatannya. Hal ini merupakan gambaran terhadap sifat-sifat seorang

rawi yang diterima.

Jadi secara garis besarnya Al-Jarh Wa Al-Ta’dil adalah suatu ilmu yang

membahas tentang jarh (sifat-sifat tercela rawi) dan ta’dil (sifat-sifat terpuji

rawi).

2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi rawi yang akan melakukan Al-Jarh

Wa Al-Ta’dil yaitu ada sebelas syarat seperti yang tercantum dalam

pembahasan di atas.

3. Jumlah rawi yang ditetapkan dalam Al-Jarh Wa Al-Ta’dil

a. Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal

riwayah. Demikianlah pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan

lainnya.

b. Cukup soarang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah.

Sebab bilangan itu tidak menjadi syarat dalam peneriamaan hadis,


maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan

rawi-rawi.

c. Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal

dirayah.

4. Kriteria penetapan keta’dilan rawi yaitu berdasarkan ketetapan yang

disepakati dan diperselisihkan.

5. Susunan lafadh-lafadh untuk men-ta’dilkan dan mentarjihkan rawi

Lafadh-lafadh yang digunakan untuk men-ta’dil-kan dan men-tarjih-

kan rawi-rawi itu bertingkat-tingkat. Menurut Ibn Abi Hatim, Ibnu’s-

Shalah, dan Imam Nawawi, lafdh-lafadh itu disusun menjadi 4 tingkatan.

Menurut Al-Hafidh Ad-Dzahaby dan Al-‘Iraqy menjadi 5 tingkatan dan

Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan.

6. Penyusun karya dalam ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil telah berkembang sekitar

abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara

mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika

permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin

Ma’in, Ali bin Al-Madiny, Ahmad bin Hambal, maka penyusunan secara

meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan

para generasi awal tersebut.

7. Faedah mengetahui Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil itu ialah untuk menetapkan

apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak

sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mauwjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh Wa Ta’dil, Bandung: Gema Media

Pustakatama, 1986.

Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, Bandung: PT Alma’arif, 1974.

Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Islam Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

2005.

Anda mungkin juga menyukai