Disusun oleh :
Tomy Rosandi
Dosen pengampu :
PACITAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan rahmat dan karunia yang di limpahkan-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa kami curahkan atas
junjungan umat muslim Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan
para penerus risalah-Nya.
Adapun yang menjadi judul makalah kami adalah “Ta’arud Al-Adillah dan
Cara Penyelesainnya” yang di dalamnya membahas pengertian, unsur-unsur,
jenis-jenis, cara dan contoh penyelesaian ta’arud al-adillah. Tujuan utama
penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas dari dosen pengampu kami, Drs. H.
Imam Faqih, MSI dalam mata kuliah Ushul Fiqh dan Kaidah.
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan ............................................................................................. 14
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
Yang artinya,“Pertentangan dua dalil, antara satu dalil berbeda atau bertentangan
1
Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hal. 391
5
bertentangan, yang ada adalah ayat-ayat Allah saling menafsirkan atau
saling menjelaskan.
b. Pertentangan antara Al-Qur’an dan As-sunnah. Ini adalah pandangan
bahwa kedudukan Al-Qur’an harus sama dengan As-sunnah, padahal tidak
demikian. Yang harus ada bahwa As-sunnah menjelaskan Al-qur’an, dan
Al-qur’an kedudukannya lebih tinggi dari As-sunnah. Oleh sebab itu, tidak
mungkin ada pertentangan dari keduanya, kecuali As-sunnah yang
kulaitasnya lemah, baik dari segi sanad maupun matannya.
c. Pertentangan antara As-sunnah dengan As-sunnah.
d. Pertentangan antara As-sunnah dengan akal.2
2
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. 2008. Hal. 209-210
3
Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hal. 392
6
C. Jenis-jenis Ta’arud Al-Adillah
a. Ta’arud antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Firman Allah SWT :
ََو ْال َخ ْي َل َو ْال ِبغَا َل َو ْال َحمِ ي َْر ِلت َْر َكب ُْوهَا َو ِز ْينَةً َويَ ْخلُ ُق َما ََل ت َ ْعلَ ُم ْون
“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu
tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang kamu
tidak ketahui.” (QS. An-Nahl (16): 8).
Dalam ayat di atas dapat di ambil sebuah pengertian bahwa kuda,
begal, dan keledai hanya diperuntukkan untuk kendaraan saja, sedang ayat
berikut bermakna berbeda :
َام ِلت َْر َكب ُْوا ِم ْن َها ت َأ ْ ُكلُ ْون
َ َي َجعَ َل لَ ُك ُم األ َ ْنع
ْ هللاُ الَّ ِذ
“Allah-lah yang menjadikan hewan ternak untukmu, sebagian untuk kamu
kendarai dan sebagian lain kamu makan.” (QS. Ghafir (40): 79).
ْ ُسلَّ َم َكانَ ي
صبِ ُح ُجنُبًا مِ ْن ِج َماعٍ ث ُ َّم يَ ْغت َ ِس ُل َ ُصلَّى هللا
َ علَ ْي ِه َو َ ِ ع ْن َها ا َ َّن النَّبِي
َ ُى هلل ِ س ََل َمةَ َر
َ ض ِ َ شة
َ وأم َ ع ْن
َ عاىِي َ
ص ْو ُم (متفق عليه
ُ َ( َوي
Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika masuk
waktu subuh dalam keadaan junub karena melakukan jima kemudian
mandi dan menjalankan puasa.
Hadits ini bertentangan dengan hadits lain yang berbunyi :
ُ َصبْحِ َوا َ َحدَ ُك ْم ُجنُبًا فَ ََل ي
ُص ْو ُم يَ ْو َمه ُّ ص ََلةِ ال
َ ِص ََلة َ اِذَا نُ ْود
َّ ِى ِلل
Bila telah dipanggil untuk sholat subuh, sedang salah satu diantaramu
dalam keadaan junub maka jangan puasa di hari itu. (HR. Imam Ahmad
dan Ibnu Hibban)
7
ِ َان َو َع ِن ْال ََج
اريَ ِة َشَاة ِ ا َ ْلعَ ِق ْيقَةُ َحق َع ِن اْلغُ ََل ِم َشَات
ِ َان ُمكَا فَىَت
"Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-laki dua
kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing". (HR. Asma binti
Zayid)
Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini boleh
hewan yang lebih besar, unta lebih dari sapi dan sapi lebih dari kambing,
ini hampir pendapat sebagian besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada
bunyi hadits di atas adalah Imam Malik, bahwa aqiqah itu dilakukan
dengan menyembelih kambing.
4
Drs. Totok Jumantoro, M.A., dkk. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2009. Hal. 313-314
8
b. Tarjih. Dengan cara ini, jika tidak diketahui sejarah turunnya, maka dapat
digunakan cara tarjih dengan meneliti mana diantara dua dalil yang
bertentangan itu yang lebih kuat atau (rajih).
c. Al-jam’u wa al-taufiq. Cara ketiga ini ditempuh jika cara kedua (tarjih)
tidak mungkin untuk di lakukan. Caranya dengan mengkompromikan 2
dalil yang bertentangan.
d. Tasaqut. Jika tidak mungin untuk di kompromikan maka jalan keluarnya
adalah tidak menggunakan kedua dalil itu (tasaqut). Ketika itu mujtahid
dapat menggunakan dalil lain yang lebih rendah urutannya. Jika yang
bertentangan itu adalah dua ayat maka ia bisa menggunakan sunnah. Jika
yang bertentangan itu adalah hadits maka mujtahid bisa menggunakan
qaul sahabi begitu selanjutnya.
9
Jika diperhatikan perbedaan cara yang digunakan oleh hanafiyah dan
syafi’iyah sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perbedaan keduanya terletak pada urutannya.
ِم ْن أ َ ْم ِر ِه يُس ًْر, ُق هللاَ يََجْ عَ ْل لَّه َ ََوأ ُ ْولَتُ ْآألَحْ َما ِل أ َ َجلُ ُه َّن أَن ي
ِ َّ ض ْعنَ َح ْملَ ُه َّن َو َم ْن يَت
5
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2011. Hal. 234-236
10
Ayat pertama tersebut di atas bersifat umum yaitu setiap perempuan yang
ditinggal mati suami baik hamil maupun tidak hamil wajib beriddah selama empat
bulan sepuluh hari. Dan ayat kedua tersebut juga bermakna umum, yaitu setiap
wanita hamil baik ditinggal mati suami atau bercerai hidup wajib ber-iddah
sampai melahirkan kandungannya.
Dengan demikian, antara dua ayat tersebut bila dilihat sepintas lalu
terdapat pertentangan mengenai iddah wanita hamil yang ditinggal mati suami.
Namun perbedaan itu seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, dapat
dikompromikan sehingga kedua ayat tersebut dapat difungsikan. Kedua ayat
tersebut bila dikompromikan, maka kesimpulan yang diambil adalah bahwa iddah
perempuan hamil yang kematian suami adalah masa terpanjang dari dua bentuk
iddah, yaitu sampai melahirkan atau sampai empat bulan sepuluh hari. Artinya,
jika perempuan itu melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak
suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu empat bulan sepuluh hari, dan
jika sampai empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum juga melahirkan, maka
iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.6
6
Satria Efendi M. Zein, op. Cit., hal. 240.
11
Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata, aku mendengar Rasulullah SAW.
bersabda ketika khutbah haji wada’ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak
kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat kepada ahli waris.” (HR.
Tirmidzi)
ْ ُسلَّ َم ي
صبِ ُح َ ُصلَّى هللا
َ علَ ْي ِه َو ُ سلَّ َم أَنَّ ُه َما قَالَت َا َكانَ َر
َ ِس ْو ُل هللا َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ شةَ َوأ ُ ِم
َ سلَ َمةَ زَ ْو َج ِى النَّبِ ِى َ َِع ْن َعاى
ص ْو ُمُ َضانَ ث ُ َّم ي
َ ُجنُبًا ِم ْن ِج َماعٍ َغي ِْر احْ تِ ََل ٍم فِى َر َم.
“Dari Aisyah dan Ummu Salamah istri Nabi Saw. bahwa keduanya berkata
“Rasulullah Saw. masih dalam keadaan junub, bukan karena mimpi pada bulan
Ramadhan, kemudian beliau berpuasa.” (HR. Malik)
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu
mendapat rahmat.”
12
Ayat pertama secara umum, mewajibkan orang yang shalat, termasuk
makmum untuk membaca ayat-ayat Al-Quran yang mudah dibaca, sebab konteks
ayat tersebut berbicara dalam konteks shalat. Sedangkan ayat kedua menegaskan
kewajiban membaca Al-Quran, sebab yang diperintahkan adalah mendengarkan
dan memerhatikan bacaan imam dalam shalat. Mengamalkan kedua ayat tersebut
sekaligus tidak dapat terlaksana dengan baik. Artinya membaca Al-Quran sambil
mendengarkan dan memerhatikan bacaan imam tidak dapat dilakukan secara
bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut mengandung makna umum
yang saling bertentangan. Oleh karena itu cara yang dilakukan adalah tawaqquf
(tidak mengamalkan kedua dalil) sampai ditemukan dalil lain yang menjelaskan
masalah tersebut. Dalam hal ini dicarikan penjelasannya pada hadits yang
menjelaskan:
7
Dr. Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Hlm 394-396
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai perlawanan antara kandungan
salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain
yang mana salah satu diantara dua dalil tersebut menafikan hukum yang ditunjuk
oleh dalil yang lainnya. Ta’arudhul Adillah terjadi hika terdapat unsur-unsur.
Adapun cara penyelesaian yang dapat dilakukan terdapat dua pendapat, yakni,
menurut Hanafiyah yaitu nasakh, tarjih, al-jam’u wa al-taufiq, dan tasaqut.
Sedangkan menurut Syafiiyah yaitu al-jam’u wa al-taufiq, tarjih, nasakh, dan
tasaqut.
14
DAFTAR PUSTAKA
Saebani, Beni Ahmad. 2008. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Jumantoro, Totok, dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Koto, Alaiddin. 2009. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
15