Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, segala puji bagi Allah yang telah memberikan begitu
banyak ni’mat bagi kita semua terkhusus penulis. Ni’mat iman, ni’mat islam, ni’mat sehat
wal ‘afiat serta atas petolongan-Nya pulalah penulias dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Sholawat dan salam semoga tetap terabadikan untuk Nabi Muhammad SAW. yang dengan
perantara beliau ni’mat iman dan islam ini dapat kita peroleh.

Makalah yang berjudul Pedoman Penyelesaian Dalam Ta’arudl Adillain, kami


selesaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Qowaid Ushuliyah dan Fiqhiyyah ”.
Akhirnya kami pun menyadari dari makalah ini masih terdapat berbagai kekurangan yang
kami harapkan adanya kritik, saran, untuk memperbaiki kekurangan kami kedepannya.
Semoga makalah ini menjadi bermanfaat untuk kita semua.

Jakarta, 14 Desember 2014

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... ii
BAB I ........................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah.................................................................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan .................................................................................................................... 2
BAB II ....................................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 3
A. Pengertian Ta’arudl Al-Dillah ...................................................................................................... 3
B. Metode Penyelesaian Ta’arudl al-Dillah ..................................................................................... 5
1. Kelompok Hanafiyah dan Hanabilah. ...................................................................................... 5
2. Kelompok Syafi’iyah dan Malikiyah. ....................................................................................... 7
BAB III ...................................................................................................................................................... 9
PENUTUP ................................................................................................................................................. 9
A. Kesimpulan.................................................................................................................................. 9
B. Saran ........................................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an dan hadits merupakan sumber pokok dan utama dalam


menyelesaikan semua persoalan hidup dan kehidupan manusia. Adapun untuk
mendapatkan kebenaran tersebut, diperlukan seperangkat pemahaman yang benar dan
konkrit, apalagi jika ingin menarik implikasi hokum yang mengatur hidup dan
kehidupan manusia. Diantara perangkat yang dibutuhkan dalam memahami dan
menangkap isyarah ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits adalah penguasaan Bahasa Arab
beserta kaidah-kaidahnya dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an beserta
kaidah dan teori-teori logika-rasional, sehingga kemudia disebut dengan ilmu Ushul
Fiqh.
Didalam pemahaman mengenai dalil-dalil al-Qur’an terkadang terdapat dalil-
dalil yang seakan bertentangan dengan dalil sebelumnya sehingga terjadi kebingungan
dalam memberi hokum atau mengartikan dalil tersebut yang hal ini disebut dengan
ta’arudl al-dillah, maka jalan keluar dari ini adalah ijtihad sehingga muncul produk
hukum qiyas dan ijma’. Namun demikian, ketika seorang mujtahid menentukan
hukum berdasarkan koridor syara’ terntunya tidak terlepas dari kelemahan dalam
pemahaman.
Dalam makalah yang akan kami bahas ini kami akan menjabarkan mengenai
ta’arudl atau pertentangan (kontradiksi) antara dalil-dalil al-Qur’an dan menjelaskan
metode-metode pemecahannya yang dibagi menjadi dua macam.

B. Perumusan Masalah
Dalam makalah ini akan kami batasi pembahasannya meliputi:

1. Apa pengertian dari ta’arudl al-dillah?


2. Bagaimana metode penyelesaiannya menurut Hanafiy & Hanbali?
3. Bagaimana metode penyelesaiannya menurut Syafi’I & Maliky?

1
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan makalah kami adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian ta’arudl al-dillah.


2. Untuk mengetahui metode penyelesaian menurut Hanafi & Hanbali.
3. Untuk mengetahui metode penyelesaian menurut Syafi’I dan Maliki.
4. Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah qowaid ushuliyah wa fiqhiyyah.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ta’arudl Al-Dillah
Secara etimologi ta’arudl memiliki arti pertentangan atau kontradiktif, dan al-
dillah merupakan bentuk jama’ dari lafadz dalil yang berarti alasan, argument dan
dalil.1
Sedangkan secara terminologi ta’arudl al-dillah, para ahli berbeda-beda dalam
membuat redaksinya (penjelasannya), diantaranya ialah:
Al-syaukaniy berpendapat bahwa ta’arudl al-dillah adalah:

‫التعارض هو ان بقتضي احد الدليلين حكما في واقعة خالف ما يقتضيه الدليل االخر فيها‬

Suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu masalah, sedang dalil
lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil tersebut.

Muhammad Jawad al-Maghniyah berpendapat bahwa ta’arudl al-dillah


adalah:

‫التعارض هو التدافع بين الدليلين ال يمكن اجتماعهما‬

Pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara
keduanya.

Ali Hasbillah berpendapat bahwa ta’arudl al-dillah ialah:

‫التعارض هو عبارة عن تنافي الدليلين او االدلة بحسب الداللة على وجه التناقض او التضاد‬
.‫بينهما فيمتن اجتماعهما‬

Terjadinya kontradiksi hukum yang didukung oleh satu dalil dengan hukum yang
didukung oleh dalil lainnya dan keduanya masih berada didalam satu tingkatan.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa ta’arudl al-
dillah adalah menentukan salah satu hukum suatu peristiwa pada waktu tertentu
terhadap hukum yang kontradiktif dengan hukum yang telah ditentukan dalil lain.

1
Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:Pustaka Setia, 2007. Cet: ke-3. Hal. 225.

3
4

Contoh:

1) Dua ayat tentang iddah wanita, yaitu:


‫و الذين يتوفون منكم و يتذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر و عشر‬
Sebagian orang-orang meninggal dunia yang meninggalkan istri-istri (hendaklah
istri-istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS:
Al-Baqarah: 234)

‫و اوالت االحمال اجلهن ان يضعن حملهن‬

Perempuan-perempuan hamil waktu ‘iddah mereka hingga melahirkan


kandungannya. (QS: Al-Thalaq: 4)

Dalam ayat yang pertama mengandung pengertian yang umum, yaitu bahwa
istri yang ditinggal mati suaminya baik hamil atau tidak maka ‘iddahnya adalah 4
bulan 10 hari. Dan ayat kedua juga memiliki arti yang umum, bahwa setiap istri yang
sedang hamil, baik ditingal mati suaminya atau di talaq ‘iddahnya sampai melahirkan
kandungannya.

Dua ayat tersebut masih mungkin bisa dikompromikan, yaitu: istri yang
sedang hamil apabila ditinggal mati suaminya dapat memilih salah satu dari dua
ketentuan tersebut, yakni:

a. Apabila istri itu sudah melahirkan sebelum 4 bulan 10 hari dari tanggal wafat
suaminya, maka dia harus menanti sempurna 4 bulan 10 hari.
b. Apabila istri sudah melewati 4 bulan 10 hari dari tangga wafat suaminya dan dia
masih belum melahirkan, maka dia harus menanti sampai melahirkan
kandungannya.
2) Dua hadits tentang riba.

‫ رواه البخاري و مسلم‬.‫ ال ربا اال في النسيئة‬...

Tidak ada riba kecuali riba nasyi’ah (yaitu riba yang muncul dari utang piutang)

‫ رواه البخاري و مسلم و احمد بن حنبل‬.‫ ال تبيع البر بالبر اال بمثله‬...

Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dengan jumlah yang sama.
5

Dua hadits tersubut tampaknya kontradiktif, sebab yang pertama


membolehnkan riba fadl, sedang hadits kedua mengharamkannya. Jika dalam
kenyataannya kedua hadits tersebut tidak dapat dikompromikan, maka yang perlu
diperhatikan adalah mengutamakan salah satu nash dari nash yang lain melalui teori
tarjih.

Wahbah al-Juahili berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil atau dua
hukum yang terkandung dalam dua buah dalil bergantung pada pandangan dan
kemampuan para mujtahid dalam memahami, menganalilis, serta sejauh mana
kekuatan logika mereka. Dengan kata lain, pertentangan tersebut bukanlah
pertentangan yang aktual, yakni pertentangan ini hanyalah secara lahiriyah saja. Ia
beralasan bahwa tidaklah mungkin Allah SWT. atau Rasul-Nya menurunkan aturan
yang saling bertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lain.

Begitupun Imam al-Syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil


adalah pertentangan yang bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada dalil yang qath’I
(dianggap pasti kebenarannya) maupun pada dalil yang dzanni (kebenaran dianggap
relatif), selama dalam satu ingkatan atau derajat. Apabila pertentangan terjadi pada
dua dalil yang kualitasnya berbeda, maka diambil dalil yang lebih kuat kualitasnya,
misalnya antara al-Qur’an dengan hadits Ahad, maka yang diambil adalah al-Qur’an.2

B. Metode Penyelesaian Ta’arudl al-Dillah


Metode yang digunakan oleh ahli ushul untuk menyelesaikan ta’arudl ada dua
macam:

1. Kelompok Hanafiyah dan Hanabilah.


Kelompok ini berpendapat bahwa solusi yan tepat untuk menyelesaikan kasus
kontradiksi antara dua dalil adalah menggunakan secara berurutan teori-teori sebagai
berikut:

1) Teori Nasakh (arab)

Teori Nasakh adalah membatalkan dalil yang sudah ada berdasarkan dalil
yang datangnya kemudian yang mengandung hukum yang berbeda:

2
Ma’shum Zein, Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh, Jombang:Darul Hikmah, 2008. Hal. 275-277.
6

Contoh:

- Kasus dua ayat, yaitu surat at-Talaq:4 dan al-Baqarah:234 tentang masa ‘iddah
wanita hamil.
Dalam hal ini, jumhur ulama memilih ketentuan hukum yang ada pada surat al-
Talaq:4, yaitu sampai melahirkan, sebab datangnya kemudian, sekalipun sebagian
ulama’ menentukan kedua ayat tersebut dapat dikompromikan.
2) Teori Tarjih (‫)الترجيح‬

Teori Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang kontradiktif
berdasarkan adanya beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Jika
sejarah dua dalil yang kontradiksi terebut sulit dilacak, maka bisa menggunakan teori
tarjih sebagai solusinya dengan tetap mengemukakan beberapa argumentasi atas dapat
mendukung keberadaan dalil tersebut. Sedang untuk mengaplikasikan teori tarjih,
dapat dilihat terlebih dahulu dari adanya tiga sisi sebagai alternatifnya, yaitu:

- Dari sisi petunjuk kandungan lafadz nash.


Misalnya menguatkan atau mendahulukan nash yang kualitas status hukumnya
muhkam (‫ محكم‬/ pasti) dan tidak bisa dinasakh dari pada nash yang status
hukumnya muhkam, tetapi bisa dirubah (mufassar / ‫)مفسر‬.
- Dari sisi hukum yang dikandungnya, misalnya menguatkan atau mendahulukan
dalil yang mengandung hukum haram dari pada dalil yang mengandung hukum
mubah (boleh).
- Dari sisi keadilan periwayatan hadits.

3) Teori al-Jam’iy wa at-taufiqiy (‫)الجمع و التوفيق‬

Maksudnya adalah mengkompromikan dalil-dalil yang kontradiktif setelah


keduanya dikompromikan. Hal ini berdasarkan adanya teori:

‫اعمال الدليلين اولى من اهمالهما‬

Mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada meninggalkan atau


mengabaikan dalil yang lain.

Contoh:
7

- Mengkompromikan tentang darah yang dilarang untuk dimakan, yaitu “darah


yang mengalir”. Seperti:
:‫ الملئدة‬...‫حرمت عليكم الميتة و الدام‬
Diharamkan bagi kamu bangkai dan darah
...‫ اال ان يكون ميتة او دما مسفوحا‬...
… kecuali (yang diharamkan itu) bangkai dan darah yang mengalir
4) Teori Tasaqutul Adillain (‫)تساقط الدليلين‬

Tasaqut al-Dillah ialah mengugurkan kedua dalil yang bertentangan dan


mencari dalil yang statusnya lebih rendah. Hal ini ditempuh jika tidak bisa
menggunakan teori diatas.

Misalanya, terjadi kasus kontadiksi dua ayat, sedang ketiga teori diatas tidak
bisa dipergunakan untuk mencari solusinya, maka langkah yang harus ditempuh
adalah mengambil penjelasan yang statusnya lebih rendah dari al-Qur’an, yaitu hadits.
Jika masih saja kontradiktif, maka diambil teori al-Qiyas. Namun menurut Hanafiyah,
seorang mujtahid hanya boleh mengambil dalil yang lebih rendah apabila telah
menggunakan ketiga cara tersebut. Dan penggunaan metode penyelesaian ta’arudl al-
adillah harus dilakukan secara berurutan.3

2. Kelompok Syafi’iyah dan Malikiyah.


Kelompok ini berpendapat bahwa solusi yang tepat untuk menyelesaikan
kasus kontradiksi antara dua dalil adalah menggunakan secara berurutan teori sebagai
berikut.

1) Teori al-Jam’iy wa at-Taufiqy (‫)الجمع و التوفيق‬

Teori pertama yang harus dipakai untuk menyelesaikan masalah dua dalil yang
kontradiktif adalah mengkompromikan keduanya, sebab adanya kaidah mengamalkan
kedua dalil lebih kuat dari pada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain.
Sedang sistem yang dipakai untuk mengkompromikan kedua dalil tersebut ada tiga
macam, yaitu:

a. Membagi kedua hukum dalam dua dalil yang kontradiktif.


b. Memilih salah satu hukum yang terkadang didalam dua dalil yang kontradiktif.

3
Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh… hal. 226-229.
8

Contoh:
.‫ رواه ابو داود و احمد بن حنبل‬.‫ال صالة لجار المسجد اال في المسجد‬
Tidak (sempurna) shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid. (HR:Abu
Daud & Ahmad bin Hanbal.
Dalam hadits ini ditemukan adanya kata “La (‫”)ال‬, artinya tidak. Hal ini
menurut ilmu ushul memiliki banyak arti, misalnya arti “tidak sah…” atau
“tidak sempurna…” atau “tidak utama…”. Dalam hal ini seorang mujtahid
boleh memilih salah satunya, selama didukung oleh dalil-dalil lainnya.
c. Mengambil dalil yang sifatnya lebih khusus, misalnya ‘iddah wanita hamil
seperti keterangan diatas. Misalnya ayat tentang ‘iddah wanita yang ditinggal
mati suaminya dan ‘iddah wanita hamil, sebagaimana yang dijelaskan diatas.
2) Teori Tarjih (‫)الترجيح‬

Jika sistem pertama tidak bisa dipakai, maka yang digunakan adalah sistem
kedua, yaitu tarjih, artinya menguatkan salah satu dalil dari dalil yang kontradiktif.

3) Teori Nasakh (‫)النسح‬

Jika sistem kedua tidak bisa dipakai, maka digunakanlah sistem ketiga, yaitu
teori nasakh, yaitu membatalkan salah satu hukum yang ada didalamnya dua dalil
yang kontradiktif, tetapi dengan syarat harus diketahui lebih dahulu, mana dalil yang
pertama datang dan mana pula dalil yang datangnya kemudian.

4) Teori Tasaqutul Adilain (‫)التساقط الدليلين‬

Sitem keempat ini bisa digunakan setelah munjtahid tidak bisa menggunakan
sistem pertama, kedua dan ketiga, maka digunakanlah sistem keempat, yaitu teori
tasaqutl Dalilain, yaitu meninggalkan kedua dalil yang kontradiktif tersebut dan
berijtihad mencari dalil lain yang kualitasnya lebih rendah dari al-qur’an, yaitu hadits
dan seterusnya.4

4
Ma’shum Zein, Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh,… hal.279-281.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Ta’arudl al-dillah adalah menentukan salah satu hukum suatu peristiwa pada
waktu tertentu terhadap hukum yang kontradiktif dengan hukum yang telah
ditentukan dalil lain. Didalam penyelesaiannya dikenal terbagi menjadi dua jenis atau
pandangan, yaitu;
Pandangan kelompok Hanafiyah dan Hanbaliyah:
a. Dengan teori nasakh
b. Dengan teori tarjih
c. Dengan teori jam’iy wa at-taufiqy
d. Dengan teori tasaqutul adilain

Pandangan kelompok Syafi’iyah dan Malikiyah:

a. Dengan teori jam’iy wa at-taufiqy


b. Dengan teori tarjih
c. Dengan teori nasakh
d. Dengan teoritasaqutul adillain

Kedua kelompok tersebut menggunakan salah satu atau keseluruhan teori


secara berurutan menurut kebutuhan. Jika dirasa teori pertama tidak menemukan titik
temu maka akan digunakan teori kedua, dan bila kedua juga belum menemukan solusi
maka akan digunakan teori yang ketiga, dan jika teori ketiga belum juga ditemukan
pemecahannya maka akan menggunakan teori yang keempat.

B. Saran
Dalam bermadzhab seringkali kita taqlid pada seorang ulama’ namun tidak
mengetahui ilmunya atau alasannya atau sebabnya. Ada baiknya hendaknya kita
dalam mengikuti madzhab salah satu dari imam empat itu kita juga mengetahui alasan
mengapa demikian dan atas sebab apa demikian. Guna nantinya kita akan menjadi
muslim yang sebenarnya yakni muslim yang bukan hanya karena keturunan namun
muslim yang tahu ilmu-ilmu agama islam, hakikat dan dalil-dalil. Dengan hasil akhir

9
semoga keimanan dan ketaatan menjadi lebih kokoh lagi serta dapat melahirkan
generasi penerus yang lebih baik lagi.

Akhirnya telah selesai makalah kami yang berjudul “Hadits Iman dan
Beramal”. Apabila ada kesalahan dalam penulisan kata maupun yang lainnya kami
mohon maklum adanya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ma’shum Zein, Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh, Jombang:Darul Hikmah, 2008.

Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:Pustaka Setia, 2007. Cet: ke-3.

11

Anda mungkin juga menyukai