Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

TA’ARUDH AL-ADILLAH DAN TARJIH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Metode Istinbath Hukum Islam

Dosen Pengampu Mata Kuliah:

Drs. H. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A.

Disusun Oleh:

1. Khairun Nisa Lubis : 11210340000067


2. Isna Amalia Husna : 11210340000075
3. Khairiyah Annisa : 11210340000169

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023 M/1445 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahrabbil’alamiin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita dapat merasakan ni’mat iman, islam dan
ilmu pengetahuan.
Selanjutnya sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada insan paling mulia serta
junjungan seluruh alam, yang telah membawa manusia dari zaman kebodohan menuju zaman
yang mempunyai peradaban tinggi dan mulia, yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Istinbath Hukum Islam,
dengan judul “Ta’arudh al-Adillah dan Tarjih”. Semoga ini bermanfaat bagi kita semua.
Dalam proses penulisan makalah ini kami mengucapkan terima kasih banyak kepada:
1. Bapak Drs. H. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah
Metode Istinbath Hukum Islam.
2. Kedua orang tua yang selalu menjadi motivasi kami.
3. Dan seluruh rekan-rekan yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Demikian penyusunan makalah yang kami buat, mohon maaf atas segala kekurangan dan
kesalahan. Atas perhatian, saran dan kritik dari dosen pengampu maupun pembaca kami ucapkan
terima kasih .

Ciputat, 15 Oktober 2023

Penulis

i| K e l o m p o k 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii

BAB I: PENDAHULUAN......................................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................................2

BAB II: PEMBAHASAN.......................................................................................................3

A. Pengertian Ta’arudh al-Adillah dan Tarjih...................................................................3


B. Syarat-Syarat Tarjih......................................................................................................4
C. Macam-Macam Tarjih..................................................................................................5
D. Al-Jam’u wa Al-Taufiq, Al-Tarjih dan Al-Nasakh......................................................10

BAB III: KESIMPULAN.......................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................23

ii| K e l o m p o k 7
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ta’arudh al-Adillah (pertentangan antara dalil-dalil) merupakan salah satu pembahasan
dalam Metode Istinbath Hukum Islam. Pertentangan ini tidak akan terjadi kecuali apabila nash
tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama, seperti pertentangan yang mungkin terjadi
antara ayat dengan ayat, hadits mutawatir dengan hadits mutawatir, antara ayat dengan hadits
mutawatir, antara 2 hadits yang tidak mutawatir atau antara 2 qiyas.
Pertentangan tersebut adalah dari segi lahiriyah saja, sesuai dengan pandangan akal dan
pikiran kita, bukan pertentangan yang hakiki. Karena Allah SWT sebagai pembuat hukum tidak
mungkin mengeluarkan dalil yang menuntut suatu hukum hanya pada satu kasus, dan
mengeluarkan dalil lain pada kasus itu juga pada waktu yang sama, akan tetapi dengan hukum
yang berbeda.1
Pertentangan antara dalil-dalil tersebut memungkinkan untuk mendatangkan beberapa solusi
dalam penyelesaiannya. Ketika terjadi ta’arudh al-Adillah solusi yang mungkin dapat dilakukan
adalah al-jam’u wa al-taufiq, ketika solusi ini tidak memungkinkan maka dilakukan pentarjihan
lalu jika al-jam’u wa al-Taufiq dan Tarjih tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka solusi
yang bisa digunakan adalah al-Nasakh.
Makalah ini disusun melalui metode kajian pustaka dengan mengambil berbagai sumber
yang berkaitan pembahasan pada makalah ini. Semoga apa yang telah dipaparkan pemakalah
pada pembahasan berikut dapat menambah pengetahuan dan wawasan pembaca.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat pada makalah ini, yaitu:
1. Apa pengertian Ta’arudh al-Adillah dan Tarjih?
2. Bagaimana syarat-syarat Tarjih?
3. Apa saja bentuk-bentuk Tarjih?
4. Bagaimana penjelasan terkait Al-Jam’u wa Al-Taufiq, Al-Tarjih dan Al-Nasakh?

1
Moh. Zuhri dkk, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Dina Utama, 2014), hal. 428.

1| K e l o m p o k 7
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Mengetahui pengertian Ta’arudh al-Adillah dan Tarjih.
2. Mengetahui syarat-syarat Tarjih.
3. Mengenal bentuk-bentuk atau macam-macam Tarjih.
4. Mengetahui makna dan penjelasan dari Al-Jam’u wa Al-Taufiq, Al-Tarjih dan Al-
Nasakh.

2| K e l o m p o k 7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ta’arudh al-Adillah dan Tarjih
1. Pengertian Ta’arudh al-Adillah
Kata Taarudh ( ‫ ) التعارض‬berarti "pertentangan" dan adillah ( ‫ ) األدلة‬adalah jamak dari dalil
( ‫دليل‬JJ‫) ال‬yang berarti "alasan, argumen dan dalil.“ Dengan kata lain ta’arud dalil berarti
pertentangan dalil, yaitu satu dalil menghasilkan ketentuan hukum yang berbeda bahkan
berlawanan dengan ketentuan hukum yang dihasilkan oleh dalil lain. Atau bisa diartikan
pertentangan antara satu dengan yang lain. Sementara kata al-adillah adalah bentuk jamak
dari kata dalil, yang berarti argumen, alasan dan dalil. Ta’arudh al-adillah ini khusus dibahas
ahli ushul ketika terjadi pertentangan secara lahir antara dua dalil yang sama kuatnya dalam
menunjukkan suatu hukum.

Syafi’i Karim mendefinisikan ta’arud adillah adalah berlawanan dua buah nash yang
kedua hukumnya berbeda dan tidak mungkin keduanya dilaksanakan dalam satu waktu.
Wahbah Zuhaili mendefinisikan ta’arudh adillah adalah salah satu dari dua yang
menunjukkan pada hukum suatu peristiwa tertentu. sedangkan dalil lain
menunjukkan hukum yang berbeda dari dengan itu. Imam al-Syaukani Suatu dalil
menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan sedangkan dalil lain menentukan
hukum yang berbeda dengan itu. Kamal ibn al-Humam pertentangan dua dalil yang tidak
mungkin dilakukan kompromi antara keduanya. 'Ali Hasaballah Terjadinya pertentangan
hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua
dalil tersebut berada dalam satu derajat Sedangkan menurut Muhlish Usman ta’arudh adilah
adalah pertentangan dua dalil atau lebih dalam satu masalah di mana pertentangan itu satu
sama lainnya tidak bersesuaian hukumnya.

Ketentuan-ketentuan ta’arudh adillah sebagai berikut:


1. Adanya dua dalil atau lebih
2. Dalil-dalil itu sama derajatnya
3. Mengandung ketentuan hukum yang berbeda
4. Berkenaan dengan masalah yang sama. Menghendaki hukum yang sama dalam
satu waktu.

3| K e l o m p o k 7
2. Pengertian Tarjih
Tarjih Secara etimologi (bahasa) Tarjih (‫ )الترجیح‬berarti “menguatkan”. ada juga yang
mengatakan menyebutkan bahwa tarjih menurut bahasa yaitu menjadikan sesuatu lebih kuat 2,
sementara itu Muhammad al-Jarjani menyebutkan bahwa tarjih menurut Bahasa ialah
menetapkan salah satu dari dalil yang tingkatannya lebih kuat dari yang lainnya 3. Sedangkan
menurut istilah syara’, seperti di kemukakan oleh Muhammad jawab Mughniyah adalah
Berpegang (mengutamakan) salah satu dari dua Hijjah yang lebih kuat dari yang lainnya,
karena memang ada keistimewaan yang mengharuskan demikian. Pengertian lainnya yaitu
menjelaskan tarjih dengan mengutip pendapat Jamaliddin Al-Aswani sebagai berikut; ‫تقویة‬
‫ أحدى اآلمارتین على اآلخرى لیعمل بھا‬Artinya ; menguatkan salah satu dari dua alasan yang tampak
untuk diamalkan. Ibnu Al – Hajib dan Al- Amidi seperti dijelaskan oleh Badran, bahwa
Tarjih itu sesungguhnya adalah merupakan hubungan yang memberi petunjuk adanya alasan
untuk menguatkan salah satu dari dua dalil yang berlawanan. Dari beberapa defenisi yang
telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa Tarjih adalah merupakan usaha untuk
mencari dalil atau alasan yang terkuat, karena diantara dalil-dalil tersebut terdapat
pertentangan satu sama lainnya.

Menurut kalangan Hanafiyah, dua dalil yang bertentangan yang akan di-tarjih salah
satunya itu bisa jadi sama-sama qath'i atau sama-sama zhanni. Oleh sebab itu, mereka
mendefinisikan tarjih sebagai upaya mencari keunggulan salah satu dari dua dalil yang sama
atas yang lain.

B. Syarat-syarat Tarjih

Adapun syarat-syarat Tarjih antara lain:


1. Kedua dalil yang berlawanan sama-sama kuatnya, seperti Alquran dengan Alquran; hadis
mutawatir dengan hadist mutawatir; hadis ahad dengan hadist ahad. Seperti hadis
mutawatir dengan hadis ahad, tidak terjadi pertentangan, karena hadis yang lebih kuat
harus didahulukan.

2
Muhammad Jawab Muqniyah, Ilmu Ushul al-Fiqih FiSaubih al-Jadid, Beirut; Dar al-Ilm Lilmalayin, Cet. I, 1975, h.
441
3
Muhammad, al-Jarjani, Kitab al-Ta’rifat, Singapore, Jeddah, tth, h. 56

4| K e l o m p o k 7
2. Sama hukumnya dan sama waktunya, sama subjeknya, sama predikatnya. Contoh jual-
beli selain waktu adzan Jum'at diper- bolehkan. Hal ini tidak sama waktunya, sehingga
tidak akan terjadi tarjih antara keduanya.

Tarjih menurut bahasa berarti membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan. Menurut
istilah, seperti dikemukakan oleh al-Baidawi, ahli ushul fiqh dari kalangan Syafi'iyah, adalah
menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan.

C. Macam-Macam Tarjih
Pentarjihan ini dibagi kepada 2 kelompok, sebagaimana yang telah dipaparkan pada buku
“ushul fiqh” karya Nasrun Haroen. Adapun pembagian tersebut yaitu4:

1. ‫ ( ال<<ترجيح بين النص<<وص‬Menguatkan salah satu nash (ayat atau hadits) yang saling
bertentangan )
Menurut ushuliyyin untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang bertentangan, dapat
dilakukan beberapa cara, yaitu:
1) Dari Segi Sanad
Melihat dari segi sanad, terbagi kepada beberapa kelompok, antara lain:
a. Menguatkan salah satu nash dari segi sanad-nya.
Menurut Jumhur ulama, dari sisi kuantitas para perawi, yaitu hadits yang lebih
banyak sanadnya lebih kuat dari yang lebih sedikit. Karena kemungkinan terjadi
kesalahan pada hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi lebih kecil dari yang lebih
sedikit perawi.
Adapun dari segi kualitas, Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang lebih dhabit (kuat ingatan), lebih kuat agamanya, lebih
dipercaya dan lebih taqwa dari perawi hadits lain, maka hadits yang diriwayatkan oleh
perawi tersebut lebih kuat dari hadits yang diriwayatkan oleh perawi lainnya.

b. Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri.


Maksudnya yaitu melihat kepada kuantitas perawi. Hadits mutawatir lebih kuat dari
hadits masyhur dan hadits masyhur lebih didahulukan dari hadits ahad.
c. Pentarjihan melalui cara menerima hadits dari Rasulullah SAW.

4
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 197.

5| K e l o m p o k 7
Yaitu menguatkan hadits yang langsung didengar dari Rasulullah SAW. Dari hadits
yang didengar melalui perantaraan orang lain atau tulisan. Riwayat yang memakai lafal
langsung dari Rasulullah SAW. yang menunjukkan kata kerja, seperti ‫( نهي‬melarang), ‫امر‬
(memerintahkan) dan ‫( أذن‬mengizinkan) lebih dikuatkan juga daripada riwayat lain.5
2) Dari Segi Matan
Matan yang dimaksud disini adalah teks ayat, hadits atau ijma’. Nasrun Haroen
memaparkan di dalam bukunya bahwa al-Amidi (551-631 H/1156-1233 M), telah
mengemukakan 51 cara dalam pentarjihan dari segi matan, dia antaranya yaitu:
a. Teks yang mengandung larangan lebih di dahulukan dari teks yang mengandung
perintah, karena menolak segala kemudaratan lebih didahulukan dari mengambil
manfaat.
b. Teks yang mengandung perintah didahulukan dari teks yang menunjukkan kebolehan
saja, karena dengan melaksanakan perintah, hukum bolehnya telah terbawa sekaligus.
c. Makna hakikat dari suatu lafal lebih didahulukan dari makna majaz-nya, karena
makna hakikat tersebut tidak memerlukan indikasi lain untuk menguatkannya.
d. Dalil khusus lebih didahulukan dari dalil umum.
e. Teks umum yang belum dikhususkan (takhsis) lebih didahulukan dari teks umum
yang telah dikhususkan (takhsis).
f. Teks yang sifatnya perkataan lebih didahulukan dari teks yang sifatnya perbuatan.
g. Teks yang muhkam lebih didahulukan dari teks yang mufassar, karena teks yang
muhkam lebih pasti disbanding dengan teks yang mufassar.
h. Teks yang sharih (jelas) didahulukan dari teks yang bersifat sindiran (kinayah).6
3) Dari segi hukum atau kandungan teks
Terkait dari segi hukum atau kandungan teks, ada beberapa cara pentarjihan, antara lain:
a. Apabila salah satu hukum teks itu mengandung bahaya, sedangkan yang lain
menyatakan kebolehan saja, menurut Jumhur ulama, teks yang mengandung bahaya
itu lebih didahulukan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
)‫ما اجتمع الحالل و الحرام إال غلب الحرام الحالل(رواه البيهقي‬
Tidak (pernah) berkumpul yang halal dengan yang haram, kecuali yang lebih
dominan adalah yang haram. (H.R al-Baihaqi)
5
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, hal. 198.
6
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, hal. 199.

6| K e l o m p o k 7
Imam al-Ghazali (450-505 H/1085-1111 M), berpendapat bahwa dari segi kualitas
kedua dalil itu adalah sama, maka kedua hukumnya itu digugurkan, karena teks yang
membolehkan itu didukung oleh hukum asal pada sesuatu, yaitu boleh, sedangkan hukum
yang dilarang itu menggiring seseorang untuk hati-hati, maka kualitas keduanya adalah
sama. Dalam keadaan seperti ini, menurutnya, sulit untuk mentarjih salah satu
diantaranya. Oleh sebab itu, kedua hukum yang dikandung teks yang bertentangan itu
digugurkan saja.

b. Apabila hukum yang dikandung suatu teks bersifat menetapkan, sedangkan yang lain
bersifat meniadakan, maka dalam hal ini terjadi beberapa perpedaan pendapat ulama.
Misalnya, Ibn Abbas meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW.
Mengawini Maimunah, sedangkan Rasulullah dalam keadaan Ihram (H.R Bukhari
dan Muslim). Dalam Riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW. Mengawini
Maimunah, bukan dalam keadaan Ihram (H.R Imam Malik).

Dalam kasus ini, ulama Syafi’iyah berpendapat “teks yang sifatnya meniadakan lebih
didahulukan dari teks yang sifatnya menetapkan.” Kasus perkawinan Rasulullah SAW. di
atas, riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW tidak dalam keadaan ihram lebih
didahulukan daripada Riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW sedang ihram.7

Jumhur ulama mengatakan bahwa teks yang sifatnya menetapkan lebih didahulukan
dari teks yang sifatnya meniadakan. Dalam kasus hadits di atas, maka Riwayat Ibn
‘Abbas yang mengatakan Rasulullah SAW. sedang ihram lebih didahulukan dari Riwayat
lain yang mengatakan Rasulullah SAW. bukan dalam keadaan ihram. Alasan mereka
bahwa teks teks yang sifatnya menetapkan itu memberi informasi tambahan.

c. Apabila teks yang bertentangan itu salah satunya mengandung hukum menghindarkan
terpidana dari hukuman, sedangkan teks yang lain mengandung hukum mewajibkan
pelaksanaan hukuman terhadap terpidana, maka teks yang mengandung hukum
menghindarkan terpidana dari hukuman, lebih didahulukan daripada yang
mewajibkan hukuman, karena dengan adanya 2 kemungkinan ini, hukuman tidak
dapat dilaksanakan, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

7
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, hal. 200.

7| K e l o m p o k 7
)‫إدرُؤ وا الحدود با الشبهات (رواه البيهقي‬
Tolaklah hukuman dalam jarimah hudud apabila terdapat keraguan. (H.R al-
Baihaqi).
d. Teks yang mengandung hukuman yang lebih ringan didahulukan daripada teks yang
mengandung hukuman yang berat, karena syari’at Islam itu didasarkan atas
keringanan, sebagaimana firman Allah SWT pada Q.S al-Baqarah: 185:
‫يريد هللا بكم اليسر وال يريد بكم العسر‬
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
(Q.S al-Baqarah: 185)8
4) Pentarjihan dengan Menggunakan Faktor (Dalil) Lain dari Luar Nash
Berdasarkan hal ini, dapat dilakukan beberapa cara, antara lain:

a. Mendahulukan salah satu dalil yang dikuatkan oleh dalil lain, baik dari al-Qur’an,
hadits, ijma’ maupun qiyas.
b. Mendahulukan dalil yang sesuai dengan amalan penduduk Madinah atau yang
diamalkan al-Khulafa al-Rasyidin, karena penduduk Madinah banyak mengetahui
persoalan turunnya al-Qur’an dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an serta adanya anjuran
Rasulullah SAW. untuk mengikuti mereka.
c. Dikuatkan nash yang menyebutkan illat hukumnya dari nash yang tidak menyebutkan
illat nya.
d. Menguatkan dalil yang kandungannya menuntut sikap waspada (ikhtiyath) daripada
dalil lainnya yang tidak demikian.9
2. ‫ ( الترجيح بين األقيسة‬Menguatkan salah satu qiyas yang saling bertentangan)

Nasrun Haroen memaparkan di dalam bukunya bahwa Wahbah Zuhaili


mengelompokkan pentarjihan terkait dengan persoalan qiyas kepada 4 kelompok, yaitu:

1) Dari Segi Hukum Asal


Di antara cara pentarjihan terkait hal ini, antara lain:
a. Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat qath’i dari qiyas yang hukum asalnya
bersifat zhanni, karena yang qath’i lebih kuat daripada zhanni.

8
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, hal. 201.
9
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, hal. 202.

8| K e l o m p o k 7
b. Dikuatkan qiyas yang ‘illat nya didukung oleh dalil khusus dari qiyas yang ‘illatnya
tidak didukung oleh dalil khusus.
c. Dikuatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus dari qiyas yang hukum asalnya
bersifat umum.
2) Dari Segi Hukum Furu’
Adapun caranya antara lain:
a. Dikuatkan hukum furu’ yang datang kemudian dari asalnya (qiyas).
b. Dikuatkan hukum furu’ yang ‘illat-nya diketahui secara qath’i daripada yang bersifat
zhanni.10
3) Dari Segi ‘Illat
Pentarjihan berdasrkan ‘illat dapat dibagi 2, yaitu:
a. Dari segi penetapan ‘illat
a) Mengutakan ‘illat yang disebutkan dalam nash atau ‘illat yang disepakati dari ‘illat
yang tidak disebutkan dalam nash atau tidak disepakati keberadaannya sebagai ‘illat.
b) Menguatkan ‘illat yang ditetapkan melalui al-sibru wa al-taqsim (pengujian, analisis
dan pemilahan ‘illat yang dilakukan mujtahid) dari ‘illat yang ditetapkan melalui cara
munasabah (keserasian antara ‘illat dengan hukum).
c) Menguatkan ‘illat yang diisyaratkan oleh nash dari ‘illat yang ditetapkan melalui
munasabah, karena isyarat dari nash lebih baik dari ‘illat yang ditetapkan
berdasarkan dugaan mujtahid.
b. Dari segi sifat ‘illat
a) Menguatkan ‘illat yang bisa diukur dengan ‘illat yang bersifat relative dan tidak bisa
diukur.
b) Menguatkan ‘illat yang berkaitan dengan kemaslahatan pokok (penting) dari ‘illat
yang hanya berkaitan dengan kemaslahatan yang hajiyyat (penunjang). Lalu
dikuatkan ‘illat yang berkaitan dengan kemaslahatan yang hajiyyat dari ‘illat yang
terkait dengan kemaslahatan tahsiniyat (pelengkap).
c) Menguatkan ‘illat yang secara jelas melatarbelakangi suatu hukum dari ‘illat yang
sifatnya hanya merupakan indicator yang melatarbelakangi suatu hukum.11
4) Pentarjihan Qiyas Melalui Faktor Luar
10
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, hal. 203.
11
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, hal. 204.

9| K e l o m p o k 7
Pentarjihan pada hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
a. Dikuatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah ‘illat dari qiyas yang hanya didukung
satu ‘illat.
b. Dikuatkan qiyas yang ‘illat-nya dapat berlaku untuk seluruh furu’ dari qiyas yang
‘illat-nya hanya berlaku pada sebagian furu’.12
D. Al-Jam’u wa Al-Taufiq, Al-Tarjih dan Al-Nasakh
1. Al-jam’u wa Al-taufiq (‫)الجمع والتوفيق‬

a) Pengertian Al-jam’u wa al-taufiq (‫)الجمع والتوفيق‬


Secara bahasa, Al-jam’u berarti menghimpun, mengumpulkan dan menyusun yang terpisah.
Adapun At-taufiq berarti menyesuaikan dan mencocokkan. Al-jam’u wa al-taufiq berarti
mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan untuk kemudian mengkompromikanya. Menurut
ulama Hanafiyyah, jika dalil-dalil bertentangan tidak dapat diselesaikan dengan tarjih, maka
jalan keluarnya adalah mengkompromikan dalil-dalil tersebut. .13 Berbeda dengan ulama
Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh untuk menghadapi
dalil-dalil yang bertentangan adalah mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil yang
kontradiksi tersebut dan tidak boleh di tarjih salah satunya. Karena mengamalkan kedua dalil
lebih utama daripada mengabaikannya.14
Ulama ushul dan fukaha telah sepakat atas wajibnya mengkompromikan kedua dalil yang
bertentangan. Dalil-dalil tersebut harus dikumpulkan terlebih dahulu untuk dikaji dan dipahami
titik-titik perbedaan dan persamaannya, inilah yang sebenarnya disebut sebagai Al-jam’u.
Adapun Al-taufiq merupakan usaha menyesuaikan atau mengkompromikan kedua dalil tersebut
dari segi kandungan hukum, tujuan, dan cara penerapannya. Al-taufiq dapat terlaksana jika
telah melakukan Al-jam’u beberapa dalil yang berkaitan.15
b) Syarat-syarat Al-jam’u wa Al-taufiq
Dalam melakukan Al-jam’u wa Al-taufiq perlu diketahui syarat-syaratnya terlebih dahulu,
hal ini bertujuan untuk memberi batasan, aturan dan petunjuk guna memungkinkan proses
tersebut dapat dilangsungkan. Berikut syarat-syarat dalam melakukan Al-jam’u wa Al-taufiq:

12
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, hal. 205.
13
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet 2, 1997), 176.
14
Dahliah, Tesis Metode Penyelesaian Ta’arudh al-Adilllah dan Implikasinya terhadap Penetapan Hukum Islam,
(Makassar: UIN Alauddin Makassar, 2013), 66-67.
15
Dahliah, Tesis Metode Penyelesaian Ta’arudh al-Adilllah dan Implikasinya terhadap Penetapan Hukum Islam,
77.

10| K e l o m p o k 7
1. Adanya dua dalil yang bertentangan.
2. Al-jam’u tidak boleh dilakukan pada kedua dalil yang telah dibatalkan.
3. Kedua dalil yang bertentangan derajatnya sama.
4. Tidak terdapt hukum yang tetap dari kedua dalil yang bertentangan.
5. Kedua dalil yang bertentangan tidak terdapat amalan umat yang berbeda dengan jumhur
ulama.
6. Tidak adanya upaya kompromi dengan takwil yang jauh dari kandungan dalilnya
7. Dalil yang dikompromikan tidak bertentangan dengan nash shahih. Jika terdapat nash shahih
dari dalil-dalil yang kontradiksi maka hal itu tidak perlu dikompromikan lagi.
8. Dalam mengumpulkan dua dalil yang bertentangan adalah dalil yang bertentangan dari segi
makna lafaznya.
9. Pembahasan kedua dalil yang kontradiksi sepadan atau sederajat.

10. Pembahasan dalil-dalil itu tidak keluar dari hasil penakwilan mujtahid tentng hikmah
danmakna syariat, dan hasilnya termasuk dalam hukum-hukum syariat yang disepakati
ulama.16

Maka dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan Al-jam’u wa Al-taufiq harus terdiri dari
dua dalil yang bertentangan namun sama derajatnya, sama juga pembahasan dan kandungan
hukumnya dan tidak termasuk dalil yang hukumnya saling menafikan.
c) Contoh-contoh Al-jam’u wa Al-taufiq
Agar pemahaman mengenai Al-jam’u wa Al-taufiq dapat tergambarkan, berikut disertakan
contoh Al-jam’u wa Al-taufiq:
Contoh pertama: Penyelesaian QS. Al-Ma’idah [5]:3 dengan QS. Al-An’am [6]: 145.
Kedua dalil tersebut menyangkut masalah darah yang haram dikonsumsi. Allah berfirman
dalam QS. Al-Ma’idah [5]:3
‫ُحِّر َم ْت َع َلْيُك ُم اْلَم ْيَتُة َو الَّد ُم َو َلْح ُم اْلِخ ْنِزْيِر َو َم ٓا ُاِهَّل ِلَغْيِر ِهّٰللا ِبٖه َو اْلُم ْنَخ ِنَقُة َو اْلَم ْو ُقْو َذُة َو اْلُم َتَر ِّد َيُة َو الَّنِط ْيَح ُة َو َم ٓا‬
‫َاَك َل الَّسُبُع ِااَّل َم ا َذَّك ْيُتْۗم َو َم ا ُذ ِبَح َع َلى الُّنُص ِب َو َاْن َتْسَتْقِس ُم ْو ا ِباَاْلْز اَل ِۗم ٰذ ِلُك ْم ِفْس ٌۗق َاْلَيْو َم َيِٕىَس اَّلِذ ْيَن َكَفُرْو ا ِم ْن‬
‫ِد ْيِنُك ْم َفاَل َتْخ َش ْو ُهْم َو اْخ َش ْو ِۗن َاْلَيْو َم َاْك َم ْلُت َلُك ْم ِد ْيَنُك ْم َو َاْتَم ْم ُت َع َلْيُك ْم ِنْع َم ِتْي َو َر ِض ْيُت َلُك ُم اِاْل ْس اَل َم ِد ْيًن ۗا َفَمِن‬
.3 ‫اْض ُطَّر ِفْي َم ْخ َم َص ٍة َغْيَر ُم َتَج اِنٍف ِاِّل ْثٍۙم َفِاَّن َهّٰللا َغ ُفْو ٌر َّر ِح ْيٌم‬
16
Abd al-Latif ‘Abdullah al-Barzanji, al-Ta’arudh wa al-Tarjih Baina al-Adillah al-Syar’iyyah, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1996), 218-239, dalam Dahliah, Tesis Metode Penyelesaian Ta’arudh al-Adilllah dan
Implikasinya terhadap Penetapan Hukum Islam, 77-78.

11| K e l o m p o k 7
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang
disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan
(diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi
nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-
orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu
takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam
sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat
dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” {QS Al-Maidah [5]: 3}

Pada ayat ini tidak dijelaskan darah yang dimaksud adalah darah yang bagaimana. Darah
yang disebut dalam ayat ini tidak membedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh
dengan darah yang sudah beku seperti hati.17 Kemudian dalam QS. Al-An’am [6]: 145 Allah
mengatakan:

‫ُقْل ٓاَّل َاِج ُد ِفْي َم ٓا ُاْو ِح َي ِاَلَّي ُمَح َّر ًم ا َع ٰل ى َطاِعٍم َّيْط َعُم ٓٗه ِآاَّل َاْن َّيُك ْو َن َم ْيَتًة َاْو َد ًم ا َّم ْس ُفْو ًحا َاْو َلْح َم ِخ ْنِز ْيٍر َفِاَّنٗه‬
145 ‫ِر ْج ٌس َاْو ِفْس ًقا ُاِهَّل ِلَغْيِر ِهّٰللا ِبٖۚه َفَمِن اْض ُطَّر َغْيَر َباٍغ َّو اَل َعاٍد َفِاَّن َر َّبَك َغ ُفْو ٌر َّر ِح ْيٌم‬.

“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati
(bangkai), darah yang mengalir, daging babi-karena semua itu kotor atau hewan yang
disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena
menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” {QS. Al-An’am [6]: 145}
Ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan itu adalah darah yang
mengalir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Al-jam’u wa Al-taufiq pada ayat yang
terkesan bertentangan di atas adalah terkait ayat muthlaq dan moqayyad. QS Al-Maidah [5]: 3
yang sifatnya muthlaq dibatasi dengan QS. Al-An’am [6]: 145. Maka kedua dalil ini terbilang
sudah diselesaikan.

Contoh kedua: QS. Al-Baqarah [2]: 228 dengan QS. Al-Thalaq [65]: 4, kedua ayat ini
tentang iddah. Adapun bunyi QS. Al-Baqarah [2]: 228

‫َو اْلُم َطَّلٰق ُت َيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َثٰل َثَة ُقُر ْۤو ٍۗء َو اَل َيِح ُّل َلُهَّن َاْن َّيْك ُتْم َن َم ا َخ َلَق ُهّٰللا ِفْٓي َاْر َح اِم ِهَّن ِاْن ُك َّن ُي ْؤ ِم َّن ِباِهّٰلل‬
‫َو اْلَي ْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر َو ُبُع ْو َلُتُهَّن َاَح ُّق ِب َر ِّد ِهَّن ِفْي ٰذ ِل َك ِاْن َاَر اُد ْٓو ا ِاْص اَل ًحاۗ َو َلُهَّن ِم ْث ُل اَّل ِذ ْي َع َلْيِهَّن ِب اْلَم ْع ُرْو ِۖف‬
.228 ࣖ ‫َو ِللِّر َج اِل َع َلْيِهَّن َد َر َج ٌة ۗ َو ُهّٰللا َع ِز ْيٌز َح ِكْيٌم‬

17
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, 177.

12| K e l o m p o k 7
Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’.
Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim
mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih
berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan.
Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah
Mahaperkasa, Mahabijaksana.” “{QS. Al-Baqarah [2]: 228}
Ayat ini membicarakan tentang kewajiban wanita yang apabila diceraikan oleh suaminya
maka wajib menahan diri mereka (menungu) sampai tiga kali quru’. Kemudian dalam QS. Al-
Thalaq [65]: 4 Allah mengatakan:
‫ّٰۤل‬ ‫ّٰۤل‬
‫َو ا ِٔـْي َيِٕىْس َن ِم َن اْلَم ِح ْيِض ِم ْن ِّنَس ۤا ِٕىُك ْم ِاِن اْر َتْبُتْم َفِع َّد ُتُهَّن َثٰل َثُة َاْش ُهٍۙر َّو ا ِٔـْي َلْم َيِح ْض َۗن َو ُاواَل ُت اَاْلْح َم اِل َاَج ُلُهَّن‬
.4 ‫َاْن َّيَض ْع َن َحْم َلُهَّۗن َو َم ْن َّيَّتِق َهّٰللا َيْج َع ْل َّلٗه ِم ْن َاْم ِر ٖه ُيْسًرا‬

“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika


kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan
barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam
urusannya.”
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa wanita hamil memiliki perbedaan masa iddah. Maka
dapat diketahui bahwa pada firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 228 sifatnya masih umum
(‘am). Adapun firman Allah sifatnya mengkhususkan (ayat khosh). Jadi, hukum umum itu
berlaku untuk semua wanita yang cerai, kecuali dalam keadaan khusus yaitu hamil, maka
masa iddahnya hanya sampai ia melahirkan anaknya.

Contoh ketiga: yakni contoh hadits dengan hadits, berikut sabda Nabi Muhammad Saw:

‫ أال أخربكم بخير الشهداء الذي يأتي‬:‫عن زيد بن خالد اجلهين أن النيب صلى هلال عليه وسلم قال‬
‫بشهادته قبل أن يسألها‬

“Ketahuilah saya beritahukan kepada kalian bahwa sebaik-baik saksi ialah orang yang
bersedia bersaksi sebelum diminta untuk menjadi saksi”. (HR. Muslim)
‫ قال رسول اهللا صلى هللا عليه و سلم حير أمتي القرن الذين بعثت فيهم ثم الذين‬:‫عن أبي هريرة قال‬
‫يلونهم ثم يختلف قوم يحبون السمائة يشهدون قبل أن يشتشهدوا‬

“Generasi yang terbaik adalah generasi pada zamanku, kemudian masa setelahnya,
kemudian generasi setelahnya. Sesungguhnya pada masa yang akan datang ada kamu

13| K e l o m p o k 7
yang suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, mereka bersaksi sebelum diminta
kesaksiannya, bernadzar tapi tidak menjalankannya dan Nampak pada merreka
kegemukan.” (HR. Bukhari Muslim).”
Hukum masing-masing kedua dalil bertentangan di atas adalah ‘am dalam arti memiliki
satuan yang banyak. Adapun kandungan hukum hadis yang pertama adalah adanya
penghargaan bagi mereka yang bersaksi sebelum diminta untuk menjadi saksi, kasus itu sama
saja dengan persoalan yang berkaitan dengan hak Allah ataupun hak sesama manusia.
Sedangkan Hadis yang kedua sama sekali tidak memperbolehkan (adanya isyarat melarang)
untuk memberi persaksian sebelum diminta menjadi seorang saksi, karena konteks hadis yang
kedua menunjukkan sesuatu yang jelek atau tercela. Jadi, hadis di atas dapat dikompromikan
dan diamalkan secara bersama-sama dengan mengarahkan hadis pertama dalam persoalan yang
berkaitan dengan hak Allah, sementara hadis kedua ditujukan dalam persoalan yang
menyangkut hak kepada sesama manusia.

2. Tarjih (‫)الترجيح‬
a) Sekilas tentang Tarjih
Dalam kasus ta’arudh (pertentangan dalil), tarjih adalah sebuah usaha atau upaya untuk
menemukan dalil yang lebih kuat karena tidak memungkinkan lagi dikompromikan (Al-jam’u wa
Al-taufiq) dengan dalil lain yang bertentangan dari sisi manapun.18
b) Aplikasi Tarjih
Aplikasi pertama: terkait hadits apakah boleh berpuasa meski dalam keadaan junub. Apikasi
ini adalah aplikasi yang diterapkan oleh Imam Syafi’i.19 Berikut bunyi kedua haditsnya:
‫ا وأبي‬J‫وُل ُك نُت َأن‬J‫َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن اْلَح اِر ِث ْبِن ِهَش اٍم َأَّنُه َسِمَع َأبا َبْك ِر ْبَن َع ْبِد الَّرْح َمِن ْبِن اْلَح اِرِث ْبِن ِهَش اٍم يق‬
‫وم (رواه‬J‫ك الي‬J‫ا أفطر ذل‬J‫عند مروان بن الحكم َو ُهَو َأِم يُر اْلَم ِد يَنة َفَذ َك َر َلُه َأَّن َأَب ا ُهَر ْي َر َة َيُق وُل من أصبح جنب‬
‫مالك‬
“Dari Abdurrahman bin Harits bahwa dia berkata: saya dan ayah berada di samping
Marwan Amir Madinah, maka disebutkan kepadanya bahwa Abu Hurairah berkata;
siapa yang junub di waktu subuh maka hendaklah dia berbuka di hari itu.” (HR. Malik)
Hadits tersebut dianggap bertentang dengan hadits berikut ini:

18
Fitri Yeni Dalil, dkk, Penggunaan Tarjih, Ta’wil dan Pemahaman Hadits Tanawwu’ al-‘Ibadah, jurnal Istinarah,
vol.3 (1), 2021, 89.
19
Fitri Yeni Dalil, dkk, Penggunaan Tarjih, Ta’wil dan Pemahaman Hadits Tanawwu’ al-‘Ibadah, jurnal Istinarah,
93.

14| K e l o m p o k 7
‫عن عائشة أن رجال َقاَل لرسول هللا صلى هللا عليه وسلم وُهَو َو اِقف َع َلى اْلَباِب َو َأَن ا َأْس َم ُع َي ا َر ُس وَل هللا إني‬
‫أصبح حنيا وأنا أريُد الصيام َفَقاَل َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو َأَن ا َأْص بح جنًب ا َو َأَن ا أريد الصياَم َفَأْغ َتِس ُل َو َأُص وُم‬
)‫(رواه مالك‬
“Dari Aisyah, saya mendengar seorang laki-laki (yang sedang berdiri di pintu) berkata
kepada Rasulullah; ya Rasulullah, saya junub diwaktu subuh, sedangkan saya ingin
puasa, Rasulullah berkata; saya pernah junub di waktu subuh dan saya ingin puasa,
maka saya mandi dan saya berpuasa.” (HR. Malik)
Dalam melakukan tarjih, Imam Syafi’I memilih hadits yang menyatakan boleh berpuasa
meskipun seseorang dalam kondisi junub sampai waktu subuh. Adapun sisi pentarjihan beliau
adalah:
Pertama, hadits yang menyatakan kebolehan diriwayatkan oleh Aisyah (istri Nabi Saw). dalam
hal ini istri Rasul Saw. pasti lebih megetahui secara pasti daripada Abu Hurairah yang menerima
atau mendengar khabar.

Kedua, sahabat yang meriwayatkan membolehkan lebih banyak jumlahnya ketimbang yang
menyatakan tidak boleh.

Ketiga, kebolehan melakukan puasa dalam keadaan junub sampai waktu subuh lebih sesuai
dengan logika (logis), di mana jima’, makan dan juga minum adalah hal yang dibolehkan di
malam hari sampai fajar. Maka junub sebagai akibat dari jima’ pada malam hari tidak
berhubungan dengan larangan berpuasa atau yang membatalkan puasa, yaitu jima’.

Aplikasi kedua: pentarjihan yang dilakukan oleh Syeikh Yusuf al-Qardhawi mengenai
perbuatan ‘azal.20 Beliau mentarjih salah satu dari tiga dalil yang terkesan bertentangan, yaitu:

‫أبي سعيد الخدري َقاَل ُس ِئَل الَّنبي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َع ْن اْلَع ْز ِل َفَقاَل اَل َع َلْيُك ْم َأْن اَل تفعلوا ذاكم فإنما هو‬
)‫القدر (مسلم‬

“Dari Abi Sa'id Al Khudri, ia berkata, Rasulullah pernah ditanya tentang azal, maka
beliau menjawab: Tidak mengapa, janganlah kamu melakukannya, karena dia adalah
masalah taqdir.” (HR. Muslim)

20
‘Azal adalah perbuatan yang dilakukan oleh suami yakni mengeluarkan spermanya di luar farj istrinya.

15| K e l o m p o k 7
‫عن جَداَم َة بنت وهب ُأْخ ت ُعَك اَش َة َقاَلْت حضرت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِفي ُأَناس َس َأُلوُه َع ْن اْلَع ْز ِل‬
‫َفَقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َذ ِلَك اْلَو اُد اْلَح ِفي َز اَد ُعبيُد ِهَّللا في حديثه اْلُم ْقِرئ َو ِهَي { َو ِإَذ ا اْلَم ْو ُع وَد ُة‬
‫) مسلم‬۸( : ‫سئلت } (التكوير‬

“Dari Judamah binti Wahab, bahwa orang bertanya kepada Rasulullah tentang 'azal,
beliau menjawab: itu adalah pembunuhan secara diam-diam. Ubaidillah menambahkan
dalam riwayatnya (QS Takwir:8) apabila bayi perempuan dikubur hidup-hidup.” (HR.
Muslim).
‫عْن َج اِبٍر َقاَل ُكَّنا َنْع ِر ُل َع َلى َع ْهِد َر ُسوِل هللا صلى هللا عليه وسلم فبلغ ذلك نبي هللا صلى هللا عليه وسلم فلم‬
)‫ينهنا (مسلم‬

“Dari Jabir dia berkata, dulu kami melakukan 'azal pada masa Rasulullah, maka sampai
berita itu kepada Rasulullah, dan beliau tidak melarang kami.” (HR. Muslim)
Hadits yang pertama dan kedua menunjukkan makna adanya larangan melakukan ‘azla,
sedangkan yang hadits yang ketiga membolehkan. Maka Syeikh Yusuf al-Qardhowi mentarjih
hadits yang membolehkan. Berikut adalah proses atau jalan pentarjihan beliau:

Pertama, riwayat semakna dengan Zabir dan Sa’id sangatlah banyak. Jadi, secara tidak langsung
dalil tersebut didukung oleh jalur rawi yang lebih banyak.

Kedua, melakukan tindakan ‘azal merupakan kenyataan atau kebiasaan yang banyak dilakukan
oleh para sahabat.

Ketiga, hadits yang diriwayatkan oleh Judamah tidak tegas menyatakan larangan perbuatan
‘azal. Dan yang terakhir ada beberapa riwayat mukhorrij seperti Imam Malik, rawahu al-arba’ah
tidak menyebutkan bagian akhir dari riwayat Judamah.

3. Al-Naskh (‫)النسخ‬
a) Pengertian Naskh
Menurut Manna al-Qattan, kata naskh dipakai untuk arti izaalah (menghilangkan).
Misalnya: ‫ نسخت الشمس الّظّل‬artinya, “matahari menghilangkan bayang-bayang”; ‫ونسخت الريح‬

‫ أثر المشي‬artinya, “angin menghapuskan jejak perjalanan”. Kata naskh juga dipakai untuk makna
“memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain”, misalnya: ‫ نسخت الكتاب‬artinya, “saya
memindahkan (menyalin) apa yang ada di dalam buku”. Di dalam al-Qur’an disebutkan dalam
QS. Al-Jasiyah [45]: 29, bunyinya ‫ ِاَّنا ُكَّنا َنْسَتْنِس ُخ َم ا ُكْنُتْم َتْع َم ُلْو َن‬maksud ayat ini adalah “Kami

16| K e l o m p o k 7
memindahkan (mencatat) amal perbuatan ke dalam lembaran (catatan amal)”. Secara istilah
naskh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’
yang lain.21
Adapun menurut al-Zarqani, naskh secara bahasa dibagi menjadi dua makna. Pertama,
“menghilangkan sesuatu dan memusnahkannya”, ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-
Hajj: 52 yang bunyinya:

‫َو َم ا َأْر َس ْلَنا ِم ْن َقْبِلَك ِم ْن َر ُسوٍل َو اَل ِني ِإاَّل ِإَذ ا َتَم َّنى اْلَقى الَّش ْيَطاُن ِفي ُأْم ِنَّيِتِه َفَيْنَس ُخ ُهَّللا َم ا ُيْلَقى الَّش ْيَطاَن ُثَّم‬
))٥٢( :‫ُيْح ُك ُم ُهَّللا آَياِتِه (اْلَح َّج‬

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul dan tidak pula seorang nabi sebelum engkau
(Muhammad), melainkan apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan
godaan-godaan ke dalam keinginannya itu. Tetapi Allah menghilangkan apa yang
dimasukkan setan itu, dan Allah akan menguatkan ayat-ayat Nya.”
Kata ‫ َفَيْنَس ُخ‬dalam ayat tersebut dijadikan rujukan dalam mengartikan naskh dengan arti
“menghilangkan”. Makna lainnya, berarti “menggerakkan sesuatu dan mengubahnya” sambil
tetap berada di dalam posisinya sendiri. Al-Sijistani, salah satu imam bahasa mengatakan bahwa
naskh adalah (‫“ )أن تحول ما في الخلّية من النحل والعسل الى أخرى‬engkau pindahkan sesuatu dari
sarang lebah yang terdiri dari lebahnya dan madunya kepada yang lainnya”, dan di antaranya
adalah seperti perpindahan ( ‫ )َتَناُس ُخ‬harta warisan dengan cara mewariskannya dari satu bangsa ke
bangsa lain, dan perpindahan ( ‫ )َتَناُس ُخ‬jiwa dengan cara berpindahnya dari satu badan ke badan
yang lain. Menurut apa yang disebutkan oleh Al-Sijistani, dapat diketahui bahwa naskh juga
berarti “perpindahan atau pengalihan”. Sedangkan naskh menurut istilah adalah pembatalan
hukum syara’ di mana ayat yang turun belakangan membatalkan hukum pada ayat yang turun
sebelumnya, dan perlu diketahui bahwa adanya pembatalan suatu hukum dikarenakan adanya
tuntutan kemaslahatan.22
Kedua, melakukan tindakan ‘azal merupakan kenyataan atau kebiasaan yang banyak dilakukan
oleh para sahabat.

b) Ruang Lingkup Naskh

21
Manna Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Terj, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2019), 327.
22
Syekh Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani. Manahil Al-‘Irfan Fii Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub,
1995), 146-147.

17| K e l o m p o k 7
Menurut al-Qattan, Naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan baik yang diungkapkan
dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dalam bentuk kalimat berita (khabar) yang
mengandung makna amar (perintah) atau nahy (larangan). Naskh tidak terjadi pada ayat-ayat
yang membicarakan terkait akidah yang berfokus pada zat allah, sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya,
dan hari kemudian, serta tidak juga berkaitan dengan ayat-ayat yang membicarakan akhlak dan
etika, dasar-dasar ibadah dan muamalah. Hal ini dikarenakan semua syariat ilahi tidak terlepas
dari dasar-dasar tersebut dan itu merupakan hal yang sudah disepakati.23
Adapun menurut al-Zarqani, beliau mengatakan bahwa orang-orang yang mengakui naskh
berpendapat naskh hanya terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan dengan furu’ ibadah dan
muamalah. Sedangkan bagi jumhur ulama mengenai ayat-ayat yang berkaitan dengan pokok-
pokok atau dasar-dasar akidah, etika, moral, muamalah, dan akhlak maka tidak terjadi naskh di
dalamnya.24
Dari kedua pendapat ulama di atas maka dapat disimpulkan bahwa naskh hanyalah sebatas
pembatalan hukum saja, dan itupun bagi ayat-ayat yang bukan menjadi pokok, dasar ataupun
usul terkait akidah dan semacamnya yang telah disebutkan di atas.
c) Pembagian Naskh dan Contohnya
Dalam bukunya yang berjudul asli Mabahits fii Ulum al-Qur’an, Manna al-Qattan
membagi naskh kedalam empat bagian.25 Yaitu:
1. Naskh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Naskh semacamnya ini telah disepakati kebolehannya oleh para ulama. Misalnya adalah
ayat tentang iddah, di mana QS. Al-Baqarah [2]: 240 yang mengabarkan tentang masa
iddah perempuan adalah setahun dinasikh oleh surat yang sama ayat 234. Berikut ayat-
ayatnya:
‫َو اَّلِذ ْيَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُرْو َن َاْز َو اًج ۖا َّو ِص َّيًة َاِّلْز َو اِج ِهْم َّم َتاًعا ِاَلى اْلَح ْو ِل َغْيَر ِاْخ َر اٍجۚ َفِاْن َخ َر ْج َن‬
240 ‫َفاَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِفْي َم ا َفَع ْلَن ِفْٓي َاْنُفِس ِهَّن ِم ْن َّم ْع ُرْو ٍۗف َو ُهّٰللا َع ِز ْيٌز َحِكْيٌم‬
“Dan orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri,
hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahun
tanpa mengeluarkannya (dari rumah). Tetapi jika mereka keluar (sendiri), maka
tidak ada dosa bagimu (mengenai apa) yang mereka lakukan terhadap diri

23
Manna Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 329.
24
Syekh Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani. Manahil Al-‘Irfan Fii Ulum Al-Qur’an, 148.
25
Manna Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 335.

18| K e l o m p o k 7
mereka sendiri dalam hal-hal yang baik. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
{QS. Al-Baqarah [2]: 240}
Ayat ini dinaskh dengan QS. Al-Baqarah [2]: 234

‫َو اَّلِذ ْيَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُرْو َن َاْز َو اًجا َّيَتَر َّبْص َن ِبَاْنُفِس ِهَّن َاْر َبَع َة َاْش ُهٍر َّوَع ْش ًراۚ فِاَذ ا َبَلْغ َن َاَج َلُهَّن َفاَل‬
234 ‫ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِفْيَم ا َفَع ْلَن ِفْٓي َاْنُفِس ِهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِۗف َو ُهّٰللا ِبَم ا َتْع َم ُلْو َن َخ ِبْيٌر‬

“Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri


hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai
apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” {QS. Al-Baqarah [2]: 234}
2. Naskh al-Qur’an dengan Sunnah.
Naskh al-Qur’an dengan sunnah dibagi menjadi dua macam, yakni naskh al-Qur’an
dengan hadits ahad dan naskh al-Qur’an dengan hadits mutawatir. Namun mengenai
naskh dengan hadis ahad jumhur ulama mengatakan bahwa al-Qur’an Qur’an tidak
boleh dinaskh yang sifatnya dzhanni. Adapun naskh dengan hadits mutawattir ulama
sepakat memperbolehkannya. Contohnya adalah QS. Al-Baqarah [2]: 180
‫ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِاَذ ا َح َض َر َاَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِاْن َتَر َك َخْيًراۖ ۨ اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اَاْلْقَر ِبْيَن ِباْلَم ْع ُرْو ِۚف َح ًّقا َع َلى‬
180 ۗ ‫اْلُم َّتِقْيَن‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara
kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib
kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang
bertakwa.” {QS. Al-Baqarah [2]: 180}
Ayat tersebut dinasikh oleh hadits Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
dishahihkan oleh Imam al-Bani, yang bunyinya:

‫اّن هللا قد أعطى كل ذي حّق أال ال وصّية لوارث‬

“Sesungguhnya Allah Swt. telah memberi masing-masing orang akan haknya,


ingatlah tidak ada harta wasiat bagi ahli waris.”

3. Naskh Sunnah dengan al-Qur’an


Mayoritas ulama memperbolehkan adanya naskh sunnah dengan al-Qur’an. Contoh
naskh ini adalah hukum kiblat yang menghadap ke Bait al-Maqdis yang ditetapkan
dalam sunnah kemudian dinasikh dengan QS. Al-Baqarah [2]:144.26
26
Manna Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 336.

19| K e l o m p o k 7
‫أن النبي صلى هللا عليه وسلم كان أول ما قدم المدينة نزل َع َلى َأْج َناِد ه َأْو َقاَل أحواله من‬
‫اَأْلْنَص اِر َو َأَّنُه َص َّلى ِقَبَل َبْيِت اْلَم ْقِد ِس ِس َّتَة َع َش َر َش ْهًرا َأْو َس ْبَع َة َع َش َر َش ْهًرا َو َك اَن ُيْع ِج ُبُه َأْن تكون‬
‫قبلة قبل البيت وأنه حال اون صالة خالها صالة العصر و على معه قوم فخرج رجل ممن صلى‬
‫معه فقر على أهل مسجد و هم راكعون فقال َأْش َهُد ِباهلل َلَقْد َص َّلْيُت َم َع َر ُسول هللا صلى هللا عليه و‬
‫سلم قبل مكة فناروا كا هم قبل البيت وكانت اليهود لهذ المهم إذ كان يصلي قبل بيت المقدس و أهل‬
‫الكتاب فلَّم ا ولى ولحمة قبل البيت الكروا ذلك‬
“Bahwa Nabi saw. saat pertama kali datang di Madinah, singgah pada kakek-
kakeknya ('azib) atau paman-pamannya dari kaum Anshar, dan saat itu beliau
shalat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas
bulan, dan beliau sangat senang sekali kalau shalat menghadap Baitullah
(Ka'bah). Shalat yang dilakukan beliau pertama kali (menghadap Ka'bah) itu
adalah shalat Ashar dan orang-orang juga ikut shalat bersama beliau. Pada
suatu hati sahabat yang ikut shalat bersama Nabi saw. pergi melewati orang-
orang di masjid lain saat mereka sedang ruku, maka dia berkata: 'Aku bersaksi
kepada Allah bahwa aku ikut shalat bersama Rasulullah saw. menghadap
Mekkah, maka orang-orang yang sedang rukuk tersebut berputar menghadap
Baitullah dan orang-orang Yahudi dan ahlul kitab menjadi heran, sebab
sebelumnya Nabi saw. shalat menghadap Baitul Maqdis. Ketika melihat Nabi saw.
menghadapkan wajahnya ke Baitullah mereka mengingkari hal ini.” (HR.
Bukhari)
Hadits ini ini dinasikh dengan

‫َقْد َنٰر ى َتَقُّلَب َو ْج ِهَك ِفى الَّس َم ۤا ِۚء َفَلُنَو ِّلَيَّنَك ِقْبَلًة َتْر ٰض ىَهاۖ َفَو ِّل َو ْج َه َك َش ْطَر اْلَم ْس ِج ِد اْلَح َر اِم ۗ َو َح ْيُث‬
‫َم ا ُكْنُتْم َفَو ُّلْو ا ُوُجْو َهُك ْم َش ْطَر ٗه ۗ َو ِاَّن اَّلِذ ْيَن ُاْو ُتوا اْلِكٰت َب َلَيْع َلُم ْو َن َاَّن ُه اْلَح ُّق ِم ْن َّرِّبِهْم ۗ َو َم ا ُهّٰللا ِبَغاِف ٍل‬
144 ‫َع َّم ا َيْع َم ُلْو َن‬

“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan


Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah
wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah
wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat
dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan
mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” {QS. Al-
Baqarah [2]: 144}
4. Naskh Sunnah dengan Sunnah
Naskh sunnah dengan sunnah dibagi menjadi empat macam, yaitu: 1). Naskh mutawatir
dengan mutawatir, 2). Naskh ahad dengan ahad, 3). Naskh ahad dengan mutawatir, dan
4). Naskh mutawatir dengan ahad. Naskh pada tiga bentuk yang pertama

20| K e l o m p o k 7
diperbolehkan, sedangkan yang keempat terjadi perbedaan pendapat seperti halnya
nasikh Al-Quran dengan hadis ahad, yang tidak diperbolehkan oleh mayoritas ulama. 27
Contoh:
‫قاَل َر ُسوُل هللا صلى هللا عليه وسَّلم نبيلكم عن زيارة القبور فزوروها و َبْيَنُك م عن لحوم األضاحي‬
‫ربوا‬JJ‫فوق ثالث فأمسكوا ما بنا لُك م ونهيتكم عن اللبنِد ِإاَّل ِفي ِس َقاِء َفاْش َر ُبوا ِفي اَأْلْس ِقَيِة كلها وال تش‬
‫مشكرا‬
“Rasulullah Saw. bersada: aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang
berziarahlah. Saya juga pernah melarang kalian makan daging kurban setelah
tiga hari, sekarang simpanlah untuk keperluan kalian. Dan saya juga pernah
melarang kalian meminum anggur kecuali jika dalam bejana minum, sekarang
minumlah dalam semua bejana kalian, tetapi jangan sekali-kali kamu minum yang
memabukkan.” (HR. Muslim, no 977)

BAB III
KESIMPULAN

Taarudh Aladillah adalah Pertentangan secara lahir antara dua dalil yang sama kuatnya
dalam menunjukkan suatu hukum.

Ketentuan-ketentuan ta’arudh adillah sebagai berikut:


5. Adanya dua dalil atau lebih

27
Manna Khalil al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 336.

21| K e l o m p o k 7
6. Dalil-dalil itu sama derajatnya
7. Mengandung ketentuan hukum yang berbeda
8. Berkenaan dengan masalah yang sama. Menghendaki hukum yang sama dalam
satu waktu.

Tarjih adalah merupakan usaha untuk mencari dalil atau alasan yang terkuat, karena
diantara dalil-dalil tersebut terdapat pertentangan satu sama lainnya. Tarjîḥ ini dipilih sebagai
cara untuk melakukan pilihan di antara dua dalil atau lebih yang kontradiktif setelah terlebih
dahulu tidak mungkin untuk dilakukan kompromi (al-jam‘u wa at-taufîq) antara keduanya.
Syarat Tarjih yaitu : sama kuatnya, sama hukumnya, dan sama tujuan waktu maupun
subjeknya. Pentarjihan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu : Menguatkan salah satu nash (ayat
atau hadits) yang saling bertentangan, Menguatkan salah satu qiyas yang saling bertentangan.

Dalam hubungannya dengan ta’arud al-adillah, berikut merupakan metode dalam


menyelesaikan pertentangan dua dalil, yaitu dengan cara: Al-Jam’u wa Al-Taufiq, Al-Tarjih
dan Al-Nasakh. Al-jam’u wa al-taufiq berarti mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan
untuk kemudian mengkompromikanya. Dengan demikian, hukum yang diambil nantinya
adalah hasil dari kompromi dalil-dalil ini. tarjih adalah sebuah usaha atau upaya untuk
menemukan dalil yang lebih kuat karena tidak memungkinkan lagi dikompromikan (Al-
jam’u wa Al-taufiq) dengan dalil lain yang bertentangan dari sisi manapun. Sedangkan naskh
menurut istilah adalah pembatalan hukum syara’ di mana ayat yang turun belakangan
membatalkan hukum pada ayat yang turun sebelumnya, dan perlu diketahui bahwa adanya
pembatalan suatu hukum dikarenakan adanya tuntutan kemaslahatan. Naskh hanya terjadi
pada perintah dan larangan baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas, ada yang
mengatakan bahwa naskh hanyalah sebatas pembatalan hukum saja, dan itupun bagi ayat-
ayat yang bukan menjadi pokok, dasar ataupun usul terkait akidah dan semacamnya. Naskh
terdapat pada : Naskh al-Qur’an dengan al-Qur’an, Naskh al-Qur’an dengan Sunnah, Naskh
Sunnah dengan Sunnah, Naskh Sunnah dengan al-Quran.

22| K e l o m p o k 7
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna' Khalil. 2019. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur'an (Terj). Bogor: Litera Antar Nusa.

23| K e l o m p o k 7
al-Zarqani, Muhammad Abdul Adzim. 1995. Manahil Al-'Irfan Fii Ulum Al-Qur'an. Beirut: Dar
al-Kutub.

Dahlia. 2013. Tesis Metode Penyelesaian Ta'arudh al-Adillah dan Implikasinya terhadap
Penetapan Hukum Islam. Makassar: UIN Alauddin Makassar.

dkk, Fitri Yeni Dalil. 2021. "Penggunaan Tarjih, Ta'wil dan Pemahaman Hadits Tanawwu' al-
Ibadah." Istinarah 3.

dkk, Moh Padil. 2017. Ushul Fiqh (Dasar, Sejarah dan Aplikasi Ushul Fiqh dalam Ranah
Sosial). Malang: Madani.

Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Khallaf, Abdul Wahhab. 2014. Ilmu Ushul Fiqih. Translated by Moh Zuhri dkk. Semarang: Dina
Utama.

Zein, Satria Effendi M. 2017. Ushul Fiqh. Vols. Cet. ke-7. Jakarta: Fajar Interpratama Mandiri.

Muhammad Jawab Muqniyah, Ilmu Ushul al-Fiqih FiSaubih al-Jadid, Beirut; Dar al-Ilm
Lilmalayin

Muhammad, al-Jarjani, Kitab al-Ta’rifat

24| K e l o m p o k 7

Anda mungkin juga menyukai