DOSEN PENGAMPU
DISUSUN OLEH :
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-
baiknya. Selanjutnya, sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang telah membawa manusia dari zaman gelap gulita ke
zaman terang benderang.
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu
hal yang mustahil dihapus.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ittifaq dan Ikhtilaf?
2. Bagaimana sejarah dan manfaat dari Ittifaq dan Ikhtilaf?
3. Bagaimana metode-metode istinbath hukum Islam?
4
BAB II
PEMBAHASAN
1
Artikel ini diambil dari www.almunawwar.or.id/perbedaan-antara-ittifaq-dan-ijma-serta-
penjelasan-makruh-tahrim-dan-makruh-tanjih/ tentang Perbedaan Antara Ittifaq dan Ijma Serta
Penjelasan Makruh Tahrim dan Makruh Tanjih, pada tanggal 28 Februari 2019, jam 15.04
5
kalangan mereka sendiri. Sedangkan menurut jumhur ulama, ijma’ sudah
dianggap sah apabila adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid.2
Al ikhtilaf wal mukhalaf (perbedaan dan ketidak samaan paham/pendapat)
adalah jalan atau perbuatan yang ditempuh atau diperbuat seseorang untuk
melakukan perbedaan paham dengan orang lain. Kata ‘Al khilaf’ lebih bermakna
luas dan umum dibandingkan kata ‘Adhdhiddu’, karena setiap sesuatu hal yang
berlawanan (Dhiddain) pastiakansalingbertentangan (Mukhtalifan).Setiap orang
yang sedangberdebatatauberbedapendapatsering kali berkobarapi di dadanya,
bahkan sampai terjadi emosi yang berlebihan yang menyebabkan dendam. Mereka
saling berbantah dan beradu mulut, bahkan sering terjadi debat kusir yang hanya
berisi perang mulut tanpa manfaat yang diperoleh.3 Maka dari pada itu perbedaan
pendapat baik dalam ucapan, sikap, maupun pendirian bisa menimbulkan
perselisihan ataupun pertentangan. Kata ikhtilaf berarti perbedaan. Maksudnya,
perbedaan dalam penentuan status hukum terhadap perkara tertentu. Berbeda
pendapat itu ada dua macam, pertama beda pendapat yang tidak diperbolehkan,
yakni mengenai semua persoalan yang sudah jelas ketentuannya dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Kedua berbeda pendapat yang diperbolehkan, yakni yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan yang memungkinkan timbulnya penafsiran-
penafsiran yang berbeda atau berasal dari Qiyas.4
Dalam fiqih, perbedaan pendapat adalah suatu kenyataan yang tidak bias
dihindarkan oleh para fuqaha’. Ada banyak sebab – sebab terjadinya perbedaan
pendapat diantaranya adalah berbeda dalam memahami dan mengartikan ayat –
ayat dalam Al-Qur’an maupun istilah ataupun maksud dari suatu Hadist seperti
lafadz Musytarak, makna Haqiqat (sesungguhnya), atau makna Majaz
(kiasan).Selanjutnya karena berbeda tanggapan dalam Hadist, karena sebagian
Hadist tidak sampai kepada semua ulama’ maka sebagian pula menganggap
Hadist tersebut Dha’if. Berbeda tanggapan dalam menanggapi kaidah – kaidah
2
Satria Effendi, Ushul Fiqh Edisi Pertama, (Jakarta; Kencana Prenadamedia Group,
2005), hlm 125
3
Thoha Jabir Fayyadl Al’ulwani, Beda Pendapat; Bagaimana Menurut Islam, (Jakarta:
GemaInsani Press, 1991), hlm 21
4
Syamsul Bahri, dkk., Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Kalimedia, 2016), hlm 37
6
Ushul Fiqih juga kadang menjadi suatu sebab terjadinya perbedaan pendapat
antara para ulama. Lalu adanya perbedaan tentang ta’arudl ( pertentangan antara
dalil ) dan tarjih (menguatkan satu dalil diatas dalil lainnya ), seperti tentang
nasikh Mansukh atau tentang pentak wilan. Terakhir adalah berbeda pendapat
dalam menetapkan dalil yang bersifat ijtihadi, diluar Al-Qur’an dan Sunnah yang
telah ditetapkan bersama sebagai sumber hukum, melainkan pendapat dan
penerapan tentang istihsan, masalihul mursalah, dzari’ah dan lain-lainnya
sehingga mengakibatkan hukum yang dihasilkan berbeda-beda pula.5
Dalam paragraph di atas jelas bahwa perbedaan pendapat para ulama itu
prinsipnya disebabkan karena berbeda dalam cara berijtihad. Berbeda dalam cara
berijtihad mengakibatkan berbeda dalam fiqih sebagi hasil ijtihad. Disamping itu
sering pula terjadi perbedaan pendapat akibat lingkungan dimana ulama tersebut
hidup, seperti Qaul Qadim dan Qaul Jadid dari hasil ijtihad Imam Syafi’i. qaul
Qadim merupakan hasil ijtihad Imam Syafi’I ketika beliau hidup di Baghdad, lalu
Qaul Jadid adalah hasil ijtihad beliau ketika hidup di Mesir. Imam Abu Hanifah
dihadapkan kepada masyarakat yang lebih maju peradabannya di Irak, sehingga
beliau dituntut agar berfikir lebih rasional agar mudah diterima di tempat beliau
hidup. Akibatnya, rasionalitas lebih mewarnai Madzhab Hanafi. Sedangkan Imam
Maliki tinggal di Madinah sehingga beliau dihadapkan kepada masyarakat tempat
Nabi berjuang dan membangun umatnya, maka beliau dituntut untuk lebih
mengikuti dan mempertahankan ‘urf Ahli Madinah. Hal inilah yang menyebabkan
Madzhab Maliki lebih bernuansa Tradisionalis.6
5
Prof. H.A. Djazuli, IlmuFiqh; Penggalian, Perkembangan, danPenerapanHukum Islam
EdisiRevisi, ( Jakarta: Kencana, 2005), hlm 118
6
Ibid., hlm 119
7
zaman Khulafaur Rasyidin. Masalah-masalah yang berkaitan dengan
kemashlahatan umat selalu di musyawarahkan oleh Khalifah dengan anggota-
anggota majelis permusyawaratan. Maka pada masa itu, pegangan umat adalah
hasil musyawarah ini.7
Perbedaan pendapat dalam masalah lainnya yang tidak langsung berkaitan
dengan kepentingan umat. Perbedaan pendapat para ulama dalam bidah fiqih ini
tidak memberikan pengaruh negative sampai ke zaman Imam-imam Mujtahidin.
Mereka tahu pasti di mana dimungkinkan perbedaan pendapat, dan di mana harus
terjadi kesepakatan. Dengan demikian apabila terjadi perbedaan pendapat pada
masa itu mereka cukup toleran dan menghargai pendapat yang lain, bahkan
diantara mereka sampai melakukan Tabbayun ketika terjadi ketidakcocokan.
Seperti yang dicontohkan yaitu Imam Syafi’i menghargai pendapat Imam Malik
dan Imam Malik pun menghargai pendapat Imam Syafi’i. Namun apabila ada
suatu orang atau kelompok yang terlalu fanatik terhadap satu Madzhab atau
kepada salah satu ulama, maka sering perbedaan pendapat ini mengakibatkan
sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sehingga perbedaan ini menyebabkan
terlampaunya batas-batas yang harus dipegang bersama, merusak persatuan dan
kesatuan umat serta Ukhuwah Islamiyyah yang telah dibina oleh Rasulullah
SAW.8
Prof. H.A. Djazuli dalam bukunya mengutip pernyataan Prof. Hasbi Ash-
Shiddieqy yang menyatakan bahwa, “Apabila kita perhatikan keadaan masyarakat
Islam dewasa ini dan sebabnya mereka bergolongan-golongan ditinjau dari segi
hukum Islam niscaya nyatalah bahwa di antara sebab-sebab itu ialah perbedaan
pegangan, perbedaan anutan, dan perbedaan ikutan. Sehingga untunglah di tanah
air Indonesia ini pengaruh perbedaan anutan dan golongan tidaklah meruncing,
jika dibandingkan dengan keadaan diluar negeri seperti di India, di Persia,
maupun di lain-lain tempat”9. Sebenarnya pengaruh negative dari perbedaan
pendapat ini bias dinetralisir ataupun diantisipasi dengan cara meluaskan
pandangan dan wawasan dalam cara berpikir tentang hukum Islam.
7
Ibid., hlm 120
8
Ibid.
9
Ibid., hlm 121
8
Ikhtilaf sendiri juga memiliki manfaat, jika didasarkan dalam beberapa hal
dan ketentuan-ketentuan. Diantaranya adalah jika niatnya jujur. orang yang
bersangkutan memahami tanggung jawab bersama, bila mengikuti ketentuan ini
maka ikhtilaf bisa digunakan sebagai salah satu dalil dari sekian banyak model
dalil. Ikhtilaf itu juga digunakan untuk mengasah otak dan untuk membuka
cakrawala berfikir, dan memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara
dan bermuamalah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar
mereka. Faidah atau manfaat ini diperoleh apabila dalam berikhtilaf melibatkan
ketentuan dan adab yang terkandung di dalamnya. Namun jika batasan-batasan itu
dilanggar maka sudah pasti akan menimbulkan perdebatan dan perpecahan. Kedua
hal ini akan melahirkan kesulitan dan kejahatan sehingga dapat menganggu
keharmonisan umat. Jika begitu keadaannya maka ikhtilaf akan berubah menjadi
ajang kehancuran.10 Karena agama Islam dan ajarannya harus terpelihara daripada
ancaman-ancaman orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak merusakkan
akidah, ibadah, serta ajaran dari segala sesuatu yang dicampuradukkan dengan
paham atau aliran yang bathil.11
10
Thoha Jabir Fayyadl Al’ulwani, Ibid, hlm 25
11
Ismail Muhammad Syah, dkk., Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: BUMI AKSARA,
1992), hlm 68
12
Sutrisno, Nalar Fiqh Gus Mus, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012), hlm 55
9
istinbath dapat dibagi tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasit ( tujuan ),
syariah, dan segi penyelesaian dari beberapa dalil yang bertentangan.13
Kedua adalah Lafal – lafal Umum ( ‘Am ) dan Lafal Khusus ( Khas ),
ringkasnya yaitu:
13
Satria Efendi, Ushul Fiqh Edisi Pertama, ( Jakarta : Kencana Prenada Media Grup,
2005), Hlm 177
14
Ibid., Hlm 178
10
khusus karena ada indikasi yang menunjukan makna seperti itu. Dan
yang terakhir lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukan
bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian
cakupannya.
b) Lafal Khusus ( Khas )
Adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau
beberapa pengertian yang terabatas. Para ulama ushul fiqh sepakat
bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk kepada pengertian yang
khas secara qoth’i ( pasti ) dan hukum yang dikandungnya bersifat
qoth’i selama tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain.15
Selanjutnya lagi masih ada banyak, seperti Mutlaq dan Muqayyad,
Mantuq dan Mafhum, serta lafal dari segi jelas dan tidak jelas.
15
Satria Efendi, Ushul Fiqh Edisi Pertama, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2005), Hlm 205
16
Sutrisno, Nalar Hukum Gus Mus, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012), hlm 96
17
Ibid., hlm 97
11
Akad Salam atau biasa kita menyebutnya pesanan. Sebagaimana diketahui bahwa
dalam syar’i melarang akad terhadap benda yang tidak ada wujudnya, tetapi syar’I
memberikan keringanan kepada akad salam untuk memenuhi hajat manusia.18
3. Metode Istinbath Istilahi
Metode istinbath istilahi adalah pola istinbath yang dilakukan dengan
menerapkan kaidah-kaidah umum karena tidak adanya dalil-dalil khusus
mengenai suatu masalah atau persoalan baik dari Al-Qur’an atau Hadist dengan
mendasarkan kaidah-kaidah istishlah atau mashlahah mursalah. Mashlahah
secara harfiah berarti keadaan yang baik dan bermanfaat, sedangkan mursalah
berarti netral. Mashlahah mursalah di definisikan oleh para ulama sebagai
mashlahah yang tidak ditetapkan dalam nash secara khusus menyatakan
penerimaan atau penolakan. Definisi pembagian mashlahah ini dibagi menjadi
tiga, yaitu mashlahah mu’tabaroh, maslahah mulghah, dan mashlahah
mursalah.19
Perwujudan mashlahah secara umum adalah tujuan hukum islam. Akan
tetapi tidak semua kategori mashlahah merupakan tujuan hukum sehingga
karenanya tidak semua mashlahah diatas dapat dijadikan sebagai dasar dalam
penetapan hukum. Agar sebuah mashlahah tidak menjadi pintu dari penetapan
hukum menurut hawa nafsu, maka harus ada persyaratan yang terukur dan dapat
dijadikan dasar penetapan hukum. Pertama adalah mashlahah harus bersifat
haqiqi, bukan dugaan saja. Kedua adalah ia harus mashlahah yang bersifat umum
dan bukan mashlahah yang bersifat pribadi. Terakhir adalah bahwa kemashlahatan
tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh nash
atau ijma’.20
18
Sutrisno, Ibid., hlm 102
19
Ibid.
20
Ibid., hlm 103
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terjadinya perbedaan pendapat ataupun kesepakatan dalam hasil ijtihad
adalah sebuah kodrat yang tidak bisa terhindarkan. Perbedaan ataupun
kesepakatan tersebut tidak dapat terhindarkan apalagi masing-masing Mujtahid
memiliki keahlian ataupun tempat tinggal di daerah yang berbeda-beda. Maka
perbedaan maupun kesepakatan ini harus kita sikapi dengan bijak agar kita semua
bisa mengambil hikmah dan manfaat dari hal tersebut. Jangan sampai terjadi
perselisihan bahkan permusuhan karena adanya hal-hal tersebut.
Adanya perbedaan maupun kesepakatan dalam hasil ijtihad juga tidak
terlepas dari adanya metode-metode istinbath hukum yang beragam. Maka
daripada itu, terdapat beberapa pembagian dalam metode istinbath hukum yaitu
istinbath bayani, istinbath ta’lyly, dan istinbath istilahi. Walapun ada juga yang
membaginya menjadi istinbath menurut segi bahasa (bayani), istinbath menurut
segi tujuan (maqasid syari’ah), dan segi penyelesaian beberapa dalil yang
bertentangan. Akan tetapi, kedua pendapat ini bukanlah suatu pendapat yang
bertentangan, tetapi hanya perbedaan dalam sudut pandang ketika membaginya.
B. Saran
Berangkat dari hal tersebut di atas, maka penulis berharap jangan sampai
ada perselisihan bahkan sampai bermusuh-musuhan hanya karena perbedaan
dalam istinbath hukum islam maupun hasil dari istinbath hukum islam itu sendiri.
Maka baiknya kita jangan sampai terlalu fanatik terhadap salah satu Mujtahid,
golongan, maupun Madzhab. Karena sesungguhnya perbedaan itu harus kita
syukuri dan kita sikapi dengan bijak dan penuh rasa hormat.
13
Daftar Pustaka
14