Anda di halaman 1dari 14

ITTIFAQ DAN IKHTILAF

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


FILSAFAT HUKUM ISLAM

DOSEN PENGAMPU

Musodikin, SHI,. M.H.

DISUSUN OLEH :

1. Ahmad Difa’Fardan Afuza ( 182121101 )


2. Amy Umaro ( 182121102 )
3. Ismilia Sholatina ( 182121126 )

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
IAIN SURAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-
baiknya. Selanjutnya, sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang telah membawa manusia dari zaman gelap gulita ke
zaman terang benderang.

Makalah ini dibuat dengan tujuan agar mahasiswa mengetahui hal-hal


mengenai masalah ittifaq dan ikhtilaf beserta sejarah dan manfaatnya. Selain itu,
makalah ini juga menjelaskan tentang metode-metode istinbath hukum islam.

Penulis menyadari di dalam penulisan makalah ini masih banyak


kesalahan dan kekurangan dalam penulisan, struktur kalimat maupun keakuratan
data dan informasi. Oleh karena itu, penulis memohon kritik dan saran yang
membangun bagi penulis kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
digunakan pengembangan ilmu pengetahuan maupun referensi dalam penyusunan
makalah lainnya. Terima kasih.

SURAKARTA, 25 FEBRUARI 2019

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perbedaan, pro dan kontra, selalu akan muncul dalam dinamika kehidupan.
Jangankan yang berasal dari manusia, yang berasal dari yang MahaBenar pun,
Allah azza wa jalla, menimbulkan pro dan kontra. Oleh karena itu, perbedaan
adalah sesuatu yang tak bisa terhindarkan oleh kita, tidak bisa kita menghindari
perbedaan. Allah berfirman: “ …Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu” (QS 5:48).

Perbedaan pendapat, dalam koridor keilmuan merupakan rahmat bagi kita,


perbedaan itu akan memperkaya pengetahuan kita, dan ini telah dibuktikan oleh
ulama-ulama besar dahulu seperti imam, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Namun, yang kita sayangkan adalah perdebatan itu kadang-kadang kita
melupakan ajaran Allah yang lain, yaitu kasih sayang, tidak jarang kita lihat kata-
kata kotor meluncur begitu saja, cacian, hujatan bahkan pengkafiran begitu mudah
kita dengar. Kalau kita lihat mereka yang berdebat dengan mengabaikan akhlakul
karimah biasanya dari kalangan yang tidak kita kenal kapabilitasnya dalam ilmu,
namun begitu, celakanya, ada juga di antaramereka yang berdebat tanpa
mengindahkan etika justru dari kalangan yang kita kenal berilmu. Betapa banyak
kita menemukan perbedaan pendapat, dari kalangan ulama sampai kalangan
awam, perbedaan, pertentangan begitu riuh rendah.

Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama kita akan


mendapati bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada
Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru
terbuka karena Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita

3
akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu
hal yang mustahil dihapus.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ittifaq dan Ikhtilaf?
2. Bagaimana sejarah dan manfaat dari Ittifaq dan Ikhtilaf?
3. Bagaimana metode-metode istinbath hukum Islam?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ittifaq dan ikhtilaf


Ittifaq adalah kesepakatan imam atau ulama mujtahid mengenai suatu
kasus, tetapi belum dapat dikatakan suatu ijma’ dan tidak dapat menjadi dalil.
Ittifaq menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti persetujuan, kesepakatan.
Dalam satu sisi, Ittifaq dan Ijma’ adalah kata yang murodif. Namun dalam
bahasan dan cakupannya Ijma’ mencakup Ittifaq, namun Ittifaq tidak mencakup
Ijma’ karena Ijma’ memiliki dalil yang sifatnya lebih umum daripada Ittifaq.
Dikatakan begitu karena Ijma’ berisikan tentang dalil-dalil yang mengarah pada
hal yang bersifat umum, contohnya seperti permasalahan hukum mandi pada hari
jum’at. Dimana para ulama Ittifaq itu hukumnya sebagian wajib ini menurut Qaul
Adhar, dan Ittifaq pula bagi sebagian lainnya itu sunat. Yang pada masalah ini
adalah luasnya waktu dan tidak tertolak pada hukumnya. Bisa dikatakan Ittifaq
adalah kesepakatan ulama, sedangkan ijma’ menurut istilah adalah kesepakatan
para mujtahid yang terdiri dari paraulama fiqih, dari umat Muhammad SAW, yang
hidup atas hukumnya suatu perkara yang baru datang dalam satu periode, setelah
wafatnya Nabi atas perkara yang baru datang.1
Kata ijma’ secara Bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu
persoalan” atau “kesepakatan terhadap suatu masalah”. Sedangkan menurut
istilah, ijma’ berarti kesepakatan para Mujtahid dari kalangan umat Islam tentang
hukum syara’ pada suatu masa setelah Rasulullah wafat. Para ulama sepakat
bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai dalil hukum. Walaupun demikian, ada
juga ulama yang berbeda pendapat mengenai jumlah pelaku kesepakatan sehingga
dapat dikatakan ijma’ yang mengikat umat islam. Menurut madzhab maliki
misalnya, kesepakatan sudah dianggap ijma’ meskipun hanya merupakan
kesepakatan orang Madinah yang dikenal dengan ijma’ ahl al-Madinah. Berbeda
dengan kalangan Syiah, mereka menganggap ijma’ adalah kesepakatan dari ulama

1
Artikel ini diambil dari www.almunawwar.or.id/perbedaan-antara-ittifaq-dan-ijma-serta-
penjelasan-makruh-tahrim-dan-makruh-tanjih/ tentang Perbedaan Antara Ittifaq dan Ijma Serta
Penjelasan Makruh Tahrim dan Makruh Tanjih, pada tanggal 28 Februari 2019, jam 15.04

5
kalangan mereka sendiri. Sedangkan menurut jumhur ulama, ijma’ sudah
dianggap sah apabila adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid.2
Al ikhtilaf wal mukhalaf (perbedaan dan ketidak samaan paham/pendapat)
adalah jalan atau perbuatan yang ditempuh atau diperbuat seseorang untuk
melakukan perbedaan paham dengan orang lain. Kata ‘Al khilaf’ lebih bermakna
luas dan umum dibandingkan kata ‘Adhdhiddu’, karena setiap sesuatu hal yang
berlawanan (Dhiddain) pastiakansalingbertentangan (Mukhtalifan).Setiap orang
yang sedangberdebatatauberbedapendapatsering kali berkobarapi di dadanya,
bahkan sampai terjadi emosi yang berlebihan yang menyebabkan dendam. Mereka
saling berbantah dan beradu mulut, bahkan sering terjadi debat kusir yang hanya
berisi perang mulut tanpa manfaat yang diperoleh.3 Maka dari pada itu perbedaan
pendapat baik dalam ucapan, sikap, maupun pendirian bisa menimbulkan
perselisihan ataupun pertentangan. Kata ikhtilaf berarti perbedaan. Maksudnya,
perbedaan dalam penentuan status hukum terhadap perkara tertentu. Berbeda
pendapat itu ada dua macam, pertama beda pendapat yang tidak diperbolehkan,
yakni mengenai semua persoalan yang sudah jelas ketentuannya dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Kedua berbeda pendapat yang diperbolehkan, yakni yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan yang memungkinkan timbulnya penafsiran-
penafsiran yang berbeda atau berasal dari Qiyas.4
Dalam fiqih, perbedaan pendapat adalah suatu kenyataan yang tidak bias
dihindarkan oleh para fuqaha’. Ada banyak sebab – sebab terjadinya perbedaan
pendapat diantaranya adalah berbeda dalam memahami dan mengartikan ayat –
ayat dalam Al-Qur’an maupun istilah ataupun maksud dari suatu Hadist seperti
lafadz Musytarak, makna Haqiqat (sesungguhnya), atau makna Majaz
(kiasan).Selanjutnya karena berbeda tanggapan dalam Hadist, karena sebagian
Hadist tidak sampai kepada semua ulama’ maka sebagian pula menganggap
Hadist tersebut Dha’if. Berbeda tanggapan dalam menanggapi kaidah – kaidah

2
Satria Effendi, Ushul Fiqh Edisi Pertama, (Jakarta; Kencana Prenadamedia Group,
2005), hlm 125
3
Thoha Jabir Fayyadl Al’ulwani, Beda Pendapat; Bagaimana Menurut Islam, (Jakarta:
GemaInsani Press, 1991), hlm 21
4
Syamsul Bahri, dkk., Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Kalimedia, 2016), hlm 37

6
Ushul Fiqih juga kadang menjadi suatu sebab terjadinya perbedaan pendapat
antara para ulama. Lalu adanya perbedaan tentang ta’arudl ( pertentangan antara
dalil ) dan tarjih (menguatkan satu dalil diatas dalil lainnya ), seperti tentang
nasikh Mansukh atau tentang pentak wilan. Terakhir adalah berbeda pendapat
dalam menetapkan dalil yang bersifat ijtihadi, diluar Al-Qur’an dan Sunnah yang
telah ditetapkan bersama sebagai sumber hukum, melainkan pendapat dan
penerapan tentang istihsan, masalihul mursalah, dzari’ah dan lain-lainnya
sehingga mengakibatkan hukum yang dihasilkan berbeda-beda pula.5
Dalam paragraph di atas jelas bahwa perbedaan pendapat para ulama itu
prinsipnya disebabkan karena berbeda dalam cara berijtihad. Berbeda dalam cara
berijtihad mengakibatkan berbeda dalam fiqih sebagi hasil ijtihad. Disamping itu
sering pula terjadi perbedaan pendapat akibat lingkungan dimana ulama tersebut
hidup, seperti Qaul Qadim dan Qaul Jadid dari hasil ijtihad Imam Syafi’i. qaul
Qadim merupakan hasil ijtihad Imam Syafi’I ketika beliau hidup di Baghdad, lalu
Qaul Jadid adalah hasil ijtihad beliau ketika hidup di Mesir. Imam Abu Hanifah
dihadapkan kepada masyarakat yang lebih maju peradabannya di Irak, sehingga
beliau dituntut agar berfikir lebih rasional agar mudah diterima di tempat beliau
hidup. Akibatnya, rasionalitas lebih mewarnai Madzhab Hanafi. Sedangkan Imam
Maliki tinggal di Madinah sehingga beliau dihadapkan kepada masyarakat tempat
Nabi berjuang dan membangun umatnya, maka beliau dituntut untuk lebih
mengikuti dan mempertahankan ‘urf Ahli Madinah. Hal inilah yang menyebabkan
Madzhab Maliki lebih bernuansa Tradisionalis.6

B. Sejarah dan Manfaat dari Ittifaq dan Ikhtilaf


Perbedaan pendapat ini sudah terjadi sejak zaman Nabi, hanya saja pada
zaman Nabi apabila terjadi perdebatan atau perbedaan pendapat di kalangan
sahabat maka keputusan akhir akan disandarkan kepada Nabi sehingga dengan
demikian perbedaan pendapat dapat terselesaikan dan tentunya umat pun akan taat
dan patuh kepada keputusan Nabi. Begitu pula pada zaman sahabat, terutama pada

5
Prof. H.A. Djazuli, IlmuFiqh; Penggalian, Perkembangan, danPenerapanHukum Islam
EdisiRevisi, ( Jakarta: Kencana, 2005), hlm 118
6
Ibid., hlm 119

7
zaman Khulafaur Rasyidin. Masalah-masalah yang berkaitan dengan
kemashlahatan umat selalu di musyawarahkan oleh Khalifah dengan anggota-
anggota majelis permusyawaratan. Maka pada masa itu, pegangan umat adalah
hasil musyawarah ini.7
Perbedaan pendapat dalam masalah lainnya yang tidak langsung berkaitan
dengan kepentingan umat. Perbedaan pendapat para ulama dalam bidah fiqih ini
tidak memberikan pengaruh negative sampai ke zaman Imam-imam Mujtahidin.
Mereka tahu pasti di mana dimungkinkan perbedaan pendapat, dan di mana harus
terjadi kesepakatan. Dengan demikian apabila terjadi perbedaan pendapat pada
masa itu mereka cukup toleran dan menghargai pendapat yang lain, bahkan
diantara mereka sampai melakukan Tabbayun ketika terjadi ketidakcocokan.
Seperti yang dicontohkan yaitu Imam Syafi’i menghargai pendapat Imam Malik
dan Imam Malik pun menghargai pendapat Imam Syafi’i. Namun apabila ada
suatu orang atau kelompok yang terlalu fanatik terhadap satu Madzhab atau
kepada salah satu ulama, maka sering perbedaan pendapat ini mengakibatkan
sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sehingga perbedaan ini menyebabkan
terlampaunya batas-batas yang harus dipegang bersama, merusak persatuan dan
kesatuan umat serta Ukhuwah Islamiyyah yang telah dibina oleh Rasulullah
SAW.8
Prof. H.A. Djazuli dalam bukunya mengutip pernyataan Prof. Hasbi Ash-
Shiddieqy yang menyatakan bahwa, “Apabila kita perhatikan keadaan masyarakat
Islam dewasa ini dan sebabnya mereka bergolongan-golongan ditinjau dari segi
hukum Islam niscaya nyatalah bahwa di antara sebab-sebab itu ialah perbedaan
pegangan, perbedaan anutan, dan perbedaan ikutan. Sehingga untunglah di tanah
air Indonesia ini pengaruh perbedaan anutan dan golongan tidaklah meruncing,
jika dibandingkan dengan keadaan diluar negeri seperti di India, di Persia,
maupun di lain-lain tempat”9. Sebenarnya pengaruh negative dari perbedaan
pendapat ini bias dinetralisir ataupun diantisipasi dengan cara meluaskan
pandangan dan wawasan dalam cara berpikir tentang hukum Islam.

7
Ibid., hlm 120
8
Ibid.
9
Ibid., hlm 121

8
Ikhtilaf sendiri juga memiliki manfaat, jika didasarkan dalam beberapa hal
dan ketentuan-ketentuan. Diantaranya adalah jika niatnya jujur. orang yang
bersangkutan memahami tanggung jawab bersama, bila mengikuti ketentuan ini
maka ikhtilaf bisa digunakan sebagai salah satu dalil dari sekian banyak model
dalil. Ikhtilaf itu juga digunakan untuk mengasah otak dan untuk membuka
cakrawala berfikir, dan memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara
dan bermuamalah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar
mereka. Faidah atau manfaat ini diperoleh apabila dalam berikhtilaf melibatkan
ketentuan dan adab yang terkandung di dalamnya. Namun jika batasan-batasan itu
dilanggar maka sudah pasti akan menimbulkan perdebatan dan perpecahan. Kedua
hal ini akan melahirkan kesulitan dan kejahatan sehingga dapat menganggu
keharmonisan umat. Jika begitu keadaannya maka ikhtilaf akan berubah menjadi
ajang kehancuran.10 Karena agama Islam dan ajarannya harus terpelihara daripada
ancaman-ancaman orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak merusakkan
akidah, ibadah, serta ajaran dari segala sesuatu yang dicampuradukkan dengan
paham atau aliran yang bathil.11

C. Metode-metode Istinbath Hukum Islam


Secara etimologis, kata Istinbath terambil dari kata nabatha-yanbuthu-
nabthan yang berarti “air yang pertama kali muncul pada saat seseorang menggali
sumur” Sedangkan secara terminologi, istinbath berarti mengeluarkan kandungan
hukum dari nash-nash dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.12
Kata istinbath bila dihubungkan dengan hukum berarti upaya menarik hukum dari
Al-Qur’an dan Sunnah dengan jalan Ijtihad. Ayat-ayat Al-Qur’an dalam
menunjukan pengertiannya menggunakan berbagai cara, ada yang tegas dan ada
yang tidak tegas, ada yang melalui arti bahasanya dan ada pula yang melalui
maksud hukumnya. Disamping itu disatu kali terdapat pula perbenturan antara
satu dalil dengan lain yang memerlukan penyelesaian. Secara garis besar, metode

10
Thoha Jabir Fayyadl Al’ulwani, Ibid, hlm 25
11
Ismail Muhammad Syah, dkk., Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: BUMI AKSARA,
1992), hlm 68
12
Sutrisno, Nalar Fiqh Gus Mus, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012), hlm 55

9
istinbath dapat dibagi tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasit ( tujuan ),
syariah, dan segi penyelesaian dari beberapa dalil yang bertentangan.13

1. Metode istinbath dari segi bahasa (Istinbath Bayani)


Para ahli membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantaranya yang
sangat penting dan akan dikemukakan disini. Pertama adalah tentang Ammar,
Nahi dan Takhyir, ringkasnya yaitu :
a) Ammar ( perintah )
Menurut ulama Ushul Fiqh Ammar adalah suatu tuntunan ( perintah )
untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
dari pihak yang lebih rendak kedudukannya
b) Nahi ( larangan )
Menurut ulama Ushul Fiqh, Nahi adalah larangan melakukan suatu
perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak
yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukan atas
hal itu.
c) Takhyir ( Memberi Pilihan )
Menurut ulama Ushul Fiqh, Takhyir adalah Allah dan Rosull-Nya
memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak
melakukan suatu perbuatan. 14

Kedua adalah Lafal – lafal Umum ( ‘Am ) dan Lafal Khusus ( Khas ),
ringkasnya yaitu:

a) Lafal Umum ( ‘Am )


Adalah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan
pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi jumlah tertentu. Dalam lafal
umum dapat terbagi menjadi tiga, yaitu lafal umum yang dikehendaki
keumumannya menunjukkan tertutupnya ada takhsis ( pengkhususan).
Yang kedua, lafal umum pada hal yang dimaksud adalah makna

13
Satria Efendi, Ushul Fiqh Edisi Pertama, ( Jakarta : Kencana Prenada Media Grup,
2005), Hlm 177
14
Ibid., Hlm 178

10
khusus karena ada indikasi yang menunjukan makna seperti itu. Dan
yang terakhir lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukan
bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian
cakupannya.
b) Lafal Khusus ( Khas )
Adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau
beberapa pengertian yang terabatas. Para ulama ushul fiqh sepakat
bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk kepada pengertian yang
khas secara qoth’i ( pasti ) dan hukum yang dikandungnya bersifat
qoth’i selama tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain.15
Selanjutnya lagi masih ada banyak, seperti Mutlaq dan Muqayyad,
Mantuq dan Mafhum, serta lafal dari segi jelas dan tidak jelas.

2. Metode istinbath Ta’lyliy


Metode istinbath ta’liliy adalah metode istinbath yang bertumpu pada ‘illat
disyaritkannya suatu ketentuan hukum. Menurut Muhammad Salam Madkur,
terdapat duan corak metode ta’lyly yaitu Qiyas dan Istihsan.16 Qiyas secara
harfiah berarti mengetahui ukuran sesuatu atau dapat berarti membandingkan dua
hal, maka qiyas dengn demikian memberikan kesan kesamaan atau kemiripan
antara dua hal yang salah satunya dipakai sebagai kriteria untuk mengukur yang
lain. Secara teknis, qiyas sebenarnya merupakan perluasan nilai syari’ah yang
terdapat dalam kasus asal kepada kasus baru. Pemakaian qiyas hanya dibenarkan
bila jalan keluar suatu kasus tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Hadits, atau Ijma’.
Para ulama yang menggunakan qiyas menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan
syariah mengikuti tujuan-tujuan tertentu yang sejalan dengan akal.17
Dalam metode ta’lyly ada juga Istihsan yang secar harfiah berarti
memandang baik sesuatu, sedangkan menurut istilah adalah berpalingnya seorang
Mujtahid dari tuntutan qiyas jail kepada qiyas khufi. Contoh jenis istishan adalah

15
Satria Efendi, Ushul Fiqh Edisi Pertama, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2005), Hlm 205
16
Sutrisno, Nalar Hukum Gus Mus, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012), hlm 96
17
Ibid., hlm 97

11
Akad Salam atau biasa kita menyebutnya pesanan. Sebagaimana diketahui bahwa
dalam syar’i melarang akad terhadap benda yang tidak ada wujudnya, tetapi syar’I
memberikan keringanan kepada akad salam untuk memenuhi hajat manusia.18
3. Metode Istinbath Istilahi
Metode istinbath istilahi adalah pola istinbath yang dilakukan dengan
menerapkan kaidah-kaidah umum karena tidak adanya dalil-dalil khusus
mengenai suatu masalah atau persoalan baik dari Al-Qur’an atau Hadist dengan
mendasarkan kaidah-kaidah istishlah atau mashlahah mursalah. Mashlahah
secara harfiah berarti keadaan yang baik dan bermanfaat, sedangkan mursalah
berarti netral. Mashlahah mursalah di definisikan oleh para ulama sebagai
mashlahah yang tidak ditetapkan dalam nash secara khusus menyatakan
penerimaan atau penolakan. Definisi pembagian mashlahah ini dibagi menjadi
tiga, yaitu mashlahah mu’tabaroh, maslahah mulghah, dan mashlahah
mursalah.19
Perwujudan mashlahah secara umum adalah tujuan hukum islam. Akan
tetapi tidak semua kategori mashlahah merupakan tujuan hukum sehingga
karenanya tidak semua mashlahah diatas dapat dijadikan sebagai dasar dalam
penetapan hukum. Agar sebuah mashlahah tidak menjadi pintu dari penetapan
hukum menurut hawa nafsu, maka harus ada persyaratan yang terukur dan dapat
dijadikan dasar penetapan hukum. Pertama adalah mashlahah harus bersifat
haqiqi, bukan dugaan saja. Kedua adalah ia harus mashlahah yang bersifat umum
dan bukan mashlahah yang bersifat pribadi. Terakhir adalah bahwa kemashlahatan
tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh nash
atau ijma’.20

18
Sutrisno, Ibid., hlm 102
19
Ibid.
20
Ibid., hlm 103

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Terjadinya perbedaan pendapat ataupun kesepakatan dalam hasil ijtihad
adalah sebuah kodrat yang tidak bisa terhindarkan. Perbedaan ataupun
kesepakatan tersebut tidak dapat terhindarkan apalagi masing-masing Mujtahid
memiliki keahlian ataupun tempat tinggal di daerah yang berbeda-beda. Maka
perbedaan maupun kesepakatan ini harus kita sikapi dengan bijak agar kita semua
bisa mengambil hikmah dan manfaat dari hal tersebut. Jangan sampai terjadi
perselisihan bahkan permusuhan karena adanya hal-hal tersebut.
Adanya perbedaan maupun kesepakatan dalam hasil ijtihad juga tidak
terlepas dari adanya metode-metode istinbath hukum yang beragam. Maka
daripada itu, terdapat beberapa pembagian dalam metode istinbath hukum yaitu
istinbath bayani, istinbath ta’lyly, dan istinbath istilahi. Walapun ada juga yang
membaginya menjadi istinbath menurut segi bahasa (bayani), istinbath menurut
segi tujuan (maqasid syari’ah), dan segi penyelesaian beberapa dalil yang
bertentangan. Akan tetapi, kedua pendapat ini bukanlah suatu pendapat yang
bertentangan, tetapi hanya perbedaan dalam sudut pandang ketika membaginya.

B. Saran
Berangkat dari hal tersebut di atas, maka penulis berharap jangan sampai
ada perselisihan bahkan sampai bermusuh-musuhan hanya karena perbedaan
dalam istinbath hukum islam maupun hasil dari istinbath hukum islam itu sendiri.
Maka baiknya kita jangan sampai terlalu fanatik terhadap salah satu Mujtahid,
golongan, maupun Madzhab. Karena sesungguhnya perbedaan itu harus kita
syukuri dan kita sikapi dengan bijak dan penuh rasa hormat.

13
Daftar Pustaka

Satria Effendi, Ushul Fiqh Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana Prenadamedia


Group, 2005)
Thoha Jabir Fayyadl Al’ulwani, Beda Pendapat; Bagaimana Menurut Islam,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1991)
Syamsul Bahri, dkk., Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta: Kalimedia, 2016)
Prof. H.A. Djazuli, IlmuFiqh; Penggalian, Perkembangan, danPenerapanHukum
Islam EdisiRevisi, (Jakarta: Kencana, 2005)
Ismail Muhammad Syah, dkk., Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: BUMI AKSARA,
1992)
Sutrisno, Nalar Hukum Gus Mus, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2012)
www.almunawwar.or.id

14

Anda mungkin juga menyukai