Di susun oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
berkat limpahan karunianya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah kami
yang berjudul “Ijma’ dan Qiyas”.
Selain itu, kami pun mengucapkan terimakasih kepada para penulis yang
penulisannya kami kutip sebagai bahan rujukan. Tak lupa juga kami ucapkan
maaf yang sebesar - besarnya, jika ada kata dan pembahasan yang keliru dari
kami.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I PENDAHULUAN
1
BAB II PEMBAHASAN
3
iii
2.7 Rukun Qiyas Dan Syaratnya
7
2.8 Macam - Macam Qiyas
8
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
3) Al - Hajib berkata bahwa ijma' itu hujjah tanpa menanggapi pendapat
nizam, khawarij dan syi'ah
4) Ar - Rahawi berpendapat bahwa ijma' itu pada dasarnya adalah hujjah
5) Dalam kitab Qawaidul Ushul dan Ma'aqidul Ushul dikatakan bahwa ijma'
itu hujjah pada setiap masa. Namun pendapat ini ditentang oleh daud yang
mengatakan bahwa ijma' itu terjadi pada masa sahabat.
6) Bagi mayoritas ulama kedudukan ijma’ termasuk dalil yang argumentatif
dalam syariat sesudah Al - quran dan Sunah. Ini berarti ijma dapat
menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam.
7) Al - Syaukani dalam kitab Irsyadul Fuhul telah menjelaskan, secara
definitif bahwa ijma adalah kesepakatan ulama mujtahid secara umum.
Jumlah mujtahid itu tidak terbatas dan tempatnya terpencar, serta saling
berjauhan. Sehingga ada yang berpendapat bahwa ijma mustahil terlaksana
kecuali pada masa sahabat.
4
B. Syarat - Syarat Ijma'
Adapun syarat - syarat ijma’ adalah:
1. Ijma Sharih
Yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa
mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas, baik
melalui ucapan, tulisan atau perbuatan. Dan ternyata seluruh pendapat
menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut. Ijma’ ini juga
disebut dengan ijma’ qauli.
2. Ijma Sukuti
5
Pengaruh Ijma’ sukuti terhadap hukum bersifat dzanni atau
merupakan dugaan kuat terhadap kebenaran. Karena itu tidak terhalang
bagi mujtahid lain di kemudian hari untuk mengemukakan pendapat
berbeda sesudah ijma itu berlangsung.
6
qiyas juga merujuk pada surat An Nisa ayat 59, yaitu perintah untuk
kembali kepada Allah dan Rasul.
"Wahai orang - orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara
kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al - Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa: 59).
Dalam tafsir Mafatih Al - Ghaib, Al - Fahru ar - Razi menafsirkan
bahwa maksud dari mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul
dalam ayat tersebut adalah perintah untuk menggunakan qiyas.
Pendapat ini diperkuat dengan penggunaan Quran dan Sunnah
Rasulullah SAW dalam qiyas, meskipun tidak disebutkan secara
eksplisit dalam istilah qiyas.
B. Kehujjahan Qiyas
7
ada satu nash pun dalam al - Qur’an yang menyatakan wajib
Kelompok ulama Zahiriyah dan Syi’ah Imamiyah mereka sama
sekali tidak menggunakan Qiyas sebagai landasan hukum.
3. Pendapat Syi’ah Imamiyah dan Al - Nazhzham dari mu’tazilah,
berpendapat bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum
dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkannya
adalah sesuatu yang bersifat mustahil.
4. Kelompok yang menggunakan qiys secara luas dan mudah.
Rukun qiyas adalah hal - hal yang harus di penuhi agar qiyas dapat
mengeluarkan hukum. Rukun - rukun tersebut terdapat empat,
sebagaimana penjelasan berikut ini:
1. Ashl
Ashl adalah permasalahan yang sudah ada hukum melalui Al -
Quran, hadis atau ijma’. Hal inilah yang di jadikan tempat
mengqiyaskan hukum.
2. Hukum ashl
Hukum ashl adalah hukum yang di miliki oleh ashl yang
penetapannya tidak melalui qiyas, tetapi penetapannya melalui
Al - Quran, hadis atau ijma’.
3. Far’
Far adalah permasalahan - permasalahan yang belum ada
hukumnya.
4. Illat
Illat adalah sesuatu yang menjadi alasan wujudnya hukum
dalam ashl serta dapat menetapkan hukum pada far’.
B. Syarat - Syarat Qiyas
8
1. Syarat far’ harus memiliki kesamaan illat dengan ashal. Dalam
teori mafhum, illat yang terdapat dalam far’ di haruskan minimal
sama ukurannya (lahnal khitob), atau dapat juga illatnya lebih
tinggi (fakhwal khithab).
2. Syaratnya ashl adalah ashl di tetapkan dengan dalil yang di sepakati
jika terjadi perselisihan (khilaf). Jika tidak terjadi khilaf maka
syaratnya penetapan hukumnya dengan dalil yang kemukakan oleh
yang mengqiyaskan.
Syarat dari illat ini adalah
1). Wujudnya illat menjadi faktor wujudnya hukum, misalnya illat
khamr yang memabukkan menjadi sebab hukum
keharaman khamr; 2). Tidak terjadi pertentangan
antar far’ dan ashl dalam sifat dan maknanya. Jika terjadi
kontradiksi dalam lafadh atau makna-nya maka tidak dapat di
berlakukan qiyas. Pertentangan dalam lafadhnya maksudnya adalah
sifat-sifat antara far’ dan ashl sama, tetapi hukumnya tidak berlaku.
Misalnya orang membunuh anaknya, hal ini tidak dapat di qiyaskan
dengan pembunuhan penganiayaan yang di sengaja (qatlu ‘amdin
‘udwanan). Kerena keduanya meskipun memiliki sifat yang sama
yaitu membunuh, tetapi di dalam pembunuhan orang tua terhadap
anaknya tidak memiliki tujuan penganiayaan, bisa saja
membunuhnya karena faktor yang lain seperti takut kelaparan, anak
nakal dan lain secamnya. Oleh karena itu membu nuhnya orang tua
terhadap anaknya tidak dapat di qiyaskan kepada qatlu ‘adin
‘udwanan (pembunuhan penganiayaan yang di sengaja).
9
1. Qiyas Aula
Qiyas Aula adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u (cabang) mempunyai hukum yang lebih utama dari ‘illat yang
terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata lain, mulhaq (yang
disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat hukum yang lebih
utama daripada mulhaq bih (pembanding atau yang dibandingi).
Contohnya adalah menqiyaskan hukum haram memukul kedua
orang tua dengan hukum haram mengatakan “Ah” dalam QS.
Al-Israa/17:23. Tidak hanya mengqiyaskan atau menanalogikan, tetapi
juga Qiyas Aula memberi hukum yang lebih berat dibanding hukum
asalnya.
2. Qiyas Musawi
Qiyas Musawi adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u (cabang) mempunyai bobot hukum yang sama dengan ‘illat
yang terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata lain, mulhaq (yang
disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat hukum yang lebih
utama dari pada mulhaq bih (pembanding atau yang dibandingi).
Contohnya adalah menqiyaskan hukum haram merusak, membakar,
menghancurkan atau perbuatan apapun yang dapat merusak harta anak
yatim dengan “memakan harta anak yatim”, sebagaimana secara harfiah
disebutkan dalam QS al - Nisa/4: 2. ‘Illat hukum keharaman merusak
harta anak yatim tersebut sama bobotnya dengan memakan harta anak
yatim.
3. Qiyas Al-Adwan
Qiyas Al_Adwan adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u (cabang) mempunyai bobot hukum yang lebih rendah
daripada ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata
lain, mulhaq (yang disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat
hukum yang lebih rendah daripada mulhaq bih (pembanding atau yang
dibandingi).
10
Contohnya adalah menqiyaskan hukum bunga bank dengan riba
4. Qiyas Dilalah
Qiyas Dilalah adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u (cabang) mempunyai hukum yang tidak menuntut adanya
kewajiban, tidak seperti ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Atau
dengan kata lain, mulhaq (yang disamakan atau yang dibandingkan)
tersebut memuat hukum tetapi tidak menuntut adanya kewajiban (tidak
mewajibkan adanya hukum).
Contohnya adalah pandangan Abu Hanifahtentang kewajiban zakat
terhadap harta yang berkembang bagi anak kecil dan
orang baligh (dewasa). Abu Hanifah mengqiyaskan harta anak kecil
dengan harta orang yang sudah baligh (dewasa) sebagaimana Qiyas
terhadap ibadah haji. Sebagaimana anak kecil tidak wajib untuk
melaksanakan ibadah haji, maka tidak wajib zakat terhadap harta anak
kecil
5. Qiyas Syibhi
Qiyas Syibhi adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u (cabang) dapat diqiyaskan kepada dua hukum ashal (pokok).
Atau dengan kata lain, mulhaq (yang disamakan atau yang
dibandingkan) tersebut dapat diqiyaskan kepada dua mulhaq
bih (pembanding atau yang dibandingi).
BAB III
PENUTUP
11
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
12
Abu Zhahrah, Muhammad, Ushul Fiqih (Beirut: Dar al – Fikr, 1958)
Habib Ash Shiddeqy, Pokok - Pokok Pegangan Imam Madzhab, Edisi II,
Semarang: Pustaka Firdaus, 1997)
Fathurahman Djamil, Filsafat hukum islam, cet. Ke- 1, Jakarta, logos wacana
ilmu, 1997)
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Terj el - Muttaqin, Jakarta: Pustaka
Amani, 2003.
Kamal Muhtar, dkk, Ushul Fiqih, Jilid 2, Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti
Wakaf 1995.
Prof. Dr, H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana,
Cet. 1, 1997
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj, Mujib Rahmah et.al, Ushul
Fiqih, Jakarta: Firdaus, 2005.
Rifa’I, Moh. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha
Putra Semarang “Qiyas” 2014.
13