Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

"IJMA’ DAN QIYAS”

Dosen Pengampu: Abd. Ghafur, M.E.I

Di susun oleh:

Muhammad Ainun Najib


Siti Juhairiyah
Nuva Artika Sari

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN GENGGONG
KRAKSAAN PROBOLINGGO

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
berkat limpahan karunianya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah kami
yang berjudul “Ijma’ dan Qiyas”.

Selain itu, kami pun mengucapkan terimakasih kepada para penulis yang
penulisannya kami kutip sebagai bahan rujukan. Tak lupa juga kami ucapkan
maaf yang sebesar - besarnya, jika ada kata dan pembahasan yang keliru dari
kami.

Kami berharap kritik dan saran yang membangun, demi kesempurnaan


materi yang dibahas dalam makalah ini.

Semoga dengan makalah yang kami buat ini dapat menambah


pengetahuan dan pemahaman kita semua tentang “Ijma’ dan Qiyas”.

Kami sadar dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan.


Akan tetapi kami yakin makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I PENDAHULUAN
1

1.1 Latar Belakang


1
1.2 Rumusan Masalah
1
1.3 Tujuan Penulisan
2

BAB II PEMBAHASAN
3

2.1 Pengertian Ijma’


3
2.2 Definisi Ijma’ Dan Kehujjahannya
3
2.3 Rukun Dan Syarat Ijma’
4
2.4 Macam - Macam Ijma’
4
2.5 Pengertian Qiyas
5
2.6 Definisi Qiyas Dan Kehujjahannya
6

iii
2.7 Rukun Qiyas Dan Syaratnya
7
2.8 Macam - Macam Qiyas
8

BAB III PENUTUP


12
3.1 Kesimpulan
12
DAFTAR PUSTAKA
13

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam berkembang pesat di indonesia dengan waktu yang lumayan singkat,
umlah penduduk islam merupakan yang terbesar di dunia. Keberhasilan
penyebaran islam di indonesia tidak lepas dari perjuangan dan jerih payah
ulama terdahulu.
Dengan seiring berjalannya waktu para ulama menetapkan sumber - sumber
hukum yang menjadi objek dalam melakukan praktik istinbath.
Ulama sepakat bahwasumber hukum yang pertama adalah Al - Qura’an,
turunnya Al - Qur’an sebagai wahyu yang menjadi pedoman seluruh manusia
sebagai bekal keselamatan dan kebahagiaan hidup.
Sumber hukum yang kedua adalah Sunnah. Perkataan dan perbuatan Nabi
Muhammad SAW, seorang yang ma’shim (dijaga dari dosa), tidak luput dari
target penggalian hukum. Yang ketiga adalah Al - Ijma’, yaitu kesepakatan
para ulama terhadap suatu hukum dalam menghadapi suatu peristiwa. Dan
yang terakhir yaitu Al - Qiyas, yaitu sebagai penalaran hukum secara personal.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari ijma’?


2. Apa saja definisi ijma’ dan kehujjahannya?
3. Apa saja rukun dan syarat ijma’?
4. Apa saja macam - macam ijma’?
5. Apa pengertian dari qiyas?
6. Apa saja definisi qiyas dan kehujjahannya?
7. Apa saja rukun dan syarat qiyas?
8. Apa saja macam - macam qiyas?

1
1.3 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui tentang sumber hukum ijma’ dan qiyas, serta


mengemukakan tentang definisi serta rukun maupun syarat yang termasuk
dalam ijma’ dan qiyas.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ijma’


Ijma' menurut istilah ushul fiqih adalah kesepakatan seluruh mujtahid
dikalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat atas
hukum syara' mengenai suatu kejadian. Kriteria mujtahid adalah orang yang
beragama Islam, baligh, berakal sehat, mempunyai akhlak yang baik. Ia juga
menguasai ilmu bahasa Arab beserta tata bahasanya secara baik, memahami
ayat - ayat Alquran dan hadits - hadits, serta mampu melakukan istinbath
hukum dari Alquran dan Sunnah. Apabila terjadi sesuatu kejadian yang
dihadapkan kepada semua mujtahid dari umat islam pada waktu kejadian itu
terjadi dan mereka sepakat atas hukum yang mengenainya, maka kesepakatan
mereka itu yang disebut dengan Ijma'.
Al - Syaukani dalam kitab Irsyadul fuhul telah menjelaskan, secara definitif
bahwa ijma adalah kesepakatan ulama mujtahid secara umum. Jumlah
mujtahid itu tidak terbatas dan tempatnya terpencar, serta saling berjauhan.
Sehingga ada yang berpendapat bahwa ijma mustahil terlaksana kecuali pada
masa sahabat.
2.2 Definisi Ijma’ dan Kehujjahannya
    Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan kehujjan ijma', misalnya
apakah ijma' itu syar'i? Apakah ijma' itu merupakan landasan ushul fiqhi atau
bukan? Bolehkah kita nafikan atau mengingkari ijma’?
Maka para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:

1) Al - Badawi berpendapat bahwa, orang-orang hawa tidak menjadikan ijma


itu sebagai hujjah secara mutlak
2) Menurut Al - Hamidi, bahwa para ulama sepakat mengenai ijma' itu bukan
sebagai hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan
dengan syari'ah khawarij dan Nizam dari golongan Mu'tazilah

3
3) Al - Hajib berkata bahwa ijma' itu hujjah tanpa menanggapi pendapat
nizam, khawarij dan syi'ah
4) Ar - Rahawi berpendapat bahwa ijma' itu pada dasarnya adalah hujjah
5) Dalam kitab Qawaidul Ushul dan Ma'aqidul Ushul dikatakan bahwa ijma'
itu hujjah pada setiap masa. Namun pendapat ini ditentang oleh daud yang
mengatakan bahwa ijma' itu terjadi pada masa sahabat.
6) Bagi mayoritas ulama kedudukan ijma’ termasuk dalil yang argumentatif
dalam syariat sesudah Al - quran dan Sunah. Ini berarti ijma dapat
menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam.
7) Al - Syaukani dalam kitab Irsyadul Fuhul telah menjelaskan, secara
definitif bahwa ijma adalah kesepakatan ulama mujtahid secara umum.
Jumlah mujtahid itu tidak terbatas dan tempatnya terpencar, serta saling
berjauhan. Sehingga ada yang berpendapat bahwa ijma mustahil terlaksana
kecuali pada masa sahabat.

2.3 Rukun dan Syarat Ijma’


A. Rukun Ijma’
Menurut Az Zuhaili (1986: 537) dalam Ushul Fiqih Islami, ijma baru
dianggap sah jika memenuhi rukun - rukunnya, yaitu:

1. Mujtahid berjumlah lebih dari satu orang.

2. Kesepakatan ulama atas suatu hukum itu dapat direalisasikan.

3. Adanya kesepakatan semua mujtahid atas suatu hukum syar'i tanpa


memandang negeri, kebangsaan, atau kelompoknya. Artinya jika
terdapat kesepakatan ulama Mekkah saja, Irak saja, atau yang
lainnya, itu tidak bisa disebut ijma.

4. Kesepakatan tersebut diawali setelah masing-masing mujtahid


mengemukakan pendapatnya secara jelas dan transparan.

5. Sandaran hukum ijma adalah Alquran dan hadits Rasulullah SAW

4
B. Syarat - Syarat Ijma'
Adapun syarat - syarat ijma’ adalah:

1. Yang bersepakat adalah para mujtahid


2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
3. Ijma' dilakukan setelah wafatnya Rasulullah saw.,
4. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari'at

2.4 Macam - Macam Ijma’

Adapun berdasarkan kekuatan kehujjahan Ijma sebagai hukum Islam yang


disepakati, ijma’ terbagi menjadi dua, di antaranya:

1. Ijma Sharih
Yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa
mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas, baik
melalui ucapan, tulisan atau perbuatan. Dan ternyata seluruh pendapat
menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut. Ijma’ ini juga
disebut dengan ijma’ qauli.

Ijma sharih sangat jarang terjadi, sebagian ulama mengatakan bahwa


itu hanya terjadi di masa sahabat karena waktu itu jumlah mujtahid
masih terbatas dan domisili mereka relatif berdekatan. Hukum yang
dihasilkan melalui ijma sharih bersifat qath’i sehingga mempunyai
kekuatan yang mengikat dan tidak boleh seorang pun pada masa itu
untuk menyanggahnya.

2. Ijma Sukuti

Yaitu, kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih


lebih mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah dalam
masa tertentu kemudian pendapat itu tersebar dan diketahui oleh orang
banyak. Namun ternyata tidak seorang pun di antara mujtahid yang lain
mengemukakan pendapat yang berbeda.

5
Pengaruh Ijma’ sukuti terhadap hukum bersifat dzanni atau
merupakan dugaan kuat terhadap kebenaran. Karena itu tidak terhalang
bagi mujtahid lain di kemudian hari untuk mengemukakan pendapat
berbeda sesudah ijma itu berlangsung.

2.5 Pengertian Qiyas


 
Qiyas adalah satu dari empat sumber hukum Islam yang disepakati para
ulama. Dalam hal ini, qiyas menempati posisi keempat, setelah Al - Quran,
hadits, dan ijma.
Secara bahasa, kata qiyas (‫ )قياس‬berasal dari akar kata qaasa - yaqishu-
qiyaasan (‫اس‬HH‫ا يقيس ق‬HH‫ )قياس‬yang artinya pengukuran. Para ulama ushul fiqih
mendefinisikan qiyas dalam redaksi yang beragam namun memiliki makna
yang sama.
Menurut istilah qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak memiliki
nash hukum dengan sesuatu yang ada nash hukum berdasarkan kesamaan illat
atau kemaslahatan yang diperhatikan syara. Qiyas juga dapat diartikan sebagai
kegiatan melakukan padanan suatu hukum terhadap hukum lain
Al Ghazali dalam al - Mustashfa mengartikan qiyas adalah menanggungkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang lain dalam menetapkan hukum
atau meniadakan hukum dari keduanya. Penetapan atau peniadaan ini
dilakukan karena adanya kesamaan di antara keduanya.
Imam Syafi'i menyebut kedudukan qiyas lebih lemah daripada ijma.
Sehingga, qiyas menduduki tempat terakhir dalam kerangka sumber hukum
Islam. Dalam kitab Ar - Risalah karangannya, Imam Syafi'i mengatakan
bahwa antara qiyas dan ijtihad adalah dua kata yang bermakna satu.
2.6 Definisi Qiyas Dan Kehujjahannya
A. Definisi Qiyas
Mayoritas ulama melakukan Qiyas atas dasar perintah untuk
mengambil pelajaran atau berijtihad. Menurut jumhur ulama, qiyas
termasuk mengambil pelajaran dari suatu peristiwa. Dikutip dari buku
Qiyas: Sumber Hukum Syariah Keempat oleh Ahmad Sarwat, dasar

6
qiyas juga merujuk pada surat An Nisa ayat 59, yaitu perintah untuk
kembali kepada Allah dan Rasul.
 "Wahai orang - orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara
kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al - Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa: 59).
Dalam tafsir Mafatih Al - Ghaib, Al - Fahru ar - Razi menafsirkan
bahwa maksud dari mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul
dalam ayat tersebut adalah perintah untuk menggunakan qiyas.
Pendapat ini diperkuat dengan penggunaan Quran dan Sunnah
Rasulullah SAW dalam qiyas, meskipun tidak disebutkan secara
eksplisit dalam istilah qiyas.
B. Kehujjahan Qiyas

Kedudukannya sebagai sumber hukum mendapat tanggapan yang


beragam dikalangan ulama ushul fiqh. Pada dasarnya, ulama ushul fiqh
sepakat akan kebolehan penggunaan dan kehujahan qiyas dalam
masalah duniawi, seperti penalaran qiyas dalam hal obat - obatan dan
makanan. Ulama ushul fiqh juga sepakat atas kehujahan qiyas yang
dilakukan Rasulullah semasa hidupnya. Adapun perbedaan mereka
adalah dalam hal penggunaan qiyas terhadap hukum syari’at yang tidak
ada nashnya secara jelas. Secara lebih terperinci, ulama ushul fiqh
terpetakan menjadi lima golongan dalam menyikapi qiyas sebagai
metode penetapan hukum.

1. Pendapat jumhur ulama ushul fiqh, mengatakan bahwa qiyas bisa


dijadikan sebagai metode atau sarana mengistinbatkan hukum
syara’.
2. Pendapat ulama Zhahiriyyah, termasuk Imam al-Syawkani,
bahwa secara logika, qiyas memang diperbolehkan, tetapi tidak

7
ada satu nash pun dalam al - Qur’an yang menyatakan wajib
Kelompok ulama Zahiriyah dan Syi’ah Imamiyah mereka sama
sekali tidak menggunakan Qiyas sebagai landasan hukum.
3. Pendapat Syi’ah Imamiyah dan Al - Nazhzham dari mu’tazilah,
berpendapat bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum
dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkannya
adalah sesuatu yang bersifat mustahil.
4. Kelompok yang menggunakan qiys secara luas dan mudah.  

2.7 Rukun Qiyas Dan Syaratnya


A. Rukun Qiyas

Rukun qiyas adalah hal - hal yang harus di penuhi agar qiyas dapat
mengeluarkan hukum. Rukun - rukun tersebut terdapat empat,
sebagaimana penjelasan berikut ini:
1. Ashl
Ashl adalah permasalahan yang sudah ada hukum melalui Al -
Quran, hadis atau ijma’. Hal inilah yang di jadikan tempat
mengqiyaskan hukum.
2. Hukum ashl
Hukum ashl adalah hukum yang di miliki oleh ashl yang
penetapannya tidak melalui qiyas, tetapi penetapannya melalui
Al - Quran, hadis atau ijma’.

3. Far’
Far adalah permasalahan - permasalahan yang belum ada
hukumnya.
4. Illat
Illat adalah sesuatu yang menjadi alasan wujudnya hukum
dalam ashl serta dapat menetapkan hukum pada far’.

B. Syarat - Syarat Qiyas

8
1. Syarat far’ harus memiliki kesamaan illat dengan ashal. Dalam
teori mafhum, illat yang terdapat dalam far’ di haruskan minimal
sama ukurannya (lahnal khitob), atau dapat juga illatnya lebih
tinggi (fakhwal khithab).
2. Syaratnya ashl adalah ashl di tetapkan dengan dalil yang di sepakati
jika terjadi perselisihan (khilaf).  Jika tidak terjadi khilaf maka
syaratnya penetapan hukumnya dengan dalil yang kemukakan oleh
yang mengqiyaskan.
Syarat dari illat ini adalah
1). Wujudnya illat menjadi faktor wujudnya hukum, misalnya illat
khamr  yang memabukkan menjadi sebab hukum
keharaman khamr; 2). Tidak terjadi pertentangan
antar far’ dan ashl  dalam sifat dan maknanya. Jika terjadi
kontradiksi dalam lafadh  atau makna-nya maka tidak dapat di
berlakukan qiyas. Pertentangan dalam lafadhnya maksudnya adalah
sifat-sifat antara far’ dan ashl sama, tetapi hukumnya tidak berlaku.
Misalnya orang membunuh anaknya, hal ini tidak dapat di qiyaskan
dengan pembunuhan penganiayaan yang di sengaja (qatlu ‘amdin
‘udwanan). Kerena keduanya meskipun memiliki sifat yang sama
yaitu membunuh, tetapi di dalam pembunuhan orang tua terhadap
anaknya tidak memiliki tujuan penganiayaan, bisa saja
membunuhnya karena faktor yang lain seperti takut kelaparan, anak
nakal dan lain secamnya. Oleh karena itu membu nuhnya orang tua
terhadap anaknya tidak dapat di qiyaskan kepada qatlu ‘adin
‘udwanan (pembunuhan penganiayaan yang di sengaja).

3. Syarat dari hukumnya yaitu sama dengan illat, artinya


jika illat wujud maka hukumnya pun harus wujud, tetap
jika illatnya tidak berlaku maka hukumnya pun tidak berlaku.

2.8 Macam - Macam Qiyas

9
1. Qiyas Aula
Qiyas Aula adalah Qiyas dimana illat  yang terdapat
pada far’u  (cabang) mempunyai hukum yang lebih utama dari ‘illat yang
terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata lain, mulhaq (yang
disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat hukum yang lebih
utama daripada mulhaq bih (pembanding atau yang dibandingi).
Contohnya adalah menqiyaskan hukum haram memukul kedua
orang tua dengan hukum haram mengatakan “Ah” dalam QS.
Al-Israa/17:23. Tidak hanya mengqiyaskan atau menanalogikan, tetapi
juga Qiyas Aula memberi hukum yang lebih berat dibanding hukum
asalnya.

2. Qiyas Musawi 
Qiyas Musawi  adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u  (cabang) mempunyai bobot hukum yang sama dengan ‘illat
yang terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata lain, mulhaq  (yang
disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat hukum yang lebih
utama dari pada mulhaq bih  (pembanding atau yang dibandingi).
Contohnya adalah menqiyaskan hukum haram merusak, membakar,
menghancurkan atau perbuatan apapun yang dapat merusak harta anak
yatim dengan “memakan harta anak yatim”, sebagaimana secara harfiah
disebutkan dalam QS al - Nisa/4: 2. ‘Illat hukum keharaman merusak
harta anak yatim tersebut sama bobotnya dengan memakan harta anak
yatim.

3. Qiyas Al-Adwan
Qiyas Al_Adwan  adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u  (cabang) mempunyai bobot hukum yang lebih rendah
daripada ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Atau dengan kata
lain, mulhaq (yang disamakan atau yang dibandingkan) tersebut memuat
hukum yang lebih rendah daripada mulhaq bih (pembanding atau yang
dibandingi).

10
Contohnya adalah menqiyaskan hukum bunga bank dengan riba

4. Qiyas Dilalah
Qiyas Dilalah  adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u (cabang) mempunyai hukum yang tidak menuntut adanya
kewajiban, tidak seperti ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Atau
dengan kata lain, mulhaq (yang disamakan atau yang dibandingkan)
tersebut memuat hukum tetapi tidak menuntut adanya kewajiban (tidak
mewajibkan adanya hukum).
Contohnya adalah pandangan Abu Hanifahtentang kewajiban zakat
terhadap harta yang berkembang bagi anak kecil dan
orang baligh (dewasa). Abu Hanifah mengqiyaskan harta anak kecil
dengan harta orang yang sudah baligh  (dewasa) sebagaimana Qiyas
terhadap ibadah haji. Sebagaimana anak kecil tidak wajib untuk
melaksanakan ibadah haji, maka tidak wajib zakat terhadap harta anak
kecil
5. Qiyas Syibhi
Qiyas Syibhi  adalah Qiyas dimana illat yang terdapat
pada far’u (cabang) dapat diqiyaskan kepada dua hukum ashal (pokok).
Atau dengan kata lain, mulhaq (yang disamakan atau yang
dibandingkan) tersebut dapat diqiyaskan kepada dua mulhaq
bih (pembanding atau yang dibandingi).

BAB III

PENUTUP

11
3.1 Kesimpulan

Ijma’adalah kesepakatan mujtahid secara umum, mengenai suatu kejadian


yang disepakati.
Qiyas adalah mempersamakan suatu hukum atau satu peristiwa yang tidak
ada nashnya dengan suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran ada
persamaan ‘illaat hukumnya dari kedua peristiwa tersebut.
Qiyas sebagai Metodologi, ialah cara menetapkan hukum itu harus
berdasarkan rukun dan syarat qiyas, kalau tidak ada maka tidak bisa diambil
hukumnya
Qiyas pada dasarnya merupakan penerapan hukum yang terdapat
dalam ashal kepada far’un (cabang), yang belum terdapat di dalamnya sesuatu
hukum, qiyas dapat di laksanakan apabila di dalam ashal dan far’un itu
terdapat kesamaan ‘illat.

DAFTAR PUSTAKA

12
Abu Zhahrah, Muhammad, Ushul Fiqih (Beirut: Dar al – Fikr, 1958)

Amir Mu’allim dan Yusdani, Kofigurasi Pemikiran Hukum Islam,

(cet. Ke-1, Yogyakarta: 1999)

Habib Ash Shiddeqy, Pokok - Pokok Pegangan Imam Madzhab, Edisi II,
Semarang: Pustaka Firdaus, 1997)

Fathurahman Djamil, Filsafat hukum islam, cet. Ke- 1, Jakarta, logos wacana
ilmu, 1997)

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Terj el - Muttaqin, Jakarta: Pustaka
Amani, 2003.

Arif Farchan, Agus Maemun, Studi Tokoh: Metodologi Penelitian Mengenai


Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Semarang: Asy - Syifa, t. th

Kamal Muhtar, dkk, Ushul Fiqih, Jilid 2, Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti
Wakaf 1995.

Prof. Dr, H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana,
Cet. 1, 1997

Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj, Mujib Rahmah et.al, Ushul
Fiqih, Jakarta: Firdaus, 2005.

Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah, 2010

Effendi, Satria, M. Zein. Ushul Fiqih, Cet, 1: Jakarta: Kencana, 2005

Rifa’I, Moh. 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: PT Karya Toha
Putra Semarang “Qiyas” 2014.

Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqih. Jakarta, Kencana.

Syafe’I, Rachmat, 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

13

Anda mungkin juga menyukai