Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Pengampu : Bapak Dr. M Takhim,SE.,M.Si

Disusun Oleh:

Kelompok 5 ( Ijma’)

1. Dika Kusumajaya (20101011168)

2. Ivan maulana (20101011178)

3. Rifka Fadilla (20101011161)

4. Sephia Dwi Rose (20101011015)

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas karunia-Nya berupa
nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah Pendidikan Agama
Islam. Tidak lupa shawalat serta salam tercurahkan bagi Junjungan Agung Rasulullah SAW yang
syafa’atnya akan kita nantikan kelak.

Penulisan makalah berjudul “Ijma” dapat diselesaikan karena bantuan banyak pihak.
Kami berharap makalah tentang Ijma’ dapat menjadi referensi bagi pihak yang telah membaca
maupun kami sebagai penulis. Selain itu, kami juga berharap agar pembaca mendapatkan sudut
pandang baru setelah membaca makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih memerlukan penyempurnaan, terutama pada bagian
isi. Kami menerima segala bentuk kritik dan saran pembaca demi penyempurnaan makalah.
Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami memohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah yang kami buat
dapat bermanfaat.

Semarang, 21 Oktober 2020

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul

Kata Pengantar…................................................................................................................... 2

Daftar Isi…............................................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang…....................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah…................................................................................................. 4
C. Tujuan…................................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’….................................................................................................... 5
B. Syarat-syarat Ijma’…................................................................................................ 5
C. Macam-macam Ijma’…............................................................................................ 8
D. Kehujjahan Ijma’ dan Bukti kekuatan ijma’ sebagai hujjah….................................10
E. Landasan Ijma’….....................................................................................................11
F. Kemungkinan Terjadinya Ijma’…............................................................................11
G. Perkembangan Pendapat Ulama tentang pembatasan ijma’…..................................12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…...........................................................................................................14
B. Saran.........................................................................................................................14

Daftar pustaka.................................................................................................................14
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk mencapai kesejahteraan ataupun kemaslahatan baik di dunia dan di akhirat


manusia harus mempunyai pedoman sebagai landasan hidup, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits
yang diturunkan oleh Allah SWT dan disampaikan oleh Rasulullah SAW untuk umat manusia.
Seiring dengan perkembangan zaman dan bertambah banyaknya manusia maka bertambah pula
masalah-masalah ataupun persoalan didalam kehidupan sosial. Dari masalah tersebut yang belum
ada nasnya kemudianlah dimasukkannya hokum-hukum yang disepakati oleh para sahabat Nabi
(di ijma’) sebagai salah satu sumber syariat Islam. Karena syariat adalah hukum-hukum yang
telah dinyatakan dan ditetapkan Allah maka kita sebagai umat manusia harus mengimani,
mengetahui dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui hal tersebut
maka kita perlu mengetahui beberapa hal tentang ijma’ sebagai penetapan hokum dasar. Maka
dari itu makalah ini akan membahas tentang Ijma’.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian ijma’?


2. Apakah syarat-syarat ijma’?
3. Apakah macam-macam ijma’?
4. Apakah kehujjah ijma’?
5. Apakah landasan ijma’?
6. Kapan terjadinya ijma’?
7. Bagaimana Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatasan Ijma’?

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui tentang pengertian ijma’


2. Dapat mengetahui syarat-syarat ijma’
3. Dapat mengetahui macam-macam ijma’
4. Dapat mengetahui kehujjahan ijma’ dan bukti kekuatan ijma’ sebagai hujjah
5. Dapat mengetahui landasan ijma’
6. Dapat mengetahui terjadinya ijma’
7. Dapat mengetahui Perkembangan Pendapatan Ulama tentang Pembatasan Ijma’
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’

Mengenal Ijma’ Sebagai Dasar Hukum Agama

Islam adalah agama yang terbangun di atas dasar ilmu. Ia mendidik pemeluknya untuk
tidak berkeyakinan maupun beramal dalam urusan agama, melainkan dengan ilmu yang
dapat dipertanggung jawabkan, memiliki pondasi dan dasar yang sah, dan dapat dipastikan
melalui jalur wahyu. Argumen dan alasan beragama tersebut dikenal sebagai dalil.

Dalil dalam islam dasarnya adalah wahyu Alquran dan Sunnah Rasulullah (sabda,
perbuatan, dan pengakuannya) yang telah dikukuhkan oleh Alquran sebagai dasar agama
yang sepadan dan seiring dengannya, dan sama sekali tak bertentangan. Di bawah itu
terdapat dalil-dalil lain yang diakui oleh Alquran dan Sunnah. Sebagian besarnya
diperselisihkan keabsahannya oleh para ulama, namun ada yang disepakati, yaitu ijma’.

Apa Itu Ijma’?

Ijma’ didefinisikan oleh para ulama dengan beragam ibarat. Namun, secara ringkasnya
dapatlah dikatakan sebagai berikut: ”Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa
setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama.” Dan ijma’ yang dapat
dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan
tabi’ut tabiin (setelah tabiin). Karena setelah zaman mereka para ulama telah berpencar dan
jumlahnya banyak, dan perselisihan semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa
semua ulama telah bersepakat.

B. Syarat – syarat Ijma’

Berdasarkan definisi di atas dapatlah disebutkan syarat-syarat sebuah ijma’ itu bisa
disahkan dan berlaku:

1. Terjadinya kesepakatan
2. Kesepakatan seluruh ulama islam
3. Waktu kesepakatan setelah zaman Rasulullah, meskipun hanya sebentar saja
kesepakatan terjadi
4. Yang disepakati adalah perkara agama

Bila seluruh perkara di atas terpenuhi maka ia menjadi ijma’ yang tak boleh diselisihi
setelahnya, dan menjadi landasan hukum dalam Islam. Siapa yang menyelisihinya maka ia
menyimpang, meskipun berasal dari mereka yang dulunya ikut bersepakat di dalamnya.
Keabsahan Ijma’

Dalil Alquran

1. Allah Ta’ala berfirman:

‫ شهيدا‬K‫ جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم‬K‫وكذلك‬

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat islam), umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas kalian” (QS. Al-Baqoroh: 143)

Saksi di atas bersifat umum mencakup kesaksian akan apa yang diperbuat manusia, dan
kesaksian akan hukum perbuatan mereka. Di akhirat kelak umat islam bersaksi bahwa manusia
telah melakukan perbuatan begini dan begitu, dan juga bersaksi bahwa perbuatan tersebut salah
ataupun benar. Sedangkan saksi ucapannya mesti diterima.

2. Allah Ta’ala juga berfirman:

‫ نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مسيرا‬K‫ غير سبيل المؤمنين‬K‫ له الهدى ويتبع‬K‫ ما تبين‬K‫ومن يشاقق الرسول من بعد‬

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa pada kesesatan yang
telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-
buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115)

Ayat di atas menjelaskan bahwa kesesatan ada di luar ajaran Rasul dan jalan orang-orang
beriman. Maka jika ajaran Rasul (wahyu) atau kesepakatan kaum mukmin diikuti mestilah
akan terhindar dari kesesatan.

3. Allah Ta’ala juga berfirman:

‫ خير وأحسن تأويال‬K‫ باهلل واليوم اآلخر ذلك‬K‫ إلى هللا ورسوله إن كنتم تؤمنون‬K‫فإن تنازعتم في شيء فردوه‬

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang suatu perkara, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. ” (QS.
An-Nisa: 59)

Ayat di atas memerintahkan agar mengembalikan segala yang diperselisihkan kepada Alquran
dan Assunnah. Jika tidak ada perselisihan maka tentu tak ada kelaziman untuk harus mencari-
cari dalil teksnya.
Dalil Assunnah

1. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

‫ أمتي على ضاللة‬K‫ال تجتمع‬

“Umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud, derajatnya
hasan menurut Syeikh Albani)

2. Dan juga sabdanya:

K‫رهم‬KK‫ وأم‬،‫لم‬KK‫ وس‬K‫ه‬K‫لى هللا علي‬KK‫ ص‬K‫د‬K‫ محم‬K‫ة‬K‫رق بين أم‬KK‫ يف‬K‫د أن‬KK‫ الجماعة أو يري‬K‫ فارق‬K‫فمن رأيتموه‬
K‫ الجماعة‬K‫ هللا مع‬K‫ فإن يد‬،‫ كان‬K‫ كائنا من‬K‫ فاقتلوه‬،‫جميع‬
“Siapa saja yang kalian pandang meninggalkan jama’ah atau ingin memecah belah umat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan dalam perkara tersebut mereka sepakat,
maka bunuhlah ia siapapun gerangannya, karena sesungguhnya tangan Allah bersama
jama’ah” (HR. Ibnu Hibban dan lainnya, derajatnya sahih menurut Syeikh Albani)

Dalil di atas meskipun berbicara mengenai pemberontak pemerintahan yang sah, namun ia
menjadi bukti betapa kuatnya pengaruh ijma’ dalam islam.

Dalil Logika

Secara logika dapatlah dikatakan bahwa ijma’ umat islam bisa saja salah dan bisa saja benar.
Jika benar maka tak pelak ia merupakan dalil. Namun jika salah, maka bagaimana mungkin
mereka semua salah sedang mereka adalah sebaik-baik umat manusia? Artinya jika umat islam
telah sepakat, maka kebenaran pasti terdapat padanya.

Haruskan Ijma’ Beriringan Dengan Dalil Lain?

Tidak ada perkara yang disepakati hukumnya dalam islam melainkan perkara tersebut mesti
terdapat dalil wahyu yang menyebutkannya secara tersirat maupun tersurat. Ini adalah
pendapat jumhur ulama dan kuat dari segi argumen. Sebab, hak menentukan hukum adalah hak
prerogatif (khusus) bagi Allah dan rasul-Nya.

Hanya saja, Allah memberi sebuah jaminan bahwa apa yang disepakati oleh umat Rasulullah
tidak akan melenceng dari jalur wahyu-Nya. Itulah mengapa terkadang ketika seorang ulama
sedang berijtihad, ia mempertanyakan keabsahan sebuah ijma’ yang dinukilkan kepadanya
dengan dalih bahwa ini berbenturan dengan Alquran ataupun Sunnah.

Oleh karena itu perlu untuk dimaklumi bahwa tidak ada ijma’ yang bertentangan dengan dalil
Alquran ataupun Sunnah. Jika sekiranya didapatkan, maka kemungkinannya adalah dalil
tersebut tidak sahih, atau dalil tersebut salah difahami, atau dalil tersebut telah dihapus
hukumnya, atau justru ijma’ tersebut sebenarnya cacat karena ada perselisihan yang tak kita
ketahui atau nukilannya tidak sahih.

Mengapa Mesti Memakai Ijma’?

Jika ijma’ mesti berbaringan dengan dalil lantas mengapa harus ada ijma’? Jawabannya adalah:

A. Karena terkadang ada permasalahan yang dalilnya tersembunyi atau tak dinukilkan
kepada kita karena sebab tertentu, maka sebagai bentuk penjagaan Allah terhadap
syariatnya Dia mencukupkan bagi hamba-Nya untuk berbuat hanya dengan berasaskan
ijma’.
B. Terkadang dalam sebuah permasalahan yang sudah terdapat dalil padanya masih
terdapat perselisihan, bisa karena perbedaan pemahaman terhadap dalil tersebut atau
karena faktor lainnya, maka ijma’ berfungsi untuk menutup perselisihan tersebut dan
memastikan satunya pemahaman.

C. Macam-Macam Ijma’

Berdasarkan kejelasan perkara yang disepakati, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ qath’i, yaitu yang berupa perkara maklum dan jamak diketahui oleh seluruh
kalangan dari umat islam, tidak ada yang tak mengetahuinya dalam kondisi wajar,
dan tidak ada uzur untuk tidak mengetahuinya. Seperti ijma’ tentang wajibnya salat
lima waktu dan haramnya minuman keras.   

2. Ijma’ dzanni, yaitu ijma’ yang tidaklah diketahui kecuali oleh para ulama. Karena
diperlukan pencarian dan pembedahan terhadap teks-teks kitab klasik dan ucapan-
ucapan ulama terdahulu.

Berdasarkan metode terjadinya, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ bayani / sharih, yaitu ijma’ yang terjadi baik dengan perkataan maupun
perbuatan. Semisal dengan perbuatan para salaf dalam berbisnis model mudharabah,
sehingga dapatlah dikatakan bahwa mudharabah tersebut boleh menurut ijma’,
begitu juga jika ada seorang ulama yang berbicara suatu hukum lalu para ulama
lainnya berpendapat sama. Inilah dia asalnya ijma’, dan ketika disebut kata ijma’
secara mutlak maka yang terbetik dalam benak adalah ijma’ sharih.

2. Ijma’ sukuti, berlawanan dengan yang pertama, bilamana terdapat perkataan


ataupun perbuatan ulama, sedang ulama lainnya diam tanpa mengomentari, maka
apakah itu ijma’? Berdasarkan cara pandang bahwa ulama lainnya tidak
mengingkari, maka bisa dikatakan ijma’. Namun, berdasarkan pandangan bahwa
diam bukan berarti setuju, bisa jadi karena faktor-faktor tertentu seperti segan atau
memaklumi ijtihad orang lain misalnya, maka tak dapat disebut ijma’.
Dalam masalah ini bisa kita golongkan sebagai ijma’, berdasarkan pendapat
yang kita pilih, dengan syarat perkara tersebut masyhur dan diketahui oleh seluruh
ulama mujtahid pada zaman itu. Namun, ijma’ ini lemah derajatnya, terlebih
bilamana terdapat indikasi yang menunjukkan sebaliknya, maka saat itu tidak dapat
dianggap. Selain itu sangatlah sulit mengklaim ijma’ macam ini karena syarat
masyhur tersebut.

Berdasarkan jumlah pendapat yang ada, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ basith, jika ijma’ tersebut merupakan kesepakatan terhadap sebuah pendapat
maka inilah yang disebut dengan basith ataupun sederhana. Dan inilah yang
dimaksud dengan ijma’ bila disebut secara mutlak.

2. Ijma’ murakkab, adapun jika ijma’ para ulama berselisih pendapat berlawanan
dengan jenis yang pertama, maka di sana terdapat ijma’ yang murakkab alias
tersusun dari beberapa pendapat tersebut. Sisi kesepakatannya adalah mereka telah
mufakat untuk tidak berselisih kecuali menjadi dua atau tiga pendapat tersebut,
maka tidak boleh untuk membuat pendapat berikutnya yang bertentangan atau
menafikan pendapat yang telah ada.

Sebagai contoh, para ulama berselisih mengenai niat dalam bersuci, sebagian
berpendapat harus berniat ibadah dalam setiap bersuci; wudu, tayamum, dan mandi
junub, sebagian lagi berpendapat hanya dalam tayamum saja, maka jika dikatakan
tidak harus maka inilah yang disebut membuat pendapat baru bertentangan yang
sudah ada, yaitu yang mengharuskan niat tersebut pada ketiganya sekaligus.

Adapun yang diperbolehkan seperti misalnya membuat pendapat jalan tengah di


antara pendapat-pendapat yang berselisih, atau membuat pendapat yang merinci,
bila kondisi begini maka pendapat ini berlaku, bila kondisi begitu maka pendapat itu
berlaku.

Berdasarkan metode untuk mengetahuinya, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ mahshul, yaitu ijma’ yang didapat dengan usaha seorang mujtahid
mengeluarkan kesimpulan ijma’ dari kitab-kitab para ulama terdahulu, dimulai dari
mendata ucapan-ucapan mereka, pendapat-pendapat mazhab, dan seterusnya hingga
sampai pada kesimpulan bahwa dalam masalah ini tidak terdapat perselisihan.

2. Ijma’ manqul, yaitu ijma’ yang diketahui dengan nukilan dari ulama terdahulu yang
mengatakan bahwa dalam perkara ini terdapat ijma’. Selama nukilan itu sahih dan
dapat dipertanggung jawabkan maka ijma’ dengan cara ini pun dapat dianggap, dan
tak perlu untuk meneliti apakah banyak yang meriwayatkannya atau hanya satu
orang.
D. Kehujjahan Ijma’

Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat bahwa rukun – rukun ijma’ telah terpenuhi, maka
ijma’ tersebut menjadi hujjah qath’I (pasti), wajib diamalkan dan tidak bileh
mengingkarinya; bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Disamping itu,
permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’ menurut para ahli ushul fiqh,
tidak boleh dibagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena hokum yang
ditetapkan melalui ijma’ merupakan hokum syara’ yang qath’I dan menepati urutan ketiga
dalil syara’ setelah Al-Qur’an dan Sunnah.

Menurut Ibrahim ibn Siyar al-Nazam (tokoh Mu’tazilah), ulama Khawarij dan ulama
Syi’ah berpendapat bahwa ijma’ tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak mungkin
menghadirkan seluruh mujtahid pada suatu masa dari bernagai belahan dunia Islam untuk
berkumpul dan membahas suatu kasus, dan menyepakat bersama. Selain itu, masing-
masing daerah mempunyai struktur sisial, dan budaya yang berbeda.

Bukti kekuatan ijma’ sebagai hujjah antara lain

a. Sebagaimana Allah Swt. Dalam Al-Qur’an memerintahkan kepada orang-orang


mukmin untuk taat kepada Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri, seperi Firman-Nya:

‫ ْى ٍء‬K‫ َز ْعتُ ْم فِى َش‬Kَ‫إِن تَ ٰن‬Kَ‫ر ِمن ُك ْم ۖ ف‬K ُ َ K‫َّس‬ ۟ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامنُ ٓو ۟ا أَ ِطيع‬
۟ ‫وا ٱهَّلل َ َوأَ ِطيع‬Kُ
ِ ‫ول َوأ ۟ولِى ٱأْل َ ْم‬ ُ ‫وا ٱلر‬Kُ َ
ْ‫ك َخ ْي ٌر َوأَحْ َس ُن تَأ‬ َ ٰ ْ ‫هَّلل‬ ُ ُ ُ ُ ‫هَّلل‬ َ
ً‫ويل‬ ِ ‫ل‬‫ذ‬ ۚ ‫ر‬‫اخ‬ ‫ء‬ ْ‫ٱل‬ ‫م‬
َ ِ ِ ِ َ ِ ْ‫ْ ِ ونَ ِ ِ َ َو‬‫ي‬ ‫ٱل‬‫و‬ ‫ٱ‬ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫م‬‫ؤ‬ْ ‫ت‬ ‫م‬ ‫ت‬ ‫ن‬‫ك‬ ‫ن‬ ‫إ‬
ِ ِ‫ُول‬ ‫س‬ َّ
‫ر‬ ‫ٱل‬ ‫و‬
َ ِ ‫ٱ‬ ‫ى‬ ‫ل‬ِ ُ‫فَ ُر ُّدوه‬
‫إ‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs. An Nisa : 59)

Lafal Al-Amri artinya dalaha ha; atau perkara, ia bersifat umum, meliputi masalah
agama dan dunia. Ulil Amri pada masalah dunia adalah raja, para pemimpin dan
penguasa, sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Ibnu
Abbas menafsirkan kata Ulil Amri dengan ulama, menafsirkan dengan pemimpin dan
penguasa. Yang jelas penafsiran itu mencakup keseluruhan, dan semuanya harus ditaati
dalam ruang lingkup masing-masing. Bila Ulil Amri telah sepakat dalam penetapan
hokum syarak, yakni para mujtahid, maka wajib dan dilaksanakan berdasarkan nash Al-
Qur’an.

Menurut Ahmad al-Sawi, ayat diatas secara menyeluruh mengisyaratkan kepada


dalil-dalil fiqh yang empat, yakni Al-Qur’an, Hadits, ijma’ dan qiyas. Taat kepada Allah,
yakni Al-Qur’an, taat kepada Rasul, yaitu Hadits, dan taat kepada uli al-amr adalah ijma’
(ketetapan hokum yang sudah menjadi kesepakatan).

b. Pada dasarnya hokum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtihad umat Islam
adalah hokum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya.
c. Ijmak atas hokum syara’ harus didaasarkan pada sandaran syara’ pula, karena mujtahid
Islam memiliki batas-btas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasul ijtihadnya tidak di
dukung nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nash dan makna dari
petunjuk nash yang ada. Bila dalam suatu kejadian tidak terdapat nash, maka ijtihadnya
tidak boleh melewati batas-batas pengambilan hokum, baik dengan cara yang kias
terhadap hokum yang sudah memiliki nash atau penerapan kaidah syariat dan dasar-
dasar hukumnya, atau dengan cara pengambilan dalil dari dalil-dalil yang telah
ditetapkan syara.
E. Landasan Ijma’
Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijma’ itu bisa dalil yang qath’I
yaitu Al-Qur’an, Sunnah serta bisa juga didasarkan dalil Zhanni seperti hadits ahad
(hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua atau tiga orang saja yang tidak mencapai
tingkat mutawatir) dan qiyas. Alasan mereka adalah ijma’ yang dilakukan para sahabat
tentang mandi wajib setelah bersetubuh dengan istri. Landasan ijma’ ini, menurut
mereka adalah hadits ahad. Demikian juga kesepakatan para sahabat menetapkan Abu
Bakar sebagai pengganti (khalifah) Nabi saw. Dengan mengqiyaskanya kepada Nabi
saw.
Ulama Zhahiriyyah Syi’ah dan Ibn Jarir al Thaabari mengatakan bahwa
landasan ijma’ harus dalil yang qath’i. menurut mereka, ijma’ dalil yang qath’I yaitu
suatau dalil yang qath’I tidak mungkin ddasarkan kepada dalil yang zhanni seperti
hadits. Ahad dan qiyas, karena hasil dari yang zhanni akan tetap zhanni. Disamping itu,
seorang mujtahi boleh menolak ijtihad mujtahid lain yang didasarkan kepada qiyas.
Apabila sandaran ijma’ tersebut adalah qiyas, maka seorang mujtahid tidak boleh
mengingkarinya.
F. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat terlaksana dan memang telah
terjadi dalam kenyataan. Umpamanya, pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah setelah
wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma’. Demikian pula haramnya lemak babai, berhaknya
kakek atas seperenam harta warisan cucunya, terhalang cucu oleh anak dalam hak
mewarisi, dan lain-lain hokum furu’ sebagaimana tersevar dalam kitab-kitab fikih.
Abdul Khallaf menjelskan besarnya kemungkinan terjadinya ijma’ terutama dalam
masa yang serba maju ini. Bila pelaksanaan ijma’ itu ditangani oleh suatu negara dengan
bekerja sama dengan negara-negara lain yang mayortas penduduknya beragama Islam.
Setiap negara menetapkan standar tertentu mengenai seseorag dapat dinyatakan mencapai
derajat mujtahid dan memberikan ijazah mujtahid terjadap semua yang mencapai derajat
itu sehingga dengan demikian semua mujtahid didunia ini dapat diketahui.
Dalam era globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi, dengan apa yang
dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf sangat mungkin terjadi, karena meskipun
mujtahid itu bertebaran diseluruh permukaan bumi dan mudah mempertemukan mereka
dalam suatu masa tertentu untuk membicarakan masalah hukum atau setidaknya untuk
menghimpun pendapat mereka. Bila pendapat mereka tentang masalah suatu hokum telah
terkumpul dan mempunyai pendapat sama itulah yang disebut ijma’.
Menurut golongan mu’tazilah dan sebagian pengikut Syi’bah menyatakan bahwa
ijma’ itu merupakan kesepakatan seluruh mujtahid pda suatu masa, maka hal tersebut
tidak mungkn terjadi. Sebab, para muujtahid itu berada dan tersebar di berbagai kawasan
atau daerah yang jaraknya nerjauhan sera tidak mudah bagi mereka untuk berkumpul pada
satu tempat untuk menyatakan kesepakatan.

G. Perkembangan Pendapat Ulama Tentang Pembatasan Ijma’


1. Keikut sertaan kalangan awam dalam Ijma’
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah umat yang
awan tau yang bukan mujtahid diperhitungkan sebagai anggota ijma’, jumhur ulama
berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan untuk melangsungkan suatu
ijma’. Karena yang berhak menentukan hukum dalam ijma’ adalah orang-orang yang
mampu memahami sumber fiqih dan mengeluarkan hukumnya.
Sebagian kecil ulama mengatakan bahwa suara orang awam menentukan dalam
penetapan ijma’ karena pendapat umat mempunyai kekuatan hujjah karena ia bebas dari
kesalahan.
2. Ijma’ sesudah masa Sahabat
Terdapat perbedaan ulama mengenai hal ini, apakah ijma’ itu hanya terbatas
pada masa sahabat dan tidak berlaku sesudahnya. Kebanyakan ulama yang menyatakan
bahwa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujjah berpendapat bahwa ijma’ itu mempunyai
kekuatan hujjah bila memenuhi ketentuanya.
3. Kesepakatan mayoritas
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak sahnya ijma’ bila hanya mayoritas uama
saja yang bersepakat sedangkan ada minoritas yang menentangnya.
4. Kesepakatan ulama madinah
Ulama Madinah telah sepakat tentang suatu hokum atau suatu kejadian,
sedangkan ulama lain mengemukakan pendapat yang berbeda.
5. Kesepakatan Ahlu al-Bait
Ahlu al-Bait dalam pandangan ulama syi’ah adalah keturunan nabi Muhammad
Saw melalui putrinya. Di kalangan ulama syi’ah berlaku pendapat bahwa kesepakatan
Ahlu al-Bait atas suatu hukum dianggap ijma’ yang mempunyai kekuatan hukum
terhadap orang lain.
6. Kesepakatan Khulufaur rasyidin
Empat orang sahabat Nabi yang kemudian bersepakat tentang suatu hukum,
namun sahabat lainnya mempunyai pendapat berlainan dengan kesepakatan itu, mereka
dianggap sebagai ijma’ yang mengikat umat Islam.

Bagaimana Mengetahui Ijma’ Pada Suatu Permasalahan?

Ijma’ dapat diketahui dengan menyaksikan sendiri terjadinya ijma’ bilamana ijma’ tersebut
terjadi pada zamannya. Adapun bila ijma’ tersebut telah berlalu masanya, maka dapat diketahui
dengan dua cara:
1. Mencari teks nukilan dari para ulama yang menyatakan bahwa ijma’ terdapat dalam
masalah ini dan ini, atau yang semacam itu. Dan itu bisa didapat dalam buku-buku
berikut:

 Menelaah buku-buku yang menghimpun masalah ijma’ ataupun masalah khilaf


(perselisihan). Seperti Al-Ijma’ karya Imam Ibnul Mundzir, atau Marotibul Ijma’ karya
Imam Ibnu Hazm,
 Menelaah buku-buku fikih yang menghimpun pendapat-pendapat lintas mazhab. Biasa
akan disebutkan dalam permasalahan ini para ulama bersepakat bahwa hukumnya
begini, atau para ulama berselisih menjadi sekian pendapat.

2. Melakukan penelitian dan pencarian sendiri guna menyimpulkan bahwa suatu masalah
terdapat ijma’ ataukah perselisihan. Hal ini tentunya membutuhkan keahlian,
kelengkapan referensi, dan waktu yang tak sedikit. Dan tak bisa dilakukan segenap
orang.

Masalah Ijma’ Parsial

Yaitu ijma’ yang terjadi dalam lingkup sempit, tidak mencakup seluruh umat. Apakah dapat
disahkan dan dianggap sebagai dalil ijma’? Dalam masalah ini terdapat empat macam:

1. Ijma’ Khulafaurrasyidin
2. Ijma’ Abu Bakar dan Umar Bin Khattab
3. Ijma’ Penduduk Madinah
4. Ijma’ Ahlul Bait

Ijma’-ijma’ di atas adalah yang kerap kali dipergunakan oleh mazhab-mazhab tertentu dalam
argumentasinya. Namun secara ringkas, kembali kepada apa yang telah disebutkan, selama
bukan merupakan kesepakatan seluruh mujtahid maka tak dapat dianggap sebagai dalil ijma’.
Kecuali Abu Bakar dan Umar, begitu juga khulafaurrasyidin. Karena terdapat dalil lainnya
yang cukup kuat berupa sabda-sabda Nabi yang melegitimasi dan membenarkan berhukum
dengan pendapat mereka, hanya saja ini tidak masuk dalam bab ijma’ yang tak bisa diselisihi,
namun merupakan bab berargumen dengan pendapat sahabat, maka mereka dapat dijadikan
dalil selama tak berbenturan dengan dalil yang lebih kuat semacam Alquran ataupun Sunnah.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ijma’ yaitu kesepakatan yang harus dilakukan oleh seluruh mujtahid, bukan
kesepakatan sebagian, atau bukan kesepakatan yang dilakukan oleh selain ulama
mujtahid, seperti kesepakatan yang dilakukan orang-orang awam atau orang-orang yang
belum memenuhi syarat sebagai mujtahid. Dan dalam melakukan suatu ijma’ harus
diperhatikan dalam beberapa hal seperti syarat-syarat ijma’, mengetahui macam-macam
ijma’, landasan ijma’ seta mengetahui syarat-syarat sebagai seorang mujtahid untuk
mencapai kesejahteraan ataupun kemaslahatan baik dunia dan di akhirat.

B. SARAN

Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber islam
(ijma’) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur.
Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari
itu, penulisan sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi
kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.

Daftar Pustaka:

 Al Ijma’ fis Syari’ah Al Islamiyyah, Rusydi ‘Ulyan, Majalah Univeritas Islam Madinah
(tahun 10, edisi 1)
 Al Ushul min ‘Ilmil Ushul, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi,
1426H
 Al ‘Aqidah Al Qashithiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimyyah, penerbit Adwaus Salaf
Riyadh, cetakan kedua 1420H
 Al Madzhab fi ‘Ilmi Ushulil Fiqhi Al Muqarin, ‘Abdul Karim bin Ali An Namlah,
Maktabah Ar Rusyd Riyadh, cetakan pertama 1420H.
 Taisir ‘Ilmi Ushulil Fiqhi, ‘Abdullah bin Yusuf Al Jadi’ Al ‘Anazi, Muassasah Ar
Rayyan Beirut, cetakan pertama 1428H
 Raudhatun Nazhir wa Jannatul Manazhir, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Muassasah Ar
Rayyan, cetakan kedua, 1423H
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/19712-mengenal-ijma-sebagai-dasar-
hukum-agama.html

Anda mungkin juga menyukai