Anda di halaman 1dari 7

Kedudukan Ijma' dalam Hukum Islam

Menurut Madzhab Ibnu Hazm


Oleh Sinta Okta Bella

DutaIslam.Com - Ijma menurut para ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para mujtahid atas
hukum syara’ mengenai suatu kejadian di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah
Rasulullah Saw. wafat. Apabila terjadi suatu peristiwa yang dimana semua mujtahid umat
Islam pada waktu kejadian itu sedang terjadi, dan mereka sepakat atas suatu hukum
mengenai peristiwa tersebut, maka kesepakatan itu disebut sebagai ijma'.

Ijma' merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan hukum-hukum Islam dan
menduduki tingkatan ketiga dalam urutan-urutan sumber hukum Islam setelah Al-Qur'an
dan Hadits. Ijma sebagai sumber hukum ditunjukkan dengan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Disamping ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh memperkokoh kesatuan dan melarang


bercerai berai, Ijma merupakan argumentasi yang kuat dalam menetapkan hukum fiqh,
sumber (hukum Islam) yang menempati posisi setelah sunnah. Posisi ini didukung oleh
sejumlah ayat dan hadits yang mengakui mengenai pendapat para ahli ilmu (ulama) dan
ahli pikir (cendekiawan).

Pemikiran Ijma’ Menurut Ibnu Hazm


Ibnu Hazm merupakan salah satu tokoh pakar Ushl Fiqh. Mengenai pola pikirnya, Ibnu
Hazm dipengaruhi oleh beberapa madzhab, namun beliau lebih condong kepada madzhab
Syafi’i meskipun ia juga pernah belajar kepada imam imam madzhab yang lain.

Setiap ijma’ yang dilakukan atas hukum syara’, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-
asas pokok ajaran Islam. Ini pola pikir ijma' yang ada selama ini. Karena itu, setiap mujtahid
dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam serta batas-batas
yang telah ditetapkan.

Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak
boleh melampui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya,
jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nash pun yang dapat dijadikan kaidah
umum agama Islam, ia tidak boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas,
istihsan dan sebagainya.

Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang
telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi Al-Qur’an dan Al-Hadits,
karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil utama itu.

Para tabi’in yang mujtahid pada masa sahabat-sahabat Nabi Saw, dengan sendirinya
termasuk mujtahid. Tetapi jika Tabi’i itu, -meskipun semasa dengan sahabat-sahabat Nabi,-
belum sampai kepada martabat ijtihad, dan kemudian telah terjadi ijma’ antar sahabat
sementara dia ijtihad pula, maka dalam hal yang begini terjadi perselisihan pendapat.
Setengah ulama berkata sah ijtihadnya, tetapi yang shahih menyatakan tidak sah.
1
Salah satu mujtahid yang membangun mazhabnya atas dasar zahir nash dan menolak atau
tidak membahas soal ‘illat hukum adalah Ibnu Hazm dengan madzhab zhahiri-nya. Mazhab
Zhahiri yang dianut Ibnu Hazm menolak adanya adanya kesamaran, tersembunyi bentuk
simbol dan isyarat-isyarat.

Zahir adalah sebuah nash yang merupakan asas utama, kecuali ada nash, ijma’ atau sesuatu
darurat yang menunjukkan tidak adanya penjelasan zahir, maka harus digeser ke makna
lainnya yang lebih memperjelas nash. Ibnu Hazm tidak melarang menggunakan kiasan
(majaz) seperti yang sering disalahpahami dengan adanya syarat dan qarinah. Penggeseran
ini dianggap Ibnu Hazm sebagai “penjelasan zahir lafadz” (zhawahir alfazh), bukan "ta'wil".
Baca: Fungsi Ta'wil dalam Ushulul Fiqh

Menurut Ibnu Hazm sumber hukum Islam ada empat macam yaitu: Al-Qur’an, Hadis Sahih,
Ijma’, dan Dalil. Ibnu Hazm mendefinisikan Ijma’ menurut bahasa sebagai “kesepakatan
antara dua orang atau lebih”. Menurut istilah adalah “apa saja yang diyakini bahwa semua
sahabat mengatakannya dan mereka menerimanya dari Nabi”.

Dalam menetapkan dan menerima ijma’ sebagai sumber hukum, Ibnu Hazm mempunyai
dua kriteria. Pertama, ia membatasi partisipasinya pada sahabat saja, dan kedua, dia
mempersempit lingkupnya hanya pada masalah-masalah yang didasarkan pada nash. Dari
sini dapat diketahui kalau pendekatan Ibnu Hzm ini berbeda dengan yang dianut mayoritas
ulama Ushul Fiqh, yang menyatakan bahwa partisipan ijma’ itu ialah ulama/mujtahid
(termasuk pasca sahabat), dan lapangan ijma' pun tidak terikat pada nash.

Jadi ijma’ menurut Ibnu Hazm adalah ijma’ yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Ia berpendapat Ijma’ adalah hujjah kebenaran yang menyakinkan di dalam agama Islam.
Ibnu Hazm menguatkan pendapatnya dari dhahirnya beberapa teks ayat-ayat berikut:

1. Surat An-Nisa ayat 551 yang berbunyi “Dan barang siapa yang menentang
Rasulullah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-
orang mukmin, kami biarkan leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali”.
2. Surat Ali Imran ayat 103 yang berbunyi “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”.
3. Surat al-Anfal ayat 46 yang berbunyi “Dan taatlah kepada Allah dan Rasulullah dan
janganlah kamu berbantah-bantahan, yang meyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar”.
4. Surat An-Nisa ayat 82 yang berbunyi “Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”.

2
Dari keempat ayat tersebut Ibnu Hazm yang menguatkan pendapatnya tentang kehujjahan
ijma’. Dan mencela perbedaan karena pebedaan mengarah kepada perpecahan. Dalam
agama Islam, perpecahan menurut Ibnu Hazm hanya ada, yakni ijma’ dan ikhtilaf. Dan kita,
katanya, harus mengambil ijma’ agar tidak berselisih.

Ibnu Hazm menerima ijma’ para sahabat, dan hal ini sudah menjadi kesepakatan umat
Islam. Sebagaimana Ibnu Hazm juga mengakui ijma’ para ulama sebagai sebuah hujjah yang
pasti (maqtu’) di dalam agama. Hanya saja perbedaan yang muncul antara Ibn Hazm
dengan yang lainnya adalah mengenai adanya ijma’ tanpa berlandasan pada nash (ghair
nash). Inilah yang ditolak oleh Ibn Hazm sejak awal dengan madzhab zhahiri-nya.

Ibnu Hazm tidak mengingkari ijma’, namun ijma’ yang dipandang olehnya, sekali lagi,
adalah ijma’ yang berpegang dengan nash. Ia mengatakan, “la ijma’an illa ‘an an-nash”. Baik
itu berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan Nabi Muhammad Saw. terhadap suatu
masalah (iqrar). Orang yang mengatakan ijma’ di luar nash merupakan argumentasi yang
tidak memiliki penjelasan. Dan sesuatu yang tidak memiliki penjelasan adalah batil. Begitu
menurut Ibnu Hazm.

Sehubung dengan argumentasi lawan yang mengatakan bolehnya ijma’ ulama tanpa nash,
Ibnu Hazm terlebih dahulu mempertanyakan kemungkinan terwujudnya kesepakatan
seluruh ulama Islam yang ada. Tersebarnya para ulama di berbagai tempat, berbedanya
pendapat karena geografis, tabiat dan sifat, tentunya akan menyulitkan terbentuknya suatu
ijma’ dan dipandang suatu yang tidak mungkin terjadi. Tampaknya Ibn Hazm menolak
adanya ijma’ setelah generasi sahabat. Penolakan ini bukan karena tidak sahnya ijma’
sebagai dalil syariah, melainkan karena ketidakmungkinan terjadinya ijma’ dalam kontek
ini.

Adapun ijma’ yang berfungsi sebagai hujjah dalam syari’at, menurut Ibnu Hazm adalah
sesuatu yang telah disepakati, dan seluruh sahabat telah mengatakannya serta telah
menaatinya dari Nabi mereka. Tidak ada ijma’ dalam agama selain yang ini saja. Sesuatu
yang bukan Ijma’ dalam agama atau syari’at berarti masih merupakan hal-hal yang masih
diperselisihkan oleh para sahabat berdasarkan ijtihad mereka masing-masing atau
sebagian mereka diam untuk menyatakannya, walaupun hanya ada seorang saja yang
membicarakannya.

Menurut Ibnu Hazm ijma’ mustahil terjadi setelah berlalunya periode sahabat, karena sulit
menetukan kriteria-kriteria mujtahid dan sulit mengumpulkannya karena sangat luasnya
daerah Islam. Karena itu, menurut Ibnu Hazm, setiap ada hadits yang menopang ijma’,
hakikatnya dimaksudkan sebagai ijma’ periode sahabat. Para sahabat lah yang menerima
keterangan secara tauqifi (langsung) dari Nabi Muhammad Saw., terutama yang terkait
dengan berbagai masalah hukum.

Para sahabat jugalah yang disebut sebagai orang-orang yang beriman dalam arti
keseluruhannya. Karena karakernya yang demikian itulah, kompetensi ada pada diri para
sahabat. Sedangkan para mujtahid (orang yang hidup setelah sahabat) merupakan

3
sebagian dari masyarakat yang beriman. Akibatnya, kesepakatan dari sebagian mujtahid
bukanlah merupakan ijma’.

Dengan demikian, menurut Ibnu Hazm, kepatuhan terhadap kesepakatan (ijma’) para
sahabat sama dengan ijma’ terhadap nash. Menurut Ibnu Hazm, ijma’ itu hanya terjadi pada
dua kemungkinan berikut ini:

1. Ijma’ yang terjadi pada setiap masa sejak awal Islam hingga berakhirnya alam jagad
raya dan datangnya hari kiamat. Ijma’ seperti ini menurut Ibnu Hazm tidak mungkin
terjadi, atau dengan kata lain adalah batal.
2. Ijma’ yang terjadi pada tertentu yang masih mengandung tiga kemungkinan:

 Ijma’ yang terjadi pada suatu masa setelah masa shabat.


 Ijma’ yang terjadi hanya pada masa sahabat.
 Ijma’ yang terjadi pada masa sahabat dan masa setelah masa sahabat.

Ijma’ yang pada masa setelah masa sahabat menurut Ibnu Hazm adalah tidak mungkin
terjadi karena beberapa alasan, antara lain:

1. Telah terjadi kesepakatan atas kebatalannya dan tidak seorangpun yang


berpendapat seperti itu.
2. Hal ini merupakan klaim tanpa dalil dan klaim seperti ini adalah keliru dengan
berdasarkan 1). Firman Allah Swt: “Katakanlah, tunjukkanlah bukti kebenaranmu,
jika kamu memang orang-orang yang benar". (Q.S. An-Naml: 64).” 2). Akan
membuka peluang terjadinya perbedaan pandangan tentang ijma’ itu sendiri
sehingga boleh jadi seseorang akan mengatakan ijma’ pada masa kedua dan yang
lainnya akan mengatakan pula ijma’ pada masa ketiga, dan begitu seterusnya. Hal ini
menurut Ibnu Hazm akan menimbulkan kerancuan.

Ijma’ yang terjadi pada masa sahabat diakui kebenarannya oleh Ibnu Hazm dengan alasan
sebagai berikut:

1. Berdasarkan ijma’ yang seorang pun tidak dapat membantahnya, dan menurut Ibnu
Hazm orang Islam telah sepakat bahwa apa yang telah disepakati oleh sahabat
merupakan ijma’ yang dipastikan kebenarannya.
2. Agama Islam telah sempurna. Firman Allah Swt: "Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-
Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. Al-Maidah: 3).

Dalam masalah kehujjahan ijma’ sahabat ini, Ibnu Hazm membatasi hanya pada perkara
yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Dasar yang digunakan:

1. Karena Ijma’ yang demikian (para sahabat) tidak diperselisihkan oleh siapapun,
maka kesepakatan (ijma’) para sahabat tanpa ada perbedaan adalah ijma’
yang qathi’ dan ijma' yang shahih.
4
2. Karena Agama Islam telah sempurna (Al-Ma'idah ayat: 3), sehingga tidak boleh
hukumnya menambah-nambah sesuatu yang telah sempurna. Untuk mengetahui
apa yang diinginkan Allah Swt. harus melalui Rasullulah Saw., dan para sahabat
Rasulullah Saw. adalah mereka yang selalu bersama, melihat dan mendengarkan
ajaran Rasullullah Saw. tentang keinginan Allah Swt. Maka ijma’ merekalah yang
wajib diikuti.
3. Ijma’ yang demikian adalah ijma’ yang berdasarkan nash Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Hal tersebut karena para sahabat hidup pada masa Rasulullah Saw. dan banyak
belajar dari beliau. Kata Ibnu Hazm, "apa yang mereka sepakati adalah ijma’ yang
wajib diikuti, karena ijma’ tersebut dinukil dari Rasulullah Saw."

Dalam kitabnya yang berjudul Maratib al-Ijma’, Ibnu Hazm mengatakan:

"Sebagian menjadikan hal yang bukan ijma’ menjadi ijma’. Sebagian menganggap suara
mayoritas sebagai ijma’. Sebagian lainnya menjadikan hal yang tampak menjadi titik
mufakat ijma’ (walaupun mereka tidak mengetahui secara lebih jauh)”. Sebagian lainnya
menjadikan kata sahabat lainnya (walaupun kalangan tabi’in mempunyai pandangan yang
berbeda) sebagai ijma’. Bahkan sebagian menjadikan perkataan sahabat yang tidak
dipertentangkan oleh sesamanya (walaupun tidak populer) sebagai ijma’.

Pandangan-pandangan ini tidak dapat dibenarkan (walaupun kritikan tersebut tidak bisa
disampaikan secara lebih banyak). Bukti kerancauan pandangan ini adalah mereka tampak
meninggalkan yang mereka sebut dengan ijma’ dalam permasalahan yang dihadapi.
Perbuatan mereka ini semakin memperkuat pandangan bahwa ini hanyalah “ijma’ mereka”.
Ijma’ ini dilakukan untuk menjadikan dalil bagi pendapat mereka ketika dalam keadaan
terdesak.

Sebagian lainnya berpendapat, ijma’ yang diperhitungkan adalah ijma’nya para sahabat.
Sebagian lainnya berpendapat, di setiap masa terdapat yang namanya ijma’, asalkan di masa
sebelumnya tidak ada ijma’ yang bertentangan dengannya. Sementara, sebagian lainnya
berpendapat, ijma’ yang benar adalah yang terjadi di masa tertentu dan tidak ada yang
menyalahi ijma’ ini”".

Ibnu Hazm juga mengkritik Imam Malik yang menjadikan ijma’ ahlil Madinah sebagai
hujjah. Hal yang menurut Ibnu Hazm disebut sebagai "yang tidak mempunyai dasar".
Menurut Ibnu Hazm, keutamaan Madinah hanya berlaku pada masa itu saja. Lagian juga,
kata Ibnu Hazm, orang yang menyaksikan wahyu adalah para sahabat, sedangkan orang
setelah mereka tidak begitu. Ia makin tidak setuju dengan Imam Malik karena menurutnya,
perselisihan umat manusia juga terjadi di Madinah.

Di antara alasan yang memperkuat bahwa ijma’ tidak mungkin diadakan adalah: bila ijma’
itu diadakan, maka harus disandarkan kepada dalil, karena seorang mujtahid harus
menyandarkan ijtihadnya kepada dalil. Jika dalil yang dipakai sandaran itu pasti, menurut
kebiasaan pasti diketahui, karena bagi umat Islam tidak sulit mengetahui dalil syara’ yang
pasti sehingga mereka butuh untuk merujuk para mujtahid dan kesepakatan mereka. Dan

5
jika itu dugaan atas kebiasaan, maka tidak mungkin akan tewujud suatu kesepakatan,
karena dalil yang hanya berdasarkan dugaan pastinya menimbulkan banyak pertentangan.

Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Ahkam meriwayatkan pendapat Abdullah bin Ahmad bin
Hambal: Saya mendengar ayah berkata, “Apa yang diakui oleh seseorang sebagai ijma’
adalah bohong dan siapa yang mengakui adanya ijma’ dia adalah pembohong. Yang dia tahu,
barangkali orang-orang telah berbeda pendapat, sedangkan perbedaan pendapat itu belum
berakhir, maka sebaiknya katakanlah: kami tidak tahu bahwa orang orang telah berselisih
pendapat.”

Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma' mungkin dapat diadakan hanya karena menurut
kebiasaan. Mereka berkata,

"Apa yang dikatakan oleh penentang kemungkinan ijma’ itu adalah pasti karena meragukan
masalah yang terjadi. Mereka menyebutkan beberapa contoh hal hal yang telah ditetapkan
sebagai hasil ijma’, seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah, keharaman minyak
babi, bagian waris seperenam bagi nenek perempuan, cucu laki-laki dan anak laki-laki tidak
mendapat bagain waris karena ada anak laki-laki dan di antara hukum rinci dan hukum
global lainnya".

Pendapat yang saya anggap lebih kuat adalah bahwa ijma’ dengan definisi dan unsur-unsur
seperti yang telah dijelaskan, menurut kebiasaan tidak mungkin diadakan bila diserahkan
kepada masing-masing umat Islam dan kelompoknya. Ijma’ mungkin dapat diadakan bila
dikuasai oleh pemerintahan Islam di mana saja. Masing-masing pemerintahan dapat
menentukan syarat seseorang dianggap mencapai tingkatan ijtihad kepada orang yang
telah memenuhi syarat-syarat tersebut.

Dengan demikian, setiap pemerintahan dapat mengetahui para mujtahid dan pendapat-
pendapatnya mengenai sebuah peristiwa kemudian ditemukan kesepakatan para mujtahid
di seluruh pemerintahan Islam atas satu hukum pada peristiwa dimaksud, berarti telah
terjadi ijma’, dan hukum yang telah disepakati itu menjadi hukum syara’ yang wajib diikuti
oleh umat Islam.

Melanggar dan menyalahi ijma’ adalah haram. Melanggar ijma’ sama juga dengan
menyalahi hukum Allah Swt. yang wajib diikuti. Haram pula mentafshilkan antara dua
masalah yang tidak ditafshilkan oleh ahli ijma’.

Untuk mendukung adanya otoritas ijma’ sebagai salah satu sumber hukum Islam, Ibnu
Hazm mendsandarkan ijma’ atas dasar nash (Al-Qur’an dan Sunnah) dan ia tidak
mensandarkan ijma’ atas dasar ra’yu.

Al-Qur’an dan sunnah yang merupakan sumber hukum dalam Islam wajib ditaati segala
petunjuk dan hukum yang terdapat di dalamnya. Menurut Ibnu Hazm bila mengikuti kedua
sumber hukum pokok tersebut, berarti telah mengikuti ijma’. Karena apa yang ada dalam
kedua peraturan sumber hukum tersebut, semua ulama sepakat adanya. Seperti
haramnya khamar, wajibnya shalat dan lain-lain.
6
Karena hakekat ijma’ menurut Ibnu Hazm mengikuti kepada nash, maka menurutnya ijma’
tidak cukup hanya disandarkan dasarnya kepada Al-Qur’an dan sunnah tetapi harus
berlanjut pada apa yang hendak disepakati oleh nash. Jadi bila ada sumber hukum atau
hasil ijma’, dan nash tidak pernah menyebutkan hukumnya, maka hukumnya adalah batil
dan tidak boleh mengikutinya.

Mengenai nilai ijma’ itu sendiri, karena Ibnu Hazm mendasarkan ijma’ atas nash
yang qath’i, maka menurutnya nilai ijma’ itu adalah qath’i. Demikian konsepsi Ibnu Hazm
terhadap ijma’ sebagai salah satu sumber hukum Islam. [dutaislam.com/ab]

Sinta Okta Bella, mahasiswi UIN Walisongo Semarang.


Artikel disampaikan di hadapan dosen pengampu, Mishbah Khoiruddin Zuhri, M.A

DAFTAR PUSTAKA

 Al-Banna, Jamal, Manifesto Fiqih Baru, (Jakarta: Erlangga, 1997).


 Amrullah , bdul Karim, Pengantar Usl Fiqh, (Jakarta: Pustaka PanjiMas, 1985).
 Khalaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003).
 Siregar, Amri, Ibnu Hazm Metode Zahiri Dalam Pembentukan Sumber Hukum Islam,
(Yogyakarta: Belukar, 2009).
 Sohari, Sanusi Ahmad, Ushl Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015).

Sumber URL: https://www.dutaislam.com/2018/11/kedudukan-ijma-dalam-hukum-


islam-menurut-madzhab-ibnu-hazm-pdf.html (Dimuat Situs Dutaislam.com pada 12
November 2018).

Anda mungkin juga menyukai