Anda di halaman 1dari 8

Ta’arudl al-Adillah

Oleh:

Muhammad Thariq Fadhilah (202010501311002)

Mohammad Zinedyne Zidane (202010510311025)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG (UMM)


FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayahnya semoga
kita semua dalam keadaan sehat walafiat tak kurang suatu apa dan sukses dalam
aktifitas sehari harinya, amin. Makalah ini dapat tersusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ushul fiqh II yang di berikan oleh bapak Agus Supriadi, Lc.,
MHI. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang
apa itu Ta’arudl al-Adillah dan bagaimana cara penyelesaiannya dan apa itu
mentarjih. Penulisan mungkin masih banyak kekuranganya jadi dimohon
memberi kritik dan saran untuk bisa lebih baik kedepanya.

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. pengertian Ta’arudl al-Adillah
B. cara menyelesaikan Ta’arudl al-Adillah di kalangan Mazhab Fiqih
C. Pengertian dan cara mentarjih
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

Al-Qur’an dan sunah sebagai sumber hukum Islam dalam menerangkan


pesan hukumnya menggunakan berbagai macam cara, adakalanya dengan tegas
dan adakalanya tidak tegas, ada yang dapat dipahami melalui arti bahasanya dan
ada pula melalui tujuan hukumnya. Pada satu kondisi juga terdapat pertentangan
atau kontradiksi antara satu dalil dengan dalil lainnya atau disebut Ta’arudl al-
Adillah yang memerlukan penyelesaian. Oleh karena itu, pemahaman tentang
adanya kontradiksi dalil secara lahir menurut para ulama mujtahid tentang ayat-
ayat hukum perlu ditelaah, karena setiap dalil yang dianggap kontradiksi oleh
ulama akan memiliki akibat hukum yang berbeda. Memahami kandungan ayat-
ayat hukum dan kemungkinan adanya kontradiksi dapat menjadi landasan
dalam menetapkan hukum, serta dapat menjadi solusi atas permasalahan baru
yang kompleks. Mengetahui dasar dan alasan pertentangan atau cara
menyelesaikan pertentangan suatu dalil dapat dijadikan perbandingan tentang
dalil mana yang lebih kuat untuk dipedomani dalam menerapkan hukumnya.

A. Latar belakang

Ta‟arudh al-adillah adalah sebuah konsep usul fikih yang


menggambarkan adanya beberapa dalil syariah yang merujuk kepada satu
masalah yang sama dengan ketentuan hukum yang berbeda bahkan berlawanan.
Dengan istilah lain frasa tersebut dapat diungkapkan dengan istilah konflik dalil
atau pertentangan dalil. Mengetahui adanya ta‟arudh al-adillah merupakan salah
satu cara untuk memahami hukum Islam dan mengeluarkan hukum dari sumber
aslinya, dalam usul fikih dikenal istilah turuq al-istinbath (metode menetapkan
hukum). Penerapan turuq al-istinbath ini, para fuqaha dapat memahami maksud,
tujuan dan cara pelaksanaan suatu hukum. Memahami ta‟arudh al-adillah,
fuqaha dapat menetapkan hukum, melaksanakan hukum dan menyelesaikan
hukum pada suatu permasalahan. Menemukan hukum dari sumbernya sangat
penting, karena realitas permasalahan kehidupan manusia mengalami
perkembangan dari masa ke masa, begitu pula pada era modern ini banyak
permasalahan yang muncul membutuhkan penyelesaian dari aspek hukum
Islam.

B. Rumusan Masalah

a. Apa pengertian dari ta‟arudh al-adillah


b. Bagaimana cara menyelesaikan Ta’arudl al-Adillah di kalangan Mazhab
Fiqih
c. Apa pengertian dan cara mentarjih

C. Tujuan

a. Untuk memhami pengertian dari ta‟arudh al-adillah


b. Supaya mengetahui bagaimana cara menyelesaikan Ta’arudl al-Adillah di
kalangan Mazhab Fiqih
c. Agar mengetahui pengertian dan cara mentarjih

BAB II

PEMBAHASAN

A. pengertian ta‟arudh al-adillah

Pertentangan atau kontradiksi dalam bahasa Arab disebut dengan


ta‟arudh, yang artinya ketidakpaduan satu dengan yang lainnya, atau
ketidakcocokan satu dengan yang lainnya. Wahbah az-Zuhaili, secara etimologi
berarti salah satu dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dari hukum
yang dikehendaki dalil lain. Asy-Syaukani dalam karya monumentalnya Irsyad
al-Fuhul menjelaskan berarti salah satu dari dua dalil menunjukkan pada hukum
suatu peristiwa tertentu, sedangkan dalil yang lain menunjukkan hukum yang
berbeda dengan itu. Menurut Abdul Wahab Khallaf yang perlu diperhatikan
dalam memahami ta‟arud al-adillah, yaitu bahwasannya tidak terdapat
kontradiksi yang sebenarnya antara dua ayat atau antara dua hadis yang sahih
atau antara ayat dan hadits sahih. Jika kelihatannya ada kontradiksi maka itu
hanya lahirnya saja sesuai dengan apa yang tampak pada akal, bukan
kontradiksi yang sebenarnya. Alasannya, karena Allah tidak mengeluarkan dua
hukum yang bertentangan untuk satu peristiwa dalam satu waktu. Tetapi jika
kontradiksi itu terjadi pada qiyas maka hal ini merupakan kontradiksi yang
sebenarnya, oleh karena itu boleh jadi salah satu dari dua qiyas itu ada
kesalahan. asy-Syatibi memandang bahwa pada hakikatnya ta‟arudh al-adillah
tidak mungkin terjadi, karena dasar syari‟ah adalah wahyu Allah. Adanya hal
itu hanya dari segi pandang mujtahid, manakala dua dalil tidak mungkin
dikompromikan. as-Syatibi berpendapat bahwa inti ta‟arudh ini berkisar pada
dua petunjuk yang berbeda, satu menafikan dan yang lain menetapkan. Seperti
memandang keserupaan yang berlaku pada suatu kasus, umpamanya dalam
kasus hamba yang dapat dilihat dari sudut manusianya (adami) atau dianggap
harta (mal). Contoh lain, pertentangan sebab-sebab, seperti mencampur adukan
mayat dengan binatang yang disembelih atau mencampuradukan istri dengan
perempuan ajnabiyah, karena masing-masingnya ada kemungkinan sebab
adanya yang dihalalkan dan diharamkan.

B. cara menyelesaikan Ta’arudl al-Adillah di kalangan Mazhab Fiqih

Manakala seorang ahli hukum Islam menemukan dalil-dalil yang


bertentangan, maka secara umum ditemukan dua metode penyelesaian. Pertama,
metode Hanafiyah, yaitu:
1. Menerapkan teori nasakh, yakni membatalkan hukum yang datang lebih
dahulu dengan dalil yang datang kemudian, setelah melalui usaha
penelitian eksistensi dalil dari sudut kesejarahan.
2. Menerapkan teori tarjih, yaitu berusaha menguatkan salah satu dari dalil-
dalil yang bertentangan tersebut berdasarkan petunjuk-petunjuk yang
mendukungnya, dengan memperhatikan segi petunjuk kandungan nash
dan segi keadilan para periwayat
3. Mengumpulkan dan mengompromikan dua dalil yang tampaknya
bertentangan berdasarkan prinsip pengamalan dua dalil lebih utama dan
pengabaiannya
4. Tasaqut ad-Dalilain, yaitu menggugurkan dua dalil yang tampak
bertentangan dan mencari dalil lain sekalipun derajatnya lebih rendah.
Kedua Metode Syafi‟iyah dalam menyelesaikan ta‟arudh al-adillah , yaitu:
1. Al-jam‟u wa at-taufiq (mengumpulkan dan mengompromikan)
2. Menetapkan teori nasakh (pembatalan hukum)
3. Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dalil atas yang lain
4. Takhyir, memilih salah satu dalil yang bertentangan
5. Tawaqquf, yaitu meninggalkan dua dalil yang bertentangan dan mencari
dari dalil yang lain
C. Pengertian dan cara mentarjih

Secara bahasa, tarjih artinya menguatkan atau memberatkan. Menurut


Ibnu Hajib dan al Amidi, tarjih didefinisikan sebagai membandingkan dua dalil
yang bertentangan dan mengambil yang terkuat di antara keduanya. Ulama
Mazhab Hanafi mendefinisikan tarjih sebagai kelebihan suatu dalil dari dalil
lainnya, sedangkan dalil itu sendiri tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, dua dalil
yang bertentangan itu memiliki kekuatan yang sama. Untuk memilih mana yang
dimenangkan, diperlukan dalil lain sebagai pendukung. Menurut Ensiklopedi
Islam, hakikat dan tujuan kedua definisi itu sama, yakni menguatkan salah satu
dalil dari dua dalil yang sama untuk diamalkan. Kedua dalil yang bertentangan
ini harus memiliki kedudukan yang sama, yakni zanni (tidak tegas). Munculnya
pertentangan dua dalil ini dimungkinkan oleh para mujtahid ketika mereka
membahas dalil-dalil yang ada. Namun mereka sepakat, pertentangan yang
dimaksud bersifat lahir zahiri saja karena pembuat hukum, yakni Allah SWT
tidak mungkin menurunkan dua perintah atau larangan yang saling
bertentangan.

Ada beberapa cara yang ditempuh dalam mentarjih atau menguatkan


salah satu di antara dua dalil yang bertentangan. Tarjih adakalanya berhubungan
dengan nash dan ada kalanya menyangkut pertentangan dalam qiyas. Terhadap
penyelesaian dua nash yang bertentangan, para ulama mengemukakan beberapa
langkah. Pentarjihan terhadap salah satu nash dilakukan dalam empat sisi.
Pertama, tarjih dari sisi sanad. Kedua dari sisi matan, ketiga dari sisi hukum
yang dikandung hadis, dan keempat dari indikator pendukung dalil lain. Tarjih
dari segi sanad oleh Imam ays-Syaukani dikatakan dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Pertama, tarjih dilihat dari segi rawi. Misalnya sanad yang
memiliki banyak rawi lebih dikuatkan daripada sanad yang rawinya sedikit.
Tarjih dipilih terhadap sanad yang salah satu rawinya lebih adil, lebih takwa,
dan lebih kuat ingatannya daripada rawi yang tidak demikian. Kedua, tarjih dari
segi yang diriwayatkan itu sendiri. Misalnya lebih menguatkan hadis mutawatir
(yang diriwayatkan banyak orang) daripada hadis masyhur (diriwayatkan
beberapa orang saja). Hadis masyhur lebih dikuatkan daripada hadis ahad (yang
diriwayatkan satu orang saja). Ketiga, mentarjih dari sisi cara menerima hadis.
Misalnya lebih menguatkan hadis yang diterima melalui pendengaran langsung
dari Nabi SAW daripada hadis yang didapati dalam tulisan saja. Keempat, tarjih
dari segi matan, menurut al-Amidi, dikatakan dapat dilakukan dengan beberapa
cara, misalnya matan yang sifatnya melarang lebih didahulukan daripada matan
yang sifatnya menyuruh. Matan yang menguatkan perintah didahulukan
daripada matan yang hanya sifatnya membolehkan.

Adapun tarjih melalui faktor luar, misalnya lebih mendahulukan amalan


ahli Madinah (penduduk Madinah) atau amalan Khulafaur Rasyidin daripada
amalan orang lainnya. Serta lebih menguatkan dalil yang didukung ijmak atau
qiyas daripada dalil yang sama sekali tidak didukung dalil lain. Jika yang
bertentangan itu antara qiyas dan qiyas maka dapat ditarjih dari tiga sisi, yakni
dari segi asl (pokok) dari segi furu (peristiwa hukum yang akan ditentukan
hukumnya) dari segi illat (sebab). Tarjih dari segi asl misalnya qiyas yang
hukum asalnya didasarkan dengan dalil qathi (jelas) lebih didahulukan daripada
qiyas yang didasarkan pada dalil zanni. Tarjih dari segi furu dapat dilakukan,
misalnya dengan mendahulukan qiyas yang furu-nya datang lebih dahulu atau
dengan cara mendahulukan qiyas yang sebabnya diketahui secara pasti daripada
yang penyebabnya masih zanni.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Ta‟arudh al-adillah adalah sebuah konsep usul fikih yang


menggambarkan adanya beberapa dalil syariah yang merujuk kepada satu
masalah yang sama dengan ketentuan hukum yang berbeda bahkan berlawanan
dan salah satu cara penyelesaian Ta‟arudh al-adillah ialah tarjih atau mentarjih
yang mana tarjih adalah menguatkan atau memberatkan salah satu dari dua dalil

DAFTAR PUSTAKA

DAHLIAH. (2013). METODE PENYELESAIAN TA‘A<RUD} AL-ADILLAH.

muftisany, h. (2015, januari 2). republika.co.id. Dipetik oktober 18, 2021, dari
https://www.republika.co.id/berita/nhjp69/mengenal-metode-tarjih

Nasution, M. F. (n.d.). Ta’arudh Adillah dan Solusinya .

Anda mungkin juga menyukai