Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin yang dianugrahkan
kepada seluruh umat manusia. Seiring dengan perkembangan zaman,
dalam situasi dan kondisi yang berubah-ubah tentu akan menimbulkan
berbagai pertanyaan mengenai permasalahan-permasalahan yang timbul di
masyarakat, mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, hukum, dan
lain-lain. Disinilah agama Islam terbukti sebagai agama yang mampu
menjawab segala permasalahan dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam hal ini maka para ulama’ mengeluarkan fatwa-fatwa hukum
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tentu dalam hal penetapan hukum
pasti ada banyaknya pertentangan antara dalil-dalil. Maka dalam masalah
ini para ulama’ menyelesaikannya dalam beberapa metode penyelesaian.
Yang dalam hal itu supaya dapat mewujudkan dalam kemaslahatan dan
mencegah atau menolak berbagai kerusakan bagi umat manusia. Dalam
konteks pertentangan-pertentangan yang terjadi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ta’arudh?
2. Apa pengertian nash?
3. Apa objek ta’arudh?
4. Bagaimana cara mempertentangkan dan mengunggulkannya antara
dalil umum dan dalil khusus itu berbeda?

1
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian ta’arudh
2. Mengetahui pengertian nash
3. Mengetahui objek dari ta’arudh
4. Mengetahui cara mempertentangkan dan mengunggulkannya antara
dalil umum dan dalil khusus itu berbeda?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’arudh
Secara etimologi, ta’arudh(‫ )التعارض‬berarti “pertentangan” dan adillah (
‫ )االدلة‬adalah jamak dari dalil yang berarti “alasan, argumen, dan dalil”.
Secara istilah ta’arudh berarti pertentangan dalil, yaitu satu dalil
menghasilkan ketentuan hukum yang berbeda bahkan berlawan dengan
ketentuan hukum yang dihasilkan oleh dalil lain.

 Pengertian Ta’arudh Menurut Para Tokoh


 Imam Al-Syaukani
Suatu dalil menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan
dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan itu.
 Kamal Ibn Al-Humam
Pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan kompromi antara
keduanya.
 Ali Hasaballah
Terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum
yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu
derajat.

B. Pengertian Nash
Menurut bahasa, nash adalah raf’u asy-sya’i atau munculnya segala
sesuatu yang tampak. Oleh sebab itu, dalam mimbar nash ini sering disebut
munashahat. Nash yaitu lafazh yang petunjuknya tegas untuk makna yang
dimaksudkan, tetapi menerima takhsis berupa ‘am dan menerima takwil kalau
berupa khas.
Secara istilah, nash berarti lafazh yang memiliki petunjuk yang tegas
sebagai makna yang dimaksudkan atau sesuatu lafazh yang tidak mungkin
mengandung pengertian lain tanpa ada faktor lain.

3
Dalam makna lain, nash merupakan kata yang memiliki makna yang
langsung dapat dipahami dengan mudah tanpa membutuhkan hal lain untuk
membantu memahaminya. Memahami makna lafazh atau kata nash sangatlah
penting untuk mengetahui maknanya dalam melakukan istinbat hukum
mempelajari nash adalah bagian terpenting.

 Pembagian Nash
1. Dzahir
Menurut Zaky Al-Din Sya’ban, zahir menurut kalagan hanafiyah
merupakan suatu lafazh nash yang dalalahnya dapat menunjukan kepada
pengertian yang jelas dan tidak diperlukannya sebuah unsur dari luar
untuk dipahami. Menurut pendapat ulama ushul, zahir wajib diamalkan
sesuai dengan makna yang terkandung selama tidak ada dalil yang
memalingkan maknanya.
2. Nash
Pengertian nash sebagian sudah dibahas pada bagian atas. Adapun
implikasi dari nash merupakan ketetapan hukum suatu hal yang telah
disebut untuk suatu hal lain, karena dipahami hubungan antara keduanya
hanya memahami susunan kalimatnya saja. Pada hal ini, nash lebih
memperjelas dari makna dzahir itu sendiri.
3. Mufassar
Mufassar merupakan suatu lafazh nash yang menunjukan kepada
suatu hal ketentuan hukum yang penunjukannya sangat jelas dan tidak
ada kemungkinan untuk di takwil. Definisi mufassar lebih jelas
dibandingkan nash dzahir dan nash. Dilalah mufassar wajib diamalkan
secara qath’I, selama tidak terdapat dalil yang merubahnya.
4. Muhkam
Muhkam berarti Atqana yang memiliki arti pasti atau tegas.
Sedangkan menurut istilahnya, muhkam ialah suatu lafazh yang
dalalahnya menunjukan makna yang jelas dan terang. Ketentuan yang

4
berlaku pada muhkam ini dalalahnya sudah pasti dan tingkatan ini tidak
bisa dirubah atau dibatalkan dan wajib mengamalkannya.

C. Objek Ta’arudh
Secara istilah ta’arudh berarti pertentangan dalil, yaitu satu dalil
menghasilkan ketentuan hukum yang berbeda bahkan berlawan dengan
ketentuan hukum yang dihasilkan oleh dalil lain. Oleh karena itu,
pertentangan mungkin terjadi antara dua ayat atau dua hadits yang mutawatir,
atau antara ayat dan hadits mutawatir atau dua hadits yang tidak mutawatir
atau antara dua qiyas.

D. Cara menyelesaikan pertentangan dalil


1. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Yaitu mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan kemudian
mengkompromikannya. Menurut ulama hanafiyah, jika dengan cara tarjih
tidak bisa diselesaikan, maka dalil-dalil tersebut dikumpulkan dan di
kompromikan.
Contoh al- jam’u wa al-taufiq:
Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 234 :
‫والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا‬
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antara mu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya
(ber ’iddah) empat bulan sepuluh hari.”
Di dalam QS. At-Thalaq ayat 4, Allah SWT juga berfirman,
‫واوالت االحمال اجلهن ان يضعن حملهن‬
Atinya: “ Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
Dari kedua ayat di atas, terjadi pertentangan dalil (ta’arudh
al-‘adillah), dalam QS. Al-Baqarah ayat 234 ditentukan masa ‘iddah
(menunggu). Wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan
sepulu hari dan tidak di tentukan apakah wanita tersebut dalam kondisi

5
hamil atau tidak. Sedangkan dalam QS. At-Thalaq ayat 4 bahwa wanita
yang hamil ‘ iddahnya sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak
membedakan antara cerai hidup (Talaq) atau cerai mati (kematian suami).
Dengan demikian, terdapat pertentangan kandungan kedua ayat tersebut
dari wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya.
Cara penyelesaian pertentangan kedua ayat di atas dengan
mengkompromikan antar dua dalil tersebut, agar kedua dalil tersebut dapat
difungsikan. oleh sebab itu, apabila kedua ayat diatas dikompromikan,
maka kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa masa ‘iddah bagi
wanita hamil yang di tinggal mati oleh suaminya adalah masa ‘iddah yang
terpanjang dari keduanya, yaitu 4 bulan 10 hari atau sampai melahirkan.
2. Tarjih
Apabila tidak dapat dikompromikan, maka jalan keluarnya adalah
dengan tarjih, yaitu dengan menguatkan salah satu diantara dua dalil yang
bertentangan dengan dalil tersebut.
3. Nasakh
Adalah membatalkan hukum yang ada, didasarkan dalil yang
datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum
pertama. Dalam hubungan ini, seorang mujtahid harus berusaha untuk
mencari sejarah munculnya kedua dalil tersebut. Apabila dalam
pelacakannyasatu dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainnya, maka yang
ia ambil adalah dalil yang datang kemudian.
Contoh Nasakh
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 180 menegaskan :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu,
bapak, dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa‫”ز‬
Makna kandungan ayat ini adalah, Allah SWT mewajibkan kepada setiap
orang yang akan meninggal dunia untuk berwasiat kepada orang tua dan
kerabatnya tentang hartanya. Akan tetapi, belakangan turun ayat-ayat

6
tentang warisan yang terdapat dalam surat An-Nisa yang menjelaskan
bagian warisan orang tua dan kerbat. Ketentuan wajib berwasiat menjadi
mansukh karena turunnya ayat-ayat warisan pada QS. An-Nisa
4. Tasaquth Ad-Dalilain (menggugurkan dua dalil)
Untuk menghilangkan keragu-raguan perlu dijelaskan bahwa
pengertian menggugurkan dua dalil yang saling bertentangan tidak berarti
secara otomatis kedua dalil tersebut tidak dipakai sama sekali, melainkan
terkadang dengan cara mencarikan dalil lain untuk menjelaskan maksud
dari kedua dalil yang bertentangan. Hal ini karena dua dalil yang saling
bertentangan terkadang sama-sama mengandung makna umum.
Contoh penyelesaian ta’arudh dengan menerapkan metode tasaquth ad-
dalilain ialah, firman Allah SWT pada QS. Al-Muzammil ayat 20 :
‫فا قرءوا ما تيسر من القران‬
“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.”
Sedangkan pada QS. Al-A’raf ayat 204 Allah SWT berfirman :
‫واذا قرءى القران فاستمعوا له وانصتوا لعلكم ترحمون‬
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan
perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”
Ayat pertama secara umum mewajibkan orang yang sholat, termasuk
makmum, untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah dibaca, sebab
konteks ayat tersebut berbicara dalam konteks sholat. Sedangkan ayat
yang kedua menegasikan kewajiban membaca Al-Qur’an, sebab yang
diperintahkan adalah mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam
dalam sholat. Mengamalkan kedua ayat tersebut sekaligus tidak dapat
terlaksana dengan baik. Artinya, membaca Al-Qur’an sambil
mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam tidak dapat dilakukan
secara bersamaan. Dengan demikian, kedua ayat tersebut mengandung
makna umum yang saling bertentangan. Oleh karena itu, cara yang
dilakukan adalah tawaqquf (tidak mengamalkan kedua dalil) sampai

7
ditemukan dalil lain yang menjelaskan masalah tersebut. Dalam hal ini
dicarikan penjelasannya pada hadits yang menjelaskan. :1
‫من كان له امام فقراءة االمام له قراءة‬
Demikian juga dalam hadits riwayat al-Baihaqi bahwa Rasulullah SAW
bersabda :2
‫من صلى خلف االمام فان قراءة االمام له قراءة‬
“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, maka sesungguhnya bacaan
imam juga menjadi bacaan baginya.”
Sebagaimana telah dijelaskan, penerapan metode tasaquth ad-dalilain
hanya dapat ditempuh setelah lebih dahulu diperhatikan kemungkinan
3
pengompromian antara dua dalil yang bertentangan, baik dengan metode
al-jam’wa at-tawfiq atau an-naskh, atau at-tarjih, sesuai dengan urutan
menurut madzhab masing-masing. Apabila metode-metode tersebut tidak
mungkin ditempuh, barulah metode ini ditempuh.

BAB III
1
Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, hadis nomor 840; Ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni, hadits
nomor 1246.
2
Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, juz II, tt, ttp, hlm. 159.
3
Al-Bukhari, Kasyf al-Asrar ‘An Ushul al-Bazdawi, jilid III, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1991, hlm.
162-165.

8
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah kami sampaikan dalam makalah ini.
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian terhadap ta`arudh al-
adillah atau dalil-dalil yang bertentangan dapat menggunakan metode al-
jam`u wa al-taufiq, tarjih, naskh, dan tasaqut al-dalalain. Tidak ada
perbedaan pendapat dalam metode penyelesain terhadap ta`arudh al-
adillah atau dalil-dalil yang bertentangan. Namun terjadi perbedaan
pendapat dalam tahapan metode antara ulama Hanafiyyah yang
mendahulukan tarjih, lalu naskh,lalu al-jam`u wa al-taufiq, dan terakhir
tasaqut al-dalalain. Sedangakan ulama Syafi`iyyah, Malikiyyah, dan
Hanabilah mendahuluan al-jam`u wa al-taufiq, tarjih, naskh, dan tasaqut
al-dalalain.

B. Saran
Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekeliruan yang
terdapat dalam penyusuanan makalah ini, baik dari segi penulisan maupun
dalam pembasannya. Oleh karena itu, penulis memohon saran dan
kritikannya yang bersifat membangun sehingga dalam penyusunan
makalah-makalah selanjutnya dapat lebih sempurna.

9
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan,Abdurrahman. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: AMZAH


https://fakagamauisu.wordpress.com/artikel/ta%E2%80%99-arudh-al-
adillah-dan-solusinya/ Diunduh pada 10/12/2019 06.18 WIB.
http://kisahgadihrantau.blogspot.com/2017/05/makalah-ushul-fiqh-
taarudh-al-adillah.html Diunduh pada 10/12/2019 06.37 WIB.
https://www.kanezawa45.xyz/2019/02/taarudh-al-adillah-dan-metode.html
Diunduh pada 10/12/2019 06.10 WIB.

10

Anda mungkin juga menyukai