Anda di halaman 1dari 12

PERBANDINGAN PEMAHAMAN LAFAL NAS DAN

KARAKTERISTIKNYA
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Aziz, M.Ag.

Di susun oleh :

Kelompok 7

Lailatul Mufidah Thoatillah / 202111161

088215723934

Ahmad Miftahurryan / 202111162

08988523413

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS RADEN MAS SAID

2023
PENDAHULUAN

Ta'wil memiliki kaitan yang cukup erat dengan tafsir. Ta'wil merupakan pendalaman makna
(intensification of meaning) dari tafsir. Ruang lingkup ta'wil lebih dalam dari pada tafsir, tafsir
mengungkap makna suatu lafazh yang tersembunyi dan hanya memiliki satu makna, sedangkan
ta'wil memilih makna dari sebuah lafazh yang ambigu yang memiliki beberapa makna berdasarkan
garinah. Terkadang tawil juga mengungkap makna yang tidak bisa diungkap tafsir. Para ulama juga
telah membagi ruang lingkup tafsir dan ta'will, ruang lingkup ta'wil lebih dalam dan lebih sulit dari
pada ruang lingkup tafsir. Dalam kajian ilmu tafsir, nash dan zhahir adalah bagian dari pembahasan
tafsir, sedangkan yang terdalam; muawwal, dalalah, iqtidha, dan dalalah isharah adalah bagian dan
pembahasan ta'wil.
Sedangkan dalam kajian ushul fiqh, yang menjadi objek ta 'wil adalah an-nash dan azh-
zhahir. Sedangkan mufassar dan muhkam adalah bagian tafsir. Dalam kaitannya dengan masalah
makna, pengalihan makna suatu lafazh dari yang kuat kepada makna yang lemah harus
memperhatikan; makna lughawi, makna istilah-istilah syar'i, dan makna istilah dalam urf tertentu
seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya. Setiap lafazhi harus
dikembalikan maknanya kepada tiga macam makna tersebut sesuai dengan garinah lafazhnya, Jika
menunjukkan kepada makna lughawi maka harus dikembalikan kepada makna lughawi, jika
menunjukkan
Lafaz merupakan suatu ungkapkan yang dengannya dapat dipahami satu hal. Namun makna
dari lafaz itu sangat dipengaruhi dengan sesuatu yang bergandengan dengannya. Makna daripada
lafaz bisa saja bermakna âm (umum) khâs (khusus), muthlaq (pasti) dan muqayyad (terikat) . Aspek
cakupan lafaz yaitu: pertama, segi cakupan lafaz terhadap bagian satuan yang termasuk di dalamnya,
dalam hal ini ‘âm dan khâs; kedua, dari segi sifat yang ditentukannya yaitu muthlaq dan muqayyad,
dan hal-hal berkaitan dengan keduanya Keadaan tiapm-tiap lafal dari segi dibatasinya atau tidaknya
lafal, tampak bahwa ada keadaanya bebas dan tidak dibatasi penggunaanya oleh yang lain dan adap
pula hal-hal yang membatasi disebut al qaid.
PEMBAHASAN

A. Pengunaan dalalah ta’wil


1. Pengertian ta’wil
Tawil adalah "memindahkan suatu perkataan dari makna yang terang (dzalir) kepada makna
yang tidak terang (lemah) karenp;.a ada suatu dalil yang menyebabkan makna yang kedua tersebut
harus dipakai. Sedangkan Ta'wil menurut bahasa berarti al-Tafsir (penjelasan atau uraian) sedangkan
secara istilah sebagaimana didefinisikan oleh Abdul Wahab Khallaf:

‫ص ْرف اللَّ ْفظ ع ْن ظاهر بدليْل‬

Artinya: "Memalingkan lafaz dari zahir-nya karena ada dalil (indikator)."

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa makna lain yang ditunjukkan oleh dalil itu memiliki
kedudukan yang lebih kuat dibanding makna zahir-nya. Dengan demikian, al-Ghazali
mendefinisikan ta'wil adalah "ungkapan tentang pengalihan makna dari lafaz zahir yang
didukung oleh dalil dan menjadikan arti itu lebih kuat di banding makna yang ditunjukan oleh
makna zahir.

َّ ‫يد‬
Contoh: ‫ّللا ف ْوق أيْديه ْم‬

Artinya: tangan Allah di atas tangan mereka... (QS. al-Fath/48: 10) Kata "yadullah" (tangan
Allah) dalam surat al-Fath ayat 10 sebagaimana tersebut di atas tawil dengan "al-qudratu"
artinya "kekua- saan Allah."

Abdul Wahab Khallaf menegaskan dalam kitabnya ilmu ushul fiqh bahwa ta'wil dianggap sah/benar
jika diperkuat oleh dalil syariat baik nas (al-Qur'an dan hadis) atau qiyas, atau ruh tasyri', dan dasar-
dasarnya yang bersifat umum. Jika tidak didasari oleh dalil syariat tetapi hanya didasari oleh hawa nafsu
atau tujuan tertentu atau memperkuat pendapat tertentu maka tawil seperti itu dihukum fasid atau tidak sah.
Demikian juga ta'wil yang bertentangan dengan nas yang shari (tawil fasid) atau ta'wil kepada sesuatu yang
tidak mungkin Juangkau oleh lafaz itu, maka dua macam tawil seperti yang tersebut erakhir ini juga
dihukum fasid (batil), Adib Shalih sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, menurutnya

Ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh ta'wil:

a. Lafaz yang hendak di-ta'wil itu mengandung beberapa pengertian baik dari segi bahasa seperti
makna hakikat dan majazinya, atau dari segi kebiasaan orang Arab menggunakan lafaz itu atau dari
segi penggunaan lafaz itu dalam syariat Islam.
b. Ada indikator bahwa yang dimaksud oleh pembicara itu bukan makna zahir-nya tetapi makna yang
bukan zahir dan indikator ini lebih kuat dibanding dengan menetapkan makna zahir-nya.
Melengkapi syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas, Abu Zahra mensyaratkan ta'wil sebagai berikut:

a. Lafaz ta'wil itu mengandung arti yang memungkinkan artinya tidak mengandung makna yang jauh
atau asing.
b. Makna zahir nas itu mengandung arti yang bertentangan dengan hukum agama secara pasti.
c. Dalam ta'wil harus mengandung sanad (dasar) yang kuat.
1. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan ta’wil

Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan Ta'wil

‫ْالفر ْوع يدْخله التَّأْويل ْالفاقًا‬

Artinya: "Masalah cabang (furu') dapat dimasuki ta'wil berdasar kan konsensus."

‫األصول ال يدْخله التَّأْويل‬

Artinya: "Masalah Ushuluddin tidak dapat menerima ta'wil". Kaidah berlaku untuk kaum
Musyabbihah. Maka arti tangan Allah tidak dapat dipalingkan maknanya. la tetap bermakna tangan.
Adapun ulama salaf seperti Hanbaliah dan Ibn Taimiyah perbolehkan adanya ta'wil pada masalah
ushuluddin namun pada akhirnya ia memilih tafwidh (menyerahkan arti sebenarnya kepada Allah).
Adapun golongan Mutakallimin seperti Asy'ariyah memboleh kan adanya ta'wil pada masalah esensi
(ushuluddin).
2. Pembagian Ta'wil

Dalam ta'wil dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu objek ta'wil, subjek ta'wil dan makna ta'wil.

Objek ta'wil. Menurut objeknya, ta'wil dapat dibedakan menjadi:

a) Ayat tasybih, yaitu ayat yang mengandung pengertian penyerupaan Tuhan dengan makhluk,
contoh

)٤( ‫الرحْمن على ْالع ْرش اسْتوى‬


َّ

Artinya: "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di Arasy" (QS. Thaha: 5)

b) Ayat taklif, yaitu ayat yang mengandung tuntutan perbuatan orang mukallaf, contoh:

‫ت عليْكم ْالميْتة والدَّم ولحْ م‬


ْ ‫حرم‬

Artinya: "Diharamkan bagimu bangkai, darah dan daging babi." (QS. al Maidah: 3)

3. Subjek Tawil
a. Subjek aqli, yaitu me-tawilkan suatu nash sesuai dengan dalil-dalil akal dan utusan Bahasa Arab.
Contoh kata "bersemayam" dalam ayat 5 Surat Thaha ditawilkan dengan berkuasa, sehingga
dapat dipahamkan Allah SWT berkuasa di atas Arasy.
b. Subjek naqli, yaitu men tawil-kan suatu nash dengan nash, baik Alquran maupun hadis. Contoh
dalam ayat 3 Surat al Maidah disebutkan bahwa semua darah haram kemudian datanglah
takhshish ayat:

ْ ‫ي مح َّر ًما على طاعم ي‬


‫طعمه إ َّال أن يكون ميْتةً أ ْو د ًما َّمسْفو ًحا أ ْو ل ْحم خنزير‬ َّ ‫قل َّال أجد في ما أوحي إل‬

Artinya: "Katakanlah, tidak aku peroleh dalam wahyu yang diwah- yukan kepadaku sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah
mengalir atau daging babi..." (QS. al An'am: 145).

Dalam ayat tersebut, dapat dipahami bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
Ayat kedua ini meru- pakan ta'wil ayat yang pertama (ayat 3 Surat al Maidah).

4. Makna Tawil
a. Tawil jauh, yaitu suatu ta wil yang tidak dikandung oleh perkataannya. Contoh hadis yang
artinya: "Setiap empat puluh ckor kambing zakatnya seekor kambing" (HR. Bukahari)
Menurut madzhab Hanafi, arti ta'wil hadis tersebut adalah boleh mengganti dengan harga
seekor kambing karena hal ini sesugai dengan tujuan zakat, yaitu menolong orang miskin.
b. Tawil dekat, yaitu suatu tu wil yang terkandung dalam perkataan. Menurut madzhab Syafi'l
zakat seekor kambing seperti dalam hadis di atas tidak boleh ditambah dan dikurangi dan
tidak boleh diganti dengan yang lain.
5. Syarat Ta'wil
1) Lafal tersebut memang menyimpan lafal ta'wil, walaupun itu sangat jauh.
2) Ada faktor yang memaksa diterapkannya ta'wil.
3) Ta'wil itu harus berdasar atas samad yang bisa dipegang sebagai faktor penyebab
diterapkannya ta'wil.
6. Hukum Ta'wil
Ta'wil yang memenuhi syarat disebut ta'wil shahih yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
Ta'wil yang batal, yaitu ta'wil yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, seperti tidak adanya faktor
penyebab, bertentangan dengan dalil qath'i, ta'wil ini tidak dapat dijadikan hujjah. Ta'wil yang sah
merupakan salah satu dari instinbath agli (metode penetapan hukum dengan akal) yang dianggap
valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana dalam ayat- ayat tasybih, apabila tidak
diadakan pen-ta'wil-an dikhawatirkan akan adanya penyerupaan Allah SWT dengan makhluk, seperti
tangan Allah SWT, apabila tidak di-ta'wil-kan dengan kekuasaan Allah SWT, berarti Allah SWT
juga memunyai tangan seperti manusia
B. Penggunaan dalalah mutlaq dan muqayyad
1. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad

Mutlaq merupakan lafaz yang menunjukkan sesuatu yang tidak dibatasi oleh suatu batasan yang
akan mengurangi jangkauan maknanya secara keseluruhan.. Tidak terbatas satu atau lebih dan tidak
dibatasi apakah budak mukmin ataupun bukan mukmin.

Kaidah yang berhubungan dengan mutlaq:

ْ ‫طَلقه على يبْقى ْالم‬


‫طلق‬ ْ ‫ن ْفسيده على دليْل يق ْم ل ْم ما إ‬

“Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakannya se- nada dalil yang membatasinya.”

Secara tegas Muhammad Jawad Mughniyah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Mutlaq
ialah suatu lafal yang menun jukkan satu bagian atau jenis, tanpa ada pengecualiannya: seperti
nama orang, hamba sahaya atau orang Persi.

“dalam kitab Ilmu Ushul Fi Sambih al-Jadid, menyebutkan sebagai berikut:

‫ ان المطلق هو اللفظ الدال على الماهية بَل قيد‬.

“Bahawa Mutlaq itu adalah suatu lafal yang menunjukkan kepada suatu pengertian tanpa diikat oleh
batasan tertentu”.Bahwa pada hakekat- nya apa yang disebut dengan Mutlaq itu merupakan suatu
lafal nash yang tertentu yang tidak atau tanpa adanya batasan yang mempersempit cakupan artinya.

Contoh :

‫يتس َّما ْن أقبْل م ْن رقبة فت ْحرير‬

“Maka (wajib)atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur”
Dalam ayat di atas terdapat lafal "‫ "رقية‬budak yang tidak ada) batasannya berupa sifat atau keadaan
lainnya yang membatasi ini digolongkan kepada Mutlay (‫ )رقية‬ahupannya Sehingga latal karena
mencakup seluruh budak. Sedangkan pengertian Muqayat bermkna sebaliknya dari Mutlaq. Menurut
oleh Syaikh al-Khudari Belk, "sebagai berikut:

‫ المقيد ما دل على فرد أو أفراد شائعة بعيد مستقبل الفضَل‬.

Muqayyad ialah lafal yang menunjukkan kepada suatu objek (afrad) atau beberapa objek tertentu
yang dibatasi oleh lafal tertentu. contoh yang sering dimunculkan adalah sebagai berikut

‫لى إ مسلمة دية و مؤْ منة رقية فتحرير‬. ‫أ ْهله‬

“Maka hendaklah mendakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya”.
2. Kedudukan Lafal Mutlaq dan Muqayyad

Prinsip dasar yang harus diperhatikan terhadap lafal nash mutlaq dan Mugayad ini adalah
lafal Mutlaq tetap pada ke Mutlaqan nya-selama tidak ada dalil yang memberikan Qayid (batasan)
dan begitu pula sebaliknya, mugayal tetap pada kemuqayadannya. Jika latal mutlaq terdapat suatu
dalil yang memberikan Qayid maka a berubah tidak mutlaq lagi. Dengan kata lain, lafal Mutlaqakan
berubah jika ada Qayid sebagai penjelasan dan yang dipakai adalah yang disebut terakhir ini. Ada
dua segi yang harus diperhatikan dalam melihat kedudukan lafal mutlaq dan Muqayad ini.
Pertama, membawa Mutlaq kepada muqayad- jika di dalam nash terdapat latal Mutlaq, kemudian
di tempat lain disebutkan dengan muqayyad Hal seperti ini ada beberapa ketentuan yaitu:
a. Jika ketentuan hukum sama dan sebab penetapannya juga sama. Hal inilah yang diistilahkan
oleh Syaikh al-Khudari Beik dengan (L), Sebagai contoh, dalam Al- Qur'an di jelaskan
sebagai berikut:

ْ ‫حرم‬
‫ت عليْكم المة والدَّم ول ْحم الجنزير‬

Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi... (QS. Al- Maidah: 3)

b. Ketentuan hukum berlaku sama, tetapi sebab yang melatarbelakangi penetapannya berbeda.
Sebagai contoh, yaitu tentang kafarat (denda) zhahar dan kafarat pembunuhan tak sengaja
(tersalah) dengan memerdekakan seseorang budak. Kafarat zhihar disebutkan dengan lafal
mutlaq, seperti dalam ayat berikut ini

‫الذين يظاهرون م ْن ساته ْم ث َّم يعودون لما قالوا فت ْحرير رقبة م ْن قبْل أ ْن‬

Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka hendaklah inmemerdekakan budak sebelum keduanya
bergaul (QS Al Mujadilah.

Kedua, Mutlaq tidak dibawa ke Muqayyad Dalam hal seperti ini ada dua hal yang
harus diperhatikan.Jika ketentuan hukum Mutlaq danMuqayat berbeda serta latar belakang
kasusnya (sebab) juga berbeda, maka Mutlay tidak dibawa kepada mugayad Abdul Karim
Zaidan menyebutkan bahwa jika ketentuan hukum dan sebab pada mutlaq dan Muqayad
berbeda, maka ia tetap pada tempatnya masing- masing. Artinya ketentuan hukum Mutlaq
diamalkan sesuai dengan kemutlaqannya dan demikian pula dengan muqayyad.
Ketentuan hukum berbeda tetapi latar belakang kasusnya (sebab) adalah sama Dalam
hal ini, maka multaq dan Muqayad diamalkan sesuai dengan ketentuan hukumnya masing-
masing. Misalnya, tentang wudlu dan tayamum Dalam soal wudhlu disuruh membasuh kedua
tangan hingga siku adalah Muqayad. Sementara dalam soal tayamum disuruh mengusap
kedua tangan, tetapi disebut dalam bentuk Mutlaq, seperti
‫امسحوا‬
ْ ‫م ْنه وج ْومك ْم وأيْديك ْم قيموا طيبًا صعيدًا ف‬
“Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang bersid sapulah (usaplah) wajahmu dan
tanganmu dengan tanah tersebut.

Dari apa yang telah dikemukakan, dapat dipaham bahwa antara mutlaq dan muqayad pada satu
sisi dapat disankan atau disamakan pengamalannya dan pada sisi yang lain diamalkas sesuai
ketentuannya masing-masing. Artinya, jika antara Mutlaqdan Muqayad ketentuan hukum nya
sama sebab yang melatarbelakang juga sama atau ketentuan hukum sama, tetapi sebabnya
berbeda jika ketentuan hukum dan sebab antara Mutlaq dan muqayyad berbeda atau ketentuan
hukumnya berbeda dan sebabnya sama, maka tetap pada tempatnya masing-masing dan mutlaq
tidak di bawa ke muqayad dan begitu pula sebaliknya.

3. Perbandingan lafal Nas dan Karakteristiknya


Perbedaan di kalangan ulama ushal terlihat dari segi penta' wilan dan hasilnya Perbedaan ini
terutama terlihat diantatra mazhab Syafi' i dengan mazhab Hanafi. Serta Ulama mazhab berbeda
pendapat dalam hal ketentuan hukum antara dalalah mutlaq dan muqayyad adalah sama,
sementara sebabnya berbeda. Sebagai berikut :

a. Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana


Pandangan ulama tentang dalalah mutlaq dan dijelaskan oleh Mustafa Said al-Khin,
muqayyad. bahwa pada dasarnya setiap dalalah
lafal nash yang bersumber dari Syari'
mengandung ketentuan hukum
tersendiri. Oleh karena itu, lafal Mutlag
tetap Mutlaq danMuqiyad tetap
Munayad sebab secara substansial setiap
nash mempunyai hujah tersendiri.
Dengan demikian Mutlaq tidak boleh
disatukan dengan Muqayad, kecuali
ketika menafikan ketentuan hukum
antara keduanya.
b. Kalangan jumhur ulama’
Mutlaq harus dibawa kepada Muqayyad
adalah karena Al-Quran itu merupakan
ibarat satu perkataan (5) yang wajib men
bina antara satu bagian dengan yang
lamnya. Jika terdap satu perkataan
dalam Al-Qur'an yang ketentuan
hukumny sudah pasti maka ketentuan
hukum tersebut berlaku sama di semua
tempat Menurut penjelasan Muhammad
Zahrah apabila terdapat satu tempat
suatu ketentuan secara Muqayyad dan
ditempat lain Mutlaq, maka Mutlaq
dibawa kepada muqayyad karena pada
hakekatnya keduanya adalah satu
ketentuan. Lebih lanjut Abu Zahrah"
bahwa bila ketentuan hukum antara
Mutlaq dan Muqayyas sama dan
sebabnya berbeda maka keduanya harus
diperlakukan sama, yaitu dengan
membawa Mutlaq kepada Muqayad

a. Madzhab Syafi'i
Pandangan Ulama tentang dalalah ta'wil Ulama dari mazhab Syafi'i banyak
menolak dan menyatakan bahwa Ta'wil yang
dilakukan oleh madzhab Hanafi tersebut batal
serta jauh dari kebenaran. Sebagai contoh,
Ta'wil yang ditolak oleh mazhab Syafi'i tersebut
adalah tentang zakat kambing Dalam hadits
Nabi, seperti di-kutip oleh Zaky al-Din Sya'ban"
dijelaskan sebagai berikut
"Setiap empat puluh ekor kambing,
zakatnya harus dikeluarkan satu ekor" . Bahwa
berdasarakan zahir nash yang dituntut itu wajib
mengeluarkan zakat seekor kambing,karena
syari ' telah menentukan demikian. Kemudian
zakat yang dikendaki syari' agar tercipta
hubungan fakir miskin dengan orang kaya
melalui jenis harta. Serta kewajiban
mengeluarkan seekor kambing dari setiap empat
puluh ekor tidak dapat diganti dengan nilai
harga.
b. Madzhab Hanafi
Mazhab Hanafi menta'wilkan hadits ini
bahwa yang dimaksud disamping "kambing itu
sendiri bisa juga nilai harga dari kambing
tersebut. Dengan kata lain kewajiban
mengeluarkan zakat seekor kambing bila telah
mencapai empat puluh ekor, bukan maksudnya
khusus kambing tetapi dapat dinilai dengan
harganya. Penta'wilan seperti ini, karena
memurut mazhab Hanafi bahwa tujuan
diwajibkannya zakat adalah untuk
menanggulangi kebutuhan fakir miskin. Oleh
karena itu, dalam pandangan mazhab Hanafi.
Barang siapa yang mempunyai empat puluh
ekor kambing maka wajib mengeluarkan
zakatnya dan boleh dengan membayar (uang )
senilai harga seekor kambing.
KESIMPULAN

Penta'wilan dapat diterima sepanjang memnuhi persyaratan yang telah ditentukan. Dan yang
paling penting Ta'wil boleh dilakukan bila tidak berlawanan dengan nash yang sarih, dengan kata
lain, kedudukan dalalah ta'wil yang memenuhi persyaratan dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum. Dari perbedaan kedua kelompok di atas, ternyata mereka berbeda dalam memandang dalalah
Mutlaq dan Muqayad ketika ketentuan hukum antara keduanya sama sedangkan sebab berbeda.
Perbedaan ini setidaknya dilatarbelakangi oleh perbedaan dalam memahami dalalah Mutlaq dan
Mugayad ketika terdapatnya kesamaan hukum dan berbeda sebab yang melatarbelakangi antara
keduanya. Bagi kalangan Hanafi tidak mungkin Mutlaq digabungkan ke Muqayad, karena dalalah
keduanya -Mutlaq dan Muqayad- tidak sama. Sebab, menurut kalangan Hanafi setiap dalalah lafal
nash yang datang dari syari' mempunyai ketentuan hukum tersendiri, yaitu Mutlaq tetap pada
tempatnya dan demikian pula dengan Muqayad. Berbeda halnya dengan kalangan jumhur. Kalangan
junhur melihat bahwa antara dalalah Mutlaq dan Muqayad. dapat disatukan jika ketentuan hukumnya
terdapat kesamaan katena pada hakekatnya ketentuan hukum tersebut adalah satu dan tidak boleh
terjadi perlawanan antara satu dengan yang lainnya.Dari perbedaan kedua kelompok di atas dan
memperlihatkan mereka masing-masing, maka menurut pendapat Abu yang terkuat adalah apa yang
menjadi pegangan Zahrah, kalangan jumhur.
DAFTAR PUSTAKA

Prof Dr.H.Romli SA.,M.Ag, “Studi Perbandingan Ushul Fiqh”, Kencana: Jakarta, 2021

Padil dan Fahim Tharaba, Ushul Fiqh “Dasar, Sejarah, dan Aplikasi Ushul Fiqh dalam Ranah Sosial”,
Madani: Malang, 2017, Cet ke-5

Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Kencana: Jakarta, 2011

HAND OUT

TANYA JAWAB

FOTO DISKUSI

Anda mungkin juga menyukai