Anda di halaman 1dari 19

Ta’wil dan Nasakh, Muradif dan Musytarak

Dosen pengampu : Bapak Mu’inan, S.H.I., M.S.I

disusun oleh:

1. Tiara Erlinda Faustina 222200404


2. Cahya Miftha A 222200407
3. Maylani Intan Mutmainah 222200409
4. Hervina Aprilia Wati 222200411

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ALMA ATA
YOGYAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulilah robbil’alamin, penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT,
karena telah memberikan nikmat, karunia, taufik dan hidayah-Nya. Sehingga penulis bisa
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Ta’wil dan Nasakh, Muradif dan Musytarak”.
Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, kepada keluarga, sahabat serta para pengikutnya yang menjadi suri tauladan yang baik.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua orang
yang telah memberikan semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas ini kepada dosen
pengampu kami, Bapak Mu’inan, S.H.I., M.S.I . Makalah ini akan disusun melalui beberapa
sumber yang melalui studi pustaka dan melalui media internet.

Demikian tugas ini saya buat, jika ada kesalahan dalam penulisan atau ada ketidak
sesuaian dalam materi yang saya angkat selama penulisan ini, saya mohon maaf, penulis
menerima kritik dan saran yang seluas-luasnya dari para pembaca agar dapat membuat tulisan
yang lebih baik lagi pada kesempatan berikutnya.

Yogyakarta, 31 Mei 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Keilmuan Islam salah satunya membicarakan mengenai Ilmu Syari’ah yang
memiliki dua hal pokok yang mendasar. Pertama, untuk memenuhi usaha kebahagiaan
dunia dan akhirat, seorang muslim memerlukan materi perangkat ketentuan tersebut
yang disebut Fiqih. Lalu pokok yang kedua, sebelum adanya produk materi perangkat
Fiqih perlu diketahui tentang cara yang diusahakan dalam menetapkan ketentuan yang
akan melahirkan materi fiqih tersebut yang disebut Ushul fiqih. Ushul fiqih sebagai
mata ajaran inti dalam keilmuan agama Islam. Mempelajari ushul fiqih dan ilmu fiqih
diajarkan secara beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Karenanya di dalam Ushul
fiqih memiliki kumpulan kaidah-kaidah dan metode yang akan memiliki peran dalam
memberikan aturan dan arahan dalam menetapkan hukum Islam.
Alquran sendiri dalam memahaminya secara tepat dan benar, maka sudah
seharusnya dalam memahami kaidah dalam kebahasaannya terlebih dahulu. Seorang
harus memahami arti kata serta maksud kalimat dalam mengkaji Alquran. Alquran
tersusun dari sebuah kata yang memiliki nilai seni sebagai wujud kekuasaan Allah
SWT dalam mengatur kehidupan manusia, yang oleh karenanya dalam memahaminya
memperlukan kaidah menasakhkan, menta’wilkan, memuradifkan dan
memusytarakkan sebuah lafadz di dalamnya.
Sehingga untuk menghindari suatu kesalahan dalam penafsiran diperlukan
seorang penafsir memahami lafadz itu sendiri dalam memaknai sebuah lafadz dengan
beberapa kaidah yang meliputi takwil, nasakh, muradif, dan musytarak.
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ta’wil
A. Pengertian Ta’wil
Pada awalnya At-Ta’wil (‫ )التأوي;;ل‬berasal dari kata dasar awwala-
yu’awwilu. ((‫يؤول‬-‫ اول‬yang memiliki arti: penjelasan dan dari arti ini sama
seperti kata al-tafsir yang berarti: uraian, tafsir, atau dari kata al-marju’ (
‫ )المرج;;وع‬yang mengandung arti tempat kembali atau al-jaza’ (‫ )الج;;زاء‬yaitu
balasan. Al-Muawwal yang merupakan bentuk isim maf’ul dari kata mashdar
al-ta’wil yang dalam bahasa berawal dari kata ala, ya’ulu yang berati: kembali.
Jadi ta’wil menurut pengertian secara istilah, dalam hal ini para ahli ushul
berbeda dalam mendefinisikannya, diantaranya adalah:
a. Al-Amidiy

‫التأويل هو حمل اللفظ على غيره مدلوله الظاهر منه مع احتماله بدليل يعضده‬

Yang memiliki arti Ta’wil yaitu membawa arti lafadz dzahir yang
mempunyai probabilitas (ihtimal atau kemungkinan-kemungkinan) kepada arti
lain yang didukung dalil.

b. Imam al-Ghazaly

‫التأويل هو عبارة عن احتمال يعضده دليل يصير ب;;ه اغلب على الظن من المع;;نى ال;;ذي‬
‫يدل عليه الظاهر‬

Yang mengandung arti Ta’wil adalah suatu ungkapan tentang


pengambilan arti dari lafal yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil
dan menjadikan arti yang lebih kuat dari arti yang ditunjuk oleh lafal dzahir.

Dari hal tersebut dapat didefinisikan yang terbagi dalam beberapa


definisi dapat diartikan bahwa ta’wil adalah memindahkan suatu perkataan
dari arti yang jelas (dzahir) kepada arti yang tidak jelas (lemah atau marjuh),
yang kemungkinan besar lebih sesuai karena ada alasan yang kuat, sehingga
arti lain inilah yang dianggap lebih sesuai. Oleh sebab itu, adanya
ketidaksesuaian arti lahir dengan arti hakiki, menjadi penyebab adanya
penta’wilan, sehingga dalil hasil penta’wilan yang semestinya tidak kuat atau
lemah (marjuh) menjadi kuat (wajih).
Dapat dijelaskan pula bahwa di dalam hukum Islam yang dimaksud
dari ta’wil itu sendiri yakni memindahkan suatu kata dengan maksud yang
jelas kepada yang tidak jelas karena hal tersebut dapat menyebabkan adanya
suatu dalil yang bisa menyebabkan dari maksud yang tidak jelas itu harus
digunakan. Sedangkan pada suatu perkataan yang dita’wilkan itu disebut
dengan mu’awwal atau yang dita’wil.

Adanya suatu lafadz yang memalingkan dari pengertian yang lazim


menuju pada pengertian yang tidak lazim membutuhkan dalil yang dapat
mengunggulkan makna lafadz tersebut. Oleh sebab itu, adanya pembahasan
kalimat ‫ ِب َد ِلْي ٍل ُيِص ْيُر ُه َر ا ِج ح;;ًا‬yang memiliki arti dengan adanya dalil yang
mengunggulkannya. Jadi ta’wil dapat ditolak ketika diketahui tidak adanya
dalil atau ada dalil tetapi kedudukannya bersifat lemah atau dalil yang
memiliki kesamaan kekuatan dengan dalil pendukung makna lazimnya.

B. Kriteria atau syarat-syarat


Terdapat beberapa syarat-syarat Ta’wil adalah:
a. Dalam menta’wil suatu lafadz dalil seorang yang menta’wil sudah
memiliki keahlian dalam bidang penta’wilan. Serta dibutuhkannya dalam
penguasaan berbagai ilmu-ilmu syara’ (agama), seperti ilmu fiqh, ilmu
hadits, dan ushul fiqh. Sehinggamemungkinkan untuk mengkompromikan
dua dalil yang saling bertentangan dengan menta’wilkannya.
b. Di dalam hal ini lafadz yang dita’wil harus diwajibkan untuk memiliki
sebuah kriteria lafadz yang hanya boleh dita’wil dan hal tersebut masih
berada di dalam kajiannya, seperti:
1) Sesuai dengan tatanan dalam ilmu bahasa Arab
2) Dan harus mencapai dengan ketentuan-ketentuan syara yang sudah
ada dan istilah yang sudah ada di dalamnya.
Lafadz tersebut dapat ditakwilkan dan secara lahiriyah lafadz tersebut
juga memiliki makna lazim dan makna yang tidak lazim.
c. Ta’wil haruslah didasarkan pada hadis-hadis yang shahih dimana
statusnya bisa benar-benar bis amenguatkan terhadap hasil dari
penta’wilannya tersebut.
d. Dengan melalui ta’wil bahasa, maka akan bisa menghasilkan lafadz yang
bisa di ta’wil dan harus mengucap dari beberapa arti. Jadi dalam hal ini
lafadz ta’wil harus sesuai dengan kriteria lafadz agardalam penta’wilan
sesuai dengan pengkajiannya.
e. Ta’wil tidak diperbolehkan untuk bertentangan dengan nash qath’iy,
karena hal ini menyebabkan nash qath’iy masuk dalam bagian tata urutan
syari’ah yang secara umum. Jika memang hal itu tidak demikian, maka
dalam hal itu ta’wil tidak akan dianggap sah, karena ta’wil itu merupakan
salah satu cara berijtihad yang bisa berkualitas dhanniy, sedangkan
dhanniy sendiri tidak akan kuat untuk melawan yang qath’iy.
f. Arti dari pena’wilan nash itu sendiri harus lebih kuat dari arti lahiriah
dengan menghasilkan bukti yang bis dikuatkan oleh beberapa dalil.
Karena bila didapati dalil yang mendukungnya lemah, maka dalil tersebut
tidak dapat mendukung pemalingan makna dan tidak dapat diamalkan.
Bahkan ta’wil dapat dikatakan meragukan ketika dalil tesebut mempunyai
kekuatan yang sama berdasarkan dalillah lafadz dengan makna yang
lazim. Lebih jelasnya untuk mengetahui arti dari pentakwilan nash dimana
yang bisa dianggap lebih kuat dari arti lafdhiahnya, sehingga dapat
dilakukanlah dengan melalui beberapa cara:
1) Arti yang diperoleh dengan memulai cara ibaratun-nash
2) Arti yang diperoleh dengan memulai cara isyaratun-nash
3) Arti yang diperoleh dengan memulai cara dalalatun-nash
4) Arti yang diperoleh dengan memulai cara iqtidla’

Jika dalam hal ini pada kenyataannya terkadang masih tetap terjadi
masalah diantara dengan keempat cara tersebut, maka dalam hal ini yang
didahulukan yaitu menggunakan dengan cara ibaratun-nash dari isyaratun-
nash, dari keduanya didahulukan dari dalalatun-nash dan dengan itu baru
melalui cara iqtidla’.

C. Landsan ta’wil
Pada dasarnya takwil itu tidak ada dan juga tidak terbentuk, kecuali
dengan bukti adanya suatu dalil yang menguatkan. Kemudian dari munculnya
ide pokok tersebut, akan memunculkan beberapa masalah (juz’i). diantaranya
yaitu merupakan suatu kewajiban yang berguna untuk mengamalkan pada
setiap petunjuk yang berasal dari beberapa yang mencakup arti nash secara
nyata (dhahir). Maka dari semua dalil dianggap hujjah dengan kejelasan dan
keberadaannya, sehingga dalam hal ini lafadz mutlak itu akan sesuai dengan
kemutlakannya dan tidak diikat, kecuali dengan bukti berupa dalil. Dan juga
lafadz umum akan berlaku sesuai dengan keumumannya dan itu tidak perlu di
takhsish, kecuali dengan adanya sebuah dalil. Adapun yang terdapat dalam
lafal khas itu bisa diamalkan sesuai dengan dasar hakikat artinya sendiri dan
hal itu tidak boleh mengubah menjadi arti kalimat majazi, kecuali dengan
adanya sebuah dalil. Dan sementara dalam hal itu takwil sudah menyalahi
landasan tersebut.

Maka di dalam landasan umum takwil itu sendiri adalah mengamalkan


sebuah dalil dimana yang sesuai dengan konteks bahasanya itu sendiri dan
bisa mengambil ketetapan hukumnya. Dan takwil itu mencakup berbagai
kemungkinan yang awalnya berasal dari akal, bukan berasal dari bahasa.
Sebab takwil itu dapat mengubah arti yang sesuai dengan kebutuhan bahasa.
Dan takwil tidak akan ada jika tidak terdapat bukti dengan adanya sebuah
dalil.

D. Klasifikasi ta’wil
Dapat diketahui bahwa dalam hal ini di dalam ta’wil itu juga terkadang
tidak membutuhkan sebuah dalil sebagaimana yang sudah dijelaskan, namun
akan tetapi boleh saja hal tersebut bisa didasarkan pada pemahaman akal atau
pada pemahaman tekstual atau juga pada pemahaman kontekstual, sehingga
dari faktor ini dapat diketahi, bahwa ta’wil itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Ta’wil Qarib
Ta’wil qorib merupakan ta’wil yang dimana di dalam
penta’wilannya itu hanya berdasarkan pada dalil terendah, maksudnya
yaitu berdasarkan pada pemahaman secara logis, tekstual maupun
kontekstual. Dalam takwil qarib dalam penetapannya hanya
membutuhkan dalil yang sederhana.
Contoh: ‫ِاَذ ا ُقْم ُتِْم اَلى الَّص َالِة َفاْغ ِس ُلْو ا ُوُجْو َهُك ْم َو َاْيِدَيُك ْم ِ اَلىْ اْلَم َر اِفِق‬

Dan dalam ayat ini jika diartikan secara lahiriyah, lafadz yaitu,
merupakan kewajiban berwudlu dimana setelah sholat dilaksanakan.
Pengartian ini menunjukkan bahwa ayat tersebut bertentangan dengan
syarat sah nya sholat dimana yang mengharuskan untuk lebih dahulu
berwudlu, sedang dalam syarat harus dilakukan, yaitu baik di dalam
menurut pemahaman akal maupun syara’.

Dari hal tersebut bahwa demikian lafal ‫( ِاَذ ا ُقْم ُتْم ِ اَلى الَّص َالة‬berdiri
untuk shalat) itu harus ditakwilkan dengan cara merubah arti hakikinya
(yaitu: ‫ )ِاَذ ا َفَع ْلُتْم‬menjadi arti majazinya, yaitu ‫ ِاَذ ا َع َز ْم ُتْم‬atau ‫ ِاَذ ا أَر ْدُتْم‬.

b. Ta’wil Bad’i
Ta’wil ba’id merupakan ta’wil dimana yang persyaratannya
tidak dapat dipenuhi di dalam suatu penta’wilan yang berdasarkan
pada dalil terendah. Maka dari hal itu jika ternyata di dalam ta’wil itu
sudah ditemukan adanya sebuah penyimpangan dari persyaratan
tersebut, maka hal seperti itu ta’wil harus ditolak. Berbeda dengan
ta’wil qorib, ta’wil bad’i dalam menetapkannya tidak hanya
membutuhkan dalil yang sederhana, melainkan dalam hal ini
membutuhkan dalil yang kuat agar dapat memalingkan dari makna
yang lazim pada makna yang tidak lazim, sehingga akan menghasilkan
makna yang tidak lazim tersebut menjadi kuat dan dapat dipergunakan.

Demikian dalam hal ini, beberapa para ulama ahli ushul fiqh
telah berbeda persepsi dalam menanggapi di dalam sebuah persoalan
dalam penetapan ta’wil ba’id, yaitu ada yang sebagian menyebutnya
dengan sebuah istilah ta’wil ba’id dan sebagian lagi dengan istilah
ta’wil qarib dan shahih.

Contoh: ‫َفَك َّفا َر ُتُه ِاْطَع اُم َع َش َرٍة َم َس ا ِكْيِن ِم ْن َاْو َسِط َم ا ُتْطِعُم ْو َن َاْهِلْيُك ْم َاْو ِك ْس َو ُتُهْم‬

“Maka kafarah (sangsi pelanggaran) sumpah adalah memberi makan


sepuluh orang miskin” (Q.S Al-Maidah: 89).

Di dalam ayat ini, dzahir nash bisa menunjukkan adanya


sebuah keharusan untuk memberi makan dalam jumlah khusus, yaitu
dengan sepuluh orang miskin, dan istilah adad (hitungan sepuluh) ini
merupakan lafadz khusus yang secara ijma’ menunjukkan berkualitas
qath’iy. Dengan menanggapi masalah pemberian makanan untuk
sepuluh orang miskin tersebut, para ulama ahli ushul fiqh menyatakan
adanya perbedaan pendapat dalam hal menta’wilkannya, yaitu:

1) Di dalam kelompok Hanafiyah ini melakukan suatu pen


ta’wilan terhadap suatu lafal ‘asyaroti masakina dengan
menggunakan arti dimana yang tidak tercakup di dalam
lafal tersebut, yaitu seperti “sepuluh makanan” atau bisa
jadi dengan arti “ukuran makanan bagi orang-orang
miskin”, sebab lafadz tersebut tidak hanya dikhususkan
kepada jumlah orang miskin saja, akan tetapi juga
merupakan suatu ukuran dimana yang wajib dikeluarkan
dari makanan untuk sepuluh orang miskin, sehingga di
dalam pengertiannya dapat berubah menjadi:
a) Dapat memberi makanan untauk sepuluh orang
miskin atau dapat memberi makanan untuk satu
orang miskin dimana dengan sepuluh makanan.
Sebab dari ukuran tersebut merupakan satu
ukuran untuk dua keadaan. Hal ini didasarkan
yang dimaksud dengan kebutuhan mendesak
yang merupakan sebuah hikmah
disyari’atkannya nash. Dengan demikian,
menurut kelompok hanafiah penta’wilan seperti
itu diperbolehkan.
2) Dari kelompok syafi’i juga mengutarakan pendapatnya
bahwa dalam penta’wilan tersebut yang sudah dijelaskan itu
merupakan ta’wil bad’i dan hal ini dianggap batal karna:
a) Pada lafadz ‫ َع َش َرٍة َم َس ا ِكْيِن‬merupakan lafadz
khusus dimana dapat menunjukkan sebuah arti
qath’iy, sehingga hal tersebut tidak
membutuhkan untuk penta’wilan lagi.
b) Adanya ada pembahasan dalam lafadz ‫ْطَع اُم‬dan
juga di dalam nash dalam bentuk isim idlafah,
dimana dapat muncul menjadi:
َ ‫َفَك َّفا َر ُتُه ِاْطَع اُم َطَع اِم َع َش َر ٍة َم َس ا ِكْيِن ِم ْن َاْو َس‬
Jadi dari hal tersebut, bahwa di dalam istinbat hukum dengan
melalui takwil, itu bisa didasarkan pada pemahaman syari’ah yang
sudah ditentukan oleh dasar umum, dari nash-nash lain, bahwa sebuah
ketetapan yang didasarkan pada ijma’ atau dengan melalui dasar
musyawwarah dari hukum-hukum syara’ secara menyeluruh, baik yang
dapat bersifat juz’iyyah, kulliyah, dalalatun-nash maupun
maqashidnya.

2. Nasakh
A. Pengertian nasakh
Didalam beberapa hukum Islam pada prinsipnya terdapat beberapa istilah
nasakh yang menunjukkan arti membatalkan, menghapuskan atau menyalin.
Adapun menurut istilah nasakh ini merupakan membatalkan sesuatu hukum
dengan dalil yang datang kemudian. Dan dari hal itu bahwa hukum yang
dibatalkan disebut dengan mansukh. Sedangkan di dalam hukum yang bisa
membatalkan disebut dengan nasikh.
Jadi dapat dikatakan bahwa nasikh ini memiliki arti yang menghapus,
dan sedangkan mansukh memiliki arti yang dihapus. Contohnya: Jika
mendapat sebuah cahaya matahari, yang mana akan menghapuskan suatu
bayangan. Terlihat bahwa bayangan itu dapat hilang karena tergantikan oleh
datangnya cahaya matahari.
Adapun nasikh-mansukh yang saling berkaitan dengan ilmu fiqih
yaitu pencabutan suatu undang-undang atau perintah serta penggantinya
dengan yang sebaliknya.
Dalam Alquran dan Sunnah terdapat suatu perintah yang sifatnya
sementara, yang dimaksud sementara di sini bahwa setelah masa itu turun
perintah yang berbeda, yang lafadznya membatalkan perintah yang pertama.
Adanya pemberian penegasan yang sama atau pemberian penjelasan terhadap
makna yang dibawa Allah SWT, telah ditegaskan bahwasannya Alquran hanya
bisa dihapuskan oleh Alquran itu sendiri, serta Sunnah Nabi tidak dapat
menggantikan ketentuan Alquran karena Sunnah tersebut yang seharusnya
mengikuti Alquran. Di dalam firman Qs. Yunus:15 “Tiadalah patut bagiku
untuk menggantikan dengan kemauanku sendiri” merupakan hujjah bahwa
Alquran tidak dapat dinasakh kecuali dengan Al-Quran. Hanya Allah SWT
yang berhak mengahapuskan dan mengganti lalu menetapkan segala apa yang
Dia Kehendaki, karena Allah sumber dan pemula bagi segala perintah.
Demikian pula dengan ketentuan mengenai Sunnah Rasul. Tiada yang
bisa dibatalkan melainkan dengan Sunnah Rasul juga. Apabila suatu Sunnah
Rasul di-nasakh oleh Alquran, sunnah yang lain harus ditetapkan oleh Nabi
yang memperjelas adanya sunnah yang sebelumnya telah di-nasakh oleh
sunnah Nabi yang terakhir itu. Sehingga tegaklah bahwa suatu ketentuan dapat
di-nasakh hanya oleh ketentuan lain yang sederajat atau lebih.
Sebagai satu contoh dari pencabutan suatu perintah oleh penggantinya
yaitu berupa hadist Nabi Muhammad SAW:

‫ُكْنُت َنَهْيُتُك ْم َع ْن ِز َياَر ِة اْلُقُبْو ِر َفُز ْو ُرَها‬

“Dulu aku melarang kalian berziarah ke kuburan, maka sekarang (larang itu
aku Tarik) beriarah ke kuburan.” (Hadist shahih riwayat Muslim)

Dengan adanya hadis yang terkait tersebut merupakan menjadi salah


satu bukti bahwa nasikh dan mansukh itu sudah diakui keberadaannya.
Disamping itu pula, bahwa apabila mengkaji lebih dalam dan sungguh-
sungguh di dalam sebuah nash Alquran Surah Al-Baqarah ayat 106, yang
berbunyi:

‫َم ا َنْنَس ْخ ِم ْن َاَيٍة َاْو ُنْنِسَها نأِت ِبَخْيٍر ِّم ْنَهّا َاْو ِم ْثِلَها‬

“Hal-hal yang kami hapus dari suatu ayat atau kami jadikan lupa padanya,
kami datangkan gantinya yang lebih baik dari pada ayat itu atau yang
sebanding”. (Al-Baqarah: 106).

Berdasarkan dari kedua dalil tersebut diatas dapat menjelaskan bahwa


(Hadis Rasulullah dan QS. Al-Baqarah:106) menghasilkan adanya timbul
perbedaan diantara para ulama terutama yang dapat menyangkut sebuah
masalah, yaitu:

a. Nasikh dan Mansukh tersebut hanya berlaku dalam hal untuk apa saja?
b. Apakah ada dari suatu ayat Alquran yang bisa dihapuskan oleh ayat
yang lain?
c. Mungkinkah ada Sunnah yang dapat dihapus oleh Alquran, atau justru
sebaliknya?

Sebab disyariatkan nask menurut Imam Syafi’i merupakan sebagai


bentuk rahmat Allah bagi manusia untuk meringankan ataupun agar
meluaskan syariat tersebut bagi manusia. Tidak seorang pun yang berhak
mengganti hukum-hukum-Nya. Dan Allah-lah Dzat yang Maha cepat
perhitungannya.

B. Kriteria dan Nash-nash yang Tidak Menerima Nasakh


Dalam menanggapi masalah yang terdapat di beberapa syarat yang
harus ada pada unsur-unsur nasakh, para ulama ahli ushul fiqih telah berbeda
pendapat bahwa:
a. Nasikh, syaratnya yaitu:
1) Nasakh harus terpisah dari mansukh
2) Hukum yang telah ada pada nasakh juga harus lebih kuat
dibanding dengan hukum yang ada pada mansukh.
3) Dengan kualitas hukum yang ada di dalam nasakh maka
harus menunjukkan sama kuatnya dengan yang juga
terletak pada mansukh.
4) Nasikh harus menunjukkan bukti yaitu dengan berupa dalil
syara’. Jika tidak, maka akan diibaratkan seperti kematian,
maka hal ini tidak dapat disebut nasakh, sebab hukum yang
terdapat pada maut itu tidak ada.
5) Adanya nasikh itu terletak setelah mansukh.
Mansukh, syaratnya yaitu:
b. Mansukh, syaratnya yaitu:
1) Mansukh tidak harus dibatasi oleh waktu. Misalnya: dalam
menetapkan hukum kebolehan di dalam makan dan minum
pada malam hari di bulan puasa. Maka kebolehan ini masih
dibatasi sampai terbitnya fajar. Jika fajar itu sudah terbit,
maka kebolehan ituakan hilang dengan sendirinya,
sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam surat al-
Baqarah: 187. Hal ini tidak bisa disebut nasakh, sebab di
dalam hukum pertama dengan sendirinya akan hilang
karena waktu yang disebutkan telah habis.
2) Mansukh disini harus berupa hukum syar’i, karena hal ini
yang dapat menghapus yaitu berupa hukum syara’ itu
sendiri.

Jadi, dari para ulama ahli ushul fiqh ada yang mengatakan pendapatnya
bahwa yang dimaksud yang ada pada ayat nasikh-mansukh itu merupakan ayat
yang umum yang sudah di takhsish, atau pada ayat mutlak yang sedang di
taqyid atau yang sudah menjadi muqayyad. Ulama yang berpendirian tersebut
bisa dipandang sebagai ikhtilaf dalam menyebut atau dalam memberi nama:
yang lain yaitu menyebutnya dengan takhsish dia menyebutnya mansukh. Jika
terdapat hadis yang sedang bertentangan dengan Alquran, tentu hal tersebut
tidak perlu lagi untuk menggunakan nasikh-mansukh karena di dalam ayat
Alquran itu sendirisudah lebih kuat, sebab mustahil jika pada ayat Alquran
harus dihapus lagi oleh hadis. Dan tidak masuk akal pula jika Rasulullah yang
seharusnya beliau menjelaskan dari ayat Alquran itu malah bertentangan. Jika
terdapat hadis yang sedang bertentangan dengan Alquran, yaitu tidak
dikategorikan masuk ke dalam ciri yang bukan hadis Shahih, melainkan hadis
palsu.

C. Rukun
Dari uraian di atas, terdapat beberapa rukun naskh yaitu ada empat,
diantaranya:
a. ‘Adah al-Naskh, yaitu suatu pernyataan yang menunjukkan tentang
adanya pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
b. Nasikh, yakni Allah SWT, karena Dia-lah yang telah membuat suatu
hukum dan Dia pula yang membatalkannya, hal ini sesuai dengan
kehendak-Nya. Oleh karena itu, nasikh pada dasarnya yaitu Allah
SWT.
Adapun yang dimaksud dengan nasikh itu yakni hukum syara’, namun,
hal ini maksudnya sebagai majaz (metafora) dari nasikh. Seperti yang telah
dikatakan bahwa “puasa Ramadhan itu me-naskh kan puasa Asyura. Jadi,
terkadang nasikh itu juga bermaksud sebagai nash yang me-naskh kan.
Sebagai contoh, terdapat pada salah satu ayat yang membahas tentang dakwah
dengan menggunakan pedang telah di naskh kan oleh ayat tentang dakwah
dengan cara memberikan suatu peringatan secara bijaksana. Dari kedua
penggunaan nasikh yang terdapat dalam contoh ini yaitu dari segi majaz,
bukan dari segi hakikatnya, karena nasikh pada hakikatnya yakni Allah SWT.
D. Hikmah
Dalam pensyari’atan berbagai hukum dalam islam, terdapat beberapa
pendapat dari para ulama ushul fiqh, yang memiliki maksud untuk menjaga
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ataupun di akhirat. Selain itu, Allah
SWT sebagai syari’ juga menuntut kepatuhan dan ketulusan para hamba-Nya
guna melakukan keseluruhan perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Hal ini berkaitan dengan syari’ yang juga senantiasa memperhatikan
keadaan umat manusia beserta lingkungan sekitarnya, sehingga suatu
kemaslahatan yang diinginkan syari’ itu dapat tercipta dan terjamin.
Adapun yang memungkinkan syari’ mensyari’atkan satu hukum pada
suatu saat, tetapi setelah adanya perubahan situasi, kondisi, dan lingkungan,
hukum ini tidaklah sejalan lagi dengan suatu kemaslahatan yang telah
dikehendaki syari’. Pada hal yang terakhir ini, Wahbah Al-Zuhaili memiliki
pendapat yang sesuai dengan kehendak syari’ dan suatu tujuan yang ingin
dicapai, oleh karenanya, syari’ merubah hukum tersebut atau menggantinya
dengan suatu hukum lain. Namun selanjutnya terjadi perubahan situasi,
kondisi, dan lingkungan yang mengelilingi umat tersebut bukan berarti syari’
tidak mengetahuinya, bahkan yang membuat perubahan itu ialah dirinya
sendiri. Hal ini telah menunjukkan bahwa syari’at islam itu diturunkan kepada
seluruh umat Islam secara berturur-turut dan mengikuti pada keadaan umat
tersebut. Oleh sebab itu, permasalahan naskh hanya berlaku pada masa
Rasulullah SAW masih hidup.
3. Al-Muradif
A. Pengertian al-muradif
Muradif memiliki pengertian bahwa muradif merupakan beberapa
lafadz yang menunjukkan pengartian yang sama. Misalnya : lafadz hinthotun
dan qomhun yang memiliki arti gandum. Kata muradif yang terdapat dalam
bahasa memiliki arti kata yang searti atau yang serupa, sedangkan muradif
secara istilah adalah lafadz yang mempunyai bentuk lafadz yang banyak, akan
tetapi pengertiannya sama (sinonim). Seperti : lafadz Al-Insan dan Al-Basyar
yang berarti manusia.
Arti muradif menurut bahasa yaitu membonceng atau ikut serta.
Muradif yang dimaksudkan oleh ahli ushuk fiqih yakni beberapa lafadz
terpakai untuk satu makna.
Contoh :
a. Al-As adu dan Al-Laitsu yang artinya singa.
b. Ad-Daaru dan Al-Munzilu dan Al-Baitu yaitu berarti rumah.
Dari keterangan diatas, telah dijelaskan kepada kita bahwa dua, tiga
atau beberapa lafadz yang memiliki satu makna dinamakan sebagai lafadz
muradif.
B. Hukum Muradif
Maksud dari hukum muradif disini yaitu tentang munculnya persoalan
yang dikarenakan adanya lafadz-lafadz muradif, dalam hal ini, para ulama
mempersoalkan tentang hukumnya, semisal apakah boleh satu lafadz diganti
dengan lafadz lain yang memiliki makna sama. Seperti lafadz Al-As adu
diganti dengan lafadz Al-Laitsu.
Pada umumnya para ulama berpendirian bahwa bacaan Alquran yang
memiliki sifat Ta’abudi, tidak boleh diganti dengan lafadz. Muradif-nya
dikarenakan Alquran dan seluruh lafadznya mengandung mukjizat, sedangkan
muradif satu lafadz dalam Alquran bukan merupakan teks Alquran yang
dengan sendirinya tidak mengandung mukjizat.
Sehubungan dengan permasalahan muradif ada juga perselisihan
pendapat para ulama dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam masalah dzikir.
Dalam masalah dzikir menurut golongan yang membenarkan muradif dengan
memberikan dua syarat yang harus dipenuhi yaitu;
a. Diperbolehkan menggunakan lafadz muradif, bila penggantian lafadz
muradif tersebut tidak mendapat halangan dari Agama, baik secara
jelas maupun samar-samar.
b. Diperbolehkan menggunakan lafadz muradif, jika penggantian lafadz
boleh digunakan lafadz muradif-nya itu berasal dari satu bahasa, yakni
sama-sama bahasa Arab misalnya.
Hukum lafadz muradif ini memiliki perbedaan pendapat dari para
ulama’, apakah dua lafadz atau lebih yang memiliki arti sama bisa digantikan
dalam pemakaiannya atau tidak. Berkenaan dengan masalah ini, para ulama
mempunyai argumen yang berbeda-beda. Ada yang memperbolehkan namun
ada juga yang tidak memperbolehkan. Akan tetapi untuk argumen yang kuat
memperbolehkan selama tidak terdapat halangan syar’i. Pembolehan ini
dibatasi pada lafadz-lafadz yang terdapat selain di Alquran. Sementara para
ulama menyepakati bahwa di dalam Alquran dua lafadz atau lebih yang
memiliki makna sama tidak boleh dipertukarkan dalam pemakaiannya.
Jika berkaitan dengan lafadz muradif yang terdapat dalam dzikir-dzikir
dalam shalat terdapat perbedaan pendapat antar para ulama. Imam Malik dan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan membaca takbir selain
dengan lafadz Allahu Akbar, sementara Imam Abu Hanifah mengatakan jika
diperbolehkannya takbir dengan lafadz yang memiliki arti sama dengan
Allahu Akbar, misalnya Allah A’dham atau Allah A’la.
4. Al-Musytarak
A. Pengertian musytarak
Musytarak merupakan satu lafadz yang memiliki pengartian lebih dari
satu. Musytarak yaitu lafadz yang mengandung banyak arti yang
sesungguhnya, namun arti-arti tersebut tidak sama atau berbeda.
Para Ulama’ ushul mengemukakan definisi musytarak di antaranya
yang memiliki arti “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang
berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa
tersebut”. Lalu dikemukakan pula oleh Muhammad Abu Zahrah dalam
kitabnya Ushul Fiqih yang memiliki makna “Satu lafadz yang menunjukkan
lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”.
Seperti lafadz yadun digunakan untuk dua arti, yakni tangan kiri atau tangan
kanan.
Dari pengertian tersebut bisa diambil pemahaman bahwa hakikat
lafadz musytarak itu, tidak bisa dijadikan sebagai suatu alat yang digunakan
untuk menunjukkan pada salah satu arti tertentu dari arti-arti lafadznya,
selama tidak ada qorinah (indikasi) yang menjelaskannya.
Secara bahasa, musytarak memiliki arti berserikat, berkumpul. Dalam
ushul fiqih musytarak yang dimaksudkan yakni lafadz yang dibentuk untuk
dua arti atau lebih yang berbeda-beda. Sebagai contoh misalnya lafadz Quruu’
yang terdapat dalam firman Allah Qs. Al-Baqarah ayat 228 yang maksudnya
wanita-wanita yang ditalaq, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
Quru’. Dalam ayat tersebut lafadz quru’ yang mana quru’ sendiri menurut
orang Arab memiliki dua makna. Pertama, dengan arti “haid”. Kedua, degan
arti “suci”. Jadi masing-masing lafadz yang memiliki pengartian lebih dari
satu sebagaimana lafadz quru’ dan lainnya, dinamakan lafadz musytarak.
B. Hukum Musytarak

Hukum musytarak di sini maksudnya yaitu tentang diperbolehkan atau


tidaknya memakai lafadz musytarak. Berkaitan dengan hal ini terjadi
perselisihan pendapat para ulama, ada satu pihak yang berpendapat
membolehkan, namun pihak yang lain berpendapat sebaliknya. Jumhur ulama
mengatakan bahwa menggunakan lafadz musytarak dalam dua makna atau
beberapa makna adalah boleh. Dalam hal ini mereka beralasan dengan
menggunakan firman Allah QS. Al-Hajj ayat 18, yang memiliki arti :

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah SWT bersujud apa yang
ada di langit, di bumi, matahari dan bulan, bintang, gunung, pepohonan-
pepohonan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar dari pada
manusia?”

Disini terdapat lafadz sujud yang menunjukkan arti musytarak,


dikarenakan bisa memiliki arti meletakkan dahi di tanah dan bisa juga berarti
tunduk. Dalam ayat tersebut ditujukan kepada manusia dan makhluk yang
tidak berakal misalnya buah, langit, bumi dan sebagainya. Selain itu, terdapat
pula ulama yang memiliki anggapan bahwa digunakannya lafadz musytarak
dua makna atau lebih itu tidak diperbolehkan.

Dalam hukum lafadz musytarak jika terdapat lafadz musytarak yang


tidak memiliki penjelasan maknanya, padahal yang dikehendaki yaitu salah
satu artinya, maka lafadz yang musytarak itu di tinggalkan, adapun yang
menyebabkan hal ini yaitu karena tidak mungkin kita dapat beramal selain
dengan cara mengetahui maksud dari lafadz yang sesungguhnya. Maka dari itu
masing-masing lafadz musytarak yang terdapat dalam naskh baik Alquran
ataupun sunnah harus di sertai dengan qorinah, baik qorinah qauliyah ataupun
haliyah (keadaan).
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendirian dan kajian hukum Islam
memerlukan pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip ushul-fiqh,
yang mempengaruhi penggalian dan penetapan hukum Islam. Kaidah Ta'wil,
Nasakh, Muradif dan Musytarak sudah dijelaskan. Memang, keempat aturan
ini terkait dengan aturan bahasa al-Qur'an dan teks-teks hadits. Di dalam Al-
Qur'an kita jumpai bahasa Lafadzi dengan makna yang berbeda dengan
Lafadzi aslinya, misalnya ketika kita menjumpai peralihan Lafadzi dari makna
yang jelas ke makna yang lemah yang disebut Ta'wil. Dan ketika argumen
sebelumnya dihapus, diganti dengan argumen baru yang jenisnya sama atau
lebih kuat, biasanya disebut teks. Ada juga lafadz yang berbeda tetapi
memiliki makna yang sama atau yang disebut muradif dan sebaliknya ada satu
lafadz namun memiliki makna yang cukup banyak dan disebut musytarak.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Zein, M. Maksum. 2013. Menguasai ilmu ushul Fiqh. Yogyakarta : Pustaka


Pesantren.

Sudarsono… Pokok-pokok hukum Islam. PT. Adi Mahasatya.

Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih.

Abdurrahman. Menempatkan hukum dalam agama.

Faiso, Al-Hakaml. Modul Fiqh Wa Ushuluhu. Jombang : MAN Denanyar

Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (Satu & Dua). Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.

Ash-Shadr, Ayatullah Baqit. 1993. Sejarah Singkat Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka
Hidayah.

Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’. Bangil:
Al-Izzah.

Hasanuddin Berutu, Ahmad. 2008. Skripsi: “Teori Nasikh Mansukh Imam As-Syafi’i
dan Relevansinya dalam Pembaharuan Fiqih di Indonesia”. Malang: UIN
Malang.

Suryani, Eli. “Aliran-aliran dalam Hukum Islam di IAIN Bukit Tinggi” (Paper)

Anda mungkin juga menyukai