disusun oleh:
Puji syukur alhamdulilah robbil’alamin, penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT,
karena telah memberikan nikmat, karunia, taufik dan hidayah-Nya. Sehingga penulis bisa
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Ta’wil dan Nasakh, Muradif dan Musytarak”.
Tidak lupa shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, kepada keluarga, sahabat serta para pengikutnya yang menjadi suri tauladan yang baik.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua orang
yang telah memberikan semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas ini kepada dosen
pengampu kami, Bapak Mu’inan, S.H.I., M.S.I . Makalah ini akan disusun melalui beberapa
sumber yang melalui studi pustaka dan melalui media internet.
Demikian tugas ini saya buat, jika ada kesalahan dalam penulisan atau ada ketidak
sesuaian dalam materi yang saya angkat selama penulisan ini, saya mohon maaf, penulis
menerima kritik dan saran yang seluas-luasnya dari para pembaca agar dapat membuat tulisan
yang lebih baik lagi pada kesempatan berikutnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Keilmuan Islam salah satunya membicarakan mengenai Ilmu Syari’ah yang
memiliki dua hal pokok yang mendasar. Pertama, untuk memenuhi usaha kebahagiaan
dunia dan akhirat, seorang muslim memerlukan materi perangkat ketentuan tersebut
yang disebut Fiqih. Lalu pokok yang kedua, sebelum adanya produk materi perangkat
Fiqih perlu diketahui tentang cara yang diusahakan dalam menetapkan ketentuan yang
akan melahirkan materi fiqih tersebut yang disebut Ushul fiqih. Ushul fiqih sebagai
mata ajaran inti dalam keilmuan agama Islam. Mempelajari ushul fiqih dan ilmu fiqih
diajarkan secara beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Karenanya di dalam Ushul
fiqih memiliki kumpulan kaidah-kaidah dan metode yang akan memiliki peran dalam
memberikan aturan dan arahan dalam menetapkan hukum Islam.
Alquran sendiri dalam memahaminya secara tepat dan benar, maka sudah
seharusnya dalam memahami kaidah dalam kebahasaannya terlebih dahulu. Seorang
harus memahami arti kata serta maksud kalimat dalam mengkaji Alquran. Alquran
tersusun dari sebuah kata yang memiliki nilai seni sebagai wujud kekuasaan Allah
SWT dalam mengatur kehidupan manusia, yang oleh karenanya dalam memahaminya
memperlukan kaidah menasakhkan, menta’wilkan, memuradifkan dan
memusytarakkan sebuah lafadz di dalamnya.
Sehingga untuk menghindari suatu kesalahan dalam penafsiran diperlukan
seorang penafsir memahami lafadz itu sendiri dalam memaknai sebuah lafadz dengan
beberapa kaidah yang meliputi takwil, nasakh, muradif, dan musytarak.
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ta’wil
A. Pengertian Ta’wil
Pada awalnya At-Ta’wil ( )التأوي;;لberasal dari kata dasar awwala-
yu’awwilu. ((يؤول- اولyang memiliki arti: penjelasan dan dari arti ini sama
seperti kata al-tafsir yang berarti: uraian, tafsir, atau dari kata al-marju’ (
)المرج;;وعyang mengandung arti tempat kembali atau al-jaza’ ( )الج;;زاءyaitu
balasan. Al-Muawwal yang merupakan bentuk isim maf’ul dari kata mashdar
al-ta’wil yang dalam bahasa berawal dari kata ala, ya’ulu yang berati: kembali.
Jadi ta’wil menurut pengertian secara istilah, dalam hal ini para ahli ushul
berbeda dalam mendefinisikannya, diantaranya adalah:
a. Al-Amidiy
التأويل هو حمل اللفظ على غيره مدلوله الظاهر منه مع احتماله بدليل يعضده
Yang memiliki arti Ta’wil yaitu membawa arti lafadz dzahir yang
mempunyai probabilitas (ihtimal atau kemungkinan-kemungkinan) kepada arti
lain yang didukung dalil.
b. Imam al-Ghazaly
التأويل هو عبارة عن احتمال يعضده دليل يصير ب;;ه اغلب على الظن من المع;;نى ال;;ذي
يدل عليه الظاهر
Jika dalam hal ini pada kenyataannya terkadang masih tetap terjadi
masalah diantara dengan keempat cara tersebut, maka dalam hal ini yang
didahulukan yaitu menggunakan dengan cara ibaratun-nash dari isyaratun-
nash, dari keduanya didahulukan dari dalalatun-nash dan dengan itu baru
melalui cara iqtidla’.
C. Landsan ta’wil
Pada dasarnya takwil itu tidak ada dan juga tidak terbentuk, kecuali
dengan bukti adanya suatu dalil yang menguatkan. Kemudian dari munculnya
ide pokok tersebut, akan memunculkan beberapa masalah (juz’i). diantaranya
yaitu merupakan suatu kewajiban yang berguna untuk mengamalkan pada
setiap petunjuk yang berasal dari beberapa yang mencakup arti nash secara
nyata (dhahir). Maka dari semua dalil dianggap hujjah dengan kejelasan dan
keberadaannya, sehingga dalam hal ini lafadz mutlak itu akan sesuai dengan
kemutlakannya dan tidak diikat, kecuali dengan bukti berupa dalil. Dan juga
lafadz umum akan berlaku sesuai dengan keumumannya dan itu tidak perlu di
takhsish, kecuali dengan adanya sebuah dalil. Adapun yang terdapat dalam
lafal khas itu bisa diamalkan sesuai dengan dasar hakikat artinya sendiri dan
hal itu tidak boleh mengubah menjadi arti kalimat majazi, kecuali dengan
adanya sebuah dalil. Dan sementara dalam hal itu takwil sudah menyalahi
landasan tersebut.
D. Klasifikasi ta’wil
Dapat diketahui bahwa dalam hal ini di dalam ta’wil itu juga terkadang
tidak membutuhkan sebuah dalil sebagaimana yang sudah dijelaskan, namun
akan tetapi boleh saja hal tersebut bisa didasarkan pada pemahaman akal atau
pada pemahaman tekstual atau juga pada pemahaman kontekstual, sehingga
dari faktor ini dapat diketahi, bahwa ta’wil itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Ta’wil Qarib
Ta’wil qorib merupakan ta’wil yang dimana di dalam
penta’wilannya itu hanya berdasarkan pada dalil terendah, maksudnya
yaitu berdasarkan pada pemahaman secara logis, tekstual maupun
kontekstual. Dalam takwil qarib dalam penetapannya hanya
membutuhkan dalil yang sederhana.
Contoh: ِاَذ ا ُقْم ُتِْم اَلى الَّص َالِة َفاْغ ِس ُلْو ا ُوُجْو َهُك ْم َو َاْيِدَيُك ْم ِ اَلىْ اْلَم َر اِفِق
Dan dalam ayat ini jika diartikan secara lahiriyah, lafadz yaitu,
merupakan kewajiban berwudlu dimana setelah sholat dilaksanakan.
Pengartian ini menunjukkan bahwa ayat tersebut bertentangan dengan
syarat sah nya sholat dimana yang mengharuskan untuk lebih dahulu
berwudlu, sedang dalam syarat harus dilakukan, yaitu baik di dalam
menurut pemahaman akal maupun syara’.
Dari hal tersebut bahwa demikian lafal ( ِاَذ ا ُقْم ُتْم ِ اَلى الَّص َالةberdiri
untuk shalat) itu harus ditakwilkan dengan cara merubah arti hakikinya
(yaitu: )ِاَذ ا َفَع ْلُتْمmenjadi arti majazinya, yaitu ِاَذ ا َع َز ْم ُتْمatau ِاَذ ا أَر ْدُتْم.
b. Ta’wil Bad’i
Ta’wil ba’id merupakan ta’wil dimana yang persyaratannya
tidak dapat dipenuhi di dalam suatu penta’wilan yang berdasarkan
pada dalil terendah. Maka dari hal itu jika ternyata di dalam ta’wil itu
sudah ditemukan adanya sebuah penyimpangan dari persyaratan
tersebut, maka hal seperti itu ta’wil harus ditolak. Berbeda dengan
ta’wil qorib, ta’wil bad’i dalam menetapkannya tidak hanya
membutuhkan dalil yang sederhana, melainkan dalam hal ini
membutuhkan dalil yang kuat agar dapat memalingkan dari makna
yang lazim pada makna yang tidak lazim, sehingga akan menghasilkan
makna yang tidak lazim tersebut menjadi kuat dan dapat dipergunakan.
Demikian dalam hal ini, beberapa para ulama ahli ushul fiqh
telah berbeda persepsi dalam menanggapi di dalam sebuah persoalan
dalam penetapan ta’wil ba’id, yaitu ada yang sebagian menyebutnya
dengan sebuah istilah ta’wil ba’id dan sebagian lagi dengan istilah
ta’wil qarib dan shahih.
Contoh: َفَك َّفا َر ُتُه ِاْطَع اُم َع َش َرٍة َم َس ا ِكْيِن ِم ْن َاْو َسِط َم ا ُتْطِعُم ْو َن َاْهِلْيُك ْم َاْو ِك ْس َو ُتُهْم
2. Nasakh
A. Pengertian nasakh
Didalam beberapa hukum Islam pada prinsipnya terdapat beberapa istilah
nasakh yang menunjukkan arti membatalkan, menghapuskan atau menyalin.
Adapun menurut istilah nasakh ini merupakan membatalkan sesuatu hukum
dengan dalil yang datang kemudian. Dan dari hal itu bahwa hukum yang
dibatalkan disebut dengan mansukh. Sedangkan di dalam hukum yang bisa
membatalkan disebut dengan nasikh.
Jadi dapat dikatakan bahwa nasikh ini memiliki arti yang menghapus,
dan sedangkan mansukh memiliki arti yang dihapus. Contohnya: Jika
mendapat sebuah cahaya matahari, yang mana akan menghapuskan suatu
bayangan. Terlihat bahwa bayangan itu dapat hilang karena tergantikan oleh
datangnya cahaya matahari.
Adapun nasikh-mansukh yang saling berkaitan dengan ilmu fiqih
yaitu pencabutan suatu undang-undang atau perintah serta penggantinya
dengan yang sebaliknya.
Dalam Alquran dan Sunnah terdapat suatu perintah yang sifatnya
sementara, yang dimaksud sementara di sini bahwa setelah masa itu turun
perintah yang berbeda, yang lafadznya membatalkan perintah yang pertama.
Adanya pemberian penegasan yang sama atau pemberian penjelasan terhadap
makna yang dibawa Allah SWT, telah ditegaskan bahwasannya Alquran hanya
bisa dihapuskan oleh Alquran itu sendiri, serta Sunnah Nabi tidak dapat
menggantikan ketentuan Alquran karena Sunnah tersebut yang seharusnya
mengikuti Alquran. Di dalam firman Qs. Yunus:15 “Tiadalah patut bagiku
untuk menggantikan dengan kemauanku sendiri” merupakan hujjah bahwa
Alquran tidak dapat dinasakh kecuali dengan Al-Quran. Hanya Allah SWT
yang berhak mengahapuskan dan mengganti lalu menetapkan segala apa yang
Dia Kehendaki, karena Allah sumber dan pemula bagi segala perintah.
Demikian pula dengan ketentuan mengenai Sunnah Rasul. Tiada yang
bisa dibatalkan melainkan dengan Sunnah Rasul juga. Apabila suatu Sunnah
Rasul di-nasakh oleh Alquran, sunnah yang lain harus ditetapkan oleh Nabi
yang memperjelas adanya sunnah yang sebelumnya telah di-nasakh oleh
sunnah Nabi yang terakhir itu. Sehingga tegaklah bahwa suatu ketentuan dapat
di-nasakh hanya oleh ketentuan lain yang sederajat atau lebih.
Sebagai satu contoh dari pencabutan suatu perintah oleh penggantinya
yaitu berupa hadist Nabi Muhammad SAW:
“Dulu aku melarang kalian berziarah ke kuburan, maka sekarang (larang itu
aku Tarik) beriarah ke kuburan.” (Hadist shahih riwayat Muslim)
َم ا َنْنَس ْخ ِم ْن َاَيٍة َاْو ُنْنِسَها نأِت ِبَخْيٍر ِّم ْنَهّا َاْو ِم ْثِلَها
“Hal-hal yang kami hapus dari suatu ayat atau kami jadikan lupa padanya,
kami datangkan gantinya yang lebih baik dari pada ayat itu atau yang
sebanding”. (Al-Baqarah: 106).
a. Nasikh dan Mansukh tersebut hanya berlaku dalam hal untuk apa saja?
b. Apakah ada dari suatu ayat Alquran yang bisa dihapuskan oleh ayat
yang lain?
c. Mungkinkah ada Sunnah yang dapat dihapus oleh Alquran, atau justru
sebaliknya?
Jadi, dari para ulama ahli ushul fiqh ada yang mengatakan pendapatnya
bahwa yang dimaksud yang ada pada ayat nasikh-mansukh itu merupakan ayat
yang umum yang sudah di takhsish, atau pada ayat mutlak yang sedang di
taqyid atau yang sudah menjadi muqayyad. Ulama yang berpendirian tersebut
bisa dipandang sebagai ikhtilaf dalam menyebut atau dalam memberi nama:
yang lain yaitu menyebutnya dengan takhsish dia menyebutnya mansukh. Jika
terdapat hadis yang sedang bertentangan dengan Alquran, tentu hal tersebut
tidak perlu lagi untuk menggunakan nasikh-mansukh karena di dalam ayat
Alquran itu sendirisudah lebih kuat, sebab mustahil jika pada ayat Alquran
harus dihapus lagi oleh hadis. Dan tidak masuk akal pula jika Rasulullah yang
seharusnya beliau menjelaskan dari ayat Alquran itu malah bertentangan. Jika
terdapat hadis yang sedang bertentangan dengan Alquran, yaitu tidak
dikategorikan masuk ke dalam ciri yang bukan hadis Shahih, melainkan hadis
palsu.
C. Rukun
Dari uraian di atas, terdapat beberapa rukun naskh yaitu ada empat,
diantaranya:
a. ‘Adah al-Naskh, yaitu suatu pernyataan yang menunjukkan tentang
adanya pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
b. Nasikh, yakni Allah SWT, karena Dia-lah yang telah membuat suatu
hukum dan Dia pula yang membatalkannya, hal ini sesuai dengan
kehendak-Nya. Oleh karena itu, nasikh pada dasarnya yaitu Allah
SWT.
Adapun yang dimaksud dengan nasikh itu yakni hukum syara’, namun,
hal ini maksudnya sebagai majaz (metafora) dari nasikh. Seperti yang telah
dikatakan bahwa “puasa Ramadhan itu me-naskh kan puasa Asyura. Jadi,
terkadang nasikh itu juga bermaksud sebagai nash yang me-naskh kan.
Sebagai contoh, terdapat pada salah satu ayat yang membahas tentang dakwah
dengan menggunakan pedang telah di naskh kan oleh ayat tentang dakwah
dengan cara memberikan suatu peringatan secara bijaksana. Dari kedua
penggunaan nasikh yang terdapat dalam contoh ini yaitu dari segi majaz,
bukan dari segi hakikatnya, karena nasikh pada hakikatnya yakni Allah SWT.
D. Hikmah
Dalam pensyari’atan berbagai hukum dalam islam, terdapat beberapa
pendapat dari para ulama ushul fiqh, yang memiliki maksud untuk menjaga
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ataupun di akhirat. Selain itu, Allah
SWT sebagai syari’ juga menuntut kepatuhan dan ketulusan para hamba-Nya
guna melakukan keseluruhan perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Hal ini berkaitan dengan syari’ yang juga senantiasa memperhatikan
keadaan umat manusia beserta lingkungan sekitarnya, sehingga suatu
kemaslahatan yang diinginkan syari’ itu dapat tercipta dan terjamin.
Adapun yang memungkinkan syari’ mensyari’atkan satu hukum pada
suatu saat, tetapi setelah adanya perubahan situasi, kondisi, dan lingkungan,
hukum ini tidaklah sejalan lagi dengan suatu kemaslahatan yang telah
dikehendaki syari’. Pada hal yang terakhir ini, Wahbah Al-Zuhaili memiliki
pendapat yang sesuai dengan kehendak syari’ dan suatu tujuan yang ingin
dicapai, oleh karenanya, syari’ merubah hukum tersebut atau menggantinya
dengan suatu hukum lain. Namun selanjutnya terjadi perubahan situasi,
kondisi, dan lingkungan yang mengelilingi umat tersebut bukan berarti syari’
tidak mengetahuinya, bahkan yang membuat perubahan itu ialah dirinya
sendiri. Hal ini telah menunjukkan bahwa syari’at islam itu diturunkan kepada
seluruh umat Islam secara berturur-turut dan mengikuti pada keadaan umat
tersebut. Oleh sebab itu, permasalahan naskh hanya berlaku pada masa
Rasulullah SAW masih hidup.
3. Al-Muradif
A. Pengertian al-muradif
Muradif memiliki pengertian bahwa muradif merupakan beberapa
lafadz yang menunjukkan pengartian yang sama. Misalnya : lafadz hinthotun
dan qomhun yang memiliki arti gandum. Kata muradif yang terdapat dalam
bahasa memiliki arti kata yang searti atau yang serupa, sedangkan muradif
secara istilah adalah lafadz yang mempunyai bentuk lafadz yang banyak, akan
tetapi pengertiannya sama (sinonim). Seperti : lafadz Al-Insan dan Al-Basyar
yang berarti manusia.
Arti muradif menurut bahasa yaitu membonceng atau ikut serta.
Muradif yang dimaksudkan oleh ahli ushuk fiqih yakni beberapa lafadz
terpakai untuk satu makna.
Contoh :
a. Al-As adu dan Al-Laitsu yang artinya singa.
b. Ad-Daaru dan Al-Munzilu dan Al-Baitu yaitu berarti rumah.
Dari keterangan diatas, telah dijelaskan kepada kita bahwa dua, tiga
atau beberapa lafadz yang memiliki satu makna dinamakan sebagai lafadz
muradif.
B. Hukum Muradif
Maksud dari hukum muradif disini yaitu tentang munculnya persoalan
yang dikarenakan adanya lafadz-lafadz muradif, dalam hal ini, para ulama
mempersoalkan tentang hukumnya, semisal apakah boleh satu lafadz diganti
dengan lafadz lain yang memiliki makna sama. Seperti lafadz Al-As adu
diganti dengan lafadz Al-Laitsu.
Pada umumnya para ulama berpendirian bahwa bacaan Alquran yang
memiliki sifat Ta’abudi, tidak boleh diganti dengan lafadz. Muradif-nya
dikarenakan Alquran dan seluruh lafadznya mengandung mukjizat, sedangkan
muradif satu lafadz dalam Alquran bukan merupakan teks Alquran yang
dengan sendirinya tidak mengandung mukjizat.
Sehubungan dengan permasalahan muradif ada juga perselisihan
pendapat para ulama dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam masalah dzikir.
Dalam masalah dzikir menurut golongan yang membenarkan muradif dengan
memberikan dua syarat yang harus dipenuhi yaitu;
a. Diperbolehkan menggunakan lafadz muradif, bila penggantian lafadz
muradif tersebut tidak mendapat halangan dari Agama, baik secara
jelas maupun samar-samar.
b. Diperbolehkan menggunakan lafadz muradif, jika penggantian lafadz
boleh digunakan lafadz muradif-nya itu berasal dari satu bahasa, yakni
sama-sama bahasa Arab misalnya.
Hukum lafadz muradif ini memiliki perbedaan pendapat dari para
ulama’, apakah dua lafadz atau lebih yang memiliki arti sama bisa digantikan
dalam pemakaiannya atau tidak. Berkenaan dengan masalah ini, para ulama
mempunyai argumen yang berbeda-beda. Ada yang memperbolehkan namun
ada juga yang tidak memperbolehkan. Akan tetapi untuk argumen yang kuat
memperbolehkan selama tidak terdapat halangan syar’i. Pembolehan ini
dibatasi pada lafadz-lafadz yang terdapat selain di Alquran. Sementara para
ulama menyepakati bahwa di dalam Alquran dua lafadz atau lebih yang
memiliki makna sama tidak boleh dipertukarkan dalam pemakaiannya.
Jika berkaitan dengan lafadz muradif yang terdapat dalam dzikir-dzikir
dalam shalat terdapat perbedaan pendapat antar para ulama. Imam Malik dan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan membaca takbir selain
dengan lafadz Allahu Akbar, sementara Imam Abu Hanifah mengatakan jika
diperbolehkannya takbir dengan lafadz yang memiliki arti sama dengan
Allahu Akbar, misalnya Allah A’dham atau Allah A’la.
4. Al-Musytarak
A. Pengertian musytarak
Musytarak merupakan satu lafadz yang memiliki pengartian lebih dari
satu. Musytarak yaitu lafadz yang mengandung banyak arti yang
sesungguhnya, namun arti-arti tersebut tidak sama atau berbeda.
Para Ulama’ ushul mengemukakan definisi musytarak di antaranya
yang memiliki arti “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang
berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa
tersebut”. Lalu dikemukakan pula oleh Muhammad Abu Zahrah dalam
kitabnya Ushul Fiqih yang memiliki makna “Satu lafadz yang menunjukkan
lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”.
Seperti lafadz yadun digunakan untuk dua arti, yakni tangan kiri atau tangan
kanan.
Dari pengertian tersebut bisa diambil pemahaman bahwa hakikat
lafadz musytarak itu, tidak bisa dijadikan sebagai suatu alat yang digunakan
untuk menunjukkan pada salah satu arti tertentu dari arti-arti lafadznya,
selama tidak ada qorinah (indikasi) yang menjelaskannya.
Secara bahasa, musytarak memiliki arti berserikat, berkumpul. Dalam
ushul fiqih musytarak yang dimaksudkan yakni lafadz yang dibentuk untuk
dua arti atau lebih yang berbeda-beda. Sebagai contoh misalnya lafadz Quruu’
yang terdapat dalam firman Allah Qs. Al-Baqarah ayat 228 yang maksudnya
wanita-wanita yang ditalaq, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
Quru’. Dalam ayat tersebut lafadz quru’ yang mana quru’ sendiri menurut
orang Arab memiliki dua makna. Pertama, dengan arti “haid”. Kedua, degan
arti “suci”. Jadi masing-masing lafadz yang memiliki pengartian lebih dari
satu sebagaimana lafadz quru’ dan lainnya, dinamakan lafadz musytarak.
B. Hukum Musytarak
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah SWT bersujud apa yang
ada di langit, di bumi, matahari dan bulan, bintang, gunung, pepohonan-
pepohonan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar dari pada
manusia?”
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendirian dan kajian hukum Islam
memerlukan pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip ushul-fiqh,
yang mempengaruhi penggalian dan penetapan hukum Islam. Kaidah Ta'wil,
Nasakh, Muradif dan Musytarak sudah dijelaskan. Memang, keempat aturan
ini terkait dengan aturan bahasa al-Qur'an dan teks-teks hadits. Di dalam Al-
Qur'an kita jumpai bahasa Lafadzi dengan makna yang berbeda dengan
Lafadzi aslinya, misalnya ketika kita menjumpai peralihan Lafadzi dari makna
yang jelas ke makna yang lemah yang disebut Ta'wil. Dan ketika argumen
sebelumnya dihapus, diganti dengan argumen baru yang jenisnya sama atau
lebih kuat, biasanya disebut teks. Ada juga lafadz yang berbeda tetapi
memiliki makna yang sama atau yang disebut muradif dan sebaliknya ada satu
lafadz namun memiliki makna yang cukup banyak dan disebut musytarak.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (Satu & Dua). Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.
Ash-Shadr, Ayatullah Baqit. 1993. Sejarah Singkat Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka
Hidayah.
Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’. Bangil:
Al-Izzah.
Hasanuddin Berutu, Ahmad. 2008. Skripsi: “Teori Nasikh Mansukh Imam As-Syafi’i
dan Relevansinya dalam Pembaharuan Fiqih di Indonesia”. Malang: UIN
Malang.
Suryani, Eli. “Aliran-aliran dalam Hukum Islam di IAIN Bukit Tinggi” (Paper)