Anda di halaman 1dari 17

DI

OLEH
KELOMPOK : 8

NAMA : CUT MAIARAZA AUDIA


TIA HILMA
NAZIRAH UFTIA
SEMESTER : I/I
PRODI : S1-PGMI
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
kita panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW. kepada keluarganya, sahabatnya
dan kepada kita selaku umatnya semoga kita mendapat syafa’at darinya di akhirat
kelak.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak
yang mendukung dalam penyusunan makalah ini. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, maka kami menerima kritik dan sarannya dari para pembaca,
karena kami telah berusaha melakukan semaksimal mungkin agar mencapai
tujuan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Sigli, November 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam memahami sebuah agama, setidaknya kita dituntut untuk
mengetahui sejarah, seluk beluk maupun metodologi yang tersirat pada setiap
ajarannya
Islam adalah agama yang sangat kompleks. Islam juga merupakan agama
samawi yang memiliki banyak dimensi. Untuk memahami dimensi itu, diperlukan
berbagai metodologi yang digali dari berbagai disiplin ilmu yang dapat dipahami
dari segi theologis dan normatif. Untuk memahami ajaran Islam secara benar dan
utuh, diperlukan metodologi yang sistematis, terstruktur dan terorganisir dengan
baik.
Dan penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang
mengembangkan ilmu yang dimilikinya.
Karena itulah, kami mengangkat tema Aneka Metodologi Memahami
Islam dalam penulisan makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana metodologi dalam ulumul tafsir?
2. Bagaimana metodologi dalam ulumul hadis?
3. Bagaimana metodologi dalam filsafat dan teologi ( kalam )?
4. Bagaimana metodologi dalam tasawwuf?
5. Bagaimana metodologi dalam kajian fiqih dan kaidah usuhuliyah ?
6. Bagaimana metodologi dalam pemikiran modern ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Metodologi Ilmu Tafsir


1. Pengertian Tafsir
Tafsir berasal dari Bahasa Arab fassaro, yufasiru, tafsiran yang berarti
penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu,Tafsir dapat pula berarti Al-
Idlah wa Al-Tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan
bahwa kata Tafsir sejajar dengan timbangan (Wazan) kata tafsir, diambil dari kata
Al-Fasr yang berarti Al-bayan ( penjelasan) dan Al-Kasyf yang berarti membuka
atau menyingkap, dan dapat pula di ambil dari kata Al-Tafsarah, yaitu istilah yang
digunakan untuk suatu alat yang buasa di gunakan oleh Dokter untuk mengetahui
penyakit.1
Selanjutnya, pengertian Tafsir sebagimana di kemukakan pakar Al-
Qur’an tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun esensinya sama. Al-
Jurnani, misalnya, mengatakan bahwa Tafsir ialah menjelaskan ma’na ayat-ayat
Al-Qur’an dari berbagai seginya,baik konteks historisnya maupun sebab Al-
Nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat
menunjukan kepada ma’na yang di kehendaki secara terang dan jelas. Sementara
itu Imam Aljarkani mengatakan bahwa Tafsir adalah ilmu yang membahas
kandungan Alqur’an baik dari segi pemahaman ma’na atau arti sesuai dikehendaki
Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Al-Suyuthi, mengatakan bahwa
Tafsir adalah ilmu yang di dalamnya terdapat pmbahasan mengenai cara
mengucapkan lafadz-lafadz Al-qur’an disertai ma’na serta hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya. Az-Zarkasy mengatakan bahwa Tafsir adalah ilmu yang
fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW dengan cara mengambil penjelasan ma’nanya,
hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.

1
Ali, Mukhti, Metode Memahami Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1991), Cet I.hal. 102
Dari beberapa definisi diatas kita menemukan ciri utama Tafsir. Pertama,
dilihat dari segi objek pembahasannya adalah kitabillah ( Al-Qur’an) yang di
dalamnya terkandung firman Allah SWT. Kedua, dilihat dari segi tujuannya
adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan Al-qur’an
sehingga dapat dijumpai hikmah, hukum, ketetapan dan ajaran yang terkandung di
dalamnya. Ketiga, dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran,
kajian, dan ijtihad para Mufassir yang di dasarkan pada kesanggupan dan
kemampuan yang dimilikinya, sehingga, suatu sa’at dapat di tinjau kembali.

B. Metodologi Ulumul Hadits


1. Pengertian Ulumul Hadits dan Macam-macamnya
Hadis menurut bahasa adalah perkataan rosulullah SAW, sedangkan arti
hadits menurut istilah adalah segalah perkataan(sabda), perbuatan dan ketetapan
dan persetujuan dari rosulullah SAW yang dijadikan hukum dalam agama islam.
Sedangkan ulumul hadist adalah ilmu yang membahas berbagai hal yang
berkaitan dengan hadis, baik dari segi matan, sanad, maupun parawinya dengan
tujuan untuk memilah dan memilih antara hadis yang benar-benar berasal dari
Rasulullah SAW atau hadis buatan.
Berbagai pendekatan dalam memahami hadist masih belum bayak
digunakan oleh para peneliti sebelumnya. Akibat dari keadaan itu, tampak bahwa
pemahaman masyarakat masih bersifat parsial.2
Secara garis besar ulumul hadis terbagi pada dua bagian, yaitu:
a. Ilmu Hadis riwayah
1) Menurut Ajjah al-Khatib ilmu hadis riwayah itu adalah ilmu
yang berpangkat pada segala sesuatu yang disandarkan atau
berasal dari Nabi SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan,
ketetapan, sifat kepribadian, atau kepribadian yang dinukilkan
secara mendalam dan bebas

2
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2010), Ed. Revisi.HAL
95
2) Sedangkan menurut Ibn al-Akfani ilmu hadis riwayah adalah
ilmu yang khusus berkaitan dengan riwayah, ilmu yang
mencakup atas ucapan, perbuatan, periwayatan, penguatan, dan
keutamaan lafaznya. Jadi,ilmu hadis riwayah itu adalah ilmu
yang didasarkan pada segala sesuatu yang berasal dari hadis
Nabi SAW , baik dalam bentuk ucapan, perbuatan,
ketetapan,sifat yang diperoleh dari nya secara bebas, dan
rwayat yang mendalam dan kuat serta kekuatan lafaznya
dengan pengetahwan dan amanah.
b. Ilmu Hadis Dirayah
1) Menurut ulama Tahqiq ilmu hadis dirayah adalah ilmu yang
membahas makna-makna yang dipahami dari lafal-lafal hadis
dan yang dikehendaki dari sesuatu lafal hadis tersebut yang
didasarkan pada ketentuan bahasa arab serta ketentuan agama
yang disesuaikan dengan keadaan Nabi Muhammat SAW.
2) Sedangkan menurut Al-imam ‘Izzudin bin Jama’ah dia
berpendapat “ilm biqanin yu’rafu biha ahwal al-sanad wa al-
matan.yang artinya:ilmu yang berkaitan dengan kaidah-kaidah
atau aturan yang dapat digunakan untuk mengetahwi keadaan
sanad dan matan. Jadi ilmu hadis dirayah adalahilmu yang
mempelajari tentang kaedah-kaedah untuk mengetahwi keadaan
sanad,matan,dan cara-cara menerima dan menyampaikan hadis.
Dari ilmu hadis Riwayah dan Dirayah tersebut, maka lahirlah
berbagai cabang ilmu hadis lainnya, diantaranya:
1) Ilmu rijal al-hadits
Ilmu rijal al-hadits adalah ilmu yang membicarakan tentang
para parawi, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-
orang yang sesudahnya.
2) Ilmu jarh wa al-ta’dil
ilmu jarh wa al-ta’dil adalah ilmu yang menerangkan
tentang kecacatan dan keadilannya dengan menggunkan lafaz
yang khusus serta tingkatan lafaz tersebut.
3) Ilmu fann al-Mubhamat
Ilmu fann al-Mubhamat adalah ilmu yang denganny dapat
diketahwi orang-orang yang tidak disebut namanya didalam
matan, atau didalam sanad.
4) Imu tashif wa tahrif
ilmu tashif wa tahrif adalah ilmu yang menerangkan hadis-
hadis yang sudah diubah titiknya (yang dinamai mushahhaf),
dan bentuknya yang dinami muharraf.
5) ilmu ilal al-hadits
Ilmu ilail al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang
sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat
mencacatkan hadits.
6) ilmu gharib al-hadits
ilmu gharib al-hadits adalah ilmu yang menjelaskan makna
kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahwi
maknanya.
7) Ilmu nasikh wa al—mansukh
ilmu nasikh wa al-mansukh adalah ilmu yang sudah
menjelaskan hadis yang sudah dimansukkan dan yang
menasikhkannya.
8) ilmu asbab wurud al-hadits
ilmu asbab wurud al-hadits adalah ilmu yang menerangkan
sebab-sebab nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya nabi
menuturkan itu.
9) ilmu talfiq al-hadits
ilmu talfiq al-hadits adalah ilmu yangmembahas tentang
cara mengumpulkan anatara hadisyang berlawanan lahirnya.
10) ilmu mushthalah ahl al-hadits
ilmu mushthalah al-hadits adalah ilmu yang membahas
tentang berbagai istila yang digunakan parah ahli hadits dan
yang dikenal dikalangan mereka.
11) ilmu mushthalah ahl-al- hadits
Ilmu mushthalah ahl-al- hadits adalah ilmu yang membahas
tentang tentang berbagai istilah yang digunakan para ahli hadis
dan yang dikenal dikalangan mereka.
Dengan bantuan ilmu hadis ini,maka dapat dibedakan
antara macam-macam tingkatan hadis:
2. Tingkatan hadis berdasarkan jumlah parawi
a. Hadis Mutawatir
Hadis yang jumlah para parawinya pada setiap tingkatan terdiri
dari sejumlah orang yang menurut adat mereka mustahil melakukan
kesepakatan untuk berdusta atas nama rosulullo SAW,yang disebabkan
karena jumlah mereka yang cukup banyak,kepatuhan mereka pada ajaran
agama,dan yang demikian itu mereka riwayatkan mulai dari awal hingga
akhir,dan menunjukkan pada masalah yang tertentu.3
b. Hadis Ahad
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang tidak
sebanyak parawi hadis mutawir.
3. Tingkatan Hadis Berdasarkan kekuatan parawinya.
a. Hadis Shahih
Hadis Shahih adalah hadis yang bersambung dengan cara
penukilan yang adil,kuat ingatannya yang berasal dari parawi yang kuat
pula ingatannya hingga terakhir serta tidak ada keraguan dan kecacatan
didalamnya.
b. Hadis Hasan
Hadis hasan dapat diketahwi melalui sumber dan perawi yang
meriwayatkan nya.

3
amidy, Mu’ammal, AM, Imron, Fanany BA., Umar, Terjemahan Nailul Authar
Himpunan Hadits- Hadits Hukum, Surabaya :PT. Bina Ilmu, 1991, jilid. Hal. 1082.
c. Hadis dha’if
Hadis yang tidak memiliki ciri-cirihadis shahih dan hadis hasan.
C. Metodologi Filsafat dan Theologi
1. Pengertian Ilmu Kalam
Menurut Ibnu Khaldun, sebagimana dikutif A.Hanafi, Ilmu Kalam ialah
ilmu berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman
dengan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang
menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan Salaf dan Ahli
Sunnah.
Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang
membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan
dengan bukti –bukti yang meyakinkan. Didalamnya ilmu ini dibahas tentang cara
ma’rifat ( mengetahui secara mendalam) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-
Nya dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti, guna mencapai kebahagiaan
hidup abadi. Ilmu ini termasuk induk ilmu Agama dan paling utama bahkan
paling mulia, karena berkaitan dengan dzat Allah, dzat para Rasul-Nya.4
Namun dalam perkembangan selanjutnya ilmu teologi juga berbicara tentang
berbagai masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti
masalah iman, kufur, musyrik, murtad, masalah kehidupan akhirat dengan
berbagi kenikmatan atau penderitaannya, hal-hal yang membawa pada semakin
tebal dan tipisnya iman, hal-hal yang berkaitan dengan kalamullah yakni Al-
Quran, setatus orang-orang yang tidak beriman dan sebaginya. Selanjutnya
dinamai Ilmu Ushuludin, karena ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan
yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, dinamai pula Ilmu Aqaid, karena
dengan ilmu ini seseorang diharapkan agar meyakini dalam hatinya secara
mendalam dan mengikatkan dirinya hanya kepada Allah sebagai Tuhannya.

D. Metodologi Tasawwuf
a. Pengertian Tashawuf

4
Studi Islam Komperhensif, (Jakarta, Kencana, 2011), Ed. I. cet I.Hal 117
Dari segi bahasa (linguistik) terdapat sejumlah kata atau istilah yang
dihubungkan orang dengan tashawuf. Misalnya, menurut Harun Nasution
menyebutkan lima istilah yang berhungan dengan tashawuf, yaitu Al-Suffah yaitu
orang yang ikut pindah dengan nabi dari mekah ke madinah. Saf, yaitu barusan
yang di jumpai dalam melaksanakan shalat berjamaah. Sufi yaitu bersih dan suci,
Sophos (bahasa yunani : Hikmah). Suf (Kain wol kasar).5
Dengan demikian dari segi bahasa tashawuf mnggambarkan keadaan yang
selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah berpola
hdup sederhana, mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi tujuan-
tujuan yang lebih mulia di sisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa
seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkap yang kuat dan efektif terhadap
berbagai godaan hidup yang menyesatkan.
Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara
melakukan pembersihan diri serta mengamalkannya secara benar.

E. Metodologi Kajian Fiqih dan Kaidah Ushuliyah


1. Kajian Fiqih
a. Pengertian Kaidah Fiqih
Di antara arti kaidah sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Warson
Munawir, adalah al-asas (dasar, asas, dan pondasi), al-qanun (peraturan dan
kaidah dasar), al-mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau
cara). Mushthafa Ahmad al-Zarqa, dalam pengantar buku Syarh al-Qawai’id
al-Fiqhiyyat karya bapaknya, al-Syaikh Ahmad Ibn al-Syaikh Muhammad
al-Zarqa, menjelaskan bahwa arti kaidah secara bahasa adalah al-asas, baik
sebagai asas yang konkret (inderawi) maupun yang abstrak (ma’naawi).
Ulama ushul berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah adalah:
“Peraturan umum yang mencakup pada semua bagiannya supaya
diketahui hukum-hukumnya berdasarkan aturan umum tersebut.”

5
Ahlak Tasawwuf dan Karakter Mulia (Jakarta, Rajawali Pers, 2014), Ed.Rev Cet 13.
Hal. 75
Sedangkan ulama fiqih berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
kaidah adalah
“Aturan pada umumnya atau kebanyakan yang membawahi bagian-
bagiannya untuk mengetahui hukum-hukum yang dicakupnya berdasarkan
aturan umum tersebut.”
Dari pengertian di atas, dapat diketahui hal-hal sebagai berikut:
1) Kaidah adalah “ugeran” atau patokan umum yang dijadikan dasar
untuk menentukan hukum bagi persoalan-persoalan yang belum
diketahui hukumnya.
2) Kaidah bersifat aglabiyat, aktsariyat atau pada umumnya. Oleh karena
itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian (al-
mustasnayat).
3) Tujuan pembentukan kaidah fiqih adalah agar ulama, hakim (qadhi),
dan mufti, memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan suatu
sengketa atau kasus-kasus di masyarakat.
b. Kegunaan Kaidah Fiqih
Kegunaan kaidah fiqih menurut ‘Ali Ahmad al-Nadawi secara
sederhana adalah sebagai pengikat (“ringkasan”) terhadap beberapa persoalan
fiqih. Menguasai satu kaidah berarti telah menguasai sekian bab fiqih. Oleh
karena itu, mempelajari kaidah dapat memudahkan orang yang berbakat fiqih
dalam menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fiqih.
c. Kedudukan Kaidah Fiqih
Kedudukan kaidah fiqih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalil
pelengkap dan dalil mandiri. Yang dimaksud dengan dalil pelengkap adalah
bahwa kaidah fiqih digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil
pokok, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil
mandiri adalah bahwa kaidah fiqih digunakan sebagai dalil hukum yang
berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
2. Kaidah Ushuliyah
a. Pengertian Kaidah Ushuliyah
Kaidah dalam bahasa Arab disebut Qa’idah sebagai mufrad
(bentuk tunggal) dari Qawa’id (kaidah-kaidah), kini kata qa’idah telah
menyatu dengan bahasa Indonesia dengan kata kaidah.
Sedangkan pengertian Ushuliyah diambil dari kata “ashal” yang
diberi ya nisbah (ya’ yang berfungsi untuk mengbangsakan/ menjeniskan).
Dalam arti terminologi Ashal mempunyai 5 pengertian, yaitu:
1) Ashal berarti kaidah yang bersifat menyeluruh.
2) Ashal berarti yang lebih kuat (Rajih).
3) Ashal berarti hukum ashal (Mustashhab)
4) Ashal berarti Maqis ’alaih (dalam bab Qiyas).
5) Ashal berarti dalil.
Dengan demikian pengertian “Kaidah Ushuliyah” adalah suatu
hukum diambil kuli yang dapat dijadikan standar hukum bagi juz'i yang
diambil dari dasar kulli yakni al-Qur'an dan as-Sunnah”.
b. Pembagian Kaidah
Kitab ushul fiqh membagi kaidah dengan dua macam, yaitu
kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah, kedua kaidah ini saling terkait.6
1) Kaidah ushuliyah atau yang disebut juga kaidah istinbathiyah atau
bahkan disebut juga kaidah lughawiyah, arti dari kaidah Ushuliyah
sendiri adalah kaidah-kaidah yang dipakai oleh ulama ushul
berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah
ditetapkan oleh para ahli bahasa Arab. Setelah diadakan penelitian-
penelitian yang bersumber dari kesusastraan Arab.
2) Sedangkan kaidah Fiqhiyah, ia disebut juga kaidah Syar’iyah.
Pembahasan kaidah fiqhiyah ini akan dibahas tersendiri dalam
judul yang berbeda.
c. Metode Perolehan Kaidah Ushuliyah
Ulama Ushuliyah membagi metode perolehan kaidah ushuliyah
dengan 3 bagian, yaitu metode mutakallimin dan metode ahnaf, dan
metode campuran. Masing-masing punya ciri-ciri tersendiri.

6
Ali shodiqin,Fiqh dan Ushuk Fiqh(Yogyakarta:Beranda Publising,2012),hal. 60
1) Metode Mutakallimin
Metode mutakallimin sering disebut sebagai metode Syafi’iyah.
Metode ini banyak dikembangkan oleh golongan mu’tazilah,asy’ariyah
dan Imam Syafi’i sendiri. mereka menggunakan metode ini dengan cara
memproduksi kaidah-kaidah serta mengeluarkanqonun-qonun ushuliyah
dari penggalian lafal-lafal serta uslub-uslubbahasa Arab.
Kitab-kitab ushul yang banyak menggunakan metode mutakallimin
adalah:
a) Al-Mustashfa, karangan Imam al-Ghazali (w. 505 H).
b) Al-Ahkam, karangan Abu Hasan al-Amidi (w. 613 H).
c) Al-Minhaj, karanganp al-baidhawi (w. 685 H).
d) Al-Mu’tamad, karangan Muhammad bin Ali al-Basri (Tokoh
Mu’tazillah) .
e) Al-Burhan, karangan Imam Haramain (w. 487 H).
f) Al-Manshul, karangan Fakruddin ar-Razi.
g) Metode Ahnaf
Metode ahnaf (hanafiyah) dicetuskan oleh Imam Abu Hanafiah
dengan jalan mengadakan istiqra (induksi) terhadap pendapat-pendapat
Imam sebelumnya dan mengumpulkan pengertian makna dan batasan-
batasan yang mereka pergunakan sehingga metode ini mengambil konklusi
darinya.
2) Metode Campuran
Yaitu metode penggabungan antara metode Mutakallimin dan
metodehanafiah, yakni dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah
ushuliyah dan mengemukakan dali-dalil atas kaidah-kaidah tersebut.
Kitab yang mengikuti metode campuran antara lain:
a) Badiun Nidhom, karangan al-Badzawi.
b) Al-Ahkam, karangan Mudhoffaruddin al-Bagdadi al-Hanafi (w. 694 H).
b. Obyek Kaidah-Kaidah Ushuliyah
Penggunaan kaidah-kaidah ushuliyah hanya dipakai sebagai jalan
untuk memperoleh dalil hukum dan hasil hukumnya.7 Misalnya penetapan
hukum amar, nahi dan sebagainya serta penerimaan atau penggalian dalil-
dalil dhanniyah seperti qiyas, istishab, istihsan dan sebagainya.

F. Metodologi Pemikiran Modern


1. Pemikiran Modern
Kata-kata “modern”, “modernitas”, “modernisasi”, dan “modernisme”,
seperti kata lainnya yang berasal dari Barat, telah dipakai dalam bahasa Indonesia.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata modern diartikan sebagai yang
terbaru, mutakhir. Selanjutnya kata modern erat pula kaitannya dengan
modernisasi yang berarti pembaruan atau tajdid dalam bahasa Arabnya.8
Dalam masyarakat Barat “modernisasi” mengandung arti pikiran, aliran,
gerakan, dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-
institusi lama dan lain sebagainya, agar semua itu sesuai dengan pendapat-
pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Pikiran dan aliran itu muncul antara tahun 1650 sampai 1800
SM. Suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age of
Reason atauEnglightenment, yakni masa pemujaan akal.
Dalam Islam, modernisasi berarti upaya yang sungguh-sungguh untuk
melakukan re-interpretasi terhadap pemahaman, pikiran, dan pendapat tentang
masalah keislaman yang dilakukan oleh pemikir terdahulu untuk disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Dengan demikian yang diperbarui adalah hasil
pemikiran atau pendapat, dan bukan memperbarui atau mengubah teks Al-Qur'an
dan al-Hadits. Yang diperbarui adalah hasil pemahaman terhadap Al-Qur'an dan
al-Hadits.

7
Sapiudin Shidiq,Ushul Fikih (Jakarta:Kencana,2011),hal. 18
8
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada),
Cet I,II,III.. Hal 85
Modernisme dalam Islam tentunya timbul pada periode yang disebut
modern dalam sejarah Islam. Menurut Harun Nasution, periode tersebut dimulai
sejak tahun 1800 M sampai zaman sekarang ini. Setelah terjadi pendudukan
Napoleon di Mesir tahun 1798 M menyadarkan pemuka-pemuka Islam bahwa
umat Islam sudah terbelakang dan lemah. Sebelumnya mereka masih
berkeyakinan bahwa kebudayaan umat Islam masih lebih tinggi dari kebudayaan
Barat. Sekarang ternyata Barat yang lebih tinggi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Agama pada umumnya menjadi pemandu dan pengarah dalam kehidupan
manusia agar tidak terperosok kedalam keadaan yang merugikan dan
menjatuhkan harga dirinya sebagai makhluk mulia.
Islam merupakan agama samawi yang memiliki banyak dimensi. Untuk
memahami dimensi itu, diperlukan berbagai metodologi yang digali dari berbagai
disiplin ilmu yang dapat dipahami dari segi theologis dan normatif. Untuk
memahami ajaran Islam secara benar dan utuh, diperlukan metodologi yang
sistematis, terstruktur dan terorganisir dengan baik.
Ada banyak metodologi dalam memahami islam diantaranya ulumul tafsir,
ulumul hadist, filsafat dan theology, tasawwuf, Kajian Fiqih dan Kaidah
usuluhiyyah, pemikiran modern, pendidikan islam, tekstualitas dan
kontekstualitas, muqaranah madzhab yang mengupas masalah- masalah yang
berhubungan dengan pendekatan terhadap islam.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini,, kami hanya focus membahas tentang
aneka metode dalam mamahami islam, dengan adanya makalah ini kita dapat
memahami berbagai aspek pandangan para ahli tentang memahami agama islam.
Dan juga tujuan kami membuat makalah ini agar tidak ada kesalahapahaman lagi
tentang bagaimana cara seseorang dalam memahami islam tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukhti, Metode Memahami Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1991), Cet I.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,2010), Ed. Revisi.

Amidy, Mu’ammal, AM, Imron, Fanany BA., Umar, Terjemahan Nailul Authar
Himpunan Hadits- Hadits Hukum, Surabaya :PT. Bina Ilmu, 1991, jilid. 2.

Ali shodiqin,Fiqh dan Ushuk Fiqh(Yogyakarta:Beranda Publising,2012),

Sapiudin Shidiq,Ushul Fikih (Jakarta:Kencana,2011),

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo


Persada), Cet I,II,III.

Anda mungkin juga menyukai