Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MODEL STUDI HADITS KONTEMPORER

Dosen : Ibu Dr. Siti Mas’ulah, M.Pd.

Mata Kuliah : Studi Islam

Di Susun Oleh :

KELOMPOK 8

1. Nuryamin
2. M. Imam Syafi’i

SEKOLAH TINGGI EKONOMI SYARIAH NAHDLATUL ULAMA (STIESNU)


Jln. Pancurmas Kelurahan Sukarami-Kecamatan Selebar Kota Bengkulu – Indonesia | 38212
www.stiesnu-bengkulu.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Studi hadis telah banyak menyita perhatian ulama sejak awal perkembangan Islam
hingga saat ini. Bahkan, khazanah Islam lebih banyak dipenuhi kitab-kitab hadis dibanding
kitab-kitab tafsir. Ini menunjukkan pentingnya kedudukan hadis dalam Islam. Bersama al-
Qur’an, hadis merupakan sumber hukum dan petunjuk untuk kehidupan. Di sisi lain, berbeda
dengan al- Qur’an, hadis tidak pernah dibukukan, bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri
pernah melarang Sahabat untuk mencatat hadis-hadis, karena khawatir akan bercampur
dengan dengan ayat- ayat al- Qur’an. Kendati sudah ada catatan- catatan khusus baru dimulai
pada abad ke- 2 H.

Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Abu Bakar Ibnu Hazm sebagai berikut,
“Perhatikanlah, apa yang berupa hadits Rasulullah SAW. maka tulislah, karena sesungguhnya
aku khawatir ilmu agama tidak dipelajari lagi, dan ulama akan wafat. Janganlah engkau
terima sesuatu selain hadits Nabi SAW. Sebarluaskanlah ilmu dan ajarilah orang yang tidak
mengerti sehingga dia mengerti. Karena, ilmu itu tidak akan binasa (lenyap) kecuali kalau ia
dibiarkan rahasia (tersembunyi) pada seseorang.” Hadis merupakan sumber ajaran Islam di
samping al-Qur’an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap
hadis akan terus dilakukan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi oleh siapapun yang
berkepentingan terhadapnya.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengertian Studi Hadits


2. Apa saja Cabang-cabang Studi Hadits

3. Bagaimana Perkembangan Awal Studi Hadis


4. Bagaimana Hadits sebagai Penafsir Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ulumul Hadits


Dari segi bahasa ilmu hadist terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadist. secara
sederhana ilmu artinya pengetahuan, sedangkan hadist artinya segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik dari perkataan, perbuatan, maupun
persetujuan. Sedangkan Ilmu hadist secara istilah adalah ilmu yang membicarakan tentang
keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Ilmu hadist di bagi menjadi dua
macam, yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.
1. Ilmu Hadits Riyawah
Menurut pendapat Dr. Shubhi Ash-Shahih ialah: Ilmu yang mempelajari tentang
periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan maupun sifat serta
segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in. Pendiri ilmu hadits riwayah
adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (W. 124 H.)
Adapun kegunaan dan manfaat mempelajari ilmu hadits riwayah, di antaranya adalah
sebagai berikut:
a. Memelihara hadits secara berhati-hati dari segala kesalahan dan kekurangan
dalam periwayatan.
b. Memelihara kemurnian syari’ah Islamiyah karena sunnah atau hadits adalah
sumber hokum Islam setelah Al-Qur’an.
c. Menyebarluaskan sunnah kepada seluruh umat islam sehingga sunnah dapat
diterima oleh seluruh umat manusia.
d. Mengikuti dan meneladani akhlak Nabi SAW. karena tingkah laku dan akhlak
beliau secara terperinci dimuat dalam hadist.
e. Melaksanakan hokum-hukum Islam serta memelihara etika-etikanya, karena
Islam tanpa mempelajari ilmu hadist riwayah ini.
2. Ilmu Hadits Dirayah
Peneletian sanad dan matan, periwayatan, yang meriwayatkan dan yang diriwayatkan,
bagaimana kondisi dan sifat-sifatnya, diterima atau ditolak, shahih dari Rasul atau dha’if.
Ilmu Hadits Dirayah, fokusnya pada pengetahuan (dirayah) hadist, baik dari segi keadaan
sanad dan matan, apakah telah memenuhi persyaratan sebagai hadits yang diterima atau
tertolak. Adapun pendiri Ilmu Hadits Dirayah adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan
bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi (W. 360 H.).
Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut:
a. Ittishal as-sanad (persambungan sanad). dalam hal ini tidak dibenarkan adanya
rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya (wahm),
atau samar.
b. Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl (adil), dhabit (cermat dan kuat), dan tsiqah
(terpercaya) yang harus dimiliki seorang periwayat.
c. Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad. Misalnya,
hadist yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi menyendiri dan
bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh periwayat-periwayat tsiqah
lainnya.
d. ‘Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadist yang keihatannya baik atau
sempurna. syadz dan ‘illat ada kalanya terdapat juga pada matan dan untuk
menelitinya diperukan penguasaan ilmu hadist yang mendalam.
Masalah yang menyangkut matan disebut naqd al-matn (kritik matan) .Pembahasan
ilmu hadits dirayah meliputi:
 Kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi.
 Fasad al-ma'na, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada ma'na hadits karena
bertentangan dengan indra dan akal.
 Kata-kata gharib (asing), yakni kata-kata yang tidak bias dipahami berdasarkan
makna yang umum dikenal.
Faedah ilmu hadits dirayah adalah:
 Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa ke
masa sejak masa Rasulullah SAW. Sampai masa sekarang.
 Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam
mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadits.
 Mengetahui kaedah-kaedah yang dipergunakan oleh para ulama dalam
mengklafikasikan hadits lebih lanjut.
 Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadits. Dalam menetapkan
hokum syara'.
B. Cabang-Cabang Ilmu Hadits
1. Ilmu Rijal Al-Hadits
Ilmu rijal al-hadits adalah ilmu yang membahas hal dan sejarah para rawi dari
kalangan sahabat, tabiin, dan atba’at-tabiin. Bagian dari ‘ilmu rijal al-hadits ini adalah ‘ilmu
tarikh rijal al-hadits. Ilmu ini secara khusus membahas perihal para rawi hadits dengan
penekanan pada aspek-aspek tanggal keahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber
hadits, jumlah hadits yang diriwayatkan, dan muris-muridnya.
2. Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil
Secara bahasa, kata al-jarh artinya cacat atau luka dan kata at-ta’dil artinya
mengadilkan atau menyamakan. Jadi, kata ilmu al-jarh wat-ta’dil adalah ilmu tentang
keacatan dan keadilan seseorang.
3. Ilmu Fannil Mubhamat
Ilmu fannil mubahat adalah: ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak
disebutkan dalam matan atau dalam sanad.
4. Ilmu ‘Ilal Al-Hadits
Kata ‘ilal adalah jamak dari kata al-illah, yang menurut bahasa artinya penyakit.
Adapun ilmu ‘ilal al-hadits menurut istilah adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang
tersembunyi, yang dapat mencacatkan kesahihan hadits, misalnya mengatakan muttashil
terhadap hadits yang munqathi’, menyebut marfu’ terhadap hadits yang mauquf, memasukan
hadits ke dalam hadits lain.
5. Ilmu Gharib Al-Hadits
Ilmu gharb al-hadits adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat
dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan jarang terpakai oleh umum. Ilmu
gharb al-hadits membahas lafal yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami
sehingga orang tidak akan menduga-duga dalam memahami redaksi hadits. Menurut sejarah,
orang yang mula-mula berusaha untuk mengumpulkan lafal yang gharib adalah Abu Ubaidah
Ma’mar bin Al-Mutsana, kemudian dikembangkan oleh Abul Hasan Al-Mazini.
6. Ilmu Nasikh wal Mansukh
Nasakh secara etimologi berarti menghilangkan, mengutip, atau menyain. Sedangkan
nasikh wal mansukh, menurut ulama hadits, adalah: ilmu yang membahas hadits-hadits yang
saling bertentangan yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan
sebagainya sebagai ‘nasikh’ dan sebagian lainnya sebagai ‘mansukh’. Yang terbukti datang
terdahulu sebagai mansukh dan yang terbukti datang kemudian sebagai nasikh. Perintis ilmu
ini adalah Asy-Syafi’I, kemudian dilamjutkan oleh murid-muridnya.
7. Ilmu Talfiq Al-Hadits
Ilmu talfil al-hadits adalah ilmu yang membahas cara mengumpulkan hadits-hadits
yang berlawanan akhirnya. Cara engupulkan dalam talfiq al-hadits ini adalah dengan men-
takhsiskan makna hadits yang umum, men-taqyidkan hadits yang mutlaq.
8. Ilmu Tashif wat Tahrif
Ilmu tashif wat tahrif adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi,
tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadits.
9. Ilmu Asbab Al-Wurud Al-hadits
Ilmu asbab al-wurud al-hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi
SAW. Menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi SAW. menuturkan itu. Ilmu ini sangat
penting untuk memahami dan menafsirkan hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang
berkaitan dengan wurud hadits tersebut.

C. Perkembangan Awal Studi Hadis

1. Penulisan dan Pembukuan Hadis Secara Resmi (Abad ke 2 H)

Pada periode ini Hadis-hadis Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi.
Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti
Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk
menulis dan membukukan Hadis secara resmi, hal ini didadasarkan pada beberapa riwayat,
Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya hadis dan wafatnya para ulama hadis. Para
sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah
meninggal dunia. Sementara hadis-hadis yang ada di dada mereka belum tentu semuanya
sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan
takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan Hadis.

Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke daerah-
daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu
sendiri adalah hadis. Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan hadis-hadis tersebut
dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru
memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang didasarkan pada hadis-hadis Nabi.
Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang
mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah SAW yang akhirnya akan merusak ajaran
kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu
gerakan yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.

2. Masa Pemurnian dan Penyempurnaan Penulisan Hadis (Abad ke 3 H)

Menurut ahli hadis, yang menjadi masalah pokok yang menyebabkan keterlambatan
sampai seratus tahun lebih dalam pembukuan hadis adalah karena hanya mengikuti pendapat
populer di kalangan mereka tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa Hadis
sudah dibukukan pada masa yang lebih awal. Sedangkan sebab lain kenapa hadis belum
disusun dan dibukukan pada masa sahabat dan tabi’in dikarenakan adanya larangan Nabi
dalam shahih Muslim, khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an, sebab lain hafalan mereka
sangat kuat dan mereka juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru
pada masa akhir tabi’in, hadis-hadis Nabi disusun dan dibukukan.

Masa pemurnian dan penyempurnaan hadis berlangsung sejak pemerintahan al-


Ma’mun sampai awal pemerintahan al-Muqtadir dari khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-
ulama hadis memusatkan pemeliharaan pada keberadaan hadis, terutama kemurnian Hadis
Nabi SAW, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadis yang semakin
marak.
Oleh sebab itu para ulama berupaya agar pelestarian yang berbentuk hadis dapat terus
dipertahankan dan diabadikan tentunya dengan menyeleksi satu demi satu hadis yang telah
masuk ataupun penemuan baru yang hubungan keakuratannya adalah bisa
dipertanggungjawabkan serta memang benar-benar datang dari Nabi SAW. Maka para ulama
melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para perawi hadis yang jauh dari
pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari yang telah melakukan perjalanan selama
16 tahun dengan mengunjungi kota Mekkah, Madinah dan kota-kota lain. Seterusnya mereka
juga melakukan pengklasifikasian Hadis yang disandarkan kepada Nabi (marfu’), dan yang
disandarkan kepada para sahabat (mawquf), serta yang disandarkan kepada tabi’in (maqthu’),
serta penyeleksian hadis kepada Hadis Shahih, Hasan, dan Dha’if.

3. Masa Pemeliharaan, Penertiban dan Penambahan Dalam Penulisan Hadis (Abad 4-7
H)

Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan
membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa
membaca dan menulis). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada
seorangpun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya sebagai ciri keadaan dari
mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang yang di antara mereka ada yang
mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid al-Abbay (w. 35 sebelum hijrah)
misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang yang pertama
yang mampu menulis dengan bahasa Arab yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang
Yahudi juga mengajarkan anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat
perdagangannya sebelum keNabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang-orang yang
mempu membaca.
Pada masa setelah sahabat kegiatan pengumpulan hadis sudah menjadi suatu keharusan sejak
abad ke-2, hal ini didasari karena perkembangan Islam semakin meluas dan diperlukannya
rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan
hadis sudah menjadi tanggungjawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah al-
Muqtadir sampai pada al-Mu’tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada
abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama
hadis dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada
periode sebelumnya. Hanya saja hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya.

4. Pensyarahan, Penghimpunan, Pentakhiran, dan Pembahasan Hadis (Abad 7 H -


sekarang)
a. Kegiatan periwayatan hadis

Berawal dari penaklukan yang dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan
Abbasiyah yang kemudian dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil
menaklukkan bangsa Mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk mempunyai maksud tertentu
dengan membai’at khalifah. Hanyalah sekedar simbol agar daerah-daerah Islam lain mau
mengakui daerah Mesir sebagai pusat pemerintahan Islam yang akhirnya umat akan tunduk
kepada Mesir sebagai pemerintahan Islam, setelah itu lahirlah pengakuan pada Dinasti
Mamluk sebagai penguasa dunia Islam. Setelah masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk
sudah mulai surut, masuklah abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki atas
peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang
ada disekirnya dan selanjutnya membangun Daulah Utsmaniah yang berpusat di Turki.

Setelah menaklukkan Konstantinopel dan Mesir (runtuhnya Khalifah Abbasiyah),


maka berpindahlah pusat kekuasaan Islam ke Konstantinopel pada abad ke-13 H, Mesir yang
dipimpin oleh Muhammad Ali mulai bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa
silam. Namun Eropa bertambah kuat menguasai dunia, secara bertahap mereka mulai
menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad ke-19 M sampai abad ke-20 M hampir
seluruh wilayah Islam dijajah oleh bangsa Eropa. Kebangkitan kembali umat Islam baru
dimulai pada pertengahan abad ke-20 M. Pada masa ini, para ulama hadis pada umumnya
mempelajari kitab-kitab hadis yang sudah ada dan selanjutnya mengembangkannya dan
meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis karya seperti kitab Syarah, Mukhtashar,
Zawa’id, Takhrij dan lain sebagainya.

Tentunya tidak terlepas dari pengkaji hadis pada saat sekarang, selain mengkaji Matan
(isi) hadis tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak
hanya menerima bahwa hadis tersebut shahih atau tidak shahih. Akan tetapi kita telah
mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab hadis
tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan hadis dari
orang-orang yang ingin menyelewengkannya. Dalam hal ini kita tidak terlepas dari ilmu
Tarikhi’r-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi hadis baik yang bersangkutan
dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan
mereka menerima hadis dari guru-guru mereka.

b. Bentuk penyusunan kitab Hadis

Pada periode ini, umumnya para ulama hadis mempelajari kitab-kitab hadis yang telah
ada, kemudian mengembangkan dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya
sebagai berikut:

a. Kitab Syarah.

Yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan hadis dari kitab tertentu
dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari al-Qur’an, Hadis, ataupun
kaidah-kaidah syara’ lainnya. Di antara contohnya adalah:

1. Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, yaitu syarah kitab Shahih al-Bukhari.
2. Al-Minhaj, qleh al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
3. ‘Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, syarah sunan Abu
Dawud.
b. Kitab Mukhtashar.

Yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab Hadis, seperti Mukhtashar Shahih
muslim, oleh Muhammad fu’ad abd al-Baqi.

c. Kitab Zawa’id.

Yaitu kitab yang menghimpun hadis-hadis dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat
kitab tertentu lainnya. Di antara contohnya adalah Zawa’id al-Sunan al-Kubra, oleh al-
Bushiri, yang memuat hadis-hadis riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub al-
Sittah.

d. Kitab petunjuk (kode indeks) hadis.

Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan
hadis pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh A.J. Wensinck,
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd al-Baqi.

e. Kitab Takhrij.

Yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis yang memuat


dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya adalah, Takhrij Ahadits al-
Ihya’, oleh Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij Hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Ihya’
‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.

f. Kitab Jami’.

Yaitu kitab yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis tertentu, seperti
al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun hadis-hadis
Bukhari dan Muslim.

g. Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum.

Contohnya, Bulugh al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan
Koleksi Hadis-Hadis Hukum oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.
Dengan adanya karya-karya besar para ahli hadis tersebut, maka dapatlah
mempermudah generasi sekarang ini dalam mempelajari serta mentelusuri hadis-hadis yang
ada sekarang, sehingga dapat mengetahui kualitas hadis-hadis tersebut, dan menghindarkan
diri dari pengamalan hadis-hadis yang daif.

D. Hadits Sebagai Penafsir Al-Qur’an.

Hadis adalah tafsir pertama bagi Alquran. Ini menunjukkan bahwa sejak awal
turunnya, Hadis mempunyai peran yang sangat penting bagi Alquran, khususnya dalam hal
penafsiran. Selain sebagai penjelas terhadap Alquran, hadis juga berperan menguatkan pesan
dan kandungan Alquran, legislator, dan nasikh atas Alquran.  Sebelum munculnya kitab tafsir
lengkap pertama, yaitu Tafsir Jamiul Bayan karangan at-Tabari, khazanah tafsir Alquran
terdokumentasikan dalam manuskrip-manuskrip kumpulan hadis. Al-Bukhari misalnya
menyisipkan penafsiran-penafsiran Nabi, sahabat dan pemuka tabiin dalam al-Jamius Sahih
pada pembahasan khusus yang dinamai dengan Kitab Tafsiril Qur’an. Begitu pula Muslim
dengan Kitabut Tafsir-nya.

Selanjutnya pada era tafsir-tafsir awal, riwayat tafsir Nabi, sahabat dan tabiin itu
dikutip dalam kitab-kitab tafsir dengan turut memuat sanadnya secara lengkap. Sampai pada
masa di mana hanya matannya saja dari hadis-hadis itu yang dipertahankan, kepakaran atas
ilmu hadis menjadi prasyarat seseorang untuk menjadi mufassir. Sebagian ahli tafsir ada yang
sangat berpegang pada riwayat-riwayat hadis dalam menafsirkan Alquran. Tafsir jenis ini kini
dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Selain sebagian kecil oknum Munkirus Sunnah
(kelompok yang mengingkari sunnah), para ulama menjadikan hadis sebagai salah satu
komponen penting dalam upaya menafsirkan Alquran. Ini tidak lepas dari kedudukan Nabi
Muhammad SAW sebagai mufassir (penjelas) yang paling otoritatif atas Alquran.

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, posisi hadis Nabi terhadap Alquran setidaknya ada
empat, yaitu sebagai berikut:

1. Sebagai Penguat Alquran

Ini terjadi ketika hadis menyampaikan pesan yang sama dengan yang terdapat dalam
Alquran. Maka hadis di sini berperan sebagai penguat yang mengafirmasi atas apa-apa yang
telah disampaikan Alquran sebelumnya.
Contohnya, hadis riwayat Muslim yang berbunyi, “Berwasiatlah kalian terhadap perempuan
dengan kebaikan.” Hadis ini menguatkan perintah Alquran untuk memperlakukan perempuan
dengan makruf dalam kutipan ayat berikut:

ِ ‫ش ُروهُنَّ بِا ْل َم ْع ُر‬


‫وف‬ ِ ‫َو َعا‬
Dan bergaullah dengan mereka (perempuan) secara patut (QS. An-Nisa: 19)

2. Sebagai Penjelas Alquran

Kebanyakan hadis Nabi berposisi sebagai penjelas ayat-ayat Alquran. Dibandingkan


dengan hadis, Alquran yang jumlahnya hanya sekitar 6.236 ayat ini tentunya sangat sedikit
dan tidak cukup memadai untuk merangkum seluruh rincian ajaran Islam. Tidak heran
ungkapan-ungkapan dalam Alquran bersifat padat dan universal. Di sinilah dibutuhkan
peranan hadis dalam menjelaskan hal-hal yang masih umum, samar dan ambigu tersebut.
Peran hadis sebagai penjelas ini dapat dibagi ke dalam tiga macam. Pertama, adakalanya
hadis merinci pesan ayat yang masih global. Ini seperti hadis-hadis tentang tata cara dan sifat
salat Nabi sebagai rincian dari perintah salat dalam Alquran yang tidak dibahas bagaimana
teknis pelaksanaannya.

Kedua, adakalanya lagi hadis mengkhususkan sesuatu yang disampaikan ayat secara umum.
Salah satu contohnya ialah hadis riwayat Baihaqi yang berbunyi, “Pembunuh tidak dapat
mewarisi (dari orang dibunuhnya) sedikitpun.” Ia mengkhususkan keumuman hukum waris
dalam Alquran. Ketiga, adakalanya pula sebuah hadis mengikat atau membatasi apa yang
diberitakan ayat secara mutlak. Misalnya praktik hukum potong tangan bagi pencuri yang
diperintahkan Nabi hanya sampai pada pergelangan tangan. Sedangkan redaksi QS. Al-
Maidah: 38 menyebutkan kata “tangan” secara mutlak, yang definisinya secara bahasa ialah
bagian tubuh dari ujung jari sampai bahu.

3. Sebagai Legislator Selain Alquran

Sebagai salah satu sumber hukum Islam (masadirul ahkam), hadis juga kadang datang
membawa hukum baru yang tidak pernah disinggung oleh Alquran. Sebagai contoh,
kewajiban zakat fitri dalam hadis Nabi yang tidak ditemukan dalilnya dari Alquran. Sebagian
ulama menyatakan, tidak ada ketetapan yang datang dari hadis yang benar-benar baru. Semua
hukum yang ada pasti memiliki dasar dari Alquran, baik disebutkan secara eksplisit maupun
implisit. Apa yang dianggap hukum baru dari hadis sebenarnya masuk dalam prinsip atau
kaidah umum Alquran. Sebab sebagaimana yang ditegaskan dalam QS. Al-An’am: 38 bahwa
tidak ada sedikitpun yang teralpakan dari Alquran. Mustafa as-Siba’I telah mengulas panjang
lebar perdebatan para ulama tentang hal ini beserta argumentasinya masing-masing dalam
kitabnya yang berjudul as-Sunnah wa Makanatuha fit Tashri’l Islami.

4. Sebagai Nasikh atas Alquran

Mayoritas ulama menganggap hadis juga bisa berperan sebagai pembatal hukum
Alquran. Tentunya hadis yang tingkatannya mutawatir atau sahih. Keabsahan ini mengingat
hadis Nabi juga merupakan bagian dari wahyu seperti halnya Alquran, sehingga prinsip
nasakh dapat diberlakukan. Mereka mencontohkan perintah Alquran kepada orang yang
merasa dirinya akan wafat supaya berwasiat kepada orang tua dan kerabat. Ajaran yang
tercantum pada QS. Al-Baqarah: 180 ini dianulir oleh hadis mutawatir yang menyatakan
bahwa tiada wasiat bagi ahli waris. Meski demikian, sebagian ulama seperti as-Shafi’I dan al-
Qardawi menolak anggapan tersebut. Kelompok yang menegasikan naskhul qur’an bis
sunnah ini mendasari pandangan mereka pada ayat berikut:

ِ ‫س َها نَْأ‬
‫ت ِب َخ ْي ٍر ِّم ْن َها َأ ْو ِم ْثلِ َها‬ ِ ‫س ْخ ِمنْ آيَ ٍة َأ ْو نُن‬
َ ‫َما نَن‬
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (QS. Al-Baqarah:
106)

Bahwa naskh tidak terjadi kecuali yang menggantikan sebanding atau lebih baik dari
yang digantikan, sementara antara Alquran dan hadis tidak sebanding. Alquran lafal dan
maknanya langsung dari Allah, bersifat pasti dan terjamin keotentikannya, sedangkan hadis
tidak. Oleh karena itu hadis dapat di-nasakh oleh Alquran, namun tidak sebaliknya. Dari
ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa antara Alquran dan hadis saling terkait satu sama
lain. Dalam kaitannya menafsirkan Alquran, hadis berperan penting sebagai salah satu
komponen penafsiran yang membantu mufassir memahami Alquran dengan benar.
BAB III
Kesimpulan

Dari segi bahasa ilmu hadist terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadist. secara
sederhana ilmu artinya pengetahuan, sedangkan hadist artinya segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik dari perkataan, perbuatan, maupun
persetujuan. Sedangkan Ilmu hadist secara istilah adalah ilmu yang membicarakan tentang
keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan.

Hadis adalah tafsir pertama bagi Alquran. Ini menunjukkan bahwa sejak awal
turunnya, Hadis mempunyai peran yang sangat penting bagi Alquran, khususnya dalam hal
penafsiran. Selain sebagai penjelas terhadap Alquran, hadis juga berperan menguatkan pesan
dan kandungan Alquran, legislator, dan nasikh atas Alquran.  Sebelum munculnya kitab tafsir
lengkap pertama, yaitu Tafsir Jamiul Bayan karangan at-Tabari, khazanah tafsir Alquran
terdokumentasikan dalam manuskrip-manuskrip kumpulan hadis. Al-Bukhari misalnya
menyisipkan penafsiran-penafsiran Nabi, sahabat dan pemuka tabiin dalam al-Jamius Sahih
pada pembahasan khusus yang dinamai dengan Kitab Tafsiril Qur’an. Begitu pula Muslim
dengan Kitabut Tafsir-nya.

Anda mungkin juga menyukai