Di Susun Oleh :
KELOMPOK 8
1. Nuryamin
2. M. Imam Syafi’i
A. Latar Belakang
Studi hadis telah banyak menyita perhatian ulama sejak awal perkembangan Islam
hingga saat ini. Bahkan, khazanah Islam lebih banyak dipenuhi kitab-kitab hadis dibanding
kitab-kitab tafsir. Ini menunjukkan pentingnya kedudukan hadis dalam Islam. Bersama al-
Qur’an, hadis merupakan sumber hukum dan petunjuk untuk kehidupan. Di sisi lain, berbeda
dengan al- Qur’an, hadis tidak pernah dibukukan, bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri
pernah melarang Sahabat untuk mencatat hadis-hadis, karena khawatir akan bercampur
dengan dengan ayat- ayat al- Qur’an. Kendati sudah ada catatan- catatan khusus baru dimulai
pada abad ke- 2 H.
Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Abu Bakar Ibnu Hazm sebagai berikut,
“Perhatikanlah, apa yang berupa hadits Rasulullah SAW. maka tulislah, karena sesungguhnya
aku khawatir ilmu agama tidak dipelajari lagi, dan ulama akan wafat. Janganlah engkau
terima sesuatu selain hadits Nabi SAW. Sebarluaskanlah ilmu dan ajarilah orang yang tidak
mengerti sehingga dia mengerti. Karena, ilmu itu tidak akan binasa (lenyap) kecuali kalau ia
dibiarkan rahasia (tersembunyi) pada seseorang.” Hadis merupakan sumber ajaran Islam di
samping al-Qur’an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap
hadis akan terus dilakukan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi oleh siapapun yang
berkepentingan terhadapnya.
B. Rumusan masalah
Pada periode ini Hadis-hadis Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi.
Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti
Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk
menulis dan membukukan Hadis secara resmi, hal ini didadasarkan pada beberapa riwayat,
Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya hadis dan wafatnya para ulama hadis. Para
sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah
meninggal dunia. Sementara hadis-hadis yang ada di dada mereka belum tentu semuanya
sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan
takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan Hadis.
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz,Islam sudah meluas sampai ke daerah-
daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu
sendiri adalah hadis. Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan hadis-hadis tersebut
dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru
memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang didasarkan pada hadis-hadis Nabi.
Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang
mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah SAW yang akhirnya akan merusak ajaran
kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu
gerakan yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.
Menurut ahli hadis, yang menjadi masalah pokok yang menyebabkan keterlambatan
sampai seratus tahun lebih dalam pembukuan hadis adalah karena hanya mengikuti pendapat
populer di kalangan mereka tanpa meneliti sumber-sumber yang menunjukkan bahwa Hadis
sudah dibukukan pada masa yang lebih awal. Sedangkan sebab lain kenapa hadis belum
disusun dan dibukukan pada masa sahabat dan tabi’in dikarenakan adanya larangan Nabi
dalam shahih Muslim, khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an, sebab lain hafalan mereka
sangat kuat dan mereka juga cerdas, di samping umumnya mereka tidak dapat menulis. Baru
pada masa akhir tabi’in, hadis-hadis Nabi disusun dan dibukukan.
3. Masa Pemeliharaan, Penertiban dan Penambahan Dalam Penulisan Hadis (Abad 4-7
H)
Sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab tidak dikenal dengan kemampuan
membaca dan menulis, sehingga mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa
membaca dan menulis). Namun demikian, ini tidak berarti bahwa di antara mereka tidak ada
seorangpun yang bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanya sebagai ciri keadaan dari
mereka. Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang yang di antara mereka ada yang
mampu membaca dan yang menulis, Adiy bin Zaid al-Abbay (w. 35 sebelum hijrah)
misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang yang pertama
yang mampu menulis dengan bahasa Arab yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang
Yahudi juga mengajarkan anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat
perdagangannya sebelum keNabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang-orang yang
mempu membaca.
Pada masa setelah sahabat kegiatan pengumpulan hadis sudah menjadi suatu keharusan sejak
abad ke-2, hal ini didasari karena perkembangan Islam semakin meluas dan diperlukannya
rujukan-rujukan hukum yang mudah untuk didapatkan argumennya. Maka pemeliharaan
hadis sudah menjadi tanggungjawab para penguasa pada saat itu. Dimulai dari khalifah al-
Muqtadir sampai pada al-Mu’tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada
abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama
hadis dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada
periode sebelumnya. Hanya saja hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya.
Berawal dari penaklukan yang dilakukan oleh tentara Tartar terhadap pemerintahan
Abbasiyah yang kemudian dihidupkan kembali oleh dinasti Mamluk setelah berhasil
menaklukkan bangsa Mongol. Akan tetapi Dinasti Mamluk mempunyai maksud tertentu
dengan membai’at khalifah. Hanyalah sekedar simbol agar daerah-daerah Islam lain mau
mengakui daerah Mesir sebagai pusat pemerintahan Islam yang akhirnya umat akan tunduk
kepada Mesir sebagai pemerintahan Islam, setelah itu lahirlah pengakuan pada Dinasti
Mamluk sebagai penguasa dunia Islam. Setelah masa berlalu, kekuasaan Dinasti Mamluk
sudah mulai surut, masuklah abad ke-8 H, Usman Kajuk mendirikan kerajaan di Turki atas
peninggalan Bani Saljuk di Asia Tengah sambil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang
ada disekirnya dan selanjutnya membangun Daulah Utsmaniah yang berpusat di Turki.
Tentunya tidak terlepas dari pengkaji hadis pada saat sekarang, selain mengkaji Matan
(isi) hadis tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak
hanya menerima bahwa hadis tersebut shahih atau tidak shahih. Akan tetapi kita telah
mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab hadis
tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan hadis dari
orang-orang yang ingin menyelewengkannya. Dalam hal ini kita tidak terlepas dari ilmu
Tarikhi’r-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi hadis baik yang bersangkutan
dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan
mereka menerima hadis dari guru-guru mereka.
Pada periode ini, umumnya para ulama hadis mempelajari kitab-kitab hadis yang telah
ada, kemudian mengembangkan dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya
sebagai berikut:
a. Kitab Syarah.
Yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan hadis dari kitab tertentu
dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari al-Qur’an, Hadis, ataupun
kaidah-kaidah syara’ lainnya. Di antara contohnya adalah:
1. Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-Asqalani, yaitu syarah kitab Shahih al-Bukhari.
2. Al-Minhaj, qleh al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
3. ‘Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, syarah sunan Abu
Dawud.
b. Kitab Mukhtashar.
Yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab Hadis, seperti Mukhtashar Shahih
muslim, oleh Muhammad fu’ad abd al-Baqi.
c. Kitab Zawa’id.
Yaitu kitab yang menghimpun hadis-hadis dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat
kitab tertentu lainnya. Di antara contohnya adalah Zawa’id al-Sunan al-Kubra, oleh al-
Bushiri, yang memuat hadis-hadis riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub al-
Sittah.
Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan
hadis pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh A.J. Wensinck,
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd al-Baqi.
e. Kitab Takhrij.
f. Kitab Jami’.
Yaitu kitab yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis tertentu, seperti
al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun hadis-hadis
Bukhari dan Muslim.
Contohnya, Bulugh al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan
Koleksi Hadis-Hadis Hukum oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.
Dengan adanya karya-karya besar para ahli hadis tersebut, maka dapatlah
mempermudah generasi sekarang ini dalam mempelajari serta mentelusuri hadis-hadis yang
ada sekarang, sehingga dapat mengetahui kualitas hadis-hadis tersebut, dan menghindarkan
diri dari pengamalan hadis-hadis yang daif.
Hadis adalah tafsir pertama bagi Alquran. Ini menunjukkan bahwa sejak awal
turunnya, Hadis mempunyai peran yang sangat penting bagi Alquran, khususnya dalam hal
penafsiran. Selain sebagai penjelas terhadap Alquran, hadis juga berperan menguatkan pesan
dan kandungan Alquran, legislator, dan nasikh atas Alquran. Sebelum munculnya kitab tafsir
lengkap pertama, yaitu Tafsir Jamiul Bayan karangan at-Tabari, khazanah tafsir Alquran
terdokumentasikan dalam manuskrip-manuskrip kumpulan hadis. Al-Bukhari misalnya
menyisipkan penafsiran-penafsiran Nabi, sahabat dan pemuka tabiin dalam al-Jamius Sahih
pada pembahasan khusus yang dinamai dengan Kitab Tafsiril Qur’an. Begitu pula Muslim
dengan Kitabut Tafsir-nya.
Selanjutnya pada era tafsir-tafsir awal, riwayat tafsir Nabi, sahabat dan tabiin itu
dikutip dalam kitab-kitab tafsir dengan turut memuat sanadnya secara lengkap. Sampai pada
masa di mana hanya matannya saja dari hadis-hadis itu yang dipertahankan, kepakaran atas
ilmu hadis menjadi prasyarat seseorang untuk menjadi mufassir. Sebagian ahli tafsir ada yang
sangat berpegang pada riwayat-riwayat hadis dalam menafsirkan Alquran. Tafsir jenis ini kini
dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Selain sebagian kecil oknum Munkirus Sunnah
(kelompok yang mengingkari sunnah), para ulama menjadikan hadis sebagai salah satu
komponen penting dalam upaya menafsirkan Alquran. Ini tidak lepas dari kedudukan Nabi
Muhammad SAW sebagai mufassir (penjelas) yang paling otoritatif atas Alquran.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, posisi hadis Nabi terhadap Alquran setidaknya ada
empat, yaitu sebagai berikut:
Ini terjadi ketika hadis menyampaikan pesan yang sama dengan yang terdapat dalam
Alquran. Maka hadis di sini berperan sebagai penguat yang mengafirmasi atas apa-apa yang
telah disampaikan Alquran sebelumnya.
Contohnya, hadis riwayat Muslim yang berbunyi, “Berwasiatlah kalian terhadap perempuan
dengan kebaikan.” Hadis ini menguatkan perintah Alquran untuk memperlakukan perempuan
dengan makruf dalam kutipan ayat berikut:
Kedua, adakalanya lagi hadis mengkhususkan sesuatu yang disampaikan ayat secara umum.
Salah satu contohnya ialah hadis riwayat Baihaqi yang berbunyi, “Pembunuh tidak dapat
mewarisi (dari orang dibunuhnya) sedikitpun.” Ia mengkhususkan keumuman hukum waris
dalam Alquran. Ketiga, adakalanya pula sebuah hadis mengikat atau membatasi apa yang
diberitakan ayat secara mutlak. Misalnya praktik hukum potong tangan bagi pencuri yang
diperintahkan Nabi hanya sampai pada pergelangan tangan. Sedangkan redaksi QS. Al-
Maidah: 38 menyebutkan kata “tangan” secara mutlak, yang definisinya secara bahasa ialah
bagian tubuh dari ujung jari sampai bahu.
Sebagai salah satu sumber hukum Islam (masadirul ahkam), hadis juga kadang datang
membawa hukum baru yang tidak pernah disinggung oleh Alquran. Sebagai contoh,
kewajiban zakat fitri dalam hadis Nabi yang tidak ditemukan dalilnya dari Alquran. Sebagian
ulama menyatakan, tidak ada ketetapan yang datang dari hadis yang benar-benar baru. Semua
hukum yang ada pasti memiliki dasar dari Alquran, baik disebutkan secara eksplisit maupun
implisit. Apa yang dianggap hukum baru dari hadis sebenarnya masuk dalam prinsip atau
kaidah umum Alquran. Sebab sebagaimana yang ditegaskan dalam QS. Al-An’am: 38 bahwa
tidak ada sedikitpun yang teralpakan dari Alquran. Mustafa as-Siba’I telah mengulas panjang
lebar perdebatan para ulama tentang hal ini beserta argumentasinya masing-masing dalam
kitabnya yang berjudul as-Sunnah wa Makanatuha fit Tashri’l Islami.
Mayoritas ulama menganggap hadis juga bisa berperan sebagai pembatal hukum
Alquran. Tentunya hadis yang tingkatannya mutawatir atau sahih. Keabsahan ini mengingat
hadis Nabi juga merupakan bagian dari wahyu seperti halnya Alquran, sehingga prinsip
nasakh dapat diberlakukan. Mereka mencontohkan perintah Alquran kepada orang yang
merasa dirinya akan wafat supaya berwasiat kepada orang tua dan kerabat. Ajaran yang
tercantum pada QS. Al-Baqarah: 180 ini dianulir oleh hadis mutawatir yang menyatakan
bahwa tiada wasiat bagi ahli waris. Meski demikian, sebagian ulama seperti as-Shafi’I dan al-
Qardawi menolak anggapan tersebut. Kelompok yang menegasikan naskhul qur’an bis
sunnah ini mendasari pandangan mereka pada ayat berikut:
ِ س َها نَْأ
ت ِب َخ ْي ٍر ِّم ْن َها َأ ْو ِم ْثلِ َها ِ س ْخ ِمنْ آيَ ٍة َأ ْو نُن
َ َما نَن
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (QS. Al-Baqarah:
106)
Bahwa naskh tidak terjadi kecuali yang menggantikan sebanding atau lebih baik dari
yang digantikan, sementara antara Alquran dan hadis tidak sebanding. Alquran lafal dan
maknanya langsung dari Allah, bersifat pasti dan terjamin keotentikannya, sedangkan hadis
tidak. Oleh karena itu hadis dapat di-nasakh oleh Alquran, namun tidak sebaliknya. Dari
ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa antara Alquran dan hadis saling terkait satu sama
lain. Dalam kaitannya menafsirkan Alquran, hadis berperan penting sebagai salah satu
komponen penafsiran yang membantu mufassir memahami Alquran dengan benar.
BAB III
Kesimpulan
Dari segi bahasa ilmu hadist terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadist. secara
sederhana ilmu artinya pengetahuan, sedangkan hadist artinya segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik dari perkataan, perbuatan, maupun
persetujuan. Sedangkan Ilmu hadist secara istilah adalah ilmu yang membicarakan tentang
keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan.
Hadis adalah tafsir pertama bagi Alquran. Ini menunjukkan bahwa sejak awal
turunnya, Hadis mempunyai peran yang sangat penting bagi Alquran, khususnya dalam hal
penafsiran. Selain sebagai penjelas terhadap Alquran, hadis juga berperan menguatkan pesan
dan kandungan Alquran, legislator, dan nasikh atas Alquran. Sebelum munculnya kitab tafsir
lengkap pertama, yaitu Tafsir Jamiul Bayan karangan at-Tabari, khazanah tafsir Alquran
terdokumentasikan dalam manuskrip-manuskrip kumpulan hadis. Al-Bukhari misalnya
menyisipkan penafsiran-penafsiran Nabi, sahabat dan pemuka tabiin dalam al-Jamius Sahih
pada pembahasan khusus yang dinamai dengan Kitab Tafsiril Qur’an. Begitu pula Muslim
dengan Kitabut Tafsir-nya.