Anda di halaman 1dari 31

Ulum Hadis ( ) adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi ulama hadits.

Ulum alhadist terdiri dari 2 kata, yaitu ulum dan Al-hadist. Kata ulum dalam bahasa arab adalah
bentuk jamak dari ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-hadist di kalangan Ulama hadits
berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan,
taqrir, atau sifat. Dengan demikian, gabungan kata ulumul-hadist mengandung pengertian
ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadits nabi sholallahu alaihi wasallam.
Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad
dan matan, apakah diterima atau ditolak. Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy:
"ilmu hadits, yakni ilmu yang berpautan dengan hadits, banyak ragam macamnya". Menurut
Izzudin Ibnu Jamaah: "Ilmu hadits adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dasar untuk
mengetahui keadaan suatu sanad atau matan (hadits).
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya:
ulumul al-hadist). ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ulum dan Alhadist. Kata ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ilm, jadi berarti
ilmu-ilmu; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti segala
sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir,
atau sifat. dengan demikian, gabungan kata ulumul-hadist mengandung
pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW.
Sedangkan pengertian hadist adalah berarti segala perkataan (sabda),
perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang
dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Tujuan mempelajari ilmu
hadis adalah untuk membedakan antara hadis sahih dan dhaif.
http://spasi-spasiasha.blogspot.co.id/2012/03/pengertian-ulumul-hadist.html

Sejarah Perkembangan Hadits


Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang
telah

dilalui

oleh

hadits

dari

masa

lahirnya

dan

tumbuh

dalam

pengenalan, penghayatan, dan pengalaman umat dari generasi ke


generasi. Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak
masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW. meneliti dan membina
hadits, serta segala hal yang memengaruhi hadits tersebut.1[1]
Usaha mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits ini
diharapkan dapat meenggambarkan sikap dan tindakan umat Islam,
khususnya

para

ulama

ahli

hadits

serta

usaha

pembinaan

dan

pemeliharaan mereka pada tiap-tiap periodenya hingga terwujudnya


kitab-kitab hasil tadwin secara sempurna.

B.

Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits pada Masa Nabi

SAW
Apabila membicarakan hadits pada masa Rasulallah SAW. berarti
membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Rasulallah SAW. telah
membina umatnya selama 23 tahun. Wahyu yang ditrunkan Allah SWT.
kepada Rasulallah SAW. dijelaskan melalui prkataan (aqwal), perbuatan
(afal),

dan

taqrir-nya,

sehingga

apa

yang

didengar,

dilihat,

dan

disaksikan, oleh para sahabat dapat dijadikan pedoman bagi amaliah dan
ubudiah mereka. Pada masa ini Rasulallah SAW. merupakan contoh satusatunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan
keutamaan selaku Rasul Allah SWT. yang berada dengan manusia lainnya.
http://novherrya.blogspot.co.id/2014/04/normal-0-false-false-false-en-us-xnone_15.html
A. Objek Kajian Ulumul Hadis
a. Ilmu Rijal al- Hadits
Ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari Sahabat, dari tabiin maupun dari periode
sesudahnya. Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima
hadits dari Rasululloh dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan
seterusnya.Didalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi,
madzhab yang dianut oleh para perawi dan keadaan- keadaan para perawi itu menerima
hadits.[1]
b. Ilmu Jarhi wat Tadil
Ilmu Jarhi wat Tadil pada hakikatnya satu bagian dari ilmu rijalul hadits, akan tetapi oleh
karena bagian ini dipandang penting, kemudian jadilah suatu ilmu yang berdiri sendiri. Yang
dimaksud dengan Ilmu Jarhi wat Tadil adalah ilmu yang menerangkan tentang hal catatancatatan yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang pentadilanya (memandang adil
para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat- martabat katakata itu.[2]
c. Ilmu Fan al-Mubhamat
Adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut namanya didalam
matan atau didalam sanad.[3]
d. Ilmu Ilal al- Hadits
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat
mencacatkan hadits, jelasnya ilmu ini membahas tentang sualu ilat yang berupa
memutashilkan yang munqathi, merafakan yang mauquf, memasukkan suatu hadits
kedalam hadits yang lain.[4]

e. Ilmu Gharib al- Hadits


Adalah ilmu yang menerangkan mana kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang
sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum. Yang dibahas oleh ilmu ini
adalah lafadz yang musykil dan susunan kalimat yang sukar difahami, tujuanya untuk
menghindarkan penafsiran menduga-duga.[5]

f. Ilmu Nasikh wa al- Mansukh


Adalah ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan yang
menasikhkanya. Ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan hadits bila ada dua hadits maqbul
yang tanaqudh (bertentangan) yang tidak dapat dikompromikan atau dijama. Bila dapat
dikompromikan, hanya sampai pada tingkat mukhtalif al- Hadis, kedua hadits maqbul
tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama (dikompromikan), maka hadits maqbul
yang tanaqudh tadi ditarjih atau dinaskh.[6]
g. Ilmu Talfiq al- Hadits
Adalah ilmu yang membahas tentang cara mengamalkan hadits-hadits yang berlawanan
lahirnya. Ilmu ini juga disebut dengan ilmu Mukhtalif al- Hadits. Bila dua hadits maqbul yang
lahir maknanya bertentangan dapat dijama atau dikompromikan, maka kedua hadits
tersebut diamalkan. Cara talfiq al- hadits anatara lain mentakhshish mana hadits yang
umum, mentaqyidkan hadits yang muthlaq.[7]
h. Ilmu Tashif wat Tahrif
Adalah ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (mushahhaf) dan
bentuknya yang dinamakan muharraf.[8]
i. Ilmu Asbab Wurud al- Hadits
Adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masamasanya Nabi SAW menuturkan.[9] Ilmu ini mempunyai kaitan erat dengan ilmu Tarikh alMatan dan mempunya kaidah seperti ilmu Asbab Nuzul al-Quran. Ilmu asbab wurud alhadits titik berat pembahasanya pada latar belakang dan sebab lahirnya hadits.
Manfaat mengetahui asbab al-wurud al-hadits adalah untuk memahami dan menafsirkan
hadits serta mengetahui hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadits tersebut,
atau mengetahui kekhususan konteks mana hadits. Cara mengetahui sebab wurudnya
hadits adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa
wurudnya hadits.
j. Ilmu Mushthalah al- Hadits
Adalah ilmu yang menerangkan tentang pengertian-pengertian (istilah-istilah) yang dipakai
oleh ahli-ahli hadits. Sedangkan penulisan kitab-kitab Ilmu Hadits, hal tersebut dimulai
dengan munculnya kitab-kitab `Ilal dan Jarh wa Ta`dl yang merupakan materi utama bagi
kajian sanad, di samping juga beberapa kaedah seleksi riwayat semisal yang disebutkan

oleh Imam Asy-Syfi'i dalam buku Ar-Rislah dan yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam
pengantar (muqaddimah) buku Shahh-nya. Setelah itu kemudian muncul kitab-kitab Ulumul
Hadits yang lebih luas semisal karya Al-Hkim dan karya Ar-Rmahurmz.
Penulisan terhadap aneka cabang keilmuan Hadits selanjutnya mendapatkan perhatian
besar dari Al-Khathb Al-Baghddy yang menulis Al-Kifyah dan beberapa kitab Ulumul
Hadits secara terpisah. Lalu aneka ragam cabang Ulumul Hadits ini dihimpun, dirangkum,
dan dimodifikasi oleh Ibnush Shalh dalam Muqaddimah-nya. Dan karya-karya ilmu hadits
berikutnya lebih sebagai ringkasan, syarah, atau komentar dan tambahan bagi kitab Ibnush
Shalah tersebut, dan dengan itu kitab Ulumul Hadits kemudian menjadi dikenal sebagai
kitab Musthalah karena memang lebih fokus pada pendefinisian terma-terma dibanding
kaedah-kaedah inti. Kitab-kitab itu misalnya yang ditulis oleh An-Nawawi, Ibnu Katsir, Al`Irqy (w. 806), Ibnu Hajar (w. 852), As-Sakhwy (w.902), dan As-Suyuthy (w. 911). Di
zaman ini, ada pula karya-karya Ulumul Hadits yang senada dengan rumpun kitab Ibnush
Shalah (metode Muta'akhkhirin) seperti karya Manna` Al-Qaththn dan Subh Ash-Shlih,
tapi ada juga yang memperjuangkan kembali metode-metode Mutaqaddimin seperti karyakarya Syekh Hatim Al-`Auny dan Syekh Hamzah Al-Malibry.
B. Manfaat / faedah Ulumul Hadits
Jika dilihat dari segi tujuan masing-masing ilmu, maka ilmu hadis riwayah bertujuan untuk:
memelihara syariat Islam dan otentitas Sunnah Nabi saw sementara ilmu hadis dirayah
bertujuan untu: meneliti hadis berdasarkan kaidah-kaidahatau persyaratan-persyaratan
dalam periwayatan.
Adapun jika kedua ilmu tersebut dilihat dari segi faedahnya, maka faedah mempelajari ilmu
hadis riwayah adalah: menjauhkan kasalahan dalam periwayatan, sementara faedah
mempelajari ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui mana hadis yang maqbul
(diterima) dan mana yang mardud (tertolak).
Meskipun tampak secara dzahir bahwa anatara Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah
berbeda dari tiga sisi yakni; obyek, tujuan, dan faedah- akan tetapi keduanya tidak dapat
dipisahkan karena hubungan keduanya merupakan satu ssistem yang tidak terpisahkan
antara satu dengan yang lain (syaiaini mutalazimaini) atau dengan kata lain ilmu hadis
dirayah sebagai in put dan Ilmu Hadis Riwayah sebagai out put.
http://rul-sq.blogspot.co.id/2012/12/objek-dan-manfaat-kajian-ulumul-hadits.html

Sejarah dan Periodisasi Penghimpunan Hadis


Sejarah dan periodisasi penghimpunan hadis mengalami masa yang lebih panjang
dibandingkan dengan yang dialami oleh Al-Quran, yang hanya memerlukan waktu relatif
lebih pendek, yaitu sekitar 15 tahun saja. Yang dimaksud dengan periodisasi penghimpunan
hadis disisni adalah: Fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan
dan pengembangan hadis, sejak Rasulullah SAW masih hidup sampai terwujudnya kitabkitab yang dapat disaksikan dewasa ini.

Mohamad Mustafa Azami, berkonsentrasi pada pengumpulan dan penulisan hadis pada abad
pertama

dan

kedua

hijriyah,

yang

dinamainya

dengan

Pra-Classical

Hadiith

Literature,membagi periodisasi penghimpunan hadis menjadi 4 Fase yaitu:


1.

Fase penghimpunan dan penulisan hadis oleh para sahabat

2.

Fase penghimpunan dan penulisan hadis oleh para Tabiin di abad pertama Hijriyah.

3.

Fase penghimpunan dan penulisan hadis pada akhir abad pertama Hijriyah dan awal

abad kedua Hijriyah.


4.

Fase pengumpulan dan penulisan hadis pada awal kedua Hijriyah.

Berbeda

dengan

Azami,

Hasbi

Ash-Shiddieqy

cenderung

mengikuti

periodisasi

perkembangan hadis sebagai mana yang dianut ole sebagian besar para ahli sejarah hadis.
B. Hadis Pada Abad Pertama Hijriyah
Periode ini dapat dibagi menjadi dua fase yaitu:
1. Hadis Pada Masa Rasulullah SAW
a.

Cara sahabat menerima hadis pada masa Rasulullah SAW

Hadis-hadis Nabi yang terhimpun didalam kitab-kitab hadis yang ada sekarang adalah hasil
kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara hadis dimasa Nabi SAW dahulu.
Ada empat cara yang ditempuh para sahabat untuk mendapatkan hadis Nabi SAW yaitu:

Mendatangi majelis-majelis taklim yang diadakan Rasul SAW.

Kadang-kadang Rasulul SAW sendiri menghadapi beberapa peristiwa tertentu, kemudian

beliau menjelaskan hukumnya kepada para sahabat.

Kadang-kadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri para sahabat, kemudian mereka

menanyakan hukumnya kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW memberi fatwa atau
penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut.

Kadang-kadang para sahabat menyaksikan Rasulullah SAW melakukan sesuatu

perbuatan dan sering kali yang berkaitan dengan tatacara pelaksanaan ibadah, seperti shalat,
puasa zakat, haji dan lainnya.
b. Penulisan hadis pada masa Rasululah SAW
Setelah Islam trun, kegiatan membaca dan menulis ini semakin lebih digiatkan dan digalakan,
hal ini terutama adalah karena diantara tuntutan yang pertama diturunkan Allah SWT kepada

Nabi Muhammad SAW melalui wahyunya adalah perintah membaca dan belajar menulis
( QS. AL-Alaq [96]:1-5)
1) Larangan menulis Hadis
Terdapat sejumlah hadis Nabi SAW yang melarang para sahabat menuliskan hadis. Hadis
yang mereka dengar atau peroleh dari Nabi SAW. Hadis-hadis tersebut adalah: Dari Abi
Said al-Kurdi, bahwasanya Rasul SAW bersabda, Janganlah kamu menuliskan sesuatu
dariku, dan siapa yang menulisan sesuatu dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia
menghapusnya. (HR. Muslim)
2) Perintah (kebolehan) menuliskan Hadis
Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan atau membolehkan menuliskan
hadis adalah: Hadis Annas Ibn Malik
Dari Anas Ibn Malik bahwa dia berkata, Rasullullah SAW bersabda: Ikatlah ilmu itu
dengan tulisan (menuliskannya).
3) Sikap para ulama dalam menghadapi kontroversi Hadis-hadis mengenai penulisan hadis.
c.

Faktor-faktor yang menjamin kesinambungan hadis sejak masa Nabi SAW, yaitu:

Quwwat al-dzakirah
Kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW.
Pemahaman terhadap ayat
2. Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabiin
a.

Pengertian Sahabat dan Tabiin

Kata sahabat (arabnya: sahabat ) menurut bahasa adalah Musytaq (pecahan) dari kata
shuhbah yang berarti orang yang menemani yang lain, tanpa ada balasan waktu dan jumlah.
Sedangkan pengertian Tabiin adalah orang yang pernah berjumpa dengan sahabat dan dalam
keadaan beriman, serta meninggal dalam keadaan beriman juga.
b. Pemeliharaan Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabiin
Dalam periode Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar Ibn al-Khatab, periwayatan hadis dilakukan
dengan cara yang ketat dan sangat hati-hati. Hal ini terlihat dari cara mereka menerima hadis.
c.

Masa Penyebarluasan Periwayatan Hadis

Wilayah kekuasaan Islam pada periode Utsman telah meliputi seluruh jazirah Arabia, wilayah
Syam (Palestina, Yordania, Siria, dan Libanon), seluruh kawasan Irak, Mesir, Persia, dan
kawasan Sanarkand. Dengan tersebarnya para sahabat kedaerah-daerah disertai dengan
semangat menyebarkan agama Islam, maka tersebar pulalah hadis-hadis Nabi SAW yang baik
dalam hafalan maupun tulisan.

d. Penulisan Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabiin


Kegiatan penulisan hadis pada masa Rasul SAW bagi mereka yang diberi kelonggaran oleh
Rasul SAW untuk melakukannya, namun para sahabat, pada umumnya menahan diri dari
melakukan penulisan hadis dimasa pemerintahan Khulafa al-Rasidin. Hal tersebut adalah
karena besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-Quran Al- Karim dan sekaligus
Sunah (Hadis), dari pernyataan Umar, terlihat bahwa penolakannya terhadap penulisan hadis
adalah disebabkan adanya kekhawatiran berpalingnya umat Islam untuk menuliskan suatu
yang lain selain Al-Quran dan melontarkan kitab Allah (Al-Quran). Justru itu dia melarang
umat Islam untuk menuliskan sesuatu yang lain dari Al-Quran, termasuk hadis.
Akan halnya Tabiin, sikap mereka dalam hal penulisan hadis adalah mengikuti jejak para
sahabat. Hal ini tidak lain adalah karena para Tabiin memperoleh ilmu, termasuk didalamnya
hadis-hadis Nabi SAW adalah dari para sahabat.
C. Hadis Pada Abad Ke-2 Hijriyah (masa penulisan dan pembukuan hadis secara
resmi)
Pada periode ini hadis-hadis Nabi SAW mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi Umar
ibn Abd al-Aziz, salah seorang khalifah dari dinasti Umayah yang mulai memerintah
dipenghujung abad pertama Hijriyah, merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi
penghimpunan dan penulisan hadis Nabi secara resmi, yang selama ini berserakan didalam
catatan dan hafalan para sahabat dan Tabiin.
1. Faktor-faktor yang mendorong pengumpulan dan pengkondifikasian hadis
2. Pemrakarsa pengkondifikasian hadis secara resmi dari pemerintah
3. Pelaksanaan kondifikasi hadis atas perintah Umar ibn Abd al-Aziz
4. Kitab-kitab Hadis pada abad Ke-2 Hijriyah
5. Ciri dan sistem pembukuan hadis pada abad Ke-2 Hijriyah
6. Perkembangan hadis palsu dan gerakan ingkar sunnah.
D. Hadis Pada Abad Ke-3 Hijriyah (masa pemurnian dan penyempurnaannya)
Pada periode ini para ulama hadis memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan
keberadaan dan terutama kemurnian hadis-hadis Nabi SAW, sebagai antisipasi mereka
terhadap kegiatan pemalsuan hadis yang semakin marak.
1. Kegiatan Pemalsuan Hadis
Penciptaan hadis-hadis palsu tidak hanya dilakukan oleh mereka yang panatik mazhab, tetapi
momentum pertentangan mazhab, tersebut juga dimanfaatkan oleh kaum zindik yang sangat
memusuhi Islam, untuk menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka merusak ajaran Islam
dan menyesatkan kaum muslimin.

2. Upaya melestarikan Hadis


Diantara kegiatan dalam rangka memelihara kemurnian Hadis Nabi SAW adalah:
Perlawanan kedaerah-daerah
Mengklasifikasi hadis kepada: Marfu, Maukuf, Maqthu.
Menyeleksi kualitas hadis dan pengklasifikasiannya kepada: Shahih, Hasan, dan Dhaif
3. Bentuk penyusunan hadis pada abad Ke-3 Hijriyah.
Ada tiga bentuk penyusunan hadis pada periode ini yaitu: Kitab Shahih, kitab Sunan, dan
kitab Musnad
E. Hadis Pada Abad Ke-4 Sampai Ke-7 Hijriyah (masa pemeliharaan, penertiban,
penambahan dan penghimpunannya)
1. Kegiatan periwayatan hadis pada periode ini
2. Bentuk penyususnan kitab hadis pada periode ini
F. Keadaan Hadis Pada Pertengahan Abad Ke-7 Hijriyah Sampai Sekarang (masa
pensyarahan, penghimpunan, pen-takhrijan, dan pembahasannya)
1. Kegiatan periwayatan hadis pada periode ini
Kegiatan periwayatan hadis pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazah dan
mukatabah.
2. Bentuk penyususnan kitab hadis pada periode ini
Jenis karya kitab-kitab hadis, sebagai berikut:
Kitab Syarah, Mukhtasor, Zawaid, penunjuk Hadis, Takhrij, Jami, dan kitab yang
membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum.
http://murni-uni.blogspot.co.id/2010/08/sejarah-dan-periodisasi-penghimpunan.html

Periodesasi sejarah penulisan hadis


Periodesasi tentang penulisan hadis dan perkembangannya dibagi menjadi 4 periode, yaitu
periode Nabi Muhammad SAW , Periode sahabat, periode tabiin, periode tabitabiin.
1. Periode Nabi Muhammad SAW (13SH-11H)
Seperti yang telah diulas diatas, penulisan hadis pada masa rasulullah perkembangannya
masih sangatlah lambat. Hal itu dikarenakan rasulullah dan para sahabat perhatiannya masih
tertuju pada pengembangan Al-Quran. Selain itu rasul mengharapkan para sahabatnya untuk
menghafal Al-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu seperti, pelepah kurma,
keping-keping tulang, dan di batu-batu.
Setelah rasul wafat, Al-Quran telah dihafalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain
itu ayat-ayat suci Al-Quran telah ditulis dengan lengkap, hanya saja belum terkumpul dalam
bentuk mushaf. Barulah pada masa Khalifah Abu Bakar Al-Qurann mulai dikumpulkan dan
disempurnakan pada masa khalifah Utsman bin Afwan. Adapun hadis atau sunnah dalam
penulisannya ketika itu masih kurang memperoleh perhatian sebagaimana Al-Quran. bahkan
secara resmi nabi melarang menulis bagi umum karena takut tercampur antara Al-Quran .

bagaimana tidak khawatir, Al-Quran dan hadis sama-sama berbahasa arab dan sama-sama
disampaikan melalui lisan rasul bagi hadis qauli.[1]
Hadis pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal saja, oleh mereka tidak ditulis
seperti Al-Quran ketika disampaikan nabi, karena situasi dan kondisi yang tidak
memungkinkan. Dr Mushthafa As-Sibai menyampaikan beberap alasan diantaranya :
Al-Quran masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya masih
sagat sederhana dan masih belum dibukukan.
Kemampuan tulis menulis para sahabat pada awal islam masih sangat sedikit dan meraka
sudah difungsikan sebagai penyulis wahyu Al-Quran.
Ingatan orang arab ang dikenal bersifat Ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuaddan
diandalkan rasul untuk mengingat dan menghafal hadis saja.[2]
Dirawatkan bahwa beberapa sahabat yang memiliki catatan hadis-hadis rasulullah SAW.
Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasullullah SAW.
Diantara sahabat-sahabat rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis rasulullah adalah
Abdullah bin Amr bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah.[3]
Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh(dimansukh) dengan
hadis yang memberi izin yang datang kemudian. Mengingat terjadinya pro dan kontra seputar
masalah penulisan hadis. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa rasullulah tidak
menghalangi usaha para sahabat menulis hadis sara tidak resmi. Mereka memahami hal itu
mengingat bahwa pada saat itu rasul mengkhawatirkan tercampurnya Al-Quran dengan
hadis. Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan
mempercampuradukkan hadis dengan Al-Quran. oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis
ditulis dengan sempurna dan lengkap pula turunnya, maka dari itu tidak ada larangan untuk
menuliskannya.
Dalam pemeliharaan hadis mengandalkan hapalan saja. Yang pada umumnya para sahabat
memiliki penghafalan yang kuat dan daya ingat yang tajam. Hadis cukup diingat dan di
simpan didalam dada sedangkan Al-Quran disimpan dalam tulisan dan disimpan didalam
dada. Kecuali begi mereka yang hafalannya sangat kuad dan memiliki kecakapan dalam
menulis sehingga tidak ada kekhawatiran tercampurnya antara tulisan Al-Quran dengan
hadis. Penulisan disini bersifat pribadi bukanlah bersifat umum dan berfungsi untuk
membantu hapalannya, karena intinya adalah dihafal.
2. Periode sahabat ( 12-98H)
Setelah rasul wafat para sahabat masih belum memikirkan penghimpunan dan
pengkodifiksian hadis, karena banyak problema yang terjadi, diantaranya timbulnya
kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak para penghafal AlQuran yang gugur dan konsentari bersama Abu Bakar dalam membukukan Al-Quran. Abu
Bakar pernah berkeinginan membukukan hadis tetapi digagalkan karena khawatir terjadi
fitnah ditangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Umar bin Khathab juga pernah
berkeinginan dan mencoba untuk menghimpunya tetapi setelah bermusyawarah dan
beristikharah selama satu bulan Umar timbul kekhawatiran. Kekhawatirannya dalam
membukukan hadis hal itu dikarenakan hadis dianggap menyerupai dengan ahli kitab yakni
Yahudi dan Nashrani yang mana mereka meninggalkan kitab Allah dan menggantinya dengan
kalam mereka dan menempatkan bioghrafi nabi mereka menjadi kitab mereka.
Pada masa Khulafaur Ar-Rasyidin ini disebut sebagai masa pembatasan periwayatan. Hukum
kebolehan menulis hadis pada masa ini terjadi secara berangsur-angsur. Pada saat wahyu
turun, umat islam menghabiskan waktunya untuk menghafal dan menulisnya. Hadis hanya
disimpan dalam dada mereka, lalu disampaikan dari lisan ke lisan. Kemudian setelah Al-

Quran dapat terpelihara dengan baik, mereka telah mampu membedakan antara Al-Quran
dan hadis maka para ulama sepakat boleh menulis dan pengkodifikas hadis.[4]
Banyak sekali pada masa awal islam penulisan hadis sebagai catatn pribadi bukan penulisan
resmi dari Khalifah. Banyak bukti yang menunjukkan hal itu, misalnya surat-surat dakwah
yang ditunjukkan kepada para tokoh bangsa dan para raja, kesepakan perdamaian, AshShadiqah tulisan Abdullah bin Amr bin Ash, Ash-Shahifah Ali tulisan yang nabi perintahkan
kepada Abi Syah pada masa Fath mekkah. Shahifah jabir tulisan Jabir bin Abdullah AlAnshary.
Selain itu terjadi perbedaan para sahabat dalam menguasai hadis. Diantara para sahabat
tidaklah sama dalam kadar meriwayatkan dan penguasan hadis. Ada yang memiliki lebih
banyak, tetapi ada pula yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama,
perbedaan mereka dalam soal kesempatan bertemu dengan rasul. Kedua, perbedaan mereka
dalam bertanya kepada sahabat nabi lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya
waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal mereka dengan rasul.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadis
dari nabi dengan beberapa penyebabnya. Antara lain :

Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqunal Al-Awwalun (yang mula- mula
masuk islam).

Al-Mukminin (istri-istri Rasul SAW) mereka secara pribadi lebih dekat dengan rasul
jika dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.

Para sababat yang dekat dan selalu disamping nabi.

Sahabat yang meskipun tidak lama bertemu dengan nabi akan tetapi banyak bertanya
kepada sahabat nabi yang lain.
Ada 6 orang diantara sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadis ialah :

Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis

Abdullah bin Umar bin Khathab sebanyak 2.635 buah hadis.

Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis.

Aisyah Ummi Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis.

Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis.

Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis.


Pada masa sahabat ini sebenarnya penulisan dan periwayatan dari hadis telah banyak terjadi,
namun masih belum ada pengkodifikasian secara resmi berdasarkan intruksi dari khalifah.
3. Periode Tabiin
Pada masa ini disebut sebagain masa pengkodifikasian hadis. Khalifah Umar bin Abdul Aziz
yakni yang hidup pada abad 1 H menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan
hadis, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama
baik dari kalangan sahabat maupun tabiin. Maka beliau mengintruksikan kepada gubernur di
seluruh wilayah negeri islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan
hadis.
Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri atau yang lebih terkenal dengan Az-Zuhri
dinilai orang yang pertama kali dalam melaksanakan tugas pengkodifikasian hadis dari
khalifah. Penkodifikasian ini terjadi pada tahun 100 H dibawah khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Maksudnya awal pengkodifikasian secara resmi atas perintah Khalifah karena melihat
sejak zaman rasul pun sebenarnya sudah pernah terjadi akan tetapi tidak formal.
Kemudian pengkodifikasian hadis tersebar di berbagai negeri islam pada abad ke 2 H.
Tokohnya diantaranya ialah Abdullah bin Abdul Aziz bin Juraij di Mekah, Ibnu Ishak di
Mekah, Abdurrahmab Abu Amr Al-Auzai di Syria, Sufyan Ats-Tsauri di Kufah, Imam Malik
bin Anas di Madinah.[5]

Penghimpunan hadis pada abad ini masih tercampur denag perkatan sahabat dan fatwanya.
Berbeda dengan masa sebelumya yang masih berbentuk lembaran-lembaran (shuhuf). Yang
hanya dikumpulkan tanpa adanya klasifikasi ke dalam beberapa bab atau materi secara tertib.
Akan tetapi pada masa tabiain ini hadis sudah terhimpun dalam perbab.
Tulisan-tulisan hadis pada awal masa islam sangatlah penting untuk bukti sejarah serta
dokumentasi ilmiah. Selain itu untuk membuktikan bahwa pada masa Rasulullah SAW sudah
ada penulisan hadis walaupun masih belum formal seperti masa tabiin ini.
4. Periode Tabi Tabiin
Periode ini adalah pngikut Tabiin yakni pada abad ke 3 H yang disebut ulama dahulu atau
salaf. Sedangkan ulama pada abad berikutnya abad ke 4 H dan setelahnya disebut ulama
belakangan atau kalaf. Pada periode ini disebut sebagai masa kejayaan hadis karena pada
masa ini kegiatn rihla mencari ilmu dan sunah serta pembukuannya mengalami puncak
keberhasilan yang pesat. Seolah-olah pada periode ini semua hadis telah terhimpun semua.
Dari latar belakang tersebut maka lahirlah buku induk enam. Maksud buku induk hadis enam
ialah buku-buku hadis yang dijadikan pedoman oleh para ulama ahli hadis, enam kitab itu
antara lain :
1. Al-jami Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-256 H).
2. Al-jami Ash-Shahih li Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyayri (204-261 H).
3. Sunan An-Nasai (215-276 H).
4. Sunan Abu Dawud (202-276 H).
5. Jami At-Tirmidzin (209-269 H).
6. Sunan Ibn Majah Al-Qazwini (209-276 H)[6].
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, sebab pada masa ini ulama
hadis telah berhasil memisahkan hadis nabi dari yang hadis atau dari hadis nabi dari
perkataan sahabat atau fatwanya dan dapat terfilterisasi antara hadis yang shahih dengan yang
bukan hadis. Seolah-olah pada masa ini hampir seluruh hadis terhimpun dalam 1 buku, hanya
sebagian kecil saja dari hadis yang belum terhimpun. Dan pada masa berikutnya mulai
diadakan tindak lanjud dengan penghimpunan dan penertiban agar ilmu hadis menjadi lebih
sempurna.

B. Penghafalan hadis
Para sahabat dalam menerima hadis dari nabi SAW berpegang pada kekuatan hapalannya,
yakni dengan menerimanya dengan jalan dihafalkan, bukan dengan jalan menulis hdis dalm
buku (mushaf). Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan
hati-hati apa yang telah disabdakan oleh nabi. Selanjutnya dari apa yang telah di sabdakan
oleh nabi tersebut kemudian disampaikan kepada orang lain secara menghafal pula.
Ada beberapa faktor dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat
dalam kegiatan menghfl hadis ini. Faktor tersebut antara lain : Pertama, karena kegiatan
menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwariskan sejak praIslam dan mereka
terkenal kuat hafalannya, kedua Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya,
ketiga seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan
menyanpaikan kepada orang lain.[7]
Diantara sahabat yang paling banyak mengafal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah.
Menurut keterangan ibnu Jauzi jumlah bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah
Abu Hurairah ialah :

Abdullah bin Umar bin Khathab sebanyak 2.635 buah hadis.

Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis.

Aisyah Ummi Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis.

Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis.

Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis.

PEMBAGIAN HADITS BERDASARKAN KUALITAS SANAD DAN


MATANNYA
( HADITS SHAHIH, HADITS HASAN DAN HADITS DHAIF)
I. HADITS SHAHIH
A. Definisi
1. Definisi Ibn ash-Shalah.
Abu Amr ibn ash-shalah mengatakan :
Hadits shahih adalah musnad yang sanadnya muttashil yang melalui periwayatan
orang yang adl lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya,
tidak syad dan tidak muallal (terkena illat).
2. Definisi Imam Nawawiy
Hadits shahih adalah hadits yang miuutashil sanadnya melalui (periwayatan) orangorag yang adil lagi dhabit tanpa syad dan illat.
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa hadits shahih harus memenuhi lima syarat :
a). Muttashil sanadnya. Dikecualikan hadits munqothi, mudhal, muallaq,
mudallas dan jenis lain yang tidak memenuhi kriteria muttashil ini.
b). Perowi-perowinya adil. Yaitu orang yang lurus agamanya, baik pekertinya dan
bebas dari kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan keperwiraannya.
c). Perawi-perawinya dhobit. Yaitu orang yang benar-benar sadar ketika menerima
hadit, paham ketika mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai
menyampaikannya. Perawi harus hafal dan mengerti apa yang diriwayatkannya (bila
ia meriwayatkan darihafaalannya) serta memahaminya (bila ia meriwayatkannya
seca-ra makna). Dan harus menjaga tulisannya dari perubahan, penggantian
ataupun penambahan, bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
d). Yang diriwayatkan tidak syad. Yang dimaksud dengan syudzudz adalah
penyimpa- ngan oleh perawi tsiqat terhadap orang yang lebih kuat darinya.
e). Yang diriwayatkan terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya),
seperti memursalkan yang maushul, memuttashilkan yang munqothi, ataupun
memarfukan yang mauquf.
3. Definisi yang terpilih
Hadits shahih adalah hadits yang muttashilsanadnya melalui priwayatan
perawi tsiqat dari perawi (lain) yang tsiqat pula, sejak awal sampai akhir sanad
tanpa syudzudz dan tanpa illat.
A. Klasifikasi Hadits Shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua :
a). Shahih li Dzatihi.
Yaitu hadits shahih yang memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal, seperti
pengertian hadits shahih yang telah dijelaskan di atas.
b). Shahih li Ghairihi.

Yaitu hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal.


Misal-nya perawinya yang adil tidak sempurna kedhabitannya (kapasitas
intelektualnya rendah).
II. HADITS HASAN
A. Definisi
Definisi Ibn Hajar
Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih
seluruhnya, hanya saja semua perawinya atau sebagiannya kedhabitannya lebih
sedikit dibanding kedhabitan para perawi hadits shahih.
Definisi yang terpilih
Hadits hasan adalah hadits yang muttashil sanadnya yang diriwayatkan
oleh perawi yang adilyang lebih rendah kedhabitannya tanpa syad dan tanpa illat.
B.

Klasifikasi Hadits Hasan

Hadits hasan terbagi menjadi dua ;


a). Hasan li Dzatihi
Hadits yang kehasanannya muncul karena memenuhi syarat-syarat
tertentu, bukan karena faktor lain diluarnya.
b). Hasan li Ghairihi
Hadits yang didalamnya terdapat perawi mastur yang belum tegas
kualitasnya, tetapi bukan perawi yang pelupa atau sering melakukan kesalahan
dalam riwayat-riwayatnya, bukan muttaham bil kidzb dalam hadits, juga bukan
karena sebab lain yang dapat menyebabkannya tergolong fasik, tapi dengan syarat
mendapatkan penguat dari perawi lain yang mutabar, baik berstatus muttabi
maupun syahid.
Imam adz-Dzahabi mengatakan : Tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn
Hukaim dari ayahnya dari kakeknya, Amr ibn Syuaib dari ayahnya dari ka- keknya,
Ibnu Ishaq dari at-Taimiy dan sanad sejenis yang menurut sebagian ulama
dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah.
Sedangkan sanad yang diperselisihkan antara hasan dan dhaifnya, seperti riwayat
al-Harits ibn Abdillah, Ashim ibn Dhamrah, Hajjaj ibn Arthat dan lain-lain.
III. HADITS DHAIF
A. Definisi
Hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima.
Mayoritas ulama menyatakan : Hadits dhaif yaitu hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat hasan.
B.

Klasifikasi Hadits dhaif

Hadits dhaif banyak sekali jenisnya dan banyak sekali sebab-sebab kedhaifannya.
Sebab-sebab itu dapat dikembalikan pada satu diantara dua sebab pokok, yaitu:
Hadits-hadits dhaif karena ketidakmuttashilan sanadnya yaitu:
1). Hadits Mursal
Hadits yang dimarfukan oleh seorang tabiiy kepada Rosul SAW., baik
berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik tabiiy itu kecil atau besar.
Menurut ulama fiqh dan ushul, hadits mursal adalah hadits yang perawinya
melepas-kannnya tanpa menjelaskan sahabat yang ia ambil riwayatnya.
Hukum Mursal Tabiiy
a). Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
b). Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
c). bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkannya.
2). Hadits Munqathi
Hadits yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau
lebih, atau di dalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Contoh hadits
yang diriwayatkan oleh Abdurrozaq dari Al-Tsaury dari Abu Ishaq dari Zaid Ibnu
Yutsai dari Hudzaifah secara marfu.
3). Hadits Mudhal
Hadits yang dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturutturut.
Contoh diriwayatkan dari sebagian ahli hadits perkataan para penulis fikih:
bahwa Rasulullah saw. Bersabda begini-begini, Termasuk mudhal. Karena
diantara para penulis itu dengan Rasulullah terdapat dua perawi atau lebih.
4). Hadits Mudallas
Tadlis secara etimologis berasal dari kata ad-Dallas yang berarti adzdzulmah (kedzaliman).
Tadlis dalam jual beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya. Dari sini
dapat diambil perngertian tadlis dalam sanad, yakni menyembunyikan suatu dengan
cara diam tanpa menyebutkannya.
Tadlis ada dua jenis;
a. Tadlis al-isnad yaitu seorang perawi (mengatakan) meriwayatkan suatu dari
orang semasanya yang tidak pernah ia temui sebelumnya, atau pernah bertemu tapi
yang diriwayatkannya itu tidak didengarnya dari orang tersebut, dengan cara yang
menimbulkan dugaan mendengar langsung. Misalnya, Fulan berkata, Dari Fulan,
Sesungguhnya Fulan melakukan begini begini.
Mengenai hukum tadlis ada tiga pendapat ;
1. Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang diketahui melakukan tadlis,
maka ia akan menjadi majruh dan tertolak riwayatnya secara mutlak.
2. Sebagian lagi mengatakan bahwa hadits mudallas bisa diterima, karena tadlis
sama dengan irsal.
3. sebagian yang lain mengatakan bahwa ditolak setiap hadits yang mengandung
tadlis. Meskipun perawi itu diketahui hanya sekali melakukan tadlis, baik yang
menggunakan kata yang mengandung kemungkinan sima dan tidak tanpa

menjelaskan sima secara langsung tetap tidak bisa diterima.telah menjelaskan


adanya sima.
b. Tadlis asy-Syuyukh yaitu perawi tidak sengaja menggugurkan salah seorang dari
sanad dan tidak sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan
ungkapan yang menunjukkan mendengar langsung. Perawi hanya menyebut
gurunya memberi nisbat ataupun memeberikan sifat yang tidak lazim dikenal.
Misalnya pernyataan Abu Bakar ibn Mujahid al-Muqri bahawa telah meriwayat-kan
kepada kami Abdullah ibn Abi Abdillah. Yang dimaksud adalah Abdullah ibn
Abi Daud as-Sijistani, pemilik as-sunan. Abu daud tekenal dengan kun-yah seperti
itu, bukan dengan Abu Abdillah.
5). Hadits Muallal
Hadits yang tersingkap didalamnya illah qadihah, meski lahiriahnya tampak terbebas darinya. Illatnya kadang-kadang pada sanad, kadang pada matan dan
kadang pada sanad dan matan sekaligus.
Hadits-hadits dhaif karena selain ketidakmuttashilan sanad :
1). Hadits Mudhaaf
Hadits yang tidak disepakati kedhaifannya. Sebagian ahli hadits menilainya
mengandung kedhaifan, baik di dalam sanad atau dalam matannya, dan sebagian
yang lain menilainya kuat. Akan tetai penilaian dhaif itu lebih kuat. Karena tidak ada
istilah mudhaaf untuk hadits yang penilaian kuatnya lebih kuat. Ibn al-Jauziy
merupakan orang yang pertama kali melakukuan pemilahan terhadap jenis ini.
2). Hadits Mudhtharib
Hadits yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling berbeda, yang tidak
mungkin mentarjihkan sebagiannya atas sebagian yang lain, baik perawinya satu
atau lebih. Apabila salah satunya bisa ditarjihkan dengan salah satu alasan tarjih,
maka penilaian diberikan kepada yang rajih itu. Dan dalam kondisi seperti ini tidak
lagi digunakan istilah mudhtharib, baik untuk yang rajih maupun yang marjuh.
Kemudhthariban dapat terjadi pada satu perawi atau sanad dan matan, tapi juga
dapat terjadi pada sanad dan matan sekaligus.
Kemudhthariban mengakibatkan kedhaifan suatu hadits, karena menunjukkan
ketidakdhabitan. Padahal kedhabitan adalah syarat keshahihan dan kehasanan,
kecuali dalam satu keadaan. Yaitu bila terjadi ikhtilaf mengenai nama seseorang
perawi atau nama ayahnya, ataupun nama nisbatnya. Dan perawi yang diikhtilafkan
amanya itu berkualitas tsiqat. Sehinnga haditsnya tetap dihukumi shahih ataupun
hasan, sesuai dengan pemenuhannya terhadap syrat-syarat masing-masing. Dan
kemudhthariban seperti itu tidak berpengaruh, meski tetap disebut hadits
mudhtharib.
3). Hadits Maqlub
Hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi dari matannya, nama salah
satu perawi dalam sanadnya atau suatu sanad untuk matan lainnya. Kadangkadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu terbaliknya nama seorang perawi.
Misalnya Murrah Ibn Kab jadi Kab Ibn Murrah.

Kadang-kadang suatu hadits diriwayatkan melalui jalur perawi atau dengan sanad
yang telah popular. Lalu tertukar dangan perawi (lain) pada tingkatannya atau
dengan sanad (lain) yang bukan sanadnya, karena tidak sengaja.
Terkadang seorang perawi sengaja membalikkan dengan tujuan menunjukkan yang
aneh dengan harapan orang-orang akan lebih tertarik meriwayatkan darinya.
Ada juga sebagian ulama yang sengaja membalikkan beberapa hadits dengan tujuan mengetes (orang lain), seperti yang mereka lakukan pada Imam Bukhori di
Baghdad. Jenis ini dibolehkan, dengan syarat untuk tujuan menguji.
4). Hadits Syadz
Imam asy-Syafii mengatakan bahwa hadits syad bukanlah hadits dimana perawi
tsiqat meriwayatkan hadits yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain. Yang
dimaksud hadits syad adalah Hadits yang bila diantara sekian perawi tsiqot ada
diantara mereka yang menyimpang dari lainnya.
Kriteria syad adalah tafarrud(kesendirian perawinya) dan mukholafah (penyimpangan). Jika ada seorang perawi yang berkualitas tsiqat melakukan pe-nyendirian
dalam meriwayatkan suatu hadits tanpa menyimpang dari yang lainnya, maka
haditsnya shahih, bukan syad. Dan jika ada yang menyimpang darinya yang lebih
kuat karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah perawi atau karena
kriteria tarjih lainnya, maka yang rajih disebut mahfudz, sedang yang marjuh disebut
syadz.
Contoh syad adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidziy dari
hadits Abdul Wahid ibn Yazid dari al-Amasy dari Abu Shalehdari Abu Huroiroh
secara marfu:
Jika salah seorang diantara kamu telah melakukan shalat dua rakaat fajar maka
hendaklah ia berbaring pada lambung kanannya.
Al-Baihaqiy berkata : bahwa abdul Wahid berbeda dengan sejumlah perawi (lain)
dalam hal ini. Perawi lain meriwayatkan dari perbuatan Nabi saw., bukan sabda-nya
Abdul Wahid juga melakukan penyendirian dari sekian murid Al-Amasy
5). Hadits Munkar
Hadits yang diriwayatkan oleh perawi dhaif yang berbeda dengan perawi-perawi
lain yang tsiqat. Oleh karena itu, criteria hadits munkar adalah penyendirian perawi
dhaif dan mukhalafah. Jika ada seorang perawi dhaif melakukan penyendirian
dalam meriwayatkan suatu hadits,tanpa menyimpang dari perawi-perawi lain yang
tsiqat, maka haditsnya tidak munkar, tetapi dhaif. Bila haditsnya ditentang dengan
adanya hadits dari perawi tsiqat, maka yang rajih disebut maruf, sedang yang
marjuh disebut munkar.
6). Hadits Matruk dan Mathruh
1. Hadits matruk
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang muttaham bi al-kidzbi (yang
tertuduh melakukan dusta) dalam hadits nabawi, atau sering berdusta dalam
pembicaraanya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan maupun katakatanya ataupun yang sering sekali salah dan lupa. Hadits matruk merupakan
tingkat hadits dhaif terendah. Misalnya hadits-hadits Amr Ibn Syamr dari Jabir alJafiy.
2. Hadits matruh

Al- Hafidz Adz-dzahabiy menjadikannya segagai jenis tersendiri. Beliau mengambil


istilah itu dari tema ulama Fulan Mathruh al-Hadits (seseorang yang terlempar
haditsnya). Beliau mengatakan Ia masuk dalam daftar hadits-hadits perawi dhaif
lagi tertinggal haditsnya.
http://caid17.blogspot.co.id/2011/08/pembagian-hadits-berdasarkankualitas.html

. HADIS DITINJAU DARI KUANTITAS SANADNYA


Dalam

mengungkapkan

pembagian

hadis

dari

segi

kuantitas

sanadnya maka para ulama hadis (Muhhaddisin) membaginya menjadi


dua macam :
1. Hadis Mutawatir
a. Pengertian
Kata mutawatir menurut lughat ialah al-mutatabi` yang berarti yang
datang kemudian, beriring-iringan atau berturut-turut satu dengan yang
lain.
Sedangkan menurut istilah ialah

Arti: hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari
kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir
sanad dengan didasarkan pada pancaindera.
Berdasarkan defenisi di atas dapat kita pahami bahwa hadis
mutawatir adalah hadis yang bersifat indrawi yang diriwayatkan oleh
banyak orang pada setiap tingkatan sanadnya, yang secara tradisi dan
akal sehat mustahil mereka besepakat untuk berusta dan memalsukan
hadis.
b. Syarat-syarat Hadits Mutawatir
1. Diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak
Bilangan para perawi hadis harus mencapai jumlah yang menurut
tradisi mustahil untuk besepakat untuk berdusta. Dalam hal ini para
ulama

berbeda

pendapat

tentang

batasan

jumlah

untuk

tidak

memungkinkan bersepakat untuk untuk berdusta.


Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. hal tersebut
diqiyaskan dengan jumalah saksi yang diperlukan oleh hakim.
Ashabus Syafi` menentukan minimal 5 orang. hal ini diqiyaskan dengan
jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.

Sebagian ulama menetapkan 20 orang. Hal tersebut berdasarkan


ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mu`min
yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200
orang ( Q.S Al-Anfal :65)
2. Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
Jumlah banyak orang pada tingkatan (thabaqat) sanad dari awal
sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian
sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir tetapi dinamakan ahad.
Persamaan jumlah para perawi tidak berarti harus sama jumlahya,
mungkin saja jumlahnya berbeda namun nilainya sama. Misalnya, pada
awal tingkatan 10 orang, tingkatan berikutnya 20 orang, 40 orang dan
seterusnya. Jumlah seperti ini tetap dinamakan sama dan tergolong
mutawatir.
3. Mustahil bersepakat untuk berbohong
Misalnya para perawi dalam sanad itu memiliki latar belakang yang
berbeda-beda baik Negara, jenis dan pendapat yang berbeda pula.
Sehingga dengan jumlah seperti ini secara logika mustahil terjadi adanya
kesepakatan untuk berbohong dan memalsukan hadis. Pada masa awal
pertumbuhan hadis, memang tidak bisa dianalogikan dengan jaman
sekarang ini, di samping kejujuran, dengan daya memori mereka yang
masih handal sehingga sangat sulit besepakat untuk berbohong dalam
suatu periwayatan.
Salah satu alasan pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir
adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir
karena masih memungkinkan untuk bersepakat berbohong. Hal ini karena
mereka menganalogikan dengan realita dunia sekarang dimana kejujuran
tidak bisa dipertanggungjawabkan, apalagi hal itu berada dalam bingkai
politik dan lain-lain. Oleh sebab itu sehingga para pengingkar sunnah
menolaknya, karena sekalipun sudah mencapai jumlah yang banyak
tetapi masih memungkinkan terjadinya kesepakatan untuk berbohong.
4. Sandaran berita itu pada panca indera.
Yang dimaksudsandaran panca indera adalah berita tersebut
didengar atau dilihat oleh pemberitanya, tidak disandarkan pada logika

atau akal sebagaimana sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika;


setiap yang baru itu berubah. Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan
wujud dengan sendirinya. Sehingga apabila hadis itu logis atau tidak
inderawi. Sandaran berita pada panca indera misalnya ungkapan:
Sami`na (kami mendengar) dari Rasulullah bersabda begini
Ra`aina (kami melihat ) Rasulullah melakukan begini dan seterusnya.
c. Hukum Hadits Mutawatir
Hadis mutawatir memberikan fadah ilmu daruri, yakni keharusan
untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan karena ia
memberikan keyakinan yang qat`i (pasti) dengan seyakin-yakinnya tanpa
ada keraguan sdikitpun bahwa Rasulullah saw, betul-betul menyabdakan
atau mengerjakan sesuatu

seprti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi

mutawatir.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa penelitian rawi-rawi
hadis mutawatir tentang keadilan dan kedhabitannya tidak diperlukan
lagi, karena kuantitas atau jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang
dapat menjamin untuk tidak bersepakat untuk berbohong. Oleh karenanya
wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadis
mutawatir.Tidak

ada

perselisihan

dikalangan

para

ulama

tentang

keyakinan faedah hadis mutawatir ini. Al-Hafidz mengatakan: khabar


mutawatir member faedah dharuri, seseorang harus menerima dan tidak
apat menolaknya.
Seseorang yang mengingkari ilmu dharuri yang dihasilkan
dengan periwayatan mutawatir sama halnya dengan mengingkari ilmu
dharuri yang dihasilkan dengan penglibatan panca indera. Karena dengan
jumalah banyak

perawi yang tidak

memungkinkan sepakat untuk

berbohong itu sudah cukup dijadikan alat untuk mencapai tujuan akhir
atau untuk mengetahui tingkat kesahihan suatu hadis yang merupakan
sumber syari`ah Islam. Oleh karena itu, penelitian sifat-sifat perawi
mutawatir tidak diperlukan sebagaimana hadis Ahad.
d. Macam-macam Hadits Mutawatir
Para ulama hadis membagi hadis mutawatir menjadi tiga
macam, yakni mutawatir lafzhi, mutawatir ma`nawidan mutawatir amali.
1. Mutawatir Lafzhi
Mutawatir lafzhi menurut Nur Ad-Din Atsar adalah:
Hadis yang mutawatir dalam satu lafadh.

Sedangkan menurut Muhammad At-Tahhan:


Hadis yang mutawatir lafadh dan ma`nanya.
Dan menurut Tawjih An-Nadzar adalah:
Hadis yang sesuai lafal para perawinya, baik menggunakan satu lafal
atau lafal lain yang sama makna dan menunjukkan kepada makna yang
dimaksud secara tegas.
Contoh mutawatir lafzhi :





Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia
mengambil tempat duduknya dari api neraka.(HR.Bukhari, Muslim,
Ahmad, At-Tirmizi, An-Nasa`i, dan Abu Daud)
2. Mutawatir Ma`nawi
Sebagian ulama mendefinisikannya sebagai berikut:


Hadis yang berbeda lafal dan maknanya, tetapi kembali kepada satu
makna yang umum.
Dari defenisi di atas, maka mutawatir maknawi adalah hadis
mutawatir pada makna, yaitu beberapa riwayat yang berlainan tetapi
memiliki

makna

yang

sama

atau

satu

tujuan.

Misalnya,

Hatim

diriwayatkania memberi seseorang seekor unta, periwayatan lain ia


memberi seekor kuda dan riwayat lain pula ia memberi hadiah dinar. Maka
disimpulkan makna periwayatannya bahwa ia seorang dermawan.
3.

Mutawatir Amali
Sebagian

ulama

memberikan

defenisi

mutawatir

amali

sebagai berikut:




sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan telah
mutawatir antara kaum muslimin bahwa Nabi saw. Mengerjakannya atau
menyuruhnya dan atau selain itu.
Dengan demikian hadis

mutawatir

amali

adalah

hadis

mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah saw. Yang disaksikan


dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian dijadikan
contoh pada generas-generasi berikutnya. Misalnya hadis tentang shalat.

Kitab-kitab tentang hadis mutawatir antara lain:


Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi
Qahtful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
Al-La`ali Al-Mutanatsirah filAhadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah
Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi
NazhmulMutanatsirahminal Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin
Ja`far Al-Kittani
2. Hadis hd
a. Pengertian
hd

merupakan jamak dari ahad dengan makna satu atau

tunggal. Sedangkan menurut istilah menurut ulama Hadis Aahaad adalah




.
Khabar yang tiada sampai jumlah banyak pemberitanya kepada jumlah
khabar mutawatir, baik pengkhabar itu seorang, dua, tiga, empat, lima
dan seterusnya dari bilangan-bilangan yang tiada memberi pengertian
bahwa khabar itu dengan bilangan tersebut masuk ke dalam khabar
mutawatir.
Dengan pengertian di atas sehingga hadis aahaad member faedah
ilmu Nazhari, artinya ilmu yang diperlukan penelitian dan pemeriksaan
terlebih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit memiliki sifat-sifat
kreadibilitas yang mampu dipertanggungjawabkan atau tidak. Hadis inilah
yang memerlukan penelitian secara cermat apakah

apakah para

perawinya adil atau tidak, dhabith atau tidak, sanadnyabersambung atau


tidak, sehingga dapat menentukan tingkat kualitas suatu hadis apakah ia
shahih, hasan atau dha`if.
b. Pembagian Hadits Ahad
Hadis Aahaad terbagi menjadi 3 macam yaitu: Masyhur, `Aziz dan
Gharib.
a. Hadis Masyhur

Masyhur

menurut

bahasa

adalah

tenar,

terkenal

atau

menampakkan. Dalam istialh hadis masyhur terbagi menjadi dua macam


yaitu:
1. Masyhur Ishthilaahi.
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih pada
setiap

tingkatan

(tabaqaqh)

sanad

dan

belum

mencapai

tingkat

mutawatir.
Contoh hadis :
sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan
dari dada seorang hamba, tetapi akan melepaskan ilmu dengan dengan
mengambil para ulama, sehingga apabila tidak terdapat serang yang alim
maka

orang

yang

bodoh

akan

dijaikan

sebagai

pemimpin,

lalu

memberikan fatwa tanpa didasari ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.


Hadis ini diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yaitu Ibnu
Amru, Aisyah dan Abu Hurairah. Dengan demikian hadis ini masyhur
dikalangan

sahabat,

karena

terdapat

tiga

orang

sahabat

yang

meriwayatkannya, sekalipun dikalangan tabi`ian lebih dari tiga orang tapi


tidak mencapai tingkat mtawatir.
2. Masyhur Ghayr Ishthilahi
Hadis MasyhurGhayrIshthilahiadalah hadis yang popular atau
terkenal dikalangan kelompok atau golongan tertentu, sekalipun jumlah
perawinyatiak mencapai tiga orang atau lebih.

b. Hadis `Aziz
`Aziz secara bahasa berarti sedikit atau langka, atau berarti
kuat. Hadis diberi nama`aziz karena sedikit atau langka adanya.
Dari segi istilah terdapat beberapa defenisi antara lain adalah
hadis yang tidak diriwayatkan kurang daridua orang disemua tingkatan
(tabaqah) sanad.
contoh hadis `aziz:




( )

hadis diriwayatkan dari Abu Hurairahra. Bahwasanya Rasulullah saw


bersabda: tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih
dicintai dari pada orang tuanya, anaknya dan manusia semuanya.
(HR.Muttafaq `Alaih)
Hadis ini diriwayatkan oleh dua orang sahabat yaitu Anas
dan Abu Hurairah.Kemudian Anas memberitakan kepada dua orang yaitu
Qatadah dan Abdul Aziz ibnShuhaib.Qatadah memberitakan pula kepada
dua orang yaitu Syu`bah dan Sa`id. Dan Abdul Aziz memberitakan pula
kepada dua orang yaitu Ismail ibn Ulaiyah dan Abdul Waris.
c.

Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa berarti menyendiri atau jauh dari
kerabatnya. menurut istilah ialah

hadis yang diriwayatkan oleh

seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya.


Ibnu Hajar mendefenisikan sebagai berikut:
hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, dimana saja penyendiriansanaditu terjadi.
Dilihat dari bentuk penyendirian rawi, hadis gharib terbagi menjadi dua
macam:

a). Gharib Mutlak


Gharib mutlak yaitu hadis yang garabah-nya (perawi satu orang)
terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung sanadyaitu seorang
sahabat.
Pokok sanad atau disebut asal sanad karena sahabat yang
menjadi referensi utama dalam periwayatan hadis meskipun banyak jalan
dan tingkatan dalam sanad. Contoh hadis Nabi saw.


:
:

()
Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya,.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab
saja. Kemudian diriwayatkan oleh Al-Qamah bin Waqqash kemudian
Muhammad bin Ibrahim. Dengan demikian hadis tersebut gharib mutlak

karena hanya Umar bin Khattab saja yang meriwayatkan dari kalangan
sahabat.
b). Gharib Nisbi
Gharib nisbi yaitu apabila keghariban (perawi satu orang )
terjadi pada pertengahan sanad bukan pada awal sanadnya. Maksudnya
satu hadis yang diriwayatkanoleh lebih dari satu orang perawi pada asal
sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadis ini diriwayatkan oleh
satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut.
Adapun berbagai kegharibanatau ketersendirian yang dianggap
sebagai gharibnisbi adalah sebagai beikut:

Seorang perawi terpercaya secara sendiriran meriwayatkan hadis


(muqayyad bi ats-tsiqah)
Seorang perawi tertentu meriwayatkan secara sendiriran dari seorang
perawi tertentu pula (muqayyad `alaar-rawi)
Penduduk negeri atau penduduk daerah secara tersendiri meriwayatkan
hadis (muqayyad bi al-balad).
B. HADIS DITINJAU DARI KUALITASSANADNYA
Bila ditinjau dari segi kualitasnya, maka hadis terbagi menjadi dua
macam:
1. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti makhudz (yang diambil) dan
mushaddaq ( yang dibenarkan atau diterima),sedangkan menurut istilah
adalah
Artinya hadis yang unggul pembenaran pemberitanya
Syarat-syarat penerimaan suatu hadis untuk menjadi hadis yang maqbul,
yaitu bila sanad-nya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan
dhabit dan matan-nya tidak syadzdan tidak ber-illat.
Dengan demikian hadis maqbul adalah hadis yang dapat diterima atau
pada dasarnya dapat dijadikan hujjah dan panduan pengamalan syari`at.
Berdasarkan penjelasan di atas maka para ulama membagi hadis maqbul
menjadi dua bagian utama yaitu; hadis shahih dan hasan.
a. Hadis shahih

Sahih menurut bahasa berarti sehat (lawan sakit). Kata sahih juga telah
menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan sah, benar, sempurna, sehat
(tiada celanya).
Sedangkan menurut istilah dikalangan ulama ialah



hadis yang bersambungsanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan
dhabit (kuat daya ingatan), selamat dari keganjalan (syadzdz) dan cacat
(illat)
Dari defenisi di atas dapat disimpulakan, bahwa hadis shahih memiliki
lima kreteria persyaratan sebagai berikut:
1. Bersambungnya sanad
Yaitu, setiap perawi telah mengambil hadis secara langsung perawi
sebelumnya dari permulaan sampai akhir sanad.
2. Perawinya adil:
Kata adil, menurut bahasa berarti lurus,

seseorang

dikatakan adil apabila pada dirinya terdapat sifat yang dapat mendorong
terpeliharanya

ketakwaan,

yaitu

senantiasa

agama dan mninggalakan larangannya, dan

melaksanakan

perintah

senantiasa berakhlak baik

dalam segalah tingkah lakunya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan


perawi yang adil dalam periwayatansanad-hadis adalah bahwa semuah
perawinya disamping harus islam dan balig, juga memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a)

Senantiasa melaksanakan perintah agama dan meninggalkan semua

larangannya.
b) Senantiasa menjauhi dosa kecil.
c) Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai
muruah.
3. Perawinya dhabit
Kata dhabit menurut bahasa berarti yang kokoh,yang kuat. Seseorang
dikatakan dhabit apabila ia mempunyai daya ingat sempurna terhadap
hadis yang diriwayatkannya.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang
kuat hapalannya terhadap segala sesuatu yang pernah didengarnya,

kemudian

mampu

menyampaiakan

hapalan

tersebut

manakalah

diperlukan.
Yang dicakup dalam pengertian dhabit pada periwayatan disini terdiri atas
dua kategori, yaitu dhabit Aa-sadr dan dhabit fi Al kitab yang dimaksud
dengan dhabit fi As-sadr ialah terpeliharanya periwayatan dalam ingatan,
sejak ia menerima hadis sampai ia meriwayatkan kepada orang lain;
sedangkan

dhabitfil

Al-kitab

ialah

terpeliharanya

kebenaran

suatu

periwayatan melalui tulisan.


4. Tidak syadzdz
Menurut Imam Iyafii Yang dimaksud dengan syadz atau syudzudz (bentuk jamak dari
syadzdz ) disini ialah suatu hadis yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
perawi lain yang lebi kuat atau lebih tsiqah. Pengertian inilah yang paling banyak diikuti
ulama hadis lainya.
Melihat pengertian syadz diatas, dapat dipahami bahwa hadis yang tidak syadz adalah hadis
yang matannya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebi kuat atau lebitsiqah.
5. Tidak berillat
Kata illat bentuk jamaknya adalah Ilal atau Al-Ilal yang menurut bahasa berarti cacat,
penyakit, keburukan, dan kesalahan baca. Dengan pengertian ini yang disebut hadis berillat adalah hadis-hadis yang mengandung cacat atau penyakit.
Menurut

istilah, illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau samar-samar, sehingga

dapat merusak kesahihan hadis. Dikatakan samar-samar di sini karena


shahihnya, hadis tersebut terlihat sahih, adanya kesamaan pada
mengakibatkan

nilai

kualitasnya

menjadi

jika dilihat dari


hadis

tersebut,

tidak sahih, dengan demikian, maka yang

dimaksud hadis yang tidak berillat, ialah hadis-hadis yang didalamnya tidak terdapat
kesamaran atau keragu-raguan.
Illat hadis dapat terjadi baik pada sanad maupun pada matan atau pada keduanya secara
bersama - sama. Namun demikian, illat yang paling banyak, yaitu yang terjadi pada sanad,
seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati atau mursal.
Para ulama ahli hadis membagi membagi hadis sahih menjadi dua bagian, Yaitu
sahihlidzatihdan sahih li ghairih.Perbedaan antara keduanya terletak pada segi hapalan atau
ingatan perawinya. Pada hadis shahih lighairih ingatan perawinya kurang sempurna.

Yang dimaksud dengan sahih li dzatihi, ialah hadis yang tidak memenuhi secara sempurna
persyaratan hadis sahih khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau hafalan perawi.
Definisi hadis sahihlidzatih:
Hadits shahih Lidzatihi yaitu hadits yang bersambungsanadnya dengan
penukilan perawi yang adil dan dhabith dari yang semisalnya sampai
akhir sanad tersebut serta hadits tersebut bukan hadits yang syadz dan
bukan hadits yang muallal (cacat).
contoh hadis sahihlighairih adalah hadis riwayat turmudzi melalui jalur Muhammad bin Amr
Artinya

seandainya

tidak

memberatkan

ummatku,niscaya

akan

kuperintahkanbersiwak setiap kali hendak melaksanakan shalat.


Ibnuumar ash-shalah menyatakan bahwa Muhammad bi Amr
terkenal sebagai orang yang

jujur, tetapi kedhabitannya kurang

sempurna sehingga hadis riwayatnya hanya mencapai tingkat hasan.


b. Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada kedhabit-an dan keadilanpara perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadisin
membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
a)

Pertama,

ashah

al-asanid

yaitu

rangkaian

sanad

yang

paling

tinggi

derajatnya.sepertiperiwayatansanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi mawla (mawla =
budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
b) Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya dibawah
tingkat pertama diatas. Seperti periwayatansanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari
Anas.
c) Ketiga. adaf al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih rendah dari
tingkatan kedua. sepertiperiwayatanSuhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang
secara berurutan sebagai berikut:
a) Hadis yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq alaih),
b) Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c) Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d) Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
e).Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f). Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,

g) Hadis yang dinilai shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak
mengikuti persyratan keduanya, seperti IbnuKhuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai berikut:
a)

Shahih Al-Bukhari (w.250 H).

b)

Shahih Muslim (w. 261 H).

c)

ShahihIbnuKhuzaimah (w. 311 H).

d)

Shahih Ibnu Hibban (w. 354 H).

e)

Mustadrok Al-hakim (w. 405).

f)

ShahihIbn As-Sakan.

g)

Shahih Al-Abani.

c. Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu
sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara
hadis shahih dan hadisdhaif, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah
satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
a)

definisi al- Khatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah

mashurrawi-rawisanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang


diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukaha
b) definisiIbnuHajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil,
sempurna ke-dhabit-annya, bersambungsanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka
dia adalah hadis shahihli-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis
hasan lidszatihi.
Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak
pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan
dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadis dhaif tentu
belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih unggul.
1. Macam-Macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasasn pun terbagi
menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasanli-ghairih;
a). Hasan Li-Dzatih

Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang memenuhi persyaratan hadis hasan
yang telah ditentukan.pengertian hadis hasanli-dzatih sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya.
b). Hasan Li-Ghairih
Adapun Hasan li Ghairih adalah hadis dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa,
banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi dan syahid. Hadis dhaif yang karena
rawinya buruk hapalannya (suru al-hifdzih),tidak dikenal identitasnnya (mastur)dan mudallis
(menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi dibantu oleh hadis
hadis lain yang semisal dan semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkannya.

Contoh hadis hasan:


Artinya ; Telah menceritakan kepda kami

yahya bin Al-tamimi dan

qutaibah bin said ucapan yahya- telah berkata qutaibah kepada kami
dan telah berkata yahya bahwasanya Jafar bin Sulaiman memberitakan
kepada kami dari bapaknya Imran Al-Jauan dari bapaknya Abu Bakar bin
Abdillah bin Qaeis dari bapaknya ;saya perna mendengar bapak saya
berkata, ketika itu sedang berhadapan dengan musuh, bahwasanya
Rasulullah

SAW

sesungguhnya

pintu-pintu

surga

dibawah

kilatanpedang, lalu berdirilah seseorang yang berpakaian compangcamping seraya berkata; wahai abu musa apakah anda mendengar
Rasulullah bersabda seperti yang anda ucapkan ini ya lalu orang itu
kembali kepadaa sahabat-sahabatnya seraya berkata aku mengucapkan
salam kepada kalian kemudian orang ini memecahkan sarung pedangnya,
lalu membuangnya dan dengan serta merta dia pergi menuju musuh
dengan membawa pedangnya terus bertempur hingga gugur.
Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh,
kecuali Jafar bin Sulaiman ad-Dlubai. jadilah haditsnya hasan.
2. Kehujjahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih,
adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam
menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Paraulama hadis, ulama ushulfiqih, dan fuqaha
sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.

3. Kitab-kitab hadis hasan


Ulama yang pertama kali memulai membagi hadis sebagai hadis shahih, hadis hasan,
hadis dhaif adalah Imam At-Tirmitdzi sehingga wajarlah jika Imam At-Tirmitdzi memiliki
peran dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang menghimpun hadis
hasan adalah;
a)
b)
c)

Sunan At-tirmitdzi
Sunan Abu Daud
Sunan Ad-Dar Quthny

2. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak diterima,
Sedangkan menurut istilah hadis mardud adalah hadis yang tidak unggul
pembenaran pemberitanya.
Penolakan hadis ini dikarenakan tidak memenuhi beberapa kriteria
persyaratan yang ditetapkan para ulama, baik yang menyangkut sanad
seperti perawi harus bertemu langsung dengan gurunya (ittishal assanad) maupun yang menyangkut matan seperti isi matan tidak
bertentangan dengan alquran dan lain-lain .
Hadis mardud tidak mempunyai pendukung yang membuat keunggulan
pembenaran berita dalam hadis tersebut. Hadis mardud tidak dapat
dijadikan hujjah dan tidak wajib di amalkan, sedangkan maqbul wajib
dijadikan hujjah dan wajib di amalkan. Secara umum Hadis mardud adalah
hadis dhaif (lemah) .
a. Hadis Dho`if
Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang
lemah lawan dari Qawi (yang kuat).Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut
berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari
Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut :
Hadits dhaifialah hadits yang tidak memuat atau menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan
tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan.
b. Kehujahan Hadits dhaif
Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila
dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan,

Namun para ulama melakukan

pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga terjadi
perbedaan pendapat diantara mereka:
1.

Para ulama berpendapat bahwa hadis dhaif tidak boleh diamalkan sama sekali, baik

berkaitan masalah aqidah atau hukum-hukum fikih, targhib dan tarhib maupun dalam
fadhailulamal (keutamaan amal). Inilah pendapat imam-imam besar hadis seperti Yahya bin
Main, bukhari, dan Muslim. Pendapat ini juga dikuti oleh IbnuArabi ulama fikih dari
mazhab Malikiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi ulama dari mazhab Syafiiyah,dan Ibnu Hazm.
2. Pendapat kebanyakan ahli fikih membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis
dhaif secara mutlak jika tidak didapatkan hadis lain dalam permasalahan yang sama. Dikutip
dari pendapat Abu Hanifa,Asy-syafiI, Malik, dan Ahmad. Akan tetapi pendapat yang
terkenal dari Imam Ahmad bahwa hadis dhaif kebalikan dari hadis shahih menurut
terminology ulama-ulama terdahulu.
3. Sebagian ulama membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dhaif dengan
catatan sebagai berikut: mereka membolehkan mengamalkan hadis dhaif khusus dalam
targhib dan tarhib (motivasi beramal dan ancaman bermaksiat) dan fadilah-fadilah amal,
sedangkan untuk masalah aqidah dan hukum halal serta haram, mereka tidak
membolehkannya.
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadilah amal, menyaratkan kebolehan
mengambilnya itu dengan tiga syarat :
a) Kelemahan hadis itu tidak seberapa
b) Apa yang ditunjukan hadis itu juga ditunjukan oleh dasar lain yang dapat dipegangi,
dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan sesuatu dasar hukum yang suda
dibenarkan.
c) Jangna diyakini dikalah menggunakannya bahwa hadis itu benar dari Nabi. Ia hanya
dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tiada berdasarkan nash sama sekali.
http://zulkhulafair.blogspot.co.id/2012/11/hadist-ditinjau-dari-segi-kuantitas-dan.html

Anda mungkin juga menyukai