Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN ULUMUL HADITS

Dosen pengampu: Abdul kohar M.H

Disusun oleh: M.helizud maulana

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH DARUSALAM (STISDA)


JANUARI 2021
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai di ketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits sesuai
dengan fungsinya dalam menetapkan syari`at Islam. Ada Hadits Shahih, Hadits
Hasan, dan Hadits Dha`if. Masing-masing memiliki persyaratan sendiri-
sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad,
kulitas para periwayat yang di lalui hadits, dan ada pula yang berkaitan dengan
kandungan hadits itu sendiri. Maka persoalan yang ada dalam ilmu hadits ada
dua. Pertama berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan dengan matan. Ilmu
yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah
hadits itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadits
yang di cantumkan di dalam sanad hadits itu orang-orang yang terpercaya aau
tidak. Adapun Ilmu yang berkaitan dengan matan akan membantu kita
mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung
di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadits
bertentangan dengan dalil lain atau tidak.
Secara garis besar ilmu hadits dibagi atas ilmu hadits riwayat dan ilmu hadits
dirayat. Jika ilmu hadits riwayat membahas materi hadits yang menjadi
kandungan makna, maka ilmu hadits dirayat mengambil pembahasan
mengenai kaidah-kaidahnya, baik yang berhubungah dengan sanad atau matan
hadits. Kedua pengetahuan tersebut sama-sama penting. Sebab dengan ilmu
yang pertama, setiap muslim yang ingin mengikuti jejak laku dan teladan
Rasulullah , harus menguasai ilmu tersebut. Sementara itu dengan menguasai
ilmu yang kedua, setiap muslim dan siapapun yang mempelajari dengan baik
akan mendapatkan informasi yang akurat dan akuntabel tentang hadits Nabi/
Rasulullah saw. Di bawah ini akan dibahas tentang pengertian ilmu hadits,
sejarah yang dilalui, dan cabang-cabang ilmu hadits, terurama ilmu hadits yang
berkaitan dengan kegiataan takhrij dan penelitian sanad hadit Nabi saw.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN UMMUL HADITS


Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), atau sifat.[1]
Hadits menurut bahasa artinya baru. Hadits juga secara bahasa berarti
“sesuatu yang dibicarakan dan dinukil”, juga “sesuatu yang sedikit dan
banyak”. Bentuk jamaknya adalah ahadits. Adapun firman Allah Ta’ala,

“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih


hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada hadits
ini”  (Al-Kahfi [18] : 6). Maksud hadits dalam ayat ini adalah Al-Qur’an.
Juga firman Allah,

“Dan adapun nikmat Tuhanmu, maka sampaikanlah.”  (Adh-Dhuha [93] : 11).


Maksudnya: sampaikan risalahmu, wahai Muhammad.
Haditst menurut istilah ahli, hadits adalah: Apa yang disandarkan kepada
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan
sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya.
Sedangkan menurut ahli ushul fisih, hadits adalah perkataan, perbuatan,
dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam setelah kenabiannya. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai
hadits, karena yang dimaksud dengan hadits adalah mengerjakan apa yang
menjadi setelah kenabian.[2]
Kata “al hadits”  dapat juga dipandang sebagai istilah yang lebih umum dari
kata “as sunnah”. Yang mencakup seluruh yang berhubungan dan disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan istilah “as sunnah” digunakan untuk
perbuatan (‘amal) dari Nabi SAW saja.[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Buku-buku yang di dalamnya berisi
tentang khabar Rasulullah, antara lain adalah Tafsir, Sirah dan Maghazi
(peperangan Nabi –Edt, dan Hadits. Buku-buku hadits adalah lebih khusu berisi
tentang hal-hal sesudah kenabian, meskipun berita tersebut terjadi sebelum
kenabian. Namun itu tidak disebutkan untuk dijadikan landasan amal dan
syariat.[4]
Ulumul Hadits adalah istilah Ilmu Hadits di dalam tradisi Ulama Hadits
(Arabnya : ‘Ulum al Hadits). ‘Ulum al Hadits  terdiri atas dua kata yaitu ‘Ulumu
dan al Hadits. Kata ‘Ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm
jadi berarti “ilmu-imu”. sedangkan al Hadits  di kalangan Ulama’ Hadits berarti
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan,
taqri atau sifat”. Dengan demikian ‘Ulum al Hadits  mengandung pengertian
ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi”.
Secara umum para ulama Hadits membagi Ilmu Hadits kepada dua bagian,
yaitu Ilmu Hadits Riwayah (‘ilm al Hadits Riwayah) dan Hadits Dirayah (‘ilm al
Hadits Dirayah):
a.       Pengertian Ilmu Hadits Riwayah
Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mengandung pembicaraan tentang
penukilan sabda-sabda Nabi, perbuatan-perbuatan beliau, hal-hal yang beliau
benarkan, atau sifat-sifat beliau sendiri, secara detail dan dapat
dipertanggungjawabkan.[5]
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang di kutip oleh Al-Suyuthi, yaitu
Ilmu Hadits yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang
meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya,
pencatatannya, serta periwayatannya, dan penguraian lafaz-lafznya.
Menurut Muhammad `Ajjaj al-Khathib, yaitu Ilmu yang membahas tentang
pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi
SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat
jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci.
Menurut Zhafar Ahmad ibn lathif al-`Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa`id fi `Ulum al-Hadits, yaitu Ilmu Hadits yang khusus dengan riwayah
adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan
keadaan Rosul SAW serta periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau
pembukuan Hadits Nabi SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian
lafaz-lafaznya.
Dari ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu
Hadits Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara
periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW.
Objek kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah Hadits Nabi SAW dari segi
periwayatannya dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
-          Cara periwayatan Hadits, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga
cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lainnya;
-          Cara pemeliharaan Hadits, Yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan dan
pembukuannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu ini adalah: pemeliharaan terhadap
Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar dari kekeliruan
dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan dan
pembukuannya.

b.      Pengertian Ilmu Hadits Dirayah


Ilmu hadits dirayah yaitu satu ilmu yang mempunyai beberapa kaidah
(patokan), yang dengan kaidah-kaidah itu dapat diketahui keadaan perawi
(sanad) dan diriwayatkan (marwiy) dari segi diterima atau ditolaknya.[6]
Para ulama memberikan definisi yang bervariasi terhadap Ilmu
Hadits Dirayah ini. Akan tetapi, apabila di cermati definisi-definisi yang mereka
kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya,
terutama dari segi sasaran kajian dan pokok bahasannya.
Menurut ibnu al-Akfani, ilmu hadits yang khusus tentang Dirayah adalah
ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-
macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka,
jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
Menurut Imam al-Suyuti merupakan uraian dan elaborasi dari definisi
diatas, yaitu Hakikat Riwayat adalah kegiatan periwayatan sunnah (Hadits) dan
penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya dengan
kalimat tahdits,  yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana fulan”, (telah
menceritakan kepada kami si fulan), atau ikhbar, seperti
perkataannya“akhbarana fulan”,  (telah mengabarkan kepada kami si fulan).
Menurut M. `Ajjaj al-Khatib dengan definisi yang lebih ringkas dan
komprehensif, yaitu Ilmu Hadits Dirayah adalah kumpulan kaidah-kaidah dan
masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari segi di
terima atau ditolaknya.
Al-rawi atau perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan
Hadits dari satu orang kepada yang lainnya.
Al-marwi  adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu sesuatu yang di
sandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya seperti Sahabat atau
Tabi`in.
Keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah mengetahui
keadaan para perawi dari segi jarh danta`dil  ketika tahammul dan adda` al-
Hadits,  dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya
dengan periwayatan Hadits.
Keadaan  marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan denganittishal al-
sanad (persambungan sanad) atau terputusnya, adanya `illat  atau tidak, yang
menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadits.

B.     SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADITS


Selama dua puluh tiga tahun Rasulullah SAW mencurahkan segala
aktifitasnya untuk mendakwahkan Islam kepada umat manusia sehingga
belahan dunia (Arab) tersinari oleh agama yang hanif ini.[7]
Perkembangan ilmu hadits selalu beriringan dengan pertumbuhan
pembinaan hadits itu sendiri. Hanya saja ia belum wujud sebagai suatu disiplin
ilmu yang berdiri sendiri. Pada saat Rasulullah SAW masih hidup ditengah-
tengah kaum muslimin, ilmu ini masih wujud dalam bentuk prinsip-prinsip
dasar, yang merupakan embrio bagi pertumbuhan ilmu hadits dikemudian hari.
Misalnya tentang pentingnya pemeriksaan dan tabayyun, terhadap setiap
berita yang didengar, atau pentingnya persaksian orang adil dan sebagainya.
Firman Allah dalam (Al-Hujurat [49] : 6) menyatakan:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
Demikian pula dalam (Al-Thalaq [65] : 2)
ْ‫ان ُي ْؤمِنُ ِباهَّلل ِ َو ْال َي ْو ِم اآْل ِخ ِر ۚ َو َمن‬ ُ ‫ َوأَ ْش ِه ُدوا َذ َويْ َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم َوأَقِيمُوا ال َّش َها َد َة هَّلِل ِ ۚ ٰ َذلِ ُك ْم يُو َع‬...
َ ‫ظ ِب ِه َمنْ َك‬
‫َي َّت ِق هَّللا َ َيجْ َع ْل لَ ُه َم ْخ َرجً ا‬

“.......persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan ke luar.”
         Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin supaya
memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang dating, khususnya berita yang
dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima
sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika pembawanya
orang terpercaya dan adil, maka pasti diterima. Tetapi sabaliknya, jika mereka
tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan ditolak.
         Sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat Nabi sangat hati-hati dalam
periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan
kepada al-Qur’an, yang baru mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar
dan disempurnakan pada saat sahabat Utsman bin Affan menjadi Khalifah.
Selanjutnya ketika mulai terjadi konflik politik, yang memicu munculnya firqah
di kalangan kaum muslimin ; Syi’ah, Murji’ah dan Jama’ah, dan pada gilirannya
mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan
direkayasa, maka para ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan
menjaga kemurnian hadits Nabi. Dari usaha ini, terbentuklah teori-teori
tentang periwayatan. Keharusan menyertakan sanad menjadi bagian penting
yang dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal ini telah dilakukan antara
lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ketika menghimpun hadits dari para ulama.
         Ketika para ulama hadits membahas tentang kemampuan hafalan / daya
ingat para perawi (dhabit), membahas bagaimana system penerimaan dan
penyampaian yang dipergunakan (tahammul wa ada’ al-hadits), bagaimana
cara menyelesaikan hadits yang tampak kotradiktif, bagaimana memahami
hadits yang musykil dan sebagainya, maka perkembangan ilmu hadits semakin
meningkat. Ketika Imam al-Syafi’i (wafat 204 H) menulis kitab al-Risalah,
sebenarnya ilmu hadits telah mengalami perkembangan lebih maju, sebab di
dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya
saja masih bercampur dengan kaidah ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-
Umm. Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara
menyelesaikan haadits-hadits yang bertentangan, tetapi masih bercampur
dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya,
tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain, belum menjadi disiplin ilmu yang
berdiri sendiri.
         Sesudah generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu
hadits, misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu
Qutaibah (wafat 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam
Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma’ wa
al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian pula al-
Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan
banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu
hadits pada abad III H ini, maka dapat difahami mengapa abad ini disebut
sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum
membahas ilmu hadits secara lengkap dan sempurna.
         Penulisan ilmu hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli Abu
Muhammad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (wafat 360 H)
menulis buku Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian
disusul al-Hakim al-Naisaburi (wafat 405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al-
Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-
Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi
wa Adab al-Sami’.

C.     CABANG-CABANG ILMU HADITS


Diantara cabang-cabang besar yang tumbuh dari Ilmu Hadits Riwayah dan
Dirayah ialah:
a.       Ilmu Rijalul Hadits
Yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari
tabi`in, mupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Hal yang terpenting di
dalam ilmu Rijal al-Hadits adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut,
meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja
tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa
saja mereka memperoleh hadits dan kepada siapa saja mereka
menyampaikan hadits.
Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang mempelajari persoalan ini.
Ada yang menyebut Ilmut Tarikh, ada yang menyebut Tarikh al-Ruwat,  ada
juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh al-Ruwat.
Ilmu Rijalul Hadits, dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat (Ilmu
Sejarah Perawi) adalah ilmu yang diketaui dengannya keadaan setiap perawi
hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang
meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain itu yang
ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.[8]

b.      Ilmu Tarikh Rijal Al-Hadits


Adalah ilmu yang sangat membantu untuk mengetahui derajat hadits dan
sanad (apakah sanadnya muttashil  atau  munqathi’).

c.       Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil


Secara bahasa, Al-Jarh adalah ism masdhar yang berarti luka yang
mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke ‘adalahan
seseorang.
Menurut istilah, Al-Jarh yaitu terlihatnya sifat seseorang perawi yang dapat
menjatuhkan ke ‘adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga
menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudan
ditolak.
At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seseorang perawi dengan sifat
yang menyebabkan pendhaifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
Secara bahasa, Al-‘Adlu adalah apa yang lurus dalam jiwa, lawan dari
durhaka, dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima, dan At-
ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.
Menurut istilah, Al ‘Adlu adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang
dapat meruak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima
beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat
menyampaikannya hadits.
At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat sifat yang mensucikannya,
sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.
Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yaitu ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-
cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta`dilannya
(memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan
tentang martabat-martabat kata-kata itu.[9]

d.      Ilmu Mukhtalif al-Hadits


Adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang tampaknya saling
bertentangan. Lalu menghilangkan pertentangan itu atau
mengkompromikannya, disamping membahas hadits-hadits yang sulit difahami
atau dimengerti. Kemudian menghilangkan kesulitan tersebut serta
menjelaskan hakikatnya.
Oleh karena itu sebagian ulama menamai ilmu ini dengan ilmu musykilul
Hadits, ada juga yang menamainya ilmu Ikhtilaful hadits,  ilmu Ta’wilul
Hadits  dan ilmu Talfiqul Hadits.  Seangkan obyek pembahasan ilmu ini adalah
hadits-hadits yang tampaknya berlawanan, untuk kemudian dikompromikan
kandungan dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya, mengkhususkan
(takhshish) keumumannya dan lain sebagainya. Atau mentakwilkan hadits-
hadits yang musykil hinga hilang kemusykilannya.[10]

e.       Ilmu `Ilalil Hadits


‘Ilal adalah jamak dari ‘illah,  artinya penyakit. ‘Illah menurut istilah ahli
hadits adalah suatu sebab yang tersembunnyi yang dapat mengurangi status
keshahihan hadits padahal zhahirnya tidak nampak ada cacat.[11]
Ilmu ‘Illal hadits  yaitu ilmu yang membahas tentang sebab-sebab
tersembunyi dari segi keberadaannya mencacatkan hadits, me-muttasil-kan
(menyambung hadits) yang munqathi’ (terputus sanadnya), me-marfu’-kan
(menyandarkan kepada Nabi SAW) hadits yang mauquf  (tidak sampai kepada
Nabi SAW atau terhenti pada sahabat), memasukkan suatu hadits kedalam
hadits lain, mencampuradukkan sanad  dengan matan  atau yang lainnya.

f.       Ilmu Gharibul-Hadits
Yaitu ilmu (pengetahuan) untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matan-
matan hadits yang sulit lagi sukar difahami disebabkan karena jarang sekali
digunakan.
Dari ta’rif  (definisi) diatas, nyata bagi kita bahwa obyek dari ilmu gharibul
hadits adalah kata-kata yang musykil (sukar) dan susunan kalimat yang sulit
difahami maksudnya. Hal ini dimaksudkan agar orang tidak menafsirkan secara
menduga-duga dan mentaqlidi pendapat orang yang bukan ahlinya.[12]

g.      Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits


Nasikh artinya menghapus atau menghilangkan, sedangkan masukh adalah
yang dihapus atau dihilangkan. Menurut ulama ushul Naskh adalah
penghapusan oleh syari’ (pembuat hukum dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-
Nya SAW) terhadap suatu hukum syara’ dengan dalil syar’iy yang datang
kemudian.[13]
Ilmu nasikh dan mansukh hadits yaitu ilmu yang membahas Hadits-hadits
yang bertentangan dan tidak mungkin di ambil jalan tengah. Hukum hadits
yang satu menghapus (menasikh) hukum Hadits yang lain (mansukh). Yang
datang dahulu disebut mansukh, dan yang muncul belakangan
dinamakan nasikh. Nasikh inilah yang berlaku selanjutnya.

h.      Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadits)


Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan
masa-masanya Nabi menuturkan itu. Seperti di dalam Al Qur`an dikenal adalah
Ilmu Asbab al-nuzul, di dalam Ilmu hadits ada Ilmu Asbab wurud al-Hadits.
Terkadang ada hadits yang apabila tidak di ketahui sebab turunnya, akan
menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak di amalkan. 

i.        Ilmu Mushthalah Hadits


Ilmu musthalah hadits adalah ilmu tentang dasar dan kaidah yang
dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan
ditolaknya. Obyeknya adalah sanad dan matan dari segi diterima dan
ditolaknya. Manfaat ilmu ini adalah membedakan hadits shahih dari yang tidak
shahih.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
A.    Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan
Hadits Nabi SAW.
B.     Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara
periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW.
Objek kajiannya adalah Hadits Nabi SAW dari segi periwayatan dan
pemeliharaannya.
C.     Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang kumpulan kaidah-
kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari
segi di terima atau di tolaknya. Rawi adalah orang yang menyampaikan Hadits
dari satu orang kepada yang lainnya; Marwi adalah segala sesuatu yang
diriwayatkan, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau
kepada Sahabat dan Tabi`in. Ilmu Hadits Dirayah inilah yang selanjutnya
disebut dengan Ulumul Hadits.
D.    Cabang-cabang Ulumul Hadits diantaranya adalah:
a.       Ilmu Rijalul Hadits
b.      Ilmu Tarikh Rijal Al-Hadits
c.       Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
d.      Ilmu Mukhtalif al-Hadits
e.       Ilmu `Ilalil Hadits
f.       Ilmu Gharibul-Hadits
g.      Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
h.      Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadits)
i.        Ilmu Mushthalah Hadits
DAFTAR PUSTAKA

Syaikh Manna Al-Qaththan. PENGANTAR STUDI ILMU HADITS. 2005. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar

Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsman. MUSHTHALAH AL HADITS.  Yogyakarta : Media Hidayah

Warsito, Lc. PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH. 2001. Bogor : LPD Al Huda

[1] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsman, MUSHTHALAH AL HADITS, Yogyakarta, halaman 15

[2] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 22

[3] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman
10

[4] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 22

[5] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 73

[6] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 73

[7] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman
45

[8] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 75

[9] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 82-83

[10] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman
118

[11] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 98

[12] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman
117

[13] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman
118

Anda mungkin juga menyukai