“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
Demikian pula dalam (Al-Thalaq [65] : 2)
ْان ُي ْؤمِنُ ِباهَّلل ِ َو ْال َي ْو ِم اآْل ِخ ِر ۚ َو َمن ُ َوأَ ْش ِه ُدوا َذ َويْ َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم َوأَقِيمُوا ال َّش َها َد َة هَّلِل ِ ۚ ٰ َذلِ ُك ْم يُو َع...
َ ظ ِب ِه َمنْ َك
َي َّت ِق هَّللا َ َيجْ َع ْل لَ ُه َم ْخ َرجً ا
“.......persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan ke luar.”
Ayat di atas jelas memberikan perintah kepada kaum muslimin supaya
memeriksa, meneliti dan mengkaji berita yang dating, khususnya berita yang
dibawa oleh orang-orang fasiq. Tidak semua berita yang datang pasti diterima
sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa materi isinya. Jika pembawanya
orang terpercaya dan adil, maka pasti diterima. Tetapi sabaliknya, jika mereka
tidak jujur dan fasik, tidak obyektif, maka berita akan ditolak.
Sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat Nabi sangat hati-hati dalam
periwayatan hadits, karena konsentrasi mereka masih banyak tercurahkan
kepada al-Qur’an, yang baru mulai dibukukan pada zaman khalifah Abu Bakar
dan disempurnakan pada saat sahabat Utsman bin Affan menjadi Khalifah.
Selanjutnya ketika mulai terjadi konflik politik, yang memicu munculnya firqah
di kalangan kaum muslimin ; Syi’ah, Murji’ah dan Jama’ah, dan pada gilirannya
mendorong timbulnya periwayatan yang dimanipulasi, dipalsukan dan
direkayasa, maka para ulama bangkit untuk membendung pemalsuan dan
menjaga kemurnian hadits Nabi. Dari usaha ini, terbentuklah teori-teori
tentang periwayatan. Keharusan menyertakan sanad menjadi bagian penting
yang dipersyaratakan dalam setiap periwayatan. Hal ini telah dilakukan antara
lain oleh Ibnu Syihab al-Zuhri ketika menghimpun hadits dari para ulama.
Ketika para ulama hadits membahas tentang kemampuan hafalan / daya
ingat para perawi (dhabit), membahas bagaimana system penerimaan dan
penyampaian yang dipergunakan (tahammul wa ada’ al-hadits), bagaimana
cara menyelesaikan hadits yang tampak kotradiktif, bagaimana memahami
hadits yang musykil dan sebagainya, maka perkembangan ilmu hadits semakin
meningkat. Ketika Imam al-Syafi’i (wafat 204 H) menulis kitab al-Risalah,
sebenarnya ilmu hadits telah mengalami perkembangan lebih maju, sebab di
dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-kaidah tentang periwayatan, hanya
saja masih bercampur dengan kaidah ushul fiqih. Demikian pula dalam kitab al-
Umm. Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara
menyelesaikan haadits-hadits yang bertentangan, tetapi masih bercampur
dengan fiqih. Artinya ilmu hadits pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya,
tetapi masih belum terpisah dengan ilmu lain, belum menjadi disiplin ilmu yang
berdiri sendiri.
Sesudah generasi al-Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu
hadits, misalnya Ali bin al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu
Qutaibah (wafat 276 H ) menyusun kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Imam
Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya, Al-Turmudzi menulis al-Asma’ wa
al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Thabaqat al-Kubra. Demikian pula al-
Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Dlu’afa’. Dengan
banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu
hadits pada abad III H ini, maka dapat difahami mengapa abad ini disebut
sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits, walaupun tulisan yang ada belum
membahas ilmu hadits secara lengkap dan sempurna.
Penulisan ilmu hadits secara lebih lengkap baru terjadi ketika Al-Qadli Abu
Muhammad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmudzi (wafat 360 H)
menulis buku Al-Muhaddits al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i. Kemudian
disusul al-Hakim al-Naisaburi (wafat 405 H) menulis Ma’rifatu Ulum al-
Hadits,al-Khathib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-
Syaikh wa al-Sami’, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayat dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi
wa Adab al-Sami’.
f. Ilmu Gharibul-Hadits
Yaitu ilmu (pengetahuan) untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matan-
matan hadits yang sulit lagi sukar difahami disebabkan karena jarang sekali
digunakan.
Dari ta’rif (definisi) diatas, nyata bagi kita bahwa obyek dari ilmu gharibul
hadits adalah kata-kata yang musykil (sukar) dan susunan kalimat yang sulit
difahami maksudnya. Hal ini dimaksudkan agar orang tidak menafsirkan secara
menduga-duga dan mentaqlidi pendapat orang yang bukan ahlinya.[12]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
A. Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan
Hadits Nabi SAW.
B. Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara
periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadits Nabi SAW.
Objek kajiannya adalah Hadits Nabi SAW dari segi periwayatan dan
pemeliharaannya.
C. Ilmu Hadits Dirayah adalah ilmu yang mempelajari tentang kumpulan kaidah-
kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marwi dari
segi di terima atau di tolaknya. Rawi adalah orang yang menyampaikan Hadits
dari satu orang kepada yang lainnya; Marwi adalah segala sesuatu yang
diriwayatkan, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW atau
kepada Sahabat dan Tabi`in. Ilmu Hadits Dirayah inilah yang selanjutnya
disebut dengan Ulumul Hadits.
D. Cabang-cabang Ulumul Hadits diantaranya adalah:
a. Ilmu Rijalul Hadits
b. Ilmu Tarikh Rijal Al-Hadits
c. Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil
d. Ilmu Mukhtalif al-Hadits
e. Ilmu `Ilalil Hadits
f. Ilmu Gharibul-Hadits
g. Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
h. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits (sebab-sebab munculnya Hadits)
i. Ilmu Mushthalah Hadits
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Manna Al-Qaththan. PENGANTAR STUDI ILMU HADITS. 2005. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar
Warsito, Lc. PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH. 2001. Bogor : LPD Al Huda
[3] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman
10
[7] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman
45
[9] Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta, halaman 82-83
[10] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman
118
[12] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman
117
[13] Warsito, Lc, PENGANTAR ILMU HADITS UPAYA MEMAHAMI SUNNAH, 2001, Bogor, halaman
118