Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak masa klasik, dinamika pemikiran dan gerakan islam selalu dipengaruhi oleh
konfigurasi politik penguasa. Artinya ada pemikiran dan gerakan menjadi ”mazhab”
penguasa dan sebaliknya, ada yang dilarang bahkan dibrangkus dega menjaga “stabilitas”.
Mengamati dinamika pemikiran dan gerakan islam di Indonesia sangat menarik karena
ada sejumlah paradoks dan gesekan yang cukup tajam terutama pasca reformasi sehingga
dengan bergulirya era reformasi membutuhkan pembacaan ulang terhadap pemikiran dan
gerakan islam indonesia, karena berbagai pemikiran dan gerakan islam yang pada
mulanya terbungkam oleh kekuatan orde baru kembali muncul dan berusaha
membangkitkan kembali romantisme masa lalu. Dari sinilah muncul berbagai kekuatan
pemikiran dan gerakan islam, baik islam politik maupun islam kultural sehingga
membentuk farien yang sangat beragam. Berbagai farian pemikiran dan gerakan
keislaman diindonesia sebenarnya bisa ditelusuri akar-akarnya secara jelas sehingga dapat
dipetakkan menjadi dua arus peikiran yang sangat dominan yakni literalisme dan
liberalisme.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Pengertian Islam secara bahasa artinya damai, selamat, tunduk, dan bersih. Kata
Islam terbentuk dari tiga huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim) yang bermakna dasar
“selamat” (Salama). Sedangkan Kontemporer artinya dari masa atau waktu ke waktu.
Menurut istilah, islam kontemporer adalah gagasan untuk mengkaji islam sebagai
nilai alternatif baik dalam perspektif interprestasi, tekstual maupun kajian kontekstual
mengenai kemampuan islam memberikan solusi bari kepada temuan-temuan disemua
dimensi kehidupan dari masa lampau hingga sekarang.
Di dalam memahami ‘aqidah Islam baik dengan berdialog dan berdiskusi banyak ragam
metode yang dipakai oleh semua aliran ‘aqidah di dalam Islam, diantaranya aliran
Mu’tazillah yang menempuh dengan metode falsafi yang ditiru dari logika Yunani.
Dalam penggunaan metode ini mereka juga didampingi oleh Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah.Kaum salaf datang menentang penggunaan metode tersebut dan
menginginkan agar pengkajian ‘aqidah kembali pada prinsip-prinsip yang dipegang oleh
para sahabat dan tabi’in. Mereka mengambil prinsip-prinsip ‘aqidah dan dalil-dalil yang
mendasarinya al-Qur’an dan Sunnah, serta melarang ulama untuk mempertanyakan dalil-
dalil al-Qur’an.
Ibnu Taimiyah yang merumuskan metode pemahaman ini membagi ulama dalma
memahami ‘aqidah Islam ke dalam empat kategori, yaitu:
2. Para pakar ilmu Kalam, yaitu Mu’tazilah. Mereka mengemukan berbagai kesimpulan
yang rasional sebelum mengadakan penalaran terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Mereka
berpegang pada dua argumentasi tetapi mendahulukan rasional daripada al-Qur’an.
mereka menta’wilkannya sesuai dengan tuntutan akal, sekalipun mereka tidak keluar dari
‘aqidah al-Qur’an.
3. Ulama yang mengadakan penalaran terhadap ‘aqidah yang terdapat di dalam al-Qur’an
untuk diimani, dan dalil-dalil yang terkandung di dalamnya untuk digunakan. Dalil-dalil
itu digunakan bukan karena merupakan dalil yang memberikan petunjuk dan bimbingan
yang mengarahkan akal untuk berbagai premis disekitarnya, melainkan karena merupakan
sejumlah ayat formatif yang isinya wajib diimani, tanpa menjadikannnya sebagai premis
bagi istinbath ‘aqli. Ibnu Taimiyah meletakkan Maturidiyah pada kategori ini, karena
Maturidiyah mempergunakan akal untuk memahami ‘aqidah yang terdapat dalam al-
Qur’an.
4. Kelompok yang beriman kepada al-Qur’an, baik ‘aqidah maupun dalilnya, tetapi
mempergunakan dalil rasional di samping dalil al-Qur’an itu. Ibnu Taimiyah
memasukkan Asy’ariyyah ke dala kategori ini. Setelah pembagian ini Ibnu Taimiyah
menegaskan bahwa metode Salaf bukanlah salah satu dari empat kategori di atas, karena
‘aqidah dan dalilnya hanya dapat diambil dari nash. Mereka itulah kelompok yang tidak
percaya pada akal, sebab akal dapat menyesatkan. Mereka hanya percaya pada nash dan
dalil-dalil yang diisyaratkan dari nash, sebab ia merupakan wahyu yang diturunkan
kepada Nabi. Mereka juga menegaskan bahwa berbagai pola pemikiran rasional itu
merupakan hal yang baru dalam Islam yang tidak pernah dikenal secara pasti di kalangan
para sahabat dan tabi’in. bila kita mengatakan bahwa metode rasional merupakan
kebutuhan primer untuk memahami ‘aqidah Islam, maka konsekuensinya kaum Salaf itu
tidak dapat memahami ‘aqidah sesuai dengan yang diharapakan dan tidak dapat
menjangkau dalil-dalil nash secara optimal. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Salaf
berpendapat bahwa tidak ada jalan untuk memahami ‘aqidah dan hukum-hukum dan
segala sesuatu yang berhubungan dengannya, baik dari segi i’tiqad maupun istidal-nya
kecuali dari al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskannnya. Apa yang ditegaskan al-
Qur’an dan diterangkan oleh Sunnah harus diterima, tidak boleh tidak boleh ditolak guna
menghilangkan keragu-raguan. Akal manusia tidak mempunyai otoritas dalam
menta’wilkan al-Qur’an, meng-interpretasikan-nya, atau men-takhrij-nya, kecuali sekedar
yang ditunjukkan oleh berbagai susunan kalimat al-Qur’an dan yang terkandung dalam
berbagai hadis. Bila sesudah itu akal mempunyai otoritas, maka hal itu hanya berkenaan
dengan pembenaran dan kesadaran, menegaskan kedekatan hal yang manqul (tersebut
dalam dalil naqli) dengan yang rasional, dan tidak ada pertentangan antara keduanya.
Akal hanya menjadi bukti, bukan pemutus. Ia menjadi penegas dan penguat, bukan
pembatal atau penolak. Ia menjadi penjelas terhadap dalil-dalil yang terkandung dalam al-
Qur’an. Inilah metode Salaf, yaitu menempatkan akal berjalan di belakang dalil naqli,
mendukung dan menguatkannya. Akal tidak berdiri sendiri untuk dipergunakan menjadi
dalil, tetapi ia mendekatkan makna-makna nash.
Saat ini, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Islam
masuk ke wilayah Nusantara tergolong paling akhir dibandingkan dengan kawasan lainnya
seperti Persia, Asia Tengah dan Eropa. Paham keagamaan yang diajarkan dan kemudian
dianut oleh mayoritas penduduk adalah ahlus sunnah waljamaah, sebuah paham moderat.
Secara harfiyah, ahlu sunnah wal jama’ah adalah penganut sunnah, tradisi atau kebiasaan
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan kesepakatan para ulama. Watak moderasi
(washatiyah) yang dimiliki oleh faham ini baik dalam sistem keyakinan (aqidah), syari’ah
maupun praktik akhlak/tasawuf sesuai dengan corak kebudayaan masyarakat
Indonesia.Dinamika perkembangan ahlu sunnah wal jama’ah (Aswaja), awalnya dinilai
akomodatif terhadap tradisi lama (local tradition), kemudian berkembang mengikuti trend
pemurnian (puritanisme) sehingga corak Islam terlihat semakin murni dari unsur-unsur
lokal. Pemurnian ajaran ASWAJA dari anasir lokal dan tradisi lama dimulai dengan apa
yang disebut organisasi dan gerakan modernis, yang tetap bersandar pada kaidah berfikir
madzhab ahlu sunnah wal jamaah. Kelangsungan dan perubahan pemahaman dan
perubahan paham Aswaja berjalan damai, kecuali dalam beberapa kasus seperti
pertentangan antara “kaum tua” versus “kaum muda” di awal abad ke XX dan radikalisme
serta terorisme di awal abad XXI. Sejarah Indonesia dimulai sejaknya tumbuhnya
kesadaran sebagai bangsa terjajah dan berkeinginan untuk merdeka, bebas dari dominasi
bangsa lain. Kesadaran tersebut dimulai sejak kehadiran bangsa-bangsa Barat pada abad
16 yang kemudian mendapat perlawaan dari Kesultanan Samodra Pasai dan Demak di
Malaka pada tahun 1511. Perlawanan terhadap Barat terus berlangsung sampai tercapainya
kemerdekaan. Sejumlah tokoh perlawanan muncul dari Aceh sampai Sulawesi. Sultan
Hasanudin (Sulawesi), Sultan Agung (Mataram), Sultan Ageng Tirtoyoso (Banten), Sultan
Badarudin (Palembang), Pangeran Diponegoro (Jawa), Imam Bonjol (Sumatera) Teuku
Umar, Cut Nyak Dien, Teuku Cik Di Tiro (Aceh). Penderitaan sebagai bangsa terjajah
inilah yang melahirkan semangat nasonalisme bagi bangsa Indonesia. Perjuangan untuk
mencapai kemerdekaan mengalami perubahan strategi, dari perlawanan fisik ke politik.
Lagi-lagi umat Islam menjadi pelopornya, peraang digantikan dengan gerakan social,
ekonomi dan politik. Dimulai dengan gerakan Sarikat Dagang Islam pada tahun 1905 yang
kemudian berubah menjadi gerakan politik, Syarikat Islam (1912).Gerakan social
pendidikan dimulai oleh Muhammadiyah (1912), dan pada tahun 1926 lahir Nahdhatul
Ulama. Organisasi Islam lainnya juga bergerak dalam bidang social dan pendidikan
tersebar di berbagai wilayah. Mathla’ul Anwar (Banten,1916), Perikatan Umat Islam (PUI)
sebelumnya bernama Persyarikatan Oelama pada tahun 1916. Persatuan Islam (Bandung,
1923), Persatuan Tarbiyah Islamiyah ( Sumatera Barat, 1930), Al Khairat (Palu, Sulawesi,
1930) dan Al Jamaatul Wasliyah ( Medan, 1930) dan Nahdhatul Wathan (Nusa
TenggaraBarat, 1937). Organisasi Islam yang berdiri pada era colonial tersebut sampai
sekarang masih berkembang adalah penganut paham washatiyah (moderat) atau yang
disebut Ahus Sunnah wal Jama’ah. Organisasi politik satu-satunya, Syarikat Islam
memiliki corak radikal, terutama setelah diinfiltrasi oleh kelompok sosialis democrat yang
kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia. Setelah diterapkan disiplin
partai, kaum komunis dikeluarkan dari Syarikat Islam, gerakan politik umat kembali ke
jalan moderat.
3. Islam Liberal
Prometheus versi islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak TuhanIni
jelas suatu citraan yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Penyembahan adalah
sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku dan
dia”.Allah dalam keranka penyembahan semacam itu, telah “di bendakan”. Allah yang di
sembah adalah Allah yang di berhalakan, yang di fiksasi dalam gambaran yang tetap
seperti “Idol”.Kata libebral dalam “Islam Liberal” tidak ada sankut pautnya dengan
‘kebebasan tanpa batas”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada
masa modern (abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat
agresif yang berkembang dengan metodo pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an
dan peradaban Islam.
Manuia adalah menyembah Tuhan.Pandangan ini bersumber dari pemahan yang salah
atas ayat “wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liyak’budun”.Dan tidak Aku ciptakan
manusia kececuali untuk menyembah-Ku.ayat ini jika di pahami dalam keranka popoler
yang cendrung anti-humanistik, yang tidak lain agama itu dalah penundukan
manusia.manusia seolah-olah ancaman bagi tuhan sehingga harus di
tundukan.Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan
Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno.Pandangan popular yang berkembang di
kalangan umat islam mengenai ayat tersebut cendrung kepada suatu citra manusia
sebagaui Prometheus.
DAFTAR PUSTAKA
Mu’arif. 2005. Muslim Liberal (Membidik Pemikiran Ahmad Wahib). Yogyakarta : Tajidu
Press
Syamsuddin Arif. 2008. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta : Gema Insani Pres
Akhmal. Kapita Selekta Pendidikan Islam (Palembang IAIN Raden Patah Press.2005)