3. Pendekatan Ilmiah
Yang dimaksud pendekatan ilmiah adalah meninjau dan
menganalisis suatu permasalahan atau objek studi
dengan menggunakan metode ilmiah pada umumnya.
Diantara ciri pokok dari pendekatan ilmiah adalah
terjaminnya objektifitas dan keterbukaan dalam studi.
Objektifitas suatu studi akan terjamin jika kebenarannya
bisa dibuktikan dan didukung oleh dat empiris, konkret,
dan rasional. Sedangkan keterbukaan suatu studi terjadi
jika kebenaran bisa dilacak oleh siapa saja. Disamping
itu,pendekatan ilmiah selalu siap dan terbuka menerima
kritik terhadap kesimpulan studinya.
4. Pendekatan Doktriner
Adapun pendekatan doktriner atau pendekatan studi
islam secara konvensioanal merupakan pendekatan studi
di kalangan umat islam yang berlangsung adalah bahwa
agama islam sebagai objek studi diyakini sebagai sesuatu
yang suci dan merupakan doktrin-doktrin yang berasal
dari illahi yang mempunyai nilai (kebenaran) absolut,
mutlak dan universal. Pendekatan doktriner juga
berasumsi bahwa ajaran islam yang sebenarnya adalah
ajaran islam yang berkembang pada masa salaf yang
menimbulkan berbagai mazhab keagamaan,baik teologis
maupun hukum-hukum atau fiqih,yang kemudian di
anggap sebagai doktrin-doktrin yang tetap dan baku.[7]
5. Pendekatan Normatif
Maksud pendekatan normative adalah studi islam yang
memandang masalah dari sudut legal formal dan atau
normatifnya. Maksud legal formal adalah hubungannya
dengan halal dan haram, boleh atau tidak dan sejenisnya.
Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandug
dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif
mempunyai cakupan yang sangat luas. Sebab seluruh
pendekatan yang digunakan oleh ahli ushul fiqih (usuliyin),
ahli hukum islam (fuqoha), ahli tafsir (mufassirin), dan ahli
hadist (muhadditsin) yang berusaha menggali aspek legal-
formal dan ajaran islam dari sumbernya adalah ternasuk
pendekatan normatif.[8]
Kelima pendekatan tersebut dimaksudkan bukanlah
sebagai pendekatan-pendekatan yang dilaksanakan
secara terpisah satu dengan yang lainnya, melainkan
merupakan satu kesatuan sistem yang dalam
pelaksanaannya secara serempak yang satu melengkapi
lainnya (complement) atau merupakan system
pendekatan system (systemic approach) .
Dalam hubungannya dengan Studi Islam, metodologi
berarti membahas kajian-kajian seputar berbagai macam
metode yang bisa digunakan dalam Studi Islam.
Adapun metode studi islam secara lebih rinci dapat
dijabarkan sebagai berikut :
1. Metode Ilmu Pengetahuan
Metode ilmu peuju pengetahuan atau metode ilmiah yaitu
cara yang harus dilalui oleh proses ilmu sehingga dapat
mencapai kebenaran. Oleh karenanya maka dalam sains-
sains spekulatif mengindikasikan sebagai jalan menuju
proposisi-proposisi mengenai yang ada atau harus ada,
sementara dalam sains-sains normative mengindikasikan
sebagai jalan menuju norma-norma yang mengatur
perbuatan atau pembuatan sesuatu.
2. Metode Diakronis
Suatu metode mempelajari islam menonjolkan aspek
sejarah. Metode ini memberi kemungkinan adanya studi
komparasi tentang berbagai penemuan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dalam islam, sehinggga
umat islam memiliki pengetahuan yang relevan, hubungan
sebab akibat dan kesatuan integral. Metode diakronis
disebut juga metode sosiohistoris, yakni suatu metode
pemahaman terhadap suatu kepercayaan, sejarah atau
kejadian dengan melihat suatu kenyataan yang
mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat,
kebudayaan, golongan, dan lingkungan dimana
kepercayaan, sejarah atau kejadian itu muncul.
3. Metode Sinkronis-Analistis
Suatu metode mempelajari islam yang memberikan
kemampuan analisis teoritis yang sangat berguna bagi
perkembangan keimananan dan mental intelek umat
islam. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi
aplikatif praktis, tetapi juga mengutamakan telaah teoritis.
4. Metode Problem Solving (hill al-musykilat)
Metode mempelajari islam yang mengajak pemeluknya
untuk berlatih menghadapi berbagai masalah dari satu
cabang ilmu oengetahuan dengan solusinya. Metode ini
merupakan cara penguasaan ketrampilandari pada
pengembangan mental-intelektual, sehingga memiliki
kelemahan, yakni perkembangan pemikiran umat islam
mungkin hanya terbatas pada kerangka yang sudah tetap
dan akhirnya bersifat mekanistis.
5. Metode Empiris
Suatu metode mempelajari islam yang memungkinkan
umat islam mempelajari ajarannya melalui proses
realisasi, dan internalisasi norma dan kaidah islam dengan
satu proses aplikasi yang menimbulakan suatu interaksi
sosial, kemudian secar deskriptif proses interaksi dapat
dirumuskan dan suatu norma baru.
6. Metode Deduktif (al-Manhaj al-Isthinbathiyah)
Suatu metode memahami islam dengan cara menyusun
kaidah secar logis dan filosofis dan selanjutnya kaidah itu
diaplikasikan untuk menuntukan masalah yang dihadapi.
Metode ini dipakai untuk sarana meng-istinbatkan hukum-
hukum syara’, dan kaidah-kaidah itu benar bersifat
penentu dalam masalah-masalah furu’tanpa
menghiraukan sesuai tidaknya dengan paham
mazhabnya.
d
Studi Al-Qur’an (Pendekatan Filologi dan History)
A. PENDEKATAN FILOLOGI
Secara etimologis, filologi berasal dari dua kata
dalam bahasa Yunani, yaitu philos yang berarti ‘cinta’ dan
logos yang berarti ‘kata’. Dengan demikian, kata filologi
membentuk arti ‘cinta kata’ atau ‘senang bertutur’ (Shipley
dalam Baroroh-Baried, 1985: 1). Arti tersebut kemudian
berkembang menjadi ‘senang belajar’, dan ‘senang
kasustraan atau senang kebudayaan’ (Baroroh-Baried,
1985: 1).[1]
Pendekatan filologi atau literal dalam studi
Islam meliputi metode tafsir sebagai pendekatan filologi
terhadap alqur’an dalam menggali makna yang
dikandungnya, pendekatan filologi terhadap hadits atau
sunnah Rasul dan pendekatan filologi terhadap teks-teks
klasik (hermeneutika) yang merupakan refleksi
kebudayaan kuno dalam tulisan-tulisan para intelek di
masanya.
Filologi selama ini dikenal sebagai ilmu yang
berhubungan dengan karya
masa lampau yang berupa tulisan. Studi terhadap
karya tulis masa lampau
dilakukan karena adanya anggapan bahwa dalam peni
nggalan aliran terkandung nilai-
nilai yang masih relevan dengan kehidupan masa
kini.
B. PENDEKATAN HISTORY (SEJARAH)
Ditinjau dari sisi etimologi, kata sejarah berasal
dari bahasa Arab syajarah (pohon) dan dari
kata history dalam bahasa Inggris yang berarti cerita atau
kisah. Kata history sendiri lebih populer untuk menyebut
sejarah dalam ilmu pengetahuan. Jika dilacak dari
asalnya, kata history berasal dari bahasa
Yunani istoria yang berarti pengetahuan tentang gejala-
gejala alam, khususnya manusia.
Melalui pendekatan ini, seseorang diajak
untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan
dengan penerapan suatu peristiwa. Pendekatan sejarah
ini amat diperlukan dalam memahami Al-Qur’an karena Al-
Qur’an itu turun dalam situasi konkrit, bahkan berkaitan
dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan
ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam
terhadap agama yang dalam, hal ini Islam menurut
pendekatan sejarah ketika ia mempelajari Al Qur’an
sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya
kandungan Al Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian,
yaitu; konsep dan kisah sejarah.
Pendekatan historis ini adalah suatu
pandangan umum tentang pandangan metode pengajaran
secara suksesif sejak dulu sampai sekarang.[2]Menurut
Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama
bersifat normatif. Sejarah itu empiris karena bersandar
pada pengalaman manusia. Sedangkan ilmu agama
dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur
empirisnya, melainkan normatiflah yang menjadi rujukan.
Jika pendekatan sejarah bertujuan untuk
menemukan hal-hal berkenaan Al-Qur’an dengan
menelusuri sumber-sumber sejarah, maka pendekatan ini
bisa didasarkan kepada personal historis. Pendekatan
semacam ini berusaha untuk menelusuri awal
perkembangan turunnya Al-Qur’an, untuk menemukan
sumber-sumber dan jejak perkembangan Al-Qur’an, serta
mencari pola-pola interaksi antara agama dan
masyarakat. Pendekatan sejarah pada akhirnya akan
membimbing ke arah pengembangan teori tentang evolusi
agama dan perkembangan kelompok-kelompok
keagamaan.[3]
Bersamaan dengan pendekatan filologis,
pendekatan kesejarahan juga sangat dominan dalam
tradisi kajian islam modern. Kajian terhadap naskah-
naskah klasik keislaman telah merangsang mereka untuk
mengoperasikan pendekatan kesejarahan berdasarkan
dokumen-dokumen yang telah ada.
Berikut ini ada beberapa tema yang akan
dibahas yeng bersangkutan dengan pendekatan histories.
2. Pengertian Al-Qur’an
Al-Quran adalah firman atau wahyu yang berasal
dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan
perantara melalui malaikat jibril sebagai pedoman serta
petunjuk seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan
lokasi. Alquran adalah kitab Allah SWT yang terakhir
setelah kitab taurat, zabur dan injil yang diturunkan
melalui para rasul.
"Quran" memiliki arti mengumpulkan dan
menghimpun. Qira’ah berarti merangkai huruf-huruf dan
kata-kata satu dengan lainnya dalam satu ungkapan kata
yang teratur. Al-Qur’an asalnya sama dengan qira’ah,
yaitu akar kata (masdar-infinitif) dari qara’a, qira’atan wa
qur’anan.[5] Allah menjelaskan di dalam Al Qur’an sendiri,
ada pemakaian kata "Qur’an" dalam arti demikian
sebagai tersebut dalam ayat 17, 18 surah (75) Al
Qiyaamah:
Nita Bonita
Makalah Studi Al-Qur'an dan Studi Al-HAdist
PEMBAHASAN
3. Kodifikasi Al-Quran
Yang dimaksud dengan kodifikasi Al-Qur’an (jam’ul
Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua
pengetian berikut: (Al-qathtan, 2006).
Pertama, Pengumpulan dalam arti hafazhahu
(menghafalnya dalam hati). Jumma’ul Qur’an artinya
huffazuhu (para penghafalnya, yaitu orang-orang yang
menghafalkannya di dalam hati).
Kedua, pengumpulan dalam arti Kitabuhu Kullihi
(penulisan Al-Qur’an semuannya) baik dengan
memisahkan-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau
menertibkan ayat-ayatnya semata dan setiap surat ditulis
dalam satu lembaran yang terpisah, ataupun menertibkan
ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran
yang terkumpul yang menghimpun semua surat,
sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
Al-Quran turun kepada nabi Muhammad SAW. Tidak
sekaligus dia turun secara berangsur-angsur dalam
jangka waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari. Urutan
turunnyapun tidak sebagaimana susunan yang ada
sekarang, tetapi ia turun terpisah-pisah. Ayat-ayat yang
turun itu ada kalanya karena suatu sebab (Asabab An-
nuzul), tetapi adakalanya tanpa suatu sebab apapun, dan
yang terakhir inilah banyak terjadi.
Setiap kali turun ayat baru, Rasul langsung
memerintahkan para sahabatnya untuk menghapalkanya,
kemudian mencatatnya, diatas lembaran yang tersedia
pada saat itu seperti pelapa kurma, batu-batu tipis,
dedaunan dan kulit binatang. Setelah mencatatnya
mereka menyusunya, disesuaikan dengan ayat-ayat yang
turun sebelumnya berdasarkan petunjuk rosul, kemudian
menyimpanya dirumah rosul sendiri. Beliau mempunyai
beberapa sahabat yang ahli dan khusus untuk mencatat
dan memelihara seluruh wahyu yang turun, juga
senantiasa mengadakan persesuaian bacaaan dengan
jibril serta selalu mengadakan kontrol bacaan sahabatnya
(Yusuf, 2003).