2. Pada awalnya wilayah Turki dikuasai oleh Kekaisaran Romawi Timur, sebuah kerajaan
pada masa awal abad Masehi. Kerajaan Bizantium ini dikuasai oleh kerajaan Romawi
selama kurang lebih 4 abad.
Pada tahun 395 Kekaisaran Romawi terpecah dua, Romawi Barat dan Romawi Timur.
Kemudian di tangan kerajaan Romawi timur, Bizantium itu kemudian diubah namanya
menjadi Konstantinopel dan dijadikan ibu kota. Sebaliknya Romawi Barat kala itu jatuh
ke kekuasaan barbar (Goth) sekitar tahun 476 M.
Kemudian pada abad ke dua belas, wilayah Konstantinopel ini kemudian dikuasai oleh
Kesultanan Utsmaniyah. Yang pada saat penaklukannya itu dipimpin oleh Muhammad
al-Fatih. dan menurut sejarah pada masa raja inilah masa keemasan Kerajaan Turki
Ottoman karena ditopang oleh rasa keagamaan Islam yang kental. Istanbul kemudian
menjadi ibu kota Turki Usmani.
Era Utsmaniyah
Sunting Pada tahun 1453 saat Kesultanan Utsmaniyah mulai berkuasa di Turki, Islam
makin dominan di Turki. Gereja-gereja di Turki yang merupakan peningalan Bizantium
termasuk Hagia Sophia banyak diubah menjadi masjid. Islam menjadi sangat dominan
hingga tahun 1920an
Era modern
Saat Kesultanan Utsmaniyah runtuh dan diteruskan oleh Republik Turki pada 1923,
Islam menjadi sedikit mundur karena perubahan Turki dari kesultanan menjadi negera
sekuler.
Pada masa Reformasi Turki pada 1945, setelah peringanan kontrol politik otoriter pada
tahun 1946, banyak orang mulai memanggil secara terbuka untuk kembali ke praktik
keagamaan tradisional. Selama tahun 1950-an, bahkan pemimpin politik tertentu
merasa bijaksana untuk bergabung dalam advokasi para pemimpin agama untuk
menghormati agama. Para reintroduksi agama ke dalam kurikulum sekolah
mengangkat masalah pendidikan tinggi agama. Para elit sekuler, yang cenderung tidak
percaya para pemimpin agama tradisional, percaya bahwa Islam bisa "direformasi" jika
pemimpin masa depan telah dilatih dalam seminari yang dikontrol pemerintah. Untuk
mewujudkan tujuan ini, pemerintah pada tahun 1949 mendirikan sebuah fakultas
keilahian di Universitas Ankara untuk melatih guru Islam dan imam. Pada tahun 1951
pemerintah mendirikan Partai Demokrat sekolah menengah khusus (imam hatip
okulları) untuk pelatihan imam dan pendeta. Awalnya, sekolah imam hatip tumbuh
sangat lambat, tetapi jumlah mereka berkembang pesat menjadi lebih dari 250 pada
tahun 1970-an, ketika pro-Islam Partai Keselamatan Nasional berpartisipasi dalam
pemerintahan koalisi. Setelah kudeta 1980, militer, meskipun sekuler dalam orientasi,
agama dilihat sebagai cara yang efektif untuk melawan ide-ide sosialis dan dengan
demikian dasar pembangunan sembilan puluh imam hatip lebih sekolah tinggi.
Selama tahun 1970-an dan 1980-an, Islam mengalami semacam rehabilitasi politik
karena para pemimpin sekuler kanan-tengah menganggap agama sebagai benteng
potensi dalam perjuangan ideologis mereka dengan pemimpin sekuler kiri-tengah.
Sebuah kelompok advokasi kecil yang menjadi sangat berpengaruh adalah Hearth
Cendekiawan, sebuah organisasi yang menyatakan bahwa budaya Turki benar
merupakan sintesis tradisi Turki 'pra-Islam dan Islam. Menurut Hearth, Islam tidak
hanya merupakan suatu aspek penting dari budaya Turki tetapi adalah kekuatan yang
dapat diatur oleh negara untuk membantu mensosialisasikan orang-orang untuk
menjadi patuh warga sepakat untuk tatanan sekuler secara keseluruhan. Setelah
kudeta militer 1980, banyak usulan Hearth untuk restrukturisasi sekolah, perguruan
tinggi, dan penyiaran negara diadopsi. Hasilnya adalah pembersihan dari lembaga-
lembaga negara lebih dari 2.000 intelektual dirasakan sebagai mengemban ide-ide kiri
tidak sesuai dengan visi Hearth tentang kebudayaan nasional Turki.
Meskipun tarikah (istilah ini kadang-kadang dapat digunakan untuk mengacu pada
setiap 'kelompok atau sekte' yang beberapa di antaranya bahkan mungkin tidak
Muslim) telah memainkan peran mani dalam kebangkitan agama Turki dan di
pertengahan 1990-an masih terbit beberapa negara yang paling beredar luas jurnal
keagamaan dan surat kabar, sebuah fenomena baru, İslamcı aydın (intelektual Islam)
yang tidak berafiliasi dengan perintah Sufi tradisional, muncul selama tahun 1980-an.
Para penulis produktif dan populer seperti Ali Bulaç, Rasim Özdenören, dan İsmet Özel
mengambil dari pengetahuan mereka tentang filsafat Barat, sosiologi Marxis, dan teori
politik Islam radikal untuk melakukan advokasi perspektif Islam modern yang tidak
ragu-ragu untuk mengkritik penyakit masyarakat asli sedangkan secara bersamaan
tetap setia kepada nilai-nilai etika dan dimensi spiritual agama. Intelektual Islam
mengkritik keras para intelektual sekuler Turki, yang mereka salahkan karena mencoba
melakukan di Turki apa yang dilakukan oleh para intelektual Barat di Eropa:
menggantikan materialisme duniawi, dalam versi kapitalis atau sosialis, untuk nilai-
nilai agama.
Kemudian Abduh juga mengemukakan tentang kurikulum di sekolah yang terdiri dari :
(a) Untuk tingkat sekolah dasar, membaca, menghitung, menulis, dan pelajaran agama
dengan memberikan materi aqidah, akhlak, fiqh, dan sejarah Islam, (b) Untuk tingkat
menengah : manthiq dan dasar penalaran, (c) Untuk tingkat atas : tafsir, hadist,
bahasa,dll. Selanjutnya Abduh juga memberikan metode pengajaran. Abduh lebih
menekankan pada pemahaman para murid atau siswa di setiap pelajaran yang
diberikan. Ia senantiasa mengingatkan ke para guru agar tidak mengajar siswa dengan
metode hafalan. Karena, alasannya akan merusak daya nalar.
4. K.H. Hasyim Asy’ari (Hadratussyekh) sendiri tidak hanya terkenal sebagai “muasas”
terbentuknya ponpes Tebu Ireng dan organisasi Nahdathul Ulama. Tapi ia juga terkenal
sebagai Kyai yang mampu membangun pesantrennya sekaligus memiliki andil dalam
peran politik kenegaraan. Beliau lahir di Jombang pada 14 Februari 1871 dan
meninggal pada 21 Juli 1994 di usianya yang menginjak 76 tahun.
Kyai Hasyim tidak hanya dihormati karena keteguhan pendiriannya, tetapi beliau juga
dihormati sebagai seorang patriot yang mencintai tanah airnya. Ia tanpa kenal lelah
mendidik santri-santrinya menjadi ahli agama sekaligus pejuang bangsa untuk merebut
kedaulatan dan kemerdekaan tumpah darahnya. Beliau bukan hanya melawan
kolonialisme dalam arti militer, tetapi juga kolonialisme kultural.
Menurut Wahid Hasyim, NU merupakan suatu perhimpunan orang tua yang bergerak
dengan lamban, tak terasa serta tak radikal dan revolusioner. Wahid Hasyim juga
melihat Nahdathul Ulama sangat miskin kaum terpelajar. Dan sangat sulit menemukan
akademisi di kalangan NU.
Sebagai organisasi islam berbasis tradisional, Nahdathul Ulama terlihat terlalu disiplin
dalam masalah agama dan moral. Tuntutan kepada anggotanya sepaya berdisiplin
menjalankan kewajiban agama dianggap menjadi momok yang menghalangi, terutama
pemuda untuk masuk Nahdathul Ulama.