Abstrak
Pendahuluan
Kebangkitan Islam merupakan isu yang sangat populer di dunia Islam sejak
awal abad ke-19. Isu ini berkelindan erat dengan perjuangan bangsa-bangsa di dunia
Islam untuk melepaskan diri dari hegemoni politik Eropa yang menjajah mereka. Saat
itu, masyarakat muslim memang sedang terpuruk, lawan kata dari bangkit. Kekalahan
demi kekalahan dialami oleh umat Islam yang ditandai dengan jatuhnya hamper
seluruh negeri Islam oleh bangsa Barat.
Di samping keterpurukan politik itu, perkembangan di Eropa yang berhasil
membebaskan diri dari pengaruh gereja telah mendorong renaissance yang membawa
mereka kepada kemajuan ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, dan lain-lain turut
membuka mata, untuk tidak mengatakan menginspirasi, para pemikir muslim untuk
melakukan upaya-upaya serupa pada masyarakat muslim. Mereka pun melakukan
berbagai upaya agar umat Islam bangun dari tidur panjangnya, dimulai dengan upaya-
upaya pendidikan, politis, hingga peninjauan ulang terhadap aspek teologis dan
pemahaman keagamaan.
Sejak saat itu, isu dan gerakan kebangkitan Islam terus bergulir dan berkembang
di dunia Islam. Gerakan ini berkembang dan melahirkan beragam corak gerakan
(termasuk di dalamnya pemikiran). Terkadang, gerakan-gerakan ini saling
bertentangan meskipun tujuannya sama, yaitu kebangkitan Islam.
Paham kebangkitan ini identik dengan modernisme dan upaya-upayanya
dikenal dengan istilah modernisasi, sebagai refleksi atas perkembangan di Eropa yang
memasuki masa ‘modern’ yang membawa kemajuan. Istilah lain yang dipakai sebagi
penggerak kebangkitan Islam antara lain adalah revivalisme (faham untuk mendapatkan
kebangkitan kembali), aktivisme (ajaran politik yang menganjurkan tidakan kekerasan untuk
mencapai tujuan politik), milienarisme, militansi Islam (kegiatan yang terpancar dari ketinggian
semangat berjuang, kegagahberanian di kalangan umat Islam), meseanisme, ressurgence
(kemunculan kembali, kebangkitan kembali dengan jumlah yang lebih banyak dari
sebelumnya), dan reassertion (penegakan kembali).
Chandra Muzaffar memandang bahwa ressurgence (kebangkitan) merupakan
istilah yang tepat. Baginya, kebangkitan yang didefinisikan sebagai ‘tindakan
membangkitkan kembali’ mempunyai pengertian-pengertian yang jelas. Pertama,
pandangan dari kaum muslim sendiri bahwa Islam menjadi penting kembali,
mendapatkan kembali prestise dan harga dirinya. Kedua, Islam dikaitkan dengan
kebenaran masa lalu, jalan yang ditempuh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat di
masa lalu itu mempengaruhi pemikiran umat Islam sekarang. Ketiga, Islam dipandang
sebagai alternative dan oleh karena itu dipandang sebagai ancaman bagi pandangan
hidup atau idiologi lain yang sudah mapan, khusunya idiologi Barat. Di antara istilah
lain, demikian lanjut Chandra Muzaffar, yang mendekati pengertian ‘resurgence’ di atas
adalah istilah “reassertion” dan revivalisme1
Dalam khazanah Islam, gerakan untuk membangkitkan dunia Islam ini lebih sering
disebut tajdid dan ishlah. Tajdid secara etimologi berasal dari kata jaddada yujaddidu yang
berarti menjadikan sesuatu baru. Sedangkan ishlah dari kata ashlaha yuslihu yang
maknanya memperbaiki. Terdapat juga istilah ‘nahdlah’-berasal dari kata nahadla
yanhadlu-yang secara etimologis berarti ‘bangkit’.
Metode Penelitian
1
Lilik Umi Hanik, Perspektif Neo Modernisme dan Neotradisionalisme atas Kebangkitan Islam: Studi
Perbandingan antara Pemikiran Fazlur Rahman dan Hossein Nashr, (Surabaya: SKI,1996) 17.
persoalan kebangkitan Islam dari data-data yang diperoleh dari beberapa tulisan atau
karya ilmiah yang telah ada. Di saming itu, dilakukan analisa untuk memperoleh
pemahaman yang komprehensif.
2
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) 589.
3
Zulkarnaini, “Dakwah Islam Era Modern”, Jurnal Risalah, Vol. 26, No. 3, September (2015) 151.
4
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press: 1998) 196.
5
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang, 1975) 9.
Sementara itu, menurut Nurcholish Madjid, modernisasi berarti cara, proses
transformasi perubahan, baik dari sikap dan mentalitas untuk menyesuaikan tuntunan
hidup dengan tuntunan hidup masa kini, guna terciptanya kebahagiaan hidup bagi
manusia. Modernisasi ini juga dapat diartikan sebagai gerakan, aliran atau usaha-
usaha yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin-doktrin tradisional, dan
menyesuaikannya dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. 6 Lebih jauh
Madjid menjelaskan bahwa modernisasi adalah suatu pemahaman yang diidentikkan
dengan pengertian rasionalisasi, karena rasionalisasi ini berarti suatu proses yang
mengubah pola dan tata cara berfikir yang bersifat tradisional (tidak akliah) menjadi
tata cara dan pola yang lebih maju dan modern (rasional)7
Dengan demikian, jika digabungkan kata Islam, maka modernisasi Islam adalah
sebuah gerakan, aliran dan paham yang ingin merekonstruksi dan mengoreksi kembali
nilai-nilai yang terkandung dalam Islam untuk dapat disesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan dan relevansi umat Islam di zaman modern ini.
Maryam Jamilah8 mengatakan modernisasi adalah suatu upaya untuk
menempatkan kembali nilai-nilai teologik tradisional dalam pandangan pemikiran
kontemporer. Ia berpendapat bahwa untuk menciptakan “Relevansi” antara agama
dengan kondisi-kondisi dan kebutuhan-kebutuhan modern, agama harus
menyesuaikan diri secara harmonis dengan norma-norma yang ada pada dunia
modern dan mampu menjelaskan kembali unsur-unsur yang ada dalamnya agar tetap
sejalan dengan tuntutan zaman.
Para cendekiawan muslim yang tidak menyukai kata ‘modernisasi’lebih memilih
istilah ‘tajdid’. Tajdid menurut Yusuf Abdullah Puar adalah kembali pada ajaran Islam
yang asli murni, seperti yang diwahyukan Allah swt (al Qur’an) dan yang disampaikan
Nabi Muhammad SAW serta yang dikerjakan oleh para sahabat dan ulama salaf yang
sesuai dengan ajaran al Qur’an dan al Hadits, dengan mempergunakan akal pikiran
dan dengan penyelidikan yang cermat, tidak bertaqlid. Sedangkan menurut Quraish
Shihab, tajdid yaitu usaha reaktualisasi ajaran karena perjalanan sejarah boleh jadi
menjadikan sebagian orang melupakan atau menyalahpahami ajaran agama. 9 Secara
sederhana, John O Voll, tajdid biasanya diterjemahkan sebagai “perubahan” yang
memiliki tujuan untuk menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek-praktek
dalam sejarah komunitas kaum muslim.10
6
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta; Yayasan Paramadina, 1992) 446.
7
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2013) 172.
8
Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme: Suatu Kajian Analitik (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
1994), 159.
9
Quraish Shihab, M.Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta:
Lentera Hati, 2008), hal 847
10
John O. Voll, “Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid dan Ishlah”, dalam John L.
Esposito (Ed.), Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses dan Tantangan (Jakarta: Rajawali Press, 1987), 21-42
Sementara itu, ishlah adalah menyelesaikan, penyelesaian pertentangan
(pendapat dan sebagainya) dengan cara damai. Kata ishlah tidak hanya dipahami dalam
arti mendamaikan antara dua orang atau lebih yang berselisih, melainkan dipahami
sesuai makna semantiknya dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran
terhadapnya. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalah diartikan sebagai antonim
dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat.
Sedangkan kata islah digunakan oleh Al-Quran dalam dua bentuk: Pertama ishlah yang
selalu membutuhkan objek; dan kedua adalah shalah yang digunakan sebagai bentuk
kata sifat. Sehingga, shalah dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada
sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan
kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga
tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan
nilai tersebut, dan hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah.
Syeikh Taqiyyudin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir memilih istilah nahdlah
atau kebangkitan. Kata nahdlah berasal dari nahadha-yanhadlu-nahdlan diartikan bangkit
dari sebuah tempat. Makna kata tersebut secara etimologis berbeda dengan makna
secara terminologis. Makna nahdlah menurut an-Nabhani adalah manakala manusia
mampu menjawab tiga pertanyaan pokok kehidupan, yaitu ada apa sebelum
kehidupan ini, untuk apa kehidupan ini, dan hendak kemana manusia setelah
kehidupan ini. Jawaban dari ketiganyanya adalah ada Tuhan di kehidupan sebelumnya
yang Maha Mengadakan segala, ada aturan dan petunjuk yang ditetapkan Tuhan untuk
manusia agar dapat memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan, serta akan ada hari
perhitungan setelah kehidupan ini berakhir. Ketiga jawaban dari persoalan-persoalan
ini akan menjadi landasan hidup manusia. Pemikiran cemerlang adalah kunci untuk
menjawab ketiga pertanyaan tersebut.
Ali Yafie, salah satu tokoh oragnisasi yang menggunakan nama ‘nahdlah’, yaitu
Nahdlatul Ulama memaknai tajdid sebagai berikut:
Tajdid merupakan upaya menerapkan norma-norma agama atas realitas sosial,
untuk memenuhi kebutuhan perkembangan masyarakat, dengan berpegang
pada dasar-dasar (ushul) yang sudah diletakkan oleh agama itu, melalui proses
pemurnian yang dinamis. Jadi tajdid yang kita maksudkan bukanlah berarti
mengganti ajaran-ajaran dan hukum-hukumnya yang bersifat mutlak,
fundamental, dan universal, yang sudah tertuang dalam ketentuan-ketentuan
yang otentik (qath’iyyat). Tetapi tajdid itu mempunyai ruang gerak yang cukup
luas dalam hal memperbarui cara memahami, menginterpretasi, mereformulasi
dan melakukan teo-passing atas ajaranajaran agama itu, yang berada di luar
wilayah qath’iyyat, yaitu ketentuanketentuan yang sifatnya dhanniyyat yang
menjadi wilayah kajian ijtihad.11
Meskipun tidak sama persis maknanya, namun antara modernisasi, ishlah, tajdid,
maupun nahdlah memiliki semagat dasar yang sama, yaitu terwujudnya kebangkitan
Islam. Dengan demikian, kebangkitan Islam dalam kebudayaan sebagaimana dicapai
pada masa-masa keemasannya diharapkan dapat tampil kembali dan sekaligus menjadi
tenaga penggerak bagi munculnya kejayaan budaya baru di masa depan dengan cara
menumbuhkan kembali semangat keagamaan, mendinamiskan stagnasi pemikiran dan
fikih, serta gerakan (harakah).
Corak/Tipologi
11
K. Ali Yafie, “Ijtihad: Adakah Suatu Kemestian?”, dalam Pesantren, Nomor 1/Vol. V/1988, 6
12
Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, terjemah Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1993), 126.
13
M. Dawam Raharjo, Kritik Nalar Kebangkitan Islam, Makalah pada Pengajian Komunitas Titik-Temu
Nurcholish Madjid Society dengan tema “Agama dan Krisis Indonesia Kontemporer: Sebab atau Solusi” pada
Hal serupa dikemukakan oleh Muhammad Jindar Tamimi yang mengatakan
bahwa tajdid terbagi dua karena sasarannya, yaitu: Pertama, berarti pembaharuan
dalam arti mengembalikan kepada keaslian dan kemurniannya, ialah bila tajdid
sasarannya mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap atau tidak
berubah-ubah. Kedua, berarti pembaharuan dalam arti modernisasi ialah bila tajdid
sasarannya mengenai masalah, seperti metode, sistem, teknik, dan strategi perjuangan
yang sifatnya berubah-ubah disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 14
16
Hanna Widayani, “Neomodernisme Islam dalam Perspektif Fazlur Rahman”, Jurnal El-Afkar,
Vol. 9 Nomor. 1, Januari-Juni 2020.
masyarakat, serta pembaruan politik dalam bentuk pemerintahan yang representatif
dan konstitusional.
Isu Penting
Salah satu yang dituding sebagai biang kemunduran, lebih tepatnya stagnasi,
umat Islam adalah hilangnya budaya intelektual yang ditandai dengan praktik taklid
serta penutupan pintu ijtihad. Situasi ini diperparah dengan ‘belum selesai’nya
internalisasi nilai agama Islam pada masyarakat, khususnya di negara-negara Afrika,
Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara yang menyebabkan praktik keagamaan
mereka masih diwarnai kebudayaan sebelum Islam, atau bahkan cenderung kepada
tradisi yang lama tersebut.
Oleh sebab itu, gerakan pembaharuan Islam menjadikan tema ini sebagai sasaran
pokok dengan mengkampanyekan kembali perlunya ‘kembali kepada al-Qurán dan
Sunnah’, reinterpretasi al-Qurán dan Sunnah, rekonstruksi--bahkan dekonstruksi--
metode pemikiran untuk mendekati nash al-Qurán dan Sunnah. Muhammad Iqbal,
Ahmad Qadhiyan, hingga yang lebih kontemporer seperti Fazlurrahman merupakan
tokoh-tokoh yang menonjol dalam hal ini.
c. Hubungan Agama-Negara
Hubungan antara Islam dan negara menjadi salah satu topik sentral gerakan
kebangkitan Islam. Hal ini menjadi niscaya karena runtuhnya kekhalifahan Islam
(Turki) dan perkembangan dunia yang terpecah-pecah seiring terbentuknya negara-
bangsa (nation-state). Sejatinya, pada tahap awal kebangkitan Islam, sebagian tokoh
masih merindukan kesatuan negara Islam, antara lain yang digagas oleh Jamaluddin al-
Afghani dengan Pan Islamisme, an-Nabhani dengan Hizbut Tahrir, hingga Hasan Al-
Banna dengan Ikhawanul Musliminnya. Namun gelombang negara-bangsa terlalu kuat
sehingga gerakan itu tidak pernah benar-benar memperoleh sambutan dari masyarakat
muslim.
Hal yang sama juga terjadi pada gerakan pembaruan yang menolak hubungan
antara agama dengan negara atau sekulerisme. Kemal Attaturk memang sukses
‘memaksakan’ sekulerisasi di negara Turki, tetapi masyarakat di sana tidak pernah
benar-benar menerima ide itu, sehingga saat ini sekulerisme telah mati di sana.
Ketiga paradigma simbiotik. Tokoh pendukung paradigma ini antara lain adalah
Muhammad Abduh (1849-1905), Fazlurrahman (1919-1988), dan Jose Cassanova.
Menurut pandangan ini agama versus negara berhubungna secara simbiotk, yakni satu
hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan
negara karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara
memerlukan agama kaarena dengan agama negara dapat bimbingan moral.
Gerakan kebangkitan Islam sudah dimulai sejak akhir abad ke-19 M dan terus
menunjukkan gairahnya pada awal abad ke-20 M. Gerakan ini dipelopori oleh
Jamaluddin al-Afghani, Moh. Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain hingga berpengaruh
sampai di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
17
Zakaria Husin Lubis, “Relasi Ekonomi dengan Hukum dan Agama” Jurnal Al-Ashriyyah,
Volume 2, Nomor 1, Oktober (2016) 16.
18
Sebagian besar sub bab ini disarikan, disertai penyesuaian-penyesuain dengan kondisi saat ini, dari tulisan
Dawam Rahardjo, Kritik Nalar Kebangkitan Islam, Makalah pada Pengajian Komunitas Titik-Temu Nurcholish
Madjid Society dengan tema “Agama dan Krisis Indonesia Kontemporer: Sebab atau Solusi” pada Kamis, 18
Desember 2008
Pemikiran mereka mempropagandakan reformasi hubungan umat Islam,
mengadakan komunikasi antar negara Dunia Islam, dan berusaha mengintegrasikan
negara-negara Islam. Syria dan negara-negara sekitarnya terlibat konflik dengan
kekhalifahan Utsmani, lalu memisahkan diri dan menegakkan nasionalisme sendiri.
Sejak itu nasionalisme mereka mengandung benih-benih pemikiran untuk memisahkan
diri dari ikatan keislaman. Pemikiran nasionalisme mangalami polarisasi menuju model
aliran dan pola politik Barat. Karenanya, kita tidak menemui adanya revolusi Arab
terhadap kekhalifahan Utsmani, termasuk dari kalangan para pelopor nasionalisme,
kecuali hanya "tes negatif" terhadap pemikiran kebangkitan Islam.
Kemudian berkembanglah pemikiran nasionalisme dalam dua versi karena
perbedaan perumusan kesatuan nasional dan faktor-faktor lain dalam bidang
pemikiran dan politik. Versi pertama mengambil sikap kekiri-kirian. Mereka berjuang
melawan zionisme dan imperialisme. Kelompok ini giat bergerak untuk mencapai
integrasi yang tidak mampu direalisasikan oleh para pelopor solidaritas nasional.
Sedangkan versi kedua adalah kekuatan politik yang membuat slogan-slogan sebagai
simbol kekuatan politik yang defensif40
Setiap versi mengandung unsur sekularisme dan para pendukungnya
membangun rivalitas dengan gerakan kebangkitan Islam. Karena gerakan kebangkitan
Islam menekankan pemikiran dan politik, maka mereka menyerang sikap dan
pemikiran kedua versi nasionalisme itu serta mempersoalkan dasar-dasar propaganda
nasionalisme dan mempertanyakan tujuan-tujuannya. Para pelopor nasionalisme
terlibat perdebatan dengan para pemikir-pejuang Islam hingga memenuhi halaman-
halaman media dan publikasi sastra.
Seandainya tidak karena terbukanya pemikiran nasionalisme, pengaruh
program-program persatuan nasional, dan kebesaran kebangkitan Islam, maka keadaan
akan berhenti pada munculnya tesis-tesis nasionalisme, ide-ide dan kebijakan politik
yang mengokohkan etnis, dan Islam sebagai faktor pendorong dan pengarah
nasionalisme. Pada skala makro, pemikiran kebangkitan Islam tidak memberikan
respon terhadap pengakomodasian tersebut. Pada umumnya, akomodasi semacam itu
tidak akan berkembang, baik secara teoretis maupun politis.
Di negara-negara Arab-Afrika pada umumnya, perdebatan antara Islam,
nasionalisme, dan Arabisme tidak menyentuh aspek kebangsaan, tetapi terjadi
perdebatan mengenai konsep-konsep kenegaraan versi Eropa. Para pendukung
nasionalisme ingin merumuskan teori nasionalisme kawasan dan melestarikan
kebangsaan. Mereka mengutarakan pandangan untuk meregionalkan bahasa dan
dialek, mengadakan penulisan sejarah yang menanamkan kebanggaan terhadap tokoh-
tokoh nasional, serta menegaskan semangat nasionalisme dan peran nasional yang
khusus dalam misi internasional. Kelompok-kelompok ini muncul di Mesir. Mereka
mengagungkan sejarah Fir'aun dan Eropa. Fenomena sejenis juga terlihat di Sudan dan
negara-negara Afrika Utara.
Gerakan kebangkitan Islam baru memberikan reaksi keras terhadap fanatisme
nasional ketika mereka menemukan unsur-unsur sekularisme dan afiliasi terhadap
nilai-nilai Barat di dalamnya. Fanatisme semacam itu adalah fanatisme yang terputus
dari umat Islam. Berbagai literatur kebangkitan Islam mengkritik nasionalisme Mesir
yang kering analisisnya dalam menilai Eropa dan Islam serta pemikiran tokoh-tokoh
seperti Luthfi Sayid, Thaha Husain, dan Salamah Musa.
Kesempatan-kesempatan baik bagi Islam semakin terbuka dengan telah
bangkitnya negara-negara Islam dari cengkraman penjajahan, terutama di Asia dan
Afrika, yang berpenduduk mayoritas Islam. Selain itu, telah didirikan organisasi-
organisasi Islam untuk menggalang persatuan dan kesatuan Islam secara internasional
untuk merundingkan permasalahan-permasalahan Islam sekaligus memecahkannya.
Organisasi-organisasi Islam internasional itu diantaranya adalah World Muslim
Conggres di Karachi, World Muslim League (Rabithah Alam Islamy) di Mekkah, dan Majlis
A’la al-Alamy lil-Masajid (Dewan Masjid se-Dunia) di Mekkah. Di samping itu muncul
pula pusat-pusat Islam (Islamic Center) di berbagai kota dan negara seperti di
Washington (AS), London, Jepang, Belanda, Jerman dan sebagainya. Melalui brosur-
brosur dari organisasi-organisasi tersebut, ajaran-ajaran Islam disebarkan menembus
radius lingkungan lebih luas.
Dalam gerakan kebangkitan itu terlihat pula kemajuan pembangunan ekonomi
yang sedikit demi sedikit menanjak maju di negara-negara Islam. Bangsa-bangsa Arab
di kawasan Timur Tengah dengan kekayaan minyaknya semakin memperlihatkan
getaran-getaran kemajuan. Negara-negara Arab ini sempat mampu membuat resah
negara-negara industri Barat dengan politik “embargo minyak” ketika terjadi perang
Arab-Israil di tahun 1970.
Dunia Islam telah melahirkan beberapa gerakan yang punya potensi menjadi
model ideal. Pertama adalah model Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tapi di masa lalu,
Ikhwanul Muslimin mengalami sempalan menjadi gerakan yang terlibat dalam
penggunaan kekerasan, walaupun gagasan inti dari organisasi ini menolak penggunaan
kekerasan, sehingga akhirnya dibubarkan di banyak negara muslim.
19
Vita Vitria. Konflik Peradaban Samuel P. Huntington (Kebangkitan Islam yang
Dirisaukan?). HUMANIKA Vol. 9 No. 1, Maret 2009, hal. 39 dst, diakses dari
https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3782/3258 pada tanggal 03 Januari
2023 pukul 11.05
Barat, Cina, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, Islam, dan peradaban
Kristen Ortodoks.
Vita Vitria mengutip pendapat Huntington bahwa benturan yang paling keras
memprediksi akan terjadi antara kebudayaan Kristen Barat dengan kebudayaan Islam.
Pendapat tersebut secara tidak langsung memperkuat asumsi sebagian besar ilmuwan
Barat yang melihat Islam sebagai sebuah aggression and hostility (agresi dan ancaman)
bagi kebudayaan Barat.
Kesimpulan/Penutup
Kebangkitan Islam merupakan isu yang sangat populer di dunia Islam sejak
awal abad ke-19. Isu ini berkelindan erat dengan perjuangan bangsa-bangsa di dunia
Islam untuk melepaskan diri dari hegemoni politik Eropa yang menjajah mereka. Saat
itu, masyarakat muslim memang sedang terpuruk, lawan kata dari bangkit. Kekalahan
demi kekalahan dialami oleh umat Islam yang ditandai dengan jatuhnya hampir
seluruh negeri Islam oleh bangsa Barat.
Sejak saat itu, isu dan gerakan kebangkitan Islam terus bergulir dan berkembang
di dunia Islam. Gerakan ini berkembang dan melahirkan beragam corak gerakan
(termasuk di dalamnya pemikiran). Terkadang, gerakan-gerakan ini saling
bertentangan meskipun tujuannya sama, yaitu kebangkitan Islam.
Paham kebangkitan ini identik dengan modernisme dan upaya-upayanya
dikenal dengan istilah modernisasi, sebagai refleksi atas perkembangan di Eropa yang
memasuki masa ‘modern’ yang membawa kemajuan.
Kebangkitan Islam diidentifikasi menjadi dua. Pertama, kebangkitan sebuah
peradaban baru di masa modern. Kedua, menghidupkan kembali masa lampau,
misalnya masa Khulafa Rasyidah atau masa Salafi, yakni generasi awal ketika
peradaban Islam yang baru tumbuh itu masih belum dipengaruhi oleh peradaban lain,
khususnya Yunani.
Wallahu a’lam
Daftar Pustaka
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Hanik, Lilik Umi. Perspektif Neo Modernisme dan Neotradisionalisme atas Kebangkitan Islam:
Studi Perbandingan antara Pemikiran Fazlur Rahman dan Hossein Nashr, (Surabaya:
SKI,1996).
Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press: 1998).
Jamilah, Maryam. Islam dan Orientalisme: Suatu Kajian Analitik (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 1994).
Lubis, Zakaria Husin. “Relasi Ekonomi dengan Hukum dan Agama” Jurnal Al-
Ashriyyah, Volume 2, Nomor 1, Oktober (2016).
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta; Yayasan Paramadina, 1992).
Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2013).
Muzani, Saiful. Kebangkitan Islam Di Asia Tenggara, (Jakarta : LP3ES, 1999).
Nasr, Hossein, Menjelajah Dunia Modern, terjemah Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1993), 126.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Penerbit Bulan Bintang, 1975).
Raharjo, M. Dawam. Kritik Nalar Kebangkitan Islam, Makalah pada Pengajian Komunitas
Titik-Temu Nurcholish Madjid Society dengan tema “Agama dan Krisis Indonesia
Kontemporer: Sebab atau Solusi” pada Kamis, 18 Desember 2008.
Shihab, M. Quraish M.Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008)
Vita Vitria. Konflik Peradaban Samuel P. Huntington (Kebangkitan Islam yang Dirisaukan?).
HUMANIKA Vol. 9 No. 1, Maret 2009, hal. 39 dst, diakses dari
https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3782/3258 pada tanggal 03
Januari 2023 pukul 11.05
Voll, John O., “Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid dan Ishlah”,
dalam John L. Esposito (Ed.), Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses dan
Tantangan (Jakarta: Rajawali Press, 1987)
Widayani, Hanna. “Neomodernisme Islam dalam Perspektif Fazlur Rahman”, Jurnal
El-Afkar, Vol. 9 Nomor. 1, Januari-Juni 2020.
Yafie, K. Ali, “Ijtihad: Adakah Suatu Kemestian?”, dalam Pesantren, Nomor 1/Vol. V/1988, 6
Zulkarnaini, “Dakwah Islam Era Modern”, Jurnal Risalah, Vol. 26, No. 3, September
(2015).