Anda di halaman 1dari 20

KEBANGKITAN PERADABAN ISLAM:

TEORI DAN REALITAS


Zakaria Anshori, Mohamad Fuad Mursidi, Muhammad Nurdin

Institut PTIQ Jakarta


Program Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Jl. Batan I No. 2 Pasar Jum’at, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan

Abstrak

Wacana kebangkitan Islam mengemuka sejak umat Islam menyadari ketertinggalan


dari dunia Barat dan jenuh dengan kunkungan imperialisme-kolonialisme mereka.
Namun meski kolonialisme secara fisik telah punah, isu ini terus bergulir karena
menyentuh aspek peradaban secara umum. Para cendekiawan muslim sibuk untuk
merumuskan dan memperjuangkan ide dan gagasan mereka tentang upaya tajdid,
ishlah, agar kebangkitan (nahdlah) Islam itu dapat dicapai. Pemikiran-pemikiran ini
membawa pada polarisasi di internal umat Islam sendiri, di samping kekhawatiran
akan benturan dengan budaya lain (Barat). Tulisan ini membahas tentang istilah-istilah,
latar belakang, tipologi, periodisasi dan perkembangan gerakan kebangkitan Islam,
serta kemungkinannya bersinggungan dengan peradaban lain.
Kata Kunci: Kebangkitan Islam, tajdid, ishlah, nahdlah, benturan peradaban

Pendahuluan

Kebangkitan Islam merupakan isu yang sangat populer di dunia Islam sejak
awal abad ke-19. Isu ini berkelindan erat dengan perjuangan bangsa-bangsa di dunia
Islam untuk melepaskan diri dari hegemoni politik Eropa yang menjajah mereka. Saat
itu, masyarakat muslim memang sedang terpuruk, lawan kata dari bangkit. Kekalahan
demi kekalahan dialami oleh umat Islam yang ditandai dengan jatuhnya hamper
seluruh negeri Islam oleh bangsa Barat.
Di samping keterpurukan politik itu, perkembangan di Eropa yang berhasil
membebaskan diri dari pengaruh gereja telah mendorong renaissance yang membawa
mereka kepada kemajuan ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, dan lain-lain turut
membuka mata, untuk tidak mengatakan menginspirasi, para pemikir muslim untuk
melakukan upaya-upaya serupa pada masyarakat muslim. Mereka pun melakukan
berbagai upaya agar umat Islam bangun dari tidur panjangnya, dimulai dengan upaya-
upaya pendidikan, politis, hingga peninjauan ulang terhadap aspek teologis dan
pemahaman keagamaan.
Sejak saat itu, isu dan gerakan kebangkitan Islam terus bergulir dan berkembang
di dunia Islam. Gerakan ini berkembang dan melahirkan beragam corak gerakan
(termasuk di dalamnya pemikiran). Terkadang, gerakan-gerakan ini saling
bertentangan meskipun tujuannya sama, yaitu kebangkitan Islam.
Paham kebangkitan ini identik dengan modernisme dan upaya-upayanya
dikenal dengan istilah modernisasi, sebagai refleksi atas perkembangan di Eropa yang
memasuki masa ‘modern’ yang membawa kemajuan. Istilah lain yang dipakai sebagi
penggerak kebangkitan Islam antara lain adalah revivalisme (faham untuk mendapatkan
kebangkitan kembali), aktivisme (ajaran politik yang menganjurkan tidakan kekerasan untuk
mencapai tujuan politik), milienarisme, militansi Islam (kegiatan yang terpancar dari ketinggian
semangat berjuang, kegagahberanian di kalangan umat Islam), meseanisme, ressurgence
(kemunculan kembali, kebangkitan kembali dengan jumlah yang lebih banyak dari
sebelumnya), dan reassertion (penegakan kembali).
Chandra Muzaffar memandang bahwa ressurgence (kebangkitan) merupakan
istilah yang tepat. Baginya, kebangkitan yang didefinisikan sebagai ‘tindakan
membangkitkan kembali’ mempunyai pengertian-pengertian yang jelas. Pertama,
pandangan dari kaum muslim sendiri bahwa Islam menjadi penting kembali,
mendapatkan kembali prestise dan harga dirinya. Kedua, Islam dikaitkan dengan
kebenaran masa lalu, jalan yang ditempuh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat di
masa lalu itu mempengaruhi pemikiran umat Islam sekarang. Ketiga, Islam dipandang
sebagai alternative dan oleh karena itu dipandang sebagai ancaman bagi pandangan
hidup atau idiologi lain yang sudah mapan, khusunya idiologi Barat. Di antara istilah
lain, demikian lanjut Chandra Muzaffar, yang mendekati pengertian ‘resurgence’ di atas
adalah istilah “reassertion” dan revivalisme1
Dalam khazanah Islam, gerakan untuk membangkitkan dunia Islam ini lebih sering
disebut tajdid dan ishlah. Tajdid secara etimologi berasal dari kata jaddada yujaddidu yang
berarti menjadikan sesuatu baru. Sedangkan ishlah dari kata ashlaha yuslihu yang
maknanya memperbaiki. Terdapat juga istilah ‘nahdlah’-berasal dari kata nahadla
yanhadlu-yang secara etimologis berarti ‘bangkit’.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan


pendekatan deskriptif analitis. Dengan pendekatan ini, penulis mendeskripsikan

1
Lilik Umi Hanik, Perspektif Neo Modernisme dan Neotradisionalisme atas Kebangkitan Islam: Studi
Perbandingan antara Pemikiran Fazlur Rahman dan Hossein Nashr, (Surabaya: SKI,1996) 17.
persoalan kebangkitan Islam dari data-data yang diperoleh dari beberapa tulisan atau
karya ilmiah yang telah ada. Di saming itu, dilakukan analisa untuk memperoleh
pemahaman yang komprehensif.

Arti dan Teori-Teori Kebangkitan Peradaban Islam

Secara umum, dapat dikatakan bahwa modernisme, resurgence, reassertisme,


revivalisme, tadid, ishlah, nahdlah (dan istilah lain yang mungkin digunakan) merupakan
gerakan untuk membangkitkan, membangunkan, atau menyadarkan umat Islam akan
posisinya dan bagaimana seharusnya mereka. Oleh karena ‘kebangkitan Peradaban
Islam’ merupakan hasil atau tujuan yang ingin dicapai, maka dalam makalah ini, fokus
yang menjadi obyek penulisan adalah úpaya’ untuk mewujudkannya yang namanya
berbeda-beda tersebut. Dalam hal ini, istilah modernisme dan modernisasi dipilih
untuk mewakili keseluruhan istilah tersebut.
Modernisasi berasal dari kata modern (Inggris) atau moderna, modernus (latin)
yang berarti terbaru, mutakhir, atau sikap dan cara berpikir yang sesuai dengan
tuntutan zaman. Sedangkan modernisasi diartikan sebagai proses pergeseran sikap dan
mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa
kini. 2 Dalam bahasa Indonesia istilah modern sendiri adalah adjektive (kata sifat), di
mana dalam gramatikal Indonesia sebuah adjective apabila ditambahi dengan “isasi”
berarti mempunyai makna proses, jadi modernisasi merupakan sebuah proses modern 3
Koentjaraningrat, sebagaimana dikutip Faisal Ismail, mendefinisikan
modernisasi sebagai suatu usaha secara sadar yang dilakukan oleh suatu bangsa atau
negara untuk menyesuaikan diri dengan konstelasi dunia pada suatu kurun tertentu di
mana bangsa itu hidup.4 Harun Nasution juga memberikan pandangannya tentang
pembaharuan yang berafiliasi dengan kata modernisasi dengan arti terbaru, mutakhir,
atau sikap dan cara berpikir serta bertindak dengan tuntutan zaman. Pembaharuan
atau modernisasi yang dimaksud Harun Nasution lebih tepat dikatakan sebagai sebuah
proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup
sesuai dengan tuntutan hidup masa kini. Modern bukan hanya membaharui paham-
paham, sikap atau adat istiadat, melainkan lebih luas lagi mencakup pembaharuan
institusi-institusi yang dipandang lama untuk disesuaikan dengan pendapat-pendapat
dan keadaan-keadaan yang baru5

2
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) 589.
3
Zulkarnaini, “Dakwah Islam Era Modern”, Jurnal Risalah, Vol. 26, No. 3, September (2015) 151.
4
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta: Titian
Ilahi Press: 1998) 196.
5
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang, 1975) 9.
Sementara itu, menurut Nurcholish Madjid, modernisasi berarti cara, proses
transformasi perubahan, baik dari sikap dan mentalitas untuk menyesuaikan tuntunan
hidup dengan tuntunan hidup masa kini, guna terciptanya kebahagiaan hidup bagi
manusia. Modernisasi ini juga dapat diartikan sebagai gerakan, aliran atau usaha-
usaha yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin-doktrin tradisional, dan
menyesuaikannya dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. 6 Lebih jauh
Madjid menjelaskan bahwa modernisasi adalah suatu pemahaman yang diidentikkan
dengan pengertian rasionalisasi, karena rasionalisasi ini berarti suatu proses yang
mengubah pola dan tata cara berfikir yang bersifat tradisional (tidak akliah) menjadi
tata cara dan pola yang lebih maju dan modern (rasional)7
Dengan demikian, jika digabungkan kata Islam, maka modernisasi Islam adalah
sebuah gerakan, aliran dan paham yang ingin merekonstruksi dan mengoreksi kembali
nilai-nilai yang terkandung dalam Islam untuk dapat disesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan dan relevansi umat Islam di zaman modern ini.
Maryam Jamilah8 mengatakan modernisasi adalah suatu upaya untuk
menempatkan kembali nilai-nilai teologik tradisional dalam pandangan pemikiran
kontemporer. Ia berpendapat bahwa untuk menciptakan “Relevansi” antara agama
dengan kondisi-kondisi dan kebutuhan-kebutuhan modern, agama harus
menyesuaikan diri secara harmonis dengan norma-norma yang ada pada dunia
modern dan mampu menjelaskan kembali unsur-unsur yang ada dalamnya agar tetap
sejalan dengan tuntutan zaman.
Para cendekiawan muslim yang tidak menyukai kata ‘modernisasi’lebih memilih
istilah ‘tajdid’. Tajdid menurut Yusuf Abdullah Puar adalah kembali pada ajaran Islam
yang asli murni, seperti yang diwahyukan Allah swt (al Qur’an) dan yang disampaikan
Nabi Muhammad SAW serta yang dikerjakan oleh para sahabat dan ulama salaf yang
sesuai dengan ajaran al Qur’an dan al Hadits, dengan mempergunakan akal pikiran
dan dengan penyelidikan yang cermat, tidak bertaqlid. Sedangkan menurut Quraish
Shihab, tajdid yaitu usaha reaktualisasi ajaran karena perjalanan sejarah boleh jadi
menjadikan sebagian orang melupakan atau menyalahpahami ajaran agama. 9 Secara
sederhana, John O Voll, tajdid biasanya diterjemahkan sebagai “perubahan” yang
memiliki tujuan untuk menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek-praktek
dalam sejarah komunitas kaum muslim.10
6
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta; Yayasan Paramadina, 1992) 446.
7
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2013) 172.
8
Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme: Suatu Kajian Analitik (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
1994), 159.
9
Quraish Shihab, M.Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta:
Lentera Hati, 2008), hal 847
10
John O. Voll, “Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid dan Ishlah”, dalam John L.
Esposito (Ed.), Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses dan Tantangan (Jakarta: Rajawali Press, 1987), 21-42
Sementara itu, ishlah adalah menyelesaikan, penyelesaian pertentangan
(pendapat dan sebagainya) dengan cara damai. Kata ishlah tidak hanya dipahami dalam
arti mendamaikan antara dua orang atau lebih yang berselisih, melainkan dipahami
sesuai makna semantiknya dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran
terhadapnya. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalah diartikan sebagai antonim
dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat.
Sedangkan kata islah digunakan oleh Al-Quran dalam dua bentuk: Pertama ishlah yang
selalu membutuhkan objek; dan kedua adalah shalah yang digunakan sebagai bentuk
kata sifat. Sehingga, shalah dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada
sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan
kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga
tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan
nilai tersebut, dan hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah.
Syeikh Taqiyyudin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir memilih istilah nahdlah
atau kebangkitan. Kata nahdlah berasal dari nahadha-yanhadlu-nahdlan diartikan bangkit
dari sebuah tempat. Makna kata tersebut secara etimologis berbeda dengan makna
secara terminologis. Makna nahdlah menurut an-Nabhani adalah manakala manusia
mampu menjawab tiga pertanyaan pokok kehidupan, yaitu ada apa sebelum
kehidupan ini, untuk apa kehidupan ini, dan hendak kemana manusia setelah
kehidupan ini. Jawaban dari ketiganyanya adalah ada Tuhan di kehidupan sebelumnya
yang Maha Mengadakan segala, ada aturan dan petunjuk yang ditetapkan Tuhan untuk
manusia agar dapat memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan, serta akan ada hari
perhitungan setelah kehidupan ini berakhir. Ketiga jawaban dari persoalan-persoalan
ini akan menjadi landasan hidup manusia. Pemikiran cemerlang adalah kunci untuk
menjawab ketiga pertanyaan tersebut.
Ali Yafie, salah satu tokoh oragnisasi yang menggunakan nama ‘nahdlah’, yaitu
Nahdlatul Ulama memaknai tajdid sebagai berikut:
Tajdid merupakan upaya menerapkan norma-norma agama atas realitas sosial,
untuk memenuhi kebutuhan perkembangan masyarakat, dengan berpegang
pada dasar-dasar (ushul) yang sudah diletakkan oleh agama itu, melalui proses
pemurnian yang dinamis. Jadi tajdid yang kita maksudkan bukanlah berarti
mengganti ajaran-ajaran dan hukum-hukumnya yang bersifat mutlak,
fundamental, dan universal, yang sudah tertuang dalam ketentuan-ketentuan
yang otentik (qath’iyyat). Tetapi tajdid itu mempunyai ruang gerak yang cukup
luas dalam hal memperbarui cara memahami, menginterpretasi, mereformulasi
dan melakukan teo-passing atas ajaranajaran agama itu, yang berada di luar
wilayah qath’iyyat, yaitu ketentuanketentuan yang sifatnya dhanniyyat yang
menjadi wilayah kajian ijtihad.11
Meskipun tidak sama persis maknanya, namun antara modernisasi, ishlah, tajdid,
maupun nahdlah memiliki semagat dasar yang sama, yaitu terwujudnya kebangkitan
Islam. Dengan demikian, kebangkitan Islam dalam kebudayaan sebagaimana dicapai
pada masa-masa keemasannya diharapkan dapat tampil kembali dan sekaligus menjadi
tenaga penggerak bagi munculnya kejayaan budaya baru di masa depan dengan cara
menumbuhkan kembali semangat keagamaan, mendinamiskan stagnasi pemikiran dan
fikih, serta gerakan (harakah).

Corak/Tipologi

Menurut Hossein Nasr, sepanjang yang dimaksudkan adalah perubahan dan


perbaikan kondisi internal umat Islam dan respons-respons yang disampaikan oleh
umat Islam terhadap penetrasi dan dominasi Barat modern terhadap sejumlah dunia
Islam, pembaruan dalam Islam dapat dikategorisasikan menjadi tiga model atau
tipologi utama, yakni modernisme (modernism), fundamentalisme (fundamentalism) dan
tradisionalisme (tradisionalism).12 Ketiga model ini pada kenyataannya tidak hanya
merespon Barat belaka, tetapi juga saling merespon di antara ketiganya. Pada akhirnya,
dialektika di antara ketiga model itu, juga dialektika dengan dunia luar (Barat) akan
melahirkan model baru, seperti neo-modernisme hingg apost modernism.

Dawam Raharjo mengidentifikasi kebangkitan Islam menjadi dua. Pertama,


kebangkitan sebuah peradaban baru di masa modern. Kedua, menghidupkan kembali
masa lampau, misalnya masa Khulafa Rasyidah atau masa Salafi, yakni generasi awal
ketika peradaban Islam yang baru tumbuh itu masih belum dipengaruhi oleh
peradaban lain, khususnya Yunani. Kebangkitan dalam arti pertama itulah yang
dimaksud dalam kebangkitan abad 14 Hijriyah. Tapi kebangkitan ini tidak terjadi,
paling tidak hanya parsial saja dan penuh dengan kegamangan. Sedangkan
kebangkitan dalam arti kedua adalah revivalisme yang dikemukakan oleh John Naisbitt
dan Peter Berger, yang tak lain adalah kebangkitan fundamentalisme agama yang
sebenarnya terjadi juga pada agama-agama lain. Ini justru menimbulkan kerisauan
karena disertai dengan konflik tindak kekerasan dan terorisme. 13

11
K. Ali Yafie, “Ijtihad: Adakah Suatu Kemestian?”, dalam Pesantren, Nomor 1/Vol. V/1988, 6
12
Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, terjemah Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1993), 126.
13
M. Dawam Raharjo, Kritik Nalar Kebangkitan Islam, Makalah pada Pengajian Komunitas Titik-Temu
Nurcholish Madjid Society dengan tema “Agama dan Krisis Indonesia Kontemporer: Sebab atau Solusi” pada
Hal serupa dikemukakan oleh Muhammad Jindar Tamimi yang mengatakan
bahwa tajdid terbagi dua karena sasarannya, yaitu: Pertama, berarti pembaharuan
dalam arti mengembalikan kepada keaslian dan kemurniannya, ialah bila tajdid
sasarannya mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap atau tidak
berubah-ubah. Kedua, berarti pembaharuan dalam arti modernisasi ialah bila tajdid
sasarannya mengenai masalah, seperti metode, sistem, teknik, dan strategi perjuangan
yang sifatnya berubah-ubah disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 14

Sementara menurut Muzani,15 corak kebangkitan Islam oleh sebagian kalangan


dibagi ke dalam tiga model, yaitu : Pertama, Modernisme, pada tahap berikutnya
berubah menjadi neo-modernisme dengan tokoh-tokohnya, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan tokoh-tokoh neo-modernisme, seperti Fazlur
Rahman. Modernisme; lahir karena adanya pertemuan antara nilai-nilai Islam dan
peradaban Barat; pemanfaatan akal dan paham liberalisme pemikiran yang terus
dikembangkan; penelusuran kembali ilmu-ilmu filsafat baik yang bersumber dari
filsafat Yunani maupun Filsafat Islam termasuk berkembangnya paham muktazilah;
pentingnya mengembangkan ijtihad dan menggali ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berasal dari Barat; umat Islam bila ingin bangkit mesti merujuk kembali kepada
Quran dan Sunnah dengan pendekatan yang lebih bersifat kontekstual.

Kedua, Revivalisme, pada tahap berikutnya berubah menjadi neorevivalisme


dengan tokoh-tokohnya : Muhammad bin Abdul Wahab, di Indonesia dilanjutkan oleh
3 haji di Minangkabau, yaitu ; H. Sumanik, H. Piobang dan Tuanku Nan Renceh.
Generasi baru atau neo-revivalisme dilanjutkan oleh kelompok, Ikhwanul muslimin
dan salafi. Corak Revivalisme memiliki karakteristik; Pentingnya mengembangkan
ijtihad agar keluar dari taklid terutama bertumpu pada fiqih; anti pada perkembangan
intelektualisme yang berakar dari pemikiran Barat dan kalam atau theologi yang
dikembangkan Ibnu Sina; kembali kepada al-Quran dan Hadis dan kembali kepada
pemahaman Islam yang ada zaman Rasul dan Khulafaurrasidin; mengapresiasi
berkembangnya taswuf Suni (Amali) tetapi tetap melarang berkembangnya tasawuf
falsafi atau Syi’i (tasawuf Ibnu Arabi).

Ketiga, Tradisionalisme pada tahap berikutnya berubah menjadi


neotradisionalisme dengan tokoh-tokohnya, seperti Sayyid Muhammad Naquib al-

Kamis, 18 Desember 2008.


14
M. Audad AZ, Tajdid Menurut Pandangan Muhammadiyah, Surabaya: SKI, 1994
15
Saiful Muzani, Kebangkitan Islam Di Asia Tenggara, (Jakarta : LP3ES, 1999) 8-13.
Attas. Karakteristik kebangkitan Islam pola tradisionalisme, lahir karena punya
pandangan bahwa manusia sekarang berada di ambang kehancuran karena sudah jadi
objek materi, karena itu perlu menanamkan diri dalam spirit pengalaman transendental
dalam praktik keagamaan seperti tasawuf (estetik) bahkan tarekat; mengapresiasi
berkembangnya tasawuf Amali (sunni) dan tasawuf Falsafi (syi’i) dan juga tarekat;
mentoleransi kesesuaian antara adat istiadat yang berkembang di masyarakat dengan
nilai-nilai Islam yang bersumber dari Quran dan sunnah nabi dengan pendekatan yang
lebih bersifat kontekstual dan lebih memiliki kearifan terhadap kebudayaan lokal; serta
tetap memfokuskan pentingnya mengembangkan ijtihad.

Fazlurrahman,16 tokoh yang dianggap sebagai pelopor neo-modernisme Islam,


melakukan tentang periodisasi dan tipologi gerakan Islam dari waktu ke waktu.
Menurutnya gerakan Islam dapat dikelompokkan ke dalam empat model: 1.)
Revivalisme Pra modernisme, 2.) Modernisme Klasik, 3.) Neo-Revivalisme dan 4.) Neo-
Modernisme.

Gerakan Revivalisme pra modernis muncul abad ke 18 dan 19 seperti Wahabi di


Arabia, Sanusi di Afrika dan gerakan pemurnian lain di India. Ciri–ciri umum gerakan
ini adalah sebagai berikut; a) menampakkan keprihatinan yang mendalam terhadap
degenerasi sosio-moral umat Islam dan usaha untuk mengubahnya. b) imbauan untuk
kembali kepada Islam yang orisinil dan mengenyahkan takhayul-takhayul yang
tertanam dalam bentuk sufisme popular. c) imbauan untuk meninggalkan faham
predeterministik. d) seruan untuk melaksanakan pembaruan lewat kekuatan bersenjata
(jihad) jika perlu.

Dasar pembaruan revivalisme pra modernis kemudian diambil oleh gerakan


kedua yaitu Modernisme klasik yang muncul pada pertengahan abad ke 19 dan awal ke
20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Persamaannya dengan pembaruan sebelumnya
terletak pada seruannya tentang ijtihad dan penolakannya atas taqlid. Yang baru pada
kaum modernis klasik adalah perluasan mereka tentang isi dan cakupan ijtihad.
Lingkungan mereka telah berubah dari apa yang dihadapi oleh kaum revivalis, dan
mereka lebih terbuka kepada gagasan-gagasan Barat yang sedang menghangat dan
yang mempunyai kemungkinan berkembang di masa depan semisal hubungan akal
dan iman, pembaruan sosial dalam pendidikan, status wanita dalam keluarga dan

16
Hanna Widayani, “Neomodernisme Islam dalam Perspektif Fazlur Rahman”, Jurnal El-Afkar,
Vol. 9 Nomor. 1, Januari-Juni 2020.
masyarakat, serta pembaruan politik dalam bentuk pemerintahan yang representatif
dan konstitusional.

Selanjutnya, dari pembaruan yang dimunculkan oleh modernisme klasik di atas


telah memberikan inspirasi bagi munculnya gerakan pembaruan ketiga yaitu Neo-
revivalisme. Gerakan ketiga ini mendasarkan dirinya pada basis pemikiran gerakan
sebelumnya yaitu bahwa Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia baik
individual maupun kolektif. Ciri yang paling menonjol dari tipologi gerakan adalah
sikapnya yang anti-Barat secara total. Perlu dicatat bahwa karena sebagian neo-
revivalisme merupakan penerimaan dan sebagian lagi merupakan reaksi terhadap
modernisme klasik, maka pada dasarnya neo-revivalisme muncul dan tumbuh di
belahan-belahan dunia Islam yang mana modernisme klasik muncul lebih dahulu.

Dengan berpijak pada kajiannya atas karakteristik ketiga gerakan pembaruan di


atas, Rahman mencanangkan suatu gerakan baru yang disebutnya dengan Neo-
modernisme. Ciri utama dari gerakan baru ini adalah pengembangan suatu metodologi
sistematis yang mampu melakukan rekonstruksi Islam secara total dan tuntas serta
setia kepada akar-akar spiritualnya dan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan Islam
modern tanpa mengalah secara membabi buta kepada Barat atau menafikannya sama
sekali. Demikian pula terhadap warisan-warisan kesejarahan Islam, neo-modernisme
akan bersikap kritis. Sikap kritis terhadap Barat yang diajukan Rahman kiranya dapat
dipahami oleh banyak kalangan dengan pengertian bahwa yang baik harus diambil-
alih sedangkan yang buruk harus ditolak. Jadi ini merupakan pandangan yang tidak
terlalu unik. Yang tajak dalam pemikiran Rahman adalah usulnya atas kajian kritis
terhadap warisan keislaman.

Isu Penting

a. Rasionalisme dan Kebebasan

Rasionalisme adalah sebuah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi


(rasio) sebagai sumber utama pengetahuan. Sebagaimana diketahui, rasionalisme
merupakan paham yang menggerakkan masyarakat Eropa (Barat) modern dan
membebaskan mereka dari kungkungan Gereja. Dalam perkembangan lebih jauh,
modernisasi ini selalu disamakan dengan rasionalisasi. Bahkan, Nurcholis Madjid
mengidentikkan modernisasi dengan rasionalisasi, sebagaimana disebutkan di atas.
Persoalan rasio ini sesungguhnya bukan hal baru dalam dunia Islam, karena
pada masa awal Islam, telah berkembang pemikiran-pemikiran berkenaan dengan akal
dan wahyu, serta kebebasan manusia. Dinamika saat itu melahirkan kelompok
Qadariyah dan Mu’tzailah yang kemudian ‘tenggelam’ oleh aliran yang lebih dominan
(ásyáriyah).
Gerakan kebangkitan Islam kemudian membuka kembali diskusi tentang hal-hal
teologis tersebut untuk dikaji dulang dalam rangka merespon perkembangan zaman.
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain merupakan pelopor untuk pengkajian
ulang ini.
b. Ajaran dan Praktik Keagamaan

Salah satu yang dituding sebagai biang kemunduran, lebih tepatnya stagnasi,
umat Islam adalah hilangnya budaya intelektual yang ditandai dengan praktik taklid
serta penutupan pintu ijtihad. Situasi ini diperparah dengan ‘belum selesai’nya
internalisasi nilai agama Islam pada masyarakat, khususnya di negara-negara Afrika,
Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara yang menyebabkan praktik keagamaan
mereka masih diwarnai kebudayaan sebelum Islam, atau bahkan cenderung kepada
tradisi yang lama tersebut.
Oleh sebab itu, gerakan pembaharuan Islam menjadikan tema ini sebagai sasaran
pokok dengan mengkampanyekan kembali perlunya ‘kembali kepada al-Qurán dan
Sunnah’, reinterpretasi al-Qurán dan Sunnah, rekonstruksi--bahkan dekonstruksi--
metode pemikiran untuk mendekati nash al-Qurán dan Sunnah. Muhammad Iqbal,
Ahmad Qadhiyan, hingga yang lebih kontemporer seperti Fazlurrahman merupakan
tokoh-tokoh yang menonjol dalam hal ini.
c. Hubungan Agama-Negara

Hubungan antara Islam dan negara menjadi salah satu topik sentral gerakan
kebangkitan Islam. Hal ini menjadi niscaya karena runtuhnya kekhalifahan Islam
(Turki) dan perkembangan dunia yang terpecah-pecah seiring terbentuknya negara-
bangsa (nation-state). Sejatinya, pada tahap awal kebangkitan Islam, sebagian tokoh
masih merindukan kesatuan negara Islam, antara lain yang digagas oleh Jamaluddin al-
Afghani dengan Pan Islamisme, an-Nabhani dengan Hizbut Tahrir, hingga Hasan Al-
Banna dengan Ikhawanul Musliminnya. Namun gelombang negara-bangsa terlalu kuat
sehingga gerakan itu tidak pernah benar-benar memperoleh sambutan dari masyarakat
muslim.

Hal yang sama juga terjadi pada gerakan pembaruan yang menolak hubungan
antara agama dengan negara atau sekulerisme. Kemal Attaturk memang sukses
‘memaksakan’ sekulerisasi di negara Turki, tetapi masyarakat di sana tidak pernah
benar-benar menerima ide itu, sehingga saat ini sekulerisme telah mati di sana.

Dalam dunia Islam sendiri, menurut Munawir Sjadzali, sebagaimana dikutip


Zakaria Husin Lubis, 17 secara umum, terdapat tiga paradigma hubungan antara agama
dan negara, yaitu: Pertama, paradigma integralistik. Pendukung paradigma ini antara
lain: Hasan-al-Banna (1906-1949 M), sayyaid Qutb (1906-1966 M), dan Maulana al-
Mawdudi (1903-1979 M). Dalam konsep ini agama dan negara menyatu (integral).
Wilayah agama juga meliputi wilayah negara (din wa dawlah). Pemerintahan negara
diselenggarakan atas dasar kedaulatan ilahi (divine sovereignity) karena memang
kedaulatan itu berasal dan berada di Tangan Tuhan.

Kedua paradigma sekularistik. Paradigma ini menolak konsep integalistik antara


agama dan negara dan paradigma sekularistik ini mengajukan pemisahan antara
agama dan negara, sekaligus menolak pendasaran negara kepada agama atau paling
tidak menolak determinasi agama akan bentuk tertentu dari negara. Pemrakarsa
paradgma ini antara lain Ali Abd al-Raziq.

Ketiga paradigma simbiotik. Tokoh pendukung paradigma ini antara lain adalah
Muhammad Abduh (1849-1905), Fazlurrahman (1919-1988), dan Jose Cassanova.
Menurut pandangan ini agama versus negara berhubungna secara simbiotk, yakni satu
hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan
negara karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara
memerlukan agama kaarena dengan agama negara dapat bimbingan moral.

Realitas Kebangkitan Islam18

Gerakan kebangkitan Islam sudah dimulai sejak akhir abad ke-19 M dan terus
menunjukkan gairahnya pada awal abad ke-20 M. Gerakan ini dipelopori oleh
Jamaluddin al-Afghani, Moh. Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain hingga berpengaruh
sampai di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

17
Zakaria Husin Lubis, “Relasi Ekonomi dengan Hukum dan Agama” Jurnal Al-Ashriyyah,
Volume 2, Nomor 1, Oktober (2016) 16.
18
Sebagian besar sub bab ini disarikan, disertai penyesuaian-penyesuain dengan kondisi saat ini, dari tulisan
Dawam Rahardjo, Kritik Nalar Kebangkitan Islam, Makalah pada Pengajian Komunitas Titik-Temu Nurcholish
Madjid Society dengan tema “Agama dan Krisis Indonesia Kontemporer: Sebab atau Solusi” pada Kamis, 18
Desember 2008
Pemikiran mereka mempropagandakan reformasi hubungan umat Islam,
mengadakan komunikasi antar negara Dunia Islam, dan berusaha mengintegrasikan
negara-negara Islam. Syria dan negara-negara sekitarnya terlibat konflik dengan
kekhalifahan Utsmani, lalu memisahkan diri dan menegakkan nasionalisme sendiri.
Sejak itu nasionalisme mereka mengandung benih-benih pemikiran untuk memisahkan
diri dari ikatan keislaman. Pemikiran nasionalisme mangalami polarisasi menuju model
aliran dan pola politik Barat. Karenanya, kita tidak menemui adanya revolusi Arab
terhadap kekhalifahan Utsmani, termasuk dari kalangan para pelopor nasionalisme,
kecuali hanya "tes negatif" terhadap pemikiran kebangkitan Islam.
Kemudian berkembanglah pemikiran nasionalisme dalam dua versi karena
perbedaan perumusan kesatuan nasional dan faktor-faktor lain dalam bidang
pemikiran dan politik. Versi pertama mengambil sikap kekiri-kirian. Mereka berjuang
melawan zionisme dan imperialisme. Kelompok ini giat bergerak untuk mencapai
integrasi yang tidak mampu direalisasikan oleh para pelopor solidaritas nasional.
Sedangkan versi kedua adalah kekuatan politik yang membuat slogan-slogan sebagai
simbol kekuatan politik yang defensif40
Setiap versi mengandung unsur sekularisme dan para pendukungnya
membangun rivalitas dengan gerakan kebangkitan Islam. Karena gerakan kebangkitan
Islam menekankan pemikiran dan politik, maka mereka menyerang sikap dan
pemikiran kedua versi nasionalisme itu serta mempersoalkan dasar-dasar propaganda
nasionalisme dan mempertanyakan tujuan-tujuannya. Para pelopor nasionalisme
terlibat perdebatan dengan para pemikir-pejuang Islam hingga memenuhi halaman-
halaman media dan publikasi sastra.
Seandainya tidak karena terbukanya pemikiran nasionalisme, pengaruh
program-program persatuan nasional, dan kebesaran kebangkitan Islam, maka keadaan
akan berhenti pada munculnya tesis-tesis nasionalisme, ide-ide dan kebijakan politik
yang mengokohkan etnis, dan Islam sebagai faktor pendorong dan pengarah
nasionalisme. Pada skala makro, pemikiran kebangkitan Islam tidak memberikan
respon terhadap pengakomodasian tersebut. Pada umumnya, akomodasi semacam itu
tidak akan berkembang, baik secara teoretis maupun politis.
Di negara-negara Arab-Afrika pada umumnya, perdebatan antara Islam,
nasionalisme, dan Arabisme tidak menyentuh aspek kebangsaan, tetapi terjadi
perdebatan mengenai konsep-konsep kenegaraan versi Eropa. Para pendukung
nasionalisme ingin merumuskan teori nasionalisme kawasan dan melestarikan
kebangsaan. Mereka mengutarakan pandangan untuk meregionalkan bahasa dan
dialek, mengadakan penulisan sejarah yang menanamkan kebanggaan terhadap tokoh-
tokoh nasional, serta menegaskan semangat nasionalisme dan peran nasional yang
khusus dalam misi internasional. Kelompok-kelompok ini muncul di Mesir. Mereka
mengagungkan sejarah Fir'aun dan Eropa. Fenomena sejenis juga terlihat di Sudan dan
negara-negara Afrika Utara.
Gerakan kebangkitan Islam baru memberikan reaksi keras terhadap fanatisme
nasional ketika mereka menemukan unsur-unsur sekularisme dan afiliasi terhadap
nilai-nilai Barat di dalamnya. Fanatisme semacam itu adalah fanatisme yang terputus
dari umat Islam. Berbagai literatur kebangkitan Islam mengkritik nasionalisme Mesir
yang kering analisisnya dalam menilai Eropa dan Islam serta pemikiran tokoh-tokoh
seperti Luthfi Sayid, Thaha Husain, dan Salamah Musa.
Kesempatan-kesempatan baik bagi Islam semakin terbuka dengan telah
bangkitnya negara-negara Islam dari cengkraman penjajahan, terutama di Asia dan
Afrika, yang berpenduduk mayoritas Islam. Selain itu, telah didirikan organisasi-
organisasi Islam untuk menggalang persatuan dan kesatuan Islam secara internasional
untuk merundingkan permasalahan-permasalahan Islam sekaligus memecahkannya.
Organisasi-organisasi Islam internasional itu diantaranya adalah World Muslim
Conggres di Karachi, World Muslim League (Rabithah Alam Islamy) di Mekkah, dan Majlis
A’la al-Alamy lil-Masajid (Dewan Masjid se-Dunia) di Mekkah. Di samping itu muncul
pula pusat-pusat Islam (Islamic Center) di berbagai kota dan negara seperti di
Washington (AS), London, Jepang, Belanda, Jerman dan sebagainya. Melalui brosur-
brosur dari organisasi-organisasi tersebut, ajaran-ajaran Islam disebarkan menembus
radius lingkungan lebih luas.
Dalam gerakan kebangkitan itu terlihat pula kemajuan pembangunan ekonomi
yang sedikit demi sedikit menanjak maju di negara-negara Islam. Bangsa-bangsa Arab
di kawasan Timur Tengah dengan kekayaan minyaknya semakin memperlihatkan
getaran-getaran kemajuan. Negara-negara Arab ini sempat mampu membuat resah
negara-negara industri Barat dengan politik “embargo minyak” ketika terjadi perang
Arab-Israil di tahun 1970.
Dunia Islam telah melahirkan beberapa gerakan yang punya potensi menjadi
model ideal. Pertama adalah model Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tapi di masa lalu,
Ikhwanul Muslimin mengalami sempalan menjadi gerakan yang terlibat dalam
penggunaan kekerasan, walaupun gagasan inti dari organisasi ini menolak penggunaan
kekerasan, sehingga akhirnya dibubarkan di banyak negara muslim.

Ikhwanul Muslimin merupakan sebuah partai yang tertutup dan ideologis,


yakni masih menganut paham Islamisme yang sektarian dan fundamentalis. Namun,
pola perjuangan seperti itu telah mengalami perubahan. Pertama, berkembang menjadi
partai kader berbasis profesionalisme untuk bisa menduduki jabatan-jabatan politik
terutama di parlemen. Kedua, partai sendiri memusatkan perhatian di bidang ekonomi
dengan mengembangkan unit-unit usaha untuk mendukung kemandirian partai. Di
Indonesia, model ini diikuti oleh PKS yang mengembangkan sebuan partai yang
berkarakter, sekalipun belakangan menyatakan lebih terbuka. Di sekitar Ibu Kota,
partai ini ternyata berhasil meraih kemenangan – walaupun dalam Pilkada DKI
terakhir kader PKS gagal menarik suara terbanyak, karena yang berhasil adalah tokoh
birokrat yang mendapat dukungan dari berbagai partai lainnya termasuk partai Islam.
Namun demikian, PKS pada dasarnya masih merupakan sebuah partai tertutup;
rekrutmen anggota dilakukan melalui seleksi keanggotaan yang ketat berdasarkan
kriteria syari’at.
Model kedua adalah Jami’at al-Islami yang didirikan oleh Abu A’la al-Maududi
di Pakistan. Model ini, di satu pihak, mengembangkan dan mempropagandakan model
kepemimpinan Khulafa Rasyidah. Tetapi di lain pihak, gerakan ini memilih cara-cara
demokrasi guna mencapai tujuan secara gradual dan tidak revolusioner. Walaupun
memilih jalur demokrasi, tetapi Jami’at al-Islami ini masih merupakan partai tertutup
dengan dukungan kaum Muslim minoritas. Partai ini juga bukan sebuah partai sekuler
berhaluan kebangsaan dan karena itu merupakan partai ekslusif.
Model ketiga adalah Aljazair. Partai ini juga berhaluan Islamisme, tetapi
mengikuti cara demokrasi dalam perjuangan politiknya. Namun, meskipun berhasil
dan meraih suara terbanyak dalam Pemlu, partai ini dibubarkan oleh golongan militer
yang sekuler, sehingga partai ini mengalami kegagalan. Partai ini akan maju hanya jika
mampu merubah dirinya sebagai sebuah partai terbuka dan menerima prinsip
sekularisme dan asas kebangsaaan sehingga tidak menimbulkan reaksi dari kaum
militer yang berkuasa dan berpengaruh. Ironisnya, tindakan yang melanggar
demokrasi ini ternyata tidak mendapat reaksi pembelaan dari negara-negara Islam
lainnya, termasuk di Arab sendiri, karena kaum militer ini mengatas-namakan
nasionalisme Arab.
Model keempat adalah partai AK atau Justice and Development Party yang
berkembang di Turki. Partai ini tidak secara terbuka menganut ideologi Islamisme dan
lebih merupakan representasi aspirasi kaum Muslim di Turki yang merupakan 96%
dari jumlah penduduk. Strategi yang dipakai oleh partai berhaluan Islam ini adalah:
Pertama, menerima dan mengikuti sekularisme dengan usaha melunakannya; Kedua,
mengikuti cara demokrasi parlementer sebagaimana berlaku di Turki; Ketiga,
mendukung masuknya Turki ke dalam Uni Eropa; dan Keempat, mengikuti haluan
pasar bebas dalam politik perekonomian, sebab melalui pasar bebas inilah umat Islam
bisa membangun kekuatan ekonominya. Model ini ternyata sangat sukses. Ia berhasil
membangun kekuatan ekonomi dan proses industrialisasi di Turki. Dan dengan
keberhasilannya ini, partai AK mampu meraih suara terbanyak dalam parlemen Turki.
Sehingga kerena itu, presiden maupun perdana menteri Republik Turki dewasa ini
dijabat oleh tokoh Islam AK.
Model lain yang bisa menjadi perhatian adalah Malaysia. Model ini merupakan
kombinasi dua strategi. Di satu pihak, gerakan politik Islam diwakili oleh partai Islam
fundamentalis yang berjuang secara demokratis – terutama di dua negara bagian –
yaitu PAS. Di lain pihak, adalah melalui federasi partai sekuler pluralis dan terbuka,
yaitu AMNO dan Partai Keadilan yang melakukan oposisi. Kekuatan partai ini lebih
merupakan representasi aspirasi kaum Muslim Melayu daripada Islamisme. Karena itu,
maka partai ini berperan dalam meningkatkan pendapatan kaum Muslim, terutama
petaninya, dan mendukung perkembangan sistem ekonomi Islam atau ekonomi
syari’ah sebagai wahana pembangunan ekonomi negara. Keistimewaan model
Malaysia ini mirip dengan di Turki, yaitu berhasil dalam melaksanakan kebangkitan
ekonomi atau kebangkitan Islam melalui pembangunan ekonomi. Model ini sebenarnya
mirip dengan model Indonesia. Walaupun gerakan politik Islam belum berhasil
mensukseskan pembangunan ekonomi, tetapi nampak memperlihatkan
keberhasilannya dalam pengembangan ekonomi syari’ah – melalui pasar bebas – dan
demokrasi parlementer.
Pembangunan ekonomi Islam dalam kerangka pasar bebas ini telah berhasil
dikembangkan di Saudi Arabia dan Negara Emirat Arab yang kecil-kecil berkat
dukungan sumber daya alam migas yang kaya dan hubungan kerjasama dengan
negara-negara industri maju. Negara-negara kaya minyak lainnya seperti Irak dan
Aljazair belum menampakkan keberhasilannya, dan masih mengikuti skema ekonomi
sosialis. Negara seperti Irak juga tidak berhasil karena masih terlalu banyak
menggunakan dananya untuk membangun kekuatan militer melawan Israel.
Sebenarnya kunci kebangkitan negara-negara Arab dan Timur Tengah pada umumnya
adalah jika mencapai perdamaian abadi dengan Israel. Yang paling ideal adalah jika
negara Palestina dan Israel bisa bergabung menjadi sebuah negara sekuler pluralis di
mana para pemeluk tiga agama terbesar yaitu Islam, Kristen dan Yahudi dapat hidup
berdampingan secara damai dan persaingan dilakukan melalui mekanisme demokrasi
liberal. Jika perdamaian abadi dapat dicapai, maka negara-negara Islam Timur Tengah
bisa mengkonsentrasikan diri dalam pembangunan ekonomi dan melakukan kerjasama
di segala bidang melalui OIC/OKI yang merupakan lembaga kekhilafatan Islam. Dalam
kebangkitan ini, konfrontasi terhadap dunia Barat harus dilepaskan dan diubah
menjadi mitra pembangunan. Negara Barat penting untuk dijadikan mitra dalam
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui cara inilah
berbagai negara Islam akan berkembang menjadi negara-negara industri baru
mengikuti rekan-rekan mereka di Timur Jauh.
Peranan merintis perdamaian Arab Israel ini sebenarnya telah dilakukan oleh
Mesir melalui kesepakatan Camp David. Tetapi, inisiatif Mesir ini tidak disetujui oleh
negara-negara Arab lainnya. Bahkan politik perdamaian ini sudah ditempuh pula oleh
Yaser Arafat, melalui organisasi al-Fatah yang berhaluan sekuler. Tapi justru al-Fatah
ini dalam Pemilu di Palestina dikalahkan oleh partai Hamas yang berhaluan keras.
Indonesia pada zaman pemerintahan Abdurrahman Wahid juga mencoba merintis
upaya untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, tapi langkah ini ditentang
keras oleh masyarakat Indonesia.
Padahal, hubungan diplomatik ini sangat memungkinkan bagi Indonesia untuk
melaksanakan politik bebas aktif dan bisa menjadi mediator Arab-Israel dalam
mencapai perdamaian. Dalam peranan ini, organisasi Asia-Afrika bisa merupakan
dukungan ke arah perdamaian Arab-Israel. Dengan ganjalan masalah Palestina ini,
Dunia Islam harus berkonfrontasi dengan negara-negara Barat. Inilah hambatan utama
kebangkitan Dunia Islam, sebab dalam posisi politik seperti itu, Dunia Barat tidak akan
memberi kesempatan kepada Dunia Islam untuk bangkit. Karena hubungan dengan
Barat yang konfrontatif inilah, apalagi diperkuat oleh Clash of Civilization-nya
Huntingtion, maka Dunia Islam akan dianggap sebagai musuh Barat. Padahal,
kebangkitan Dunia Islam ini bergantung kepada kemitraan dan dialog peradaban antar
Barat dan Islam. Di samping itu, dengan selesainya masalah Arab-Israel, maka Dunia
Islam bisa terhindar dari anggaran perang, sehingga bisa mengkonsentrasikan dirinya
untuk membangun ekonomi dan demokrasi.
Dengan demikian, agenda kebangkitan Islam dewasa ini menghadapi jalan
buntu. Tetapi harapan kebangkitan ini masih ada, yaitu melalui kebangkitan bangsa-
bangsa Muslim. Misalnya jalan menuju kebangkitan ini telah ditempuh oleh Malaysia
yang tak lama lagi bisa berstatus menjadi negara industri baru dengan sistem
pemerintahan monarkhi konstitusional dan demokratis. Indonesia sendiri bisa
mengikuti langkah Malaysia ini, tetapi dalam rangka kebangkitan ASEAN secara
keseluruhan. Namun kebangkitan Malaysia itu tetap tidak bisa berperan untuk
memecahkan masalah Arab-Israel, sebab Islam di Malaysia cukup fundamentalis dan
cenderung mengikuti model Saudi Arabia. Jika Indonesia berhasil bangkit, maka
Indonesia mempunyai posisi dan dukungan internasional untuk mencapai perdamaian
Timur Tengah. Bagaimanapun juga, perdamaian Timur Tengah merupakan kunci
kebangkitan Dunia Islam. Masalahnya adalah Indonesia harus bisa menemukan model
kebangkitan Islam itu. Partai-partai Islam di Indonesia nampaknya juga mempunyai
masalah tersendiri untuk menjadi kekuatan politik yang bersatu dan berhaluan
moderat.
Sebuah model kebangkitan bisa dilakukan oleh Indonesia dengan mengadopsi
berbagai unsur yang tepat dari berbagai model yang telah ditempuh di berbagai Dunia
Islam. Pertama, menerima sekularisme seperti di Turki. Kedua, menempuh perubahan
secara demokratis dengan menghindari penggunaan cara-cara kekerasan sebagaimana
ditempuh oleh Jami’at al-Islam Pakistan yang didirikan Abu A’la al-Maududi. Ketiga,
memakai kerangka kebangsaan yang pluralis seperti ditempuh oleh PKB di Indonesia.
Keempat, menerima sistem pasar bebas seperti ditempuh oleh partai AK di Turki
tapi tetap bersikap antipati terhadap imperialisme dan Neo-liberalisme seperti Hugo
Chavez dari Columbia dan Moralez dari Bolivia. Kelima, berdamai dengan negara-
negara industri maju, seperti kerjasama Turki dengan negara-negara Eropa. Keenam,
bersikap bebas aktif dalam sengketa Arab-Israel agar bisa menjadi mediator bagi
perdamaian abadi di Timur Tengah. Ketujuh, membangun partai kader yang
berkarakter seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, tetapi berideologi sekuler, misalnya
sosial demokrasi, seperti Partai Buruh di Inggris atau Partai Sosial-Demokrat di Jerman.

Proyeksi Hubungan Peradaban Islam dan Barat

Gerakan kebangkitan Islam turut melahirkan isu-isu atau teori-teori terkait


hubungan antara peradaban Islam dengan peradaban Eropa (Barat). Setidaknya ada
tiga teori yang paling menonjol dan memberikan perhatian yang memadai terhadap
aspek-aspek peradaban dan kebudayaan, pertama teori benturan peradaban (clash of
civilization theory) yang dikemukakan oleh Samuel Huntington, yang kedua yaitu teori
soft power (soft power theory) yang dikemukakan oleh Joseph Nye dan yang ketiga teori
konstruktivisme (constructivism theory) yang dikemukakan oleh Alexander Wendt.

a. Teori Benturan Peradaban (clash of civilization theory)


Istilah ‘konflik peradaban’ diperkenalkan Samuel Huntington dalam bukunya
The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996) sebagaimana dikutip oleh
Vita Vitria.19 Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya ideologi komunisme,
membawa pengaruh meluasnya wilayah konflik sehingga melewati fase Barat, dan
yang mewarnainya adalah hubungan antara peradaban Barat dan non-Barat serta
antarperadaban non-Barat itu sendiri.
Selanjutnya Huntington mengelompokkan negara-negara bukan berdasarkan
atas sistem politik ekonomi, tetapi lebih mendasarkan pada budaya dan peradaban. Ia
mengidentifikasi terdapat adanya sembilan peradaban kontemporer, yaitu, peradaban

19
Vita Vitria. Konflik Peradaban Samuel P. Huntington (Kebangkitan Islam yang
Dirisaukan?). HUMANIKA Vol. 9 No. 1, Maret 2009, hal. 39 dst, diakses dari
https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3782/3258 pada tanggal 03 Januari
2023 pukul 11.05
Barat, Cina, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, Islam, dan peradaban
Kristen Ortodoks.
Vita Vitria mengutip pendapat Huntington bahwa benturan yang paling keras
memprediksi akan terjadi antara kebudayaan Kristen Barat dengan kebudayaan Islam.
Pendapat tersebut secara tidak langsung memperkuat asumsi sebagian besar ilmuwan
Barat yang melihat Islam sebagai sebuah aggression and hostility (agresi dan ancaman)
bagi kebudayaan Barat.

b. Teori Soft Power (soft power theory)


Teori soft power dari Joseph Nye juga membangkitkan minat para sarjana HI
(Hubungan Internasional) mengenai pentingnya faktor kebudayaan dan peradaban. Nye
menetapkan standar nilai, ekonomi pasar, dan peradaban Barat sebagai faktor-faktor
dari soft power sehingga menjadi relatif terhadap hard power kekuatan militer. Pertama,
ia menegaskan bahwa faktor budaya dan ekonomi memainkan peran yang semakin
besar dalam hubungan internasional dan hakikat soft power tidak dapat dijelaskan dan
dinilai secara geopolitik. Kedua, soft power menjadi faktor yang tak dapat dihindari,
membuat semua negara mengikuti dengan sepenuh hati atau terpaksa mengikuti.
Sampai batas tertentu, efektivitas soft power lebih dari hard power. Pada akhirnya soft
power dan hard power lebih bersifat komplementer daripada bertentangan.
Lebih dari itu, teori soft power telah memperkenalkan pemahaman mengenai
peranan budaya dan menjadi titik pertumbuhan baru dalam penelitian tentang
hubungan internasional. Menurut Zhu Majie, soft power merupakan komponen penting
terkait dengan kompetisi antar negara dan memainkan peran yang terus meningkat
dalam evolusi hubungan internasional. Kebudayaan sebagai salah satu jenis dari soft
power bahkan memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap hubungan internasional.

c. Teori Konstruktivisme (Constructivism Theory)


Salah satu dalam studi HI yang menaruh perhatian terhadap isu kebudayaan
adalah konstruktivisme.36Bakry mengutip pendapat Alexander Wendt37dalam
karyanya Social Theory of International Politics (1999) yang mengemukakan beberapa
preposisi. Salah satunya adalah Wendt tidak sepakat dengan pendapat yang
mengatakan bahwa negara-negara adalah bentuk dari penyelamatan diri (self-help) dan
bersaing satu sama lain. Wendt merujuk pada tiga kebudayaan yakni kebudayaan
Hobbesian, kebudayaan Lockean, dan kebudayaan Kantian.
Menurut kebudayaan Hobbesian (Hobbesian culture), orientasi timbal balik antar
negara adalah musuh. Menurut kebudayaan Lockean (Lockean culture), orientasi timbal
balik antar negara merupakan pesaing. Sedangkan menurut kebudayaan Kantian
(Kantian culture), orientasi timbal balik antar negara justru sebagai teman. Negara-
negara besar memiliki kekuatan serta sulit dibatasi oleh lingkungan yang dibakukan
(standardized environment), sehingga mereka mempunyai kemampuan menginovasi
kebudayaan.

Kesimpulan/Penutup

Kebangkitan Islam merupakan isu yang sangat populer di dunia Islam sejak
awal abad ke-19. Isu ini berkelindan erat dengan perjuangan bangsa-bangsa di dunia
Islam untuk melepaskan diri dari hegemoni politik Eropa yang menjajah mereka. Saat
itu, masyarakat muslim memang sedang terpuruk, lawan kata dari bangkit. Kekalahan
demi kekalahan dialami oleh umat Islam yang ditandai dengan jatuhnya hampir
seluruh negeri Islam oleh bangsa Barat.
Sejak saat itu, isu dan gerakan kebangkitan Islam terus bergulir dan berkembang
di dunia Islam. Gerakan ini berkembang dan melahirkan beragam corak gerakan
(termasuk di dalamnya pemikiran). Terkadang, gerakan-gerakan ini saling
bertentangan meskipun tujuannya sama, yaitu kebangkitan Islam.
Paham kebangkitan ini identik dengan modernisme dan upaya-upayanya
dikenal dengan istilah modernisasi, sebagai refleksi atas perkembangan di Eropa yang
memasuki masa ‘modern’ yang membawa kemajuan.
Kebangkitan Islam diidentifikasi menjadi dua. Pertama, kebangkitan sebuah
peradaban baru di masa modern. Kedua, menghidupkan kembali masa lampau,
misalnya masa Khulafa Rasyidah atau masa Salafi, yakni generasi awal ketika
peradaban Islam yang baru tumbuh itu masih belum dipengaruhi oleh peradaban lain,
khususnya Yunani.

Wallahu a’lam

Daftar Pustaka
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Hanik, Lilik Umi. Perspektif Neo Modernisme dan Neotradisionalisme atas Kebangkitan Islam:
Studi Perbandingan antara Pemikiran Fazlur Rahman dan Hossein Nashr, (Surabaya:
SKI,1996).
Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press: 1998).
Jamilah, Maryam. Islam dan Orientalisme: Suatu Kajian Analitik (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 1994).
Lubis, Zakaria Husin. “Relasi Ekonomi dengan Hukum dan Agama” Jurnal Al-
Ashriyyah, Volume 2, Nomor 1, Oktober (2016).
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta; Yayasan Paramadina, 1992).
Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2013).
Muzani, Saiful. Kebangkitan Islam Di Asia Tenggara, (Jakarta : LP3ES, 1999).
Nasr, Hossein, Menjelajah Dunia Modern, terjemah Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1993), 126.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Penerbit Bulan Bintang, 1975).
Raharjo, M. Dawam. Kritik Nalar Kebangkitan Islam, Makalah pada Pengajian Komunitas
Titik-Temu Nurcholish Madjid Society dengan tema “Agama dan Krisis Indonesia
Kontemporer: Sebab atau Solusi” pada Kamis, 18 Desember 2008.
Shihab, M. Quraish M.Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008)
Vita Vitria. Konflik Peradaban Samuel P. Huntington (Kebangkitan Islam yang Dirisaukan?).
HUMANIKA Vol. 9 No. 1, Maret 2009, hal. 39 dst, diakses dari
https://journal.uny.ac.id/index.php/humanika/article/view/3782/3258 pada tanggal 03
Januari 2023 pukul 11.05
Voll, John O., “Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid dan Ishlah”,
dalam John L. Esposito (Ed.), Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses dan
Tantangan (Jakarta: Rajawali Press, 1987)
Widayani, Hanna. “Neomodernisme Islam dalam Perspektif Fazlur Rahman”, Jurnal
El-Afkar, Vol. 9 Nomor. 1, Januari-Juni 2020.
Yafie, K. Ali, “Ijtihad: Adakah Suatu Kemestian?”, dalam Pesantren, Nomor 1/Vol. V/1988, 6
Zulkarnaini, “Dakwah Islam Era Modern”, Jurnal Risalah, Vol. 26, No. 3, September
(2015).

Anda mungkin juga menyukai