Anda di halaman 1dari 16

1

PEMIKIRAN FIQIH A. HASSAN


Ahmad Hasan Ridwan

A. Pendahuluan
Gerakan pembaruan Islam di Indonesia yang gencar diwacanakan memunculkan
beragam corak pemikiran. Pembaruan ini yang menekankan pada penyadaran diri umat
Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan mengumandangkan
terbukanya pintu ijtihad. Pembaruan tahap awal ini sebagaimana Fazlur Rahman jelaskan,
diwarnai oleh semangat pemurnian ajaran Islam Gerakan yang diidentifikasi merupakan
upaya purifikasi ajaran dan sanggahan terhadap budaya lokal ini seringkali berkisar pada
tema menghadirkan, memberi isi dan peran Islam di tengah kehidupan sosial dan
menjadikan Islam sebagai perangkat untuk transformasi sosial.
Gerakan pembaruan telah berjalan hampir satu abad. Selama rentang waktu itu
banyak terjadi perubahan, baik yang bersifat sosial, politik, ekonomi maupun perubahan
sikap dan pandangan hidup umat Islam yang disebabkan oleh adanya perubahan-
perubahan masa dan situasi politik yang penuh gejolak dan pergolakan. Pola, sasaran dan
unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan
ini. Semangat dan kecenderungannya pun terjadi berbeda dilihat dari tingkat pemahaman
terhadap corak perubahan yang terjadi, ruang lingkup dan batas-batas yang
memungkinkan ditolelirnya perubahan dan pembaruan.1
Watak gerakan pembaruan Islam selalu mengaitkan purifikasi sebagai pendekatan.
Purifikasi dipandang sebagai produk dari proses interaksi berbagai pemikiran yang
mempengaruhi pemikiran Islam. Interaksi dialogis telah melibatkan sebuah proses
dialektika yang intensif antara tradisi besar dan tradisi kecil dalam sejarah gerakan
pembaruan Islam. Perubahan (change) terjadi ketika gerakan purifikasi merupakan tradisi
baru memiliki kekuatan dibanding tradisi lama. Akan tetapi, proses kesinambungan
(continuity) dengan tradisi lama tetap berjalan meskipun telah muncul tradisi baru.
Purifikasi merupakan artikulasi dari proses kesinambungan (continuity) dan perubahan
(change), dan purifikasi menjadi pendekatan untuk memahami pesan teks dalam sumber
hukum Islam.
B. Modernisasi dalam Pemikiran Islam
1. Modernisasi
Salah satu persoalan besar yang dihadapi negara-negara berkembang adalah
masalah modernisasi. Modernisasi sering diartikulasikan dengan westernisasi, padahal dua
terma ini mempunyai aksentuasi yang berbeda, hanya saja ada kesamaan dalam masalah
perubahan (Change). Perubahan ini merupakan muara dari tiga terma yaitu : Development,
Modernization dan Westernization. Development bercirikan prosperity (kemakmuran) dari

1
Awad Bahasoan, “Gerakan Pembaharuan Islam : Interpretasi dan Kritik”, Prisma, No. Ekstra, tahun
1984, h. 106. Dari berbagai gerakan pembaruan, ada yang lebih menekankan pada aspek normatif-teologis
dan ada yang memusatkan perhatian pada aspek obyektif-historis, ada yang mendekatinya dari aspek
struktural, kultural dan aksi sosial. Dalam mengamati perkembangan pembaruan pemikiran tersebut sampai
pertengahan 80-an, Fachri Ali dan Bahtiar Effendi membagi gerakan pembaruan ke dalam empat tipologi,
yaitu : neo-modernisme Islam, sosialisme-demokrasi Islam, internationalisme dan Universalisme Islam. Pada
saat ini telah timbul kesadaran kolektif, respons, atau kesaksian zaman dari suatu generasi yang berada pada
usia peralihan dari masyarakat agraris ke zaman industri suatu generasi yang melihat masa depan Islam
sebagai kekuatan sosial, budaya, ekonomi yang disebabkan

DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan


2

pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang yang terkaper dalam equity dan


equility. Westernisasi pada umumnya diartikan sebagai proses transformasi nilai, yaitu nilai-
nilai Barat, ke dalam negara-negara berkembang, sedangkan modernisasi dipahami
sebagai proses perubahan yang lebih menyeluruh, di bidang sosial, politik, ekonomi,
pemikiran, sedangkan transformasi nilai hanyalah merupakan bagian dari proses-proses
tersebut.
Kenyataan ini membuat pemerintahan negara-negara berkembang--termasuk
Indonesia--mendorong modernisasi dalam berbagai sektor. Masyarakat Indonesia - yang
mayoritas bergama Islam - sadar akan kebutuhan terhadap modernisasi. Di samping itu
juga lahirlah para cendekiawan dan tokoh Islam yang memberikan respon yang positif
terhadap modernisasi.
Modernisasi pemikiran Islam melahirkan gagasan pembaruan yang berangkat dari
pemahaman terhadap teks dan penjelasan konteks sejarahnya.
Pertama, Secara tekstual, ide pembaharuan berangkat dari hadits Nabi:2
“Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw. Sesungguhnya Allah SWT. telah
mengutus bagi umat ini pada setiap seratus tahun ada seorang yang melakukan
pembaruan agamanya.” (H.R. Abu Daud, dan al-Hakim)

Kedua, dalam konteks sejarah pemikiran Islam, pembaruan pemikiran Islam


berangkat dari adanya ketegangan antara keinginan mempertahankan warisan intelektual
Islam dengan tantangan modernitas yang semakin kompleks. Dinamika pemikiran akibat
munculnya modernisme melahirkan tahapan-tahapan dan tipologi pemikiran.
Tipologi dan trend pemikiran yang berbeda menawarkan respons dan solusi yang
berbeda berdasarkan perspektif trend dan aliran pemikiran yang beragam. Fazlur Rahman
melihat pembaruan pemikiran dalam Islam dari segi sejarah dan adanya tuntutan internal
serta ekternal Islam. Tahap pertama yang ia sebut sebagai revivalis pramodernis yaitu
pembaruan pemikiran Islam yang menekankan pada penyadaran diri umat Islam untuk
kembali kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan mengumandangkan terbukanya pintu
ijtihad. Pembaruan tahap awal ini diwarnai oleh semangat pemurnian ajaran Islam
sebagaimana terjadi pada masa salaf yang bercorak literalis dan skripturalis. Pembaruan
tahap ini juga ditandai oleh belum adanya kontak langsung dengan Barat.
Pada tahap selanjutnya, ketika pembaruan pemikiran telah mengalami kontak
dengan peradaban Barat, melahirkan gerakan modernisme, di mana pembaruan tidak saja
didorong oleh tuntutan internal tetapi juga tuntutan eksternal. Dalam hal ini, Fazlur
Rahman membagi lagi ke dalam dua fase, yaitu : modernisme klasik yang lahir pada abad 19
dan awal abad 20 dengan ditandai oleh perluasan cakupan ijtihad dan upaya mengadaptasi
peradaban Barat untuk memacu kemajuan Islam dan modernisme kontemporer yang
muncul sebagai kelanjutan dan sekaligus reaksi atas modernisme klasik. Kemudian,
Rahman Rahman menawarkan bentuk baru pemikiran Islam yaitu neomodernisme.3

2. Pembaruan untuk Purifikasi


Banyak terminologi yang dipakai dalam pengertian modernitas ini yang kesemuanya
memiliki arti yang sama atau ada keterkaitan. Ada yang mengartikan modernitas adalah

2
Lihat, Basthami M. Said, Mafhum Tajdid ad-Din (Kuwait: Dar ad-Da’wah, 1984).
3
Lihat, Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam. Taufiq Adnan Amal (ed.)(Bandung:
Mizan, 1987), h. 18.
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
3

pembaruan, tajdid, reorientasi pemurnian kembali. Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa


pembaruan berarti upaya mengembalikan pemahaman agama kepada kondisi semula
sebagaimana masa Nabi. Ini bukan berarti bahwa hukum agama harus persis seperti yang
terjadi pada waktu itu, melainkan melahirkan keputusan hukum untuk masa sekarang
sejalan dengan maksud syar’i dengan membersihkan dari unsur-unsur bid’ah, khurafat atau
pikiran-pikiran asing.4
Pada prinsipnya pembaruan berintikan pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan
paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu dan teknologi. Proses perubahan sosial terjadi pada suatu masa yang
memiliki sistem pengetahuan dan sistem simbolnya sendiri, yang ditentukan oleh
tingkatan teknologi yang berkembang pada waktu itu. Cara berpikir, cara berpengetahuan
dan cara menciptakan simbol-simbol sangat terikat pada tingkatan teknologi masyarakat
pada zamannya. Begitu pula dengan umat Islam Indonesia yang mengalami dua periode
teknologi, yaitu paleoteknik (agraris) dan neoteknik (industri). Pertama, alam pikiran umat
Islam Indonesia secara umum bercorak mitis dan magis sehingga memandang gejala alam
sebagai pembatas (constraint) manusia. Akibatnya masyarakat agraris sulit sekali
menggalang solidaritas ummat.5 Kedua, periode neoteknik di mana alam pikiran cenderung
logis dan rasional.
Menurut teori perubahan sosial Durkheim, bahwa agama dianggap sebagai perekat
solidaritas sosial, agama memantapkan komitmen anggota masyarakat dan sekaligus
memberdayakan mereka, yang kemudian disebutnya sebagai kesadaran kolektif.6 Tidak
ada masyarakat tanpa seremoni umum yang memperkuat sentimen-sentimen dan
kepercayaan umum.7 Sentimen kolektif dalam Islam adalah iman atau tawhid, solidaritas
sosialnya adalah ummat dan struktur tekniknya berupa kepemimpinan ulama atau kiyai
dalam komunitas santri.
Kesadaran kolektif inilah membentuk citra masyarakat Islam modern di Indonesia ini
sehingga dicirikan dengan berdirinya organisasi-organisasi Islam, seperti Sarekat Dagang
Islam (1909) kemudian Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Thawalib (1918),
Persatuan Islam (1923) dan Nahdhatul Ulama (1926).
Mukti Ali menjelaskan berdasarkan pada analisis H.R. Gibb dalam Modern Trend in
Islam, bahwa ada lima proyek yang menjadi kegiatan organisasi Islam di Indonesia yaitu :1.
membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam, 2.
reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam fikiran modern, 3. reformasi ajaran-
ajaran dan pendidikan Islam, 4. mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan-
serangan dari luar, dan 5. melepaskan Indonesia dari belenggu penjajah.8

3. Persatuan Islam (A. Hassan)


Membaca pemikiran A. Hassan, seorang pemikir Islam radikal dan pesohor intelektual
(mujaddid) selalu menemukan sesuatu yang “mencerahkan", dan membaca untuk sampai
ke arah yang mencerahkan itu tidaklah mudah untuk dipahami dan diterima. Selain

4
Yusuf Qardhawi, Dasar Pemikiran Hukum Islam, Tajdid dan ijtihad (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h.
96.
5
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), h. 279.
6
Meredith B. Mc. Guire, Religion: The Social Context (California: Wadswoth Publishing Company, 1981),
h. 150.
7
Bryan S Turner, Religion and Social Theory (London: Sage Publications, 1991), h. 45-50.
8
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia (Yogyakarta: Nida, 1971), h. 5-10.
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
4

pemikiran A. A. Hassan memiliki pesona tersendiri bagi para pengagumnya, dan tidak
sedikit disalahpahami oleh sebagian kelompok. Untuk memahami pemikiran A.A. Hassan
memerlukan sebuah pembacaan tersendiri, gagasan-gagasan yang tertuang dalam karya-
karyanya haruslah dipahami dalam konteks keagamaan dan sosial politik di Indonesia.
Nilai-nilai luhur bertebaran di puluhan karyanya, tentang fiqh, tafsir dan teologi. Karena
gagasan dan pemikirannya dikesani mencerahkan, maka A.A. Hassan dikagumi sekaligus
menjadi medan kajian dan rujukan di kalangan pemikir Indonesia. Ide-ide A.A. Hassan yang
tersebar dalam Karya-karyanya berpengaruh pada konstalasi pemikiran di Indonesia.
Melalui pembacaan (Fiqh ta’wil), pemikiran A.A. Hassan dapat dikaji secara historis-
kritis terhadap hubungan antara aspek sosial A. A. Hassan dengan produk pemikirannya,
asumsi-asumsi sosio-politis dan filosofis baik secara eksplisit maupun implisit yang
mendasari kecenderungan teologisnya. Untuk memperjelas posisi dan tipologi A. A.
Hassan, maka kerangka analisis menggunakan mekanisme pembacaan fiqh ta’wil sebagai
berikut :
Pertama, “objektivasi melalui analisis struktural” yang membuka wahana teks. Teks
adalah “any discourse fixed by writing”, teks adalah wacana yang difiksasikan ke dalam
bentuk tulisan (la fixation par l’écriture est constitutive du texte lui méme),9 artinya teks
merupakan fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan yang difiksasikan
dalam bentuk tulisan. Karya-karya A.A. Hassan dibiarkan bicara tentang dirinya sendiri
sehingga bersifat objektif. Implikasinya, tugas utama fiqh ta’wil bukan hanya untuk
mendorong pembaca ke suatu keputusan, tetapi mengajak pembaca membiarkan diri
untuk disapa oleh gagasan-gagasan A.A. Hassan. Hal ini berarti pembaca mesti membuka
diri agar teks menyapa sebagai bagian dari kategori la chose du texte. La chose du texte
yang dimaksud adalah dunia teks.
Kedua, Objektivasi diteruskan melalui penggelaran karya-karya A.A. Hassan dengan
cara mengambil jarak (distanciation) dari pengarang (distanciation from the author). Proses
penjarakan tidak hanya terjadi antara pengarang dan pembaca, tetapi penjarakan terjadi
pada konteks pembicaraan (distanciation from the context).10 Pada tahap ini diarahkan
pada penemuan mekanisme strukturisasi yang terwujud dalam penataan tekstual dan
strategi pembentukan makna yang tersembunyi.
Ketiga, Tahap selanjutnya adalah pemahaman diri (la compréhension de soi), yaitu
pembacaan karya-karya A.A. Hassan yang bermuara pada penafsiran diri pelaku agar
memahami diri dengan lebih baik atau appropriasi (appropriation) yaitu suatu proses untuk
membuat apa yang asing menjadi miliknya sendiri. Ada proses dekonstruksi terhadap
praduga-praduga yang menghalangi keterbukaan karya-karya A.A. Hassan. Tahapan
berikutnya adalah berusaha merekonstruksi ruang historis yang menjadi wahana kelahiran
teks baik berupa sistem pengetahuan, pandangan dunia (worldview) maupun kepentingan
ideologis.

a. Objektivasi Gagasan Fiqih A.A. Hassan

9
Istilah discourse adalah bahasa ketika ia digunakan untuk berkomunikasi. Discourse merujuk kepada
bahasa sebagai event, yaitu bahasa yang membicarakan tentang sesuatu. Bahasa terbagi kepada dua sifat,
yaitu: pertama, bahasa sebagai meaning adalah dimensi non historis, dimensi statis. Kedua, bahasa sebagai
event adalah dimensi yang hidup dan dinamis. Paul Ricoeur, “What is a Text ? Explanation and
Understanding”, dalam Hermeneutics & the Human Sciences, ed. John B. Thomson ( Cambridge: Cambridge
University Press, 1995), h.145.
10
Lihat, Paul Ricoeur, Du Texte à l’action…,h. 101-2, 125.
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
5

Gelar kehormatan sebagai mujaddid Islam pada abad ke-20an terpatri dalam jiwa A.A.
Hassan dan mengukir kepopuleran dalam sejarah pembaru Islam Indonesia. Kepopuleran
A.A. Hassan ditunjang oleh penerbitan buku sebagai buah dari hasil pemikiran yang brilian 11
dan publikasi perdebatan dengan lawan-lawannya hingga menyebrang ke negara
Singapura dan Malaysia.12 Ia pun dikenal sebagai mitra spiritual Presiden Pertama Bung
Karno sekaligus menjadi gurunya.13 Sejarah kesalehannya tercermin dari tulisan Syafig A.
Mugni bahwa:
Ada salah seorang dari Sumedang Jawa Barat bernama H. Ali Muhamad Siraj pernah
mengunjungi A.A. Hassan ketika berada di Banyuwangi. Dalam kunjungan tersebut ia selalu
membawa sepeda untuk mempermudah perjalanan keliling di kota atau di kampung-kampung.
Selanjutnya ia mengisahkan perjalanannya dengan A.A. Hassan. Di pinggir ban sepeda itu tertulis
kata-kata “inflate hard”. Tuan A. Hassan menanyakan apa arti kata-kata itu. Saya menjawab
“pompalah keras-keras, maksudnya supaya ban itu lebih awet dipakainya dan tak mudah
kempes,” jawab saya. “Bukan itu arti kalimat tersebut. Artinya ialah ban ini dibikin secara teratur,
tak usah kuatir,” jawab beliau. Mendengar arti yang diberikan beliau itu, saya tidak membantah,
karena saya tahu bahwa Tuan A. Hassan lebih paham berbahasa Inggris. Tapi tengah malam,
pintu kamar saya diketok dan berseru nama saya berkali-kali. Saya terbangun seraya
membukakan pintu. Beliau masuk dan segera mengucapkan minta maap atas kesalahannya
membuat arti kata-kata tersebut. “Arti itu tidak benar. Yang benar ialah arti Tuan Ali,” katanya.
“Mata saya tak mau dipicingkan sejak tadi, karena saya merasa bersalah dan belum minta maap.
Saya kuatir kalau tidak malam ini juga saya minta maap, siapa tahu besok kita tak bertemu
kembali lagi, karena meninggal salah seorang dari kita. Saya akan bergelimang dosa karena
kesalahan itu, sambung beliau.14

Publisitas cerita populer A.A. Hassan di atas cukup banyak diperdengarkan secara
massif. Kendati horison kepribadian A.A. Hassan jarang ditemukan pada sosok pembaharu-
pembaharu Islam sekarang ini. Jabatan Ketua Ormas PERSIS di Bandung memberi
pengaruh cukup besar pada masanya. Ormas semisal PERSIS yang begitu kecil secara
kuantitas, seperti oasis di gurun pasir yang luas, tetapi A. A. Hassan telah mencoba
merumuskan definisi Islam itu seperti apa untuk umat Islam Indonesia? Prinsip dasar
agama Islam dan apa sebenarnya prilaku religius yang tepat bagi umat Islam. A. A. Hassan
telah berusaha menghindari konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang kabur –-
agak tidak lumrah di Indonesia—dan membahas rincian-rincian serta substansi prilaku
religius di Indonesia.
Gagasan pembaruan A. A. Hassan bersumber dari dialektika empat ide pokok, yaitu
tentang; Pertama, Sumber Hukum Islam. Kedua, Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid. Ketiga, Bid’ah.
Keempat, Paham Kebangsaan. Dialektika dan kesatuan empat ide tersebut melahirkan ide

11
Lihat Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX,(Yogyakarta:
Gadjah Mada Universiti Press,1996), h. 279-282. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Federspiel
menggambarkan begitu banyaknya karya-karya yang ditulis oleh A. Hassan, baik yang oleh sendiri ataupun
yang bersama.
12
Lihat Tamar Djaja, Riwayat Hidup A.A. Hassan, (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980), h. 37. Pada buku ini
dijelaskan bahwa di kota Singapura telah diadakan seminar tentang A.A. Hassan pada tanggal 28-30 Januari
1979, anehnya justru diadakan oleh Ormas Muhamadiyah Singapura yang terpengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran A.A. Hassan, sehingga disebutkan bahwa setiap anggota Muhamadiyyah harus memiliki -–
sekurang-kurangnya—buku SOAL-JAWAB yang dikarang oleh A.A. Hassan.
13
Lihat Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi: Tentang Surat-surat Endeh, (Jakarta: Panitya Penerbit
DBR, 1963), h. 325-347.
14
Syafig A. Mugni, Hasan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1994), h. 9. Lihat
juga H. Tamar Djaja, Segi-segi Kehidupan A.A. Hassan, (Bangil: Al-Muslimun, NO, 113 (Juli, 1979), h. 45-47.
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
6

pendukung (supporting ideas) yang berfungsi memperkuat konstruksi seluruh bangunan


ide yaitu : teologi.

Pertama, Sumber Hukum Islam


A. A. Hassan tidak pernah membatasi secara tegas jumlah sumber hukum itu, tetapi
yang pokok, katanya, ialah Al-Qur’ân dan Al-Sunnah atau Hadis. Sedang Ijma’ dan Qiyas
sesungguhnya tidak berdiri sendiri dan tetap merujuk kepada dua sumber itu. A. Hassan
berpendapat, khususnya tentang pengamalan hadis, ada dua macam yang tidak boleh
dipakai, yaitu lemah riwayatnya dan yang palsu riwayatnya. Kedua macam hadis ini tidak
boleh dipakai untuk menetapkan sesuatu hukum halal, haram, sunnat atau makruh. Ia
hanya boleh dipakai untuk membantu keterangan saja, bukan jadi pokok pedoman.15
Demikian juga pandangan-pandangan A. Hassan tentang pemakaian hadis, misalnya,
tentang keberatan A. Hassan terhadap penggunaan hadis dhaif dalam fadlâil al-‘Amâl,
karena bagaimanapun juga hadis dhoif adalah hadis yang tidak dapat diakui sebagai
riwayat dari Nabi saw.16 jadi yang bisa dipakai sebagai sumber hukum Islam, kata A. Hassan,
ialah hadis-hadis yang sahih riwayatnya, di samping tidak bertentangan dengan ayat Al-
Qur’ân atau Hadis yang riwayatnya lebih kuat. Jika ada yang demikian, maka hadis tersebut
hendaklah ditakwilkan dengan arti yang tidak menyimpang dari ketentuan Bahasa Arab.
Tetapi bila tidak mungkin ditakwilkan maka harus didiamkan (tawaqquf) sementara, yakni
tidak dipakai.17
Sedang ijma’ menurut bahasa berarti bersatu atau mengadakan persatuan. Dan
menurut istilah bersatunya ulama mujtahidin pada suatu masa untuk menentukan hukum
sesuatu perkara dengan pikiran mereka, karena tidak ada alasan Al-Qur’ân atau Hadis dan
juga tidak dapat ditentukan hukumnya dengan jalan Qiyas18. A. Hassan berpendapat
tentang sebagian ulama yang menyatakan keputusan mujtahidin seperti ini sebagai pokok
sumber hukum Islam seperti Al-Qur’an dan Al-Sunnah, sedangkan sebagian lainnya tidak
membenarkannya karena akan kesulitan dalam menentukan siapa sesungguhnya ulama
yang mujtahidin itu. Karena itu ijma yang diakui oleh A. Hassan adalah Ijma’ Sahabat Nabi.
Ijma seperti ini diterima sebagai sumber hukum Islam, sebab para Sahabat tidak mungkin
berani bersepakat menentukan sesuatu hukum kalau tidak ada landasan yang datang dari
Qur’ân dan Sunnah, tetapi ijma ini pun tidak berdiri sendiri.19
Adapun Qiyas menurut bahasa “menimbang,”. Dalam istilah agama, Qiyas
“memberikan suatu hukum yang sudah ditentukan oleh agama untuk sesuatu perkara
kepada perkara lain yang hukumnya belum ditentukan oleh agama, karena keduanya ada
persamaan”. Seperti Qiyas antara gandum dan beras dalam mengeluarkan zakat. Dan
dalam masalah keduniaan, A. Hassan membenarkan Qiyas dipakai sebagai cara
menentukan hukum, asal hukum itu diambil dari Al-Qur’ân dan Al-Sunnah. Karena itu, kata
A. Hassan, Qiyas pun tidak berdiri sendiri.20

15
Syafiq A. Mugni, A. Hassan Bandung…, h. 24-25.
16
A.A. Hassan, Soal-Jawab I, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), h. 343-344.
17
Ibid. 345.
18
Syafiq A. Mugni, A. Hassan Bandung…, h. 26. Dalam Ringkasan Islam karangan A.A. Hassan.
19
Ibid.
20
A.A. Hassan, Risalah Al-Madzhab (Bangil: Persatuan Islam Bagian Pustaka, 1972) h. 2.
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
7

Inilah yang kemudian menjadi dasar penolakan Qiyas dalam masalah ibadah, karena
pemakaian qiyas di sini akan berarti penambahan baru dalam ibadat. Sebab masalah-
masalah ibadah telah digariskan dan ditentukan oleh Allah atau Rasulullah.21

Kedua, Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid


Umat Islam masa itu dalam memahami dan mengamalkan ajaran-ajarannya hanya
melalui dua jalan, yakni ijtihâd dan taqlîd, sedangkan konstruksi pemikiran ijtihâd telah
dianggap selesai, yaitu dengan meninggalnya para Imam Madhab. Kalaupun akan
melakukan sebuah ijtihâd yang baru, ia harus mengikuti pola pada apa yang telah
digariskan oleh imam-imam madhab. Dengan kata lain, berijtihâd dalam ijtihâd. Sedangkan
bagi orang yang tidak memenuhi syarat, maka ia harus bertaqlîd.
Maka A. Hassan mengajukan tiga gagasan, yakni Pertama, ijtihâd belum selesai,Kedua,
solusi bagi orang-orang yang tidak memenuhi dalam melakukan ijtihâd (baca: ittiba’) dan
ketiga, mendefinisikan kembali istilah taqlîd, tidak lain adalah untuk mengkoreksi terhadap
sistem umat Islam dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Dengan kata lain,
doktrin tertutupnya pintu ijtihâd, ia buka lagi dan dijadikan sebagai sebuah diskursus,
kemudian mengaktualisasikan istilah ittiba’ sebagai sebuah alternatif22 dalam metode
mengamalkan, dan terakhir ia definisikan kembali istilah taqlîd, karena menurut A. Hassan
melakukan pekerjaan ini dilarang oleh Allah23 dan haram hukumnya.24
Ketiga, Bid’ah.
Adalah bagaimana seorang yang beragama Islam mewujudkan penghambaannya
kepada Tuhan dengan suatu sistem ibadah yang teratur menurut cara-cara tertentu? Dalam
Islam apakah penghambaan diri yang berwujud ibadat telah diatur dengan cara menurut
ketentuan ajaran Islam? Dan menurut A.A. Hassan, bahwa bagi pemeluk Islam cara
beribadah tersebut telah diatur dengan tegas. Karena itu, ia membagi dua macam ibadah
yaitu yang berkenaan dengan: Satu, keduniaan. Dua, keakhiratan.
Ibadah yang berkenaan keduniaan, menurut A. Hassan, ialah segala masalah atau
perbuatan yang biasa atau mungkin dikerjakan manusia, walaupun seandainya tidak ada
agama di dunia ini. Hal yang demikian disebutnya ma’qûl al-Ma’nâ, maksudnya ialah sesuatu
yang sebab dan bisa dipahami oleh akal pikiran. Karena itu, perkara keduniaan ini jika
ditetapkan oleh agama disebut “urusan agama bagi keduniaan”. Dan jika agama
mewajibkan, maka hukumnya wajib, jika mensunnahkan, maka sunnah hukumnya, dan
seterusnya.25
Sedang masalah keakheratan, A. Hassan mendefinisikan sebagai masalah atau
perbuatan yang seandainya tidak ada petunjuk agama, manusia tidak akan

21
Syafiq A. Mugni, A. Hassan Bandung…, h. 27.
22
Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikut, dan dalam pengertian di sini adalah menerima atau
mengerjakan sesuatu yang ditunjukkan oleh seseorang dengan mengetahui alasannya dari Al-Qur’ân atau al-
Sunnah. (lihat A.A. Hassan, Debat Taqlîd, (Al-Lisân: Nomor Ekstra, 27 Desember 1935), h. 6 dalam Syafiq A.
Mugni, A. Hassan Bandung…, h. 28. Lihat juga Endang Saefudin Anshari dan Syafiq A. Mugni, Wajah dan
Wijhah seorang Mujtahid, (Bangil: Firma Al-Muslimun, 1985), h. 66-67. Dan gagasan ini seperti yang pernah
dilakukan oleh Imam Al-Tarmidi dengan mengajukan istilah Hasan diantara sahih dan dhaif pada disiplin Ilmu
Musthalah Hadis.
23
Q.S. Bani Isra’il: 36.
24
Taqlîd adalah meniru mengerjakan dan menerima sesuatu hukum dari seseorang dengan tidak
mengetahui alasannya dari Al-Qur’ân dan Al-Sunnah. Lihat Debat…, h. 7.
25
Syafiq A. Mugni, A. Hassan Bandung…, h. 31.
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
8

mengerjakannya26. Hal ini dinamakan ghairu ma’qûl al-ma’nâ, yakni sesuatu yang sebab dan
tujuannya tidak bisa difahami oleh akal fikiran. Karena itu, dalam masalah ini hanya ada
hukum wajib dan sunnah, selain haram dan bid’ah. Dengan kata lain, tidak ada bid’ah lain
kecuali haram, karena ibadah yang tidak diwajibkan atau disunnahkan oleh agama itu
termasuk bid’ah.27
Dan khusus untuk masalah yang kedua, kata A. Hassan, yakni ghairu ma’qûl al-ma’na
bisa disebut ada dalam Islam, jika didasarkan atas keterangan sumber-sumber hukum
Islam. Bila tidak, maka itulah yang pada hakikatnya disebut bid’ah. A. Hassan menyebut
bid’ah sebagai perbuatan atau bacaan yang bersifat keakhiratan yang dilakukan orang,
padahal tidak ada keterangan dari agama, menurut sumbernya Al-Qur’ân dan Al-Sunnah.
Padahal agama Islam dengan amat keras melarang umat Islam melakukan bid’ah. Demikian
kerasnya larangan itu, kata A. Hassan, maka seorang yang datang menghadiri acara yang
didalamnya terdapat bid’ah adalah haram, kecuali kedatangan itu untuk mengubah bid’ah
dengan tangan atau ucapan.28
Dengan demikian, apapun yang hubungannya dengan beribadah kepada Allah,
seseorang harus melakukan persis seperti yang termaktub dalam Al-Qur’ân dan seperti
yang dicontohkan oleh Nabi saw. tampa tambahan ataupun pengurangan. Maka A. Hassan
menolak bacaan ushalli ketika memulai sembahyang,29 bacaan wabihamdih dalam tasbih
ruku’ dan sujud,30 bacaan sayyidina dalam shalawat tasyahhud,31 dan do’a qunut selain
qunut nazilah,32 karena masing-masing tidak berdasar keterangan agama, karena itu haram
dikerjakan.
Demikian juga dalam upacara-upacara yang dalam pandangan A. Hassan bid’ah
dihukuminya, seperti talqîn mayit yang baru saja dikuburkan,33 jamuan makan dan tahlil di
rumah keluarga yang meninggal,34 membaca maulid,35 dan pesta bulan ketujuh bagi orang
hamil atau tingkeban.36 Pandangan A. Hassan tentang bid’ah ini merupakan seruan kepada
umat Islam dalam melihat kembali cara melaksanakan ajaran Islam.

Keempat, Paham Kebangsaan


Sebelum Indonesia merdeka ada beberapa pergerakan yang berjuang menuju
tercapainya kemerdekaan Indonesia. Di antaranya fihak yang berasaskan paham
Kebangsaan, yakni semata-mata untuk kepentingan bangsa tanpa menjadikan agama
tertentu sebagai pandangan politik dan sumber inspirasi. Begitu juga sebaliknya, yaitu
fihak yang perjuangannya berdasar dan bercorak agama tertentu37. Fihak pertama tidak
menghendaki bahkan melarang orang melibatkan agama dalam segala pembicaraan
umum, serta tidak menghendaki Islam dijadikan dasar sesuatu sungguhpun mereka itu

26
Lihat K.H. A. Zakaria, Al-Hidayah fi Masâil Fiqhiyyah Muta’âridhah, (Garut: Pesantren PERSIS Bentar,
1990), h. 2, 7 s.d. 11.
27
Loc.cit. h. 31
28
A.A. Hassan, Soal-Jawab II (Bandung: CV. Diponegoro, 1988) h. 737-746.
29
Ibid., Soal-Jawab I, h. 91.
30
Ibid. h. 129.
31
Ibid. h. 143.
32
Ibid. h. 129.
33
Ibid. h. 212.
34
Ibid. h. 216.
35
Ibid. h. 371.
36
Ibid. Soal-Jawab II, h. 615.
37
Deliar Noer, Gerakan Moderen…, h. 235.
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
9

beragama Islam. Inilah yang oleh A.A. Hassan disebut golongan netral agama. Dalam
pandangan A. Hassan sikap ini sebagai menyempitkan langkah mempersatukan bangsa
Indonesia karena akan menjurus pada kebencian agama.38
Apakah demikian kenyataan yang ada? A. Hassan menganggap kenyataan saat itu
menunjukkan bahwa paham kebangsaan dipakai oleh pergerakan yang bersikap tidak
tahu-menahu tentang agamanya dalam mencapai kemerdekaan, yang nantinya akan
dilaksanakan hukum-hukum buatan manusia sendiri. Sebaliknya bahwa pergerakan Islam
berusaha mencapai kemerdekaan yang nantinya akan dilaksanakan hukum-hukum Islam.39
Jika faham kebangsaan seperti yang tertera di atas, maka secara tegas A. Hassan
menolaknya, karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan mengutip sabda
Nabi saw. :
Artinya: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyyah,
yang berperang atas dasar ashabiyyah dan yang mati karena membela ashabiyyah”.40
Kemudian sabda Nabi saw. yang lainnya:
Artinya: dari Watsilah Ibn Al-Asqa; saya bertanya kepada Rasulullah saw. apakah
seseorang yang mencintai kaumnya itu termasuk ashabiyyah. Rasulullah menjawab:
Tidak, tetapi yang termasuk ashabiyyah ialah bila seseorang menolong kaumnya
dalam kedhaliman41

Dengan hadis-hadis yang di atas, A. Hassan berpandangan bahwa cinta bangsa tidak
terbilang ashabiyyah, kalau yang dibelanya unsur-unsur menghancurkan kedhaliman.
Karena itu, cinta bangsa dan tanah air dibenarkan bagi seorang muslim dengan orientasi;
Satu, maju dalam pendidikan. Dua, maju dalam ekonomi. Tiga, maju dalam teknologi.
Empat, sekurang-kurangnya tidak dibawah derajat negara-negara lain. Lima, mengurus
negerinya sendiri dengan hukum dan peraturan yang termaktub dalam Kitabullah dan
Sunnah Rasul. Hanya saja, bagi A. Hassan satu-satunya pilihan supaya umat Islam dapat
melaksanakan hukum-hukum Allah dan tercapai keinginan tersebut harus ada
pemerintahan Islam, dengan didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’ân yang mengharuskan
terlaksananya hukum-hukum Allah. Sebagaimana Pandangan ini dituangkan dalam tulisan
Islam dan Kebangsaan, yakni:
…bahwa masuk dan membantu pergerakan-pergerakan yang berdasar kebangsaan
itu satu dosa, karena sekurang-kurangnya pergerakan kebangsaan itu menuju kepada
membuang undang-undang Allah dan Rasul-Nya dan menggantikan dengan hukum-
hukum bikinan manusia, sebagaimana telah nyata dalam teori dan praktek-praktek
mereka.42

Pikiran-pikiran A. Hassan seperti ini merupakan cerminan dari sikap politik terhadap
situasi dan kondisi politik Indonesia. Pemerintahan Islam baginya adalah pilihan lain dari
sikap paham kebangsaan yang dianggapnya sebagai tidak memberikan tempat bagi
agama. Ia menginginkan Islam memasuki seluruh aspek kehidupan manusia, sesuai dengan

38
Pembela Islam, No. I (Maret, 1956), h. 5. Dalam Syafiq A. Mugni, A. Hassan Bandung…, h. 33.
39
A.A. Hassan, Islam dan Kebangsaan, (Bangil: Persatuan Islam Bagian Penerbitan, 1972) h. 37. Dalam
Syafiq A. Mugni, Ibid.
40
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz II (Mesir: Musthafa Al-Bab Al-Halb wa Al-Auladuh, 1952), h. 14.
41
Ahmad Ibn Hambal, Musnad Imam Ahmad Ibn Hambali, Jilid IV, (Bairut: Al-Maktab Al-Islami Dar Shadir,
tth.), h. 107.
42
Dalam Syafiq A. Mugni, A. Hassan Bandung…, h. 36.
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
10

keyakinannya bahwa kebenaran ajaran Islam adalah mutlak. Islam dipandangnya sebagai
sesuatu yang tertinggi dan terluas menerjang batas-batas kebangsaan dan ketanahairan.
Hal ini terlihat dalam sikapnya yang menentang terbatasnya keanggotaan Masyumi khusus
bagi orang Indonesia. Karena Masyumi itu berdasar Islam, maka harus terbuka juga bagi
orang-orang Islam di negara lain.43
Walaupun kenyataan keinginannya itu tidak pernah tercapai dalam menjadikan
pemerintahan Indonesia berdasar Islam, tetapi itulah kenyataan yang harus diterima baik
A. Hassan sebagai anggota Masyumi ataupun warga Indonesia untuk menerima berbagai
bentuk UUD yang telah ditetapkan. A. Hassan nampaknya tidak pernah menolak sikap
partainya ataupun memberontak karena mengambil dasar Pancasila, mungkin saja
penerimaan itu sebagai satu tahapan untuk terlaksananya ajaran dan hukum Islam
Indonesia.

b. Distansiasi : Pembacaan Tipologis Pemikiran A. Hassan


Metodologi adalah aspek tersulit dari pembahasan pemikiran tokoh. Untuk dapat
memahami metodologi pemikiran dan penafsiran A. Hassan, secara sederhana dapat
dilakukan dengan cara menelusuri perkembangan pemikirannya (tipologi) atau membuat
sketsa yang didasarkan pada kecenderungan-kecenderungan umum. Howard M. Fiderspiel
menjelaskan bahwa A. Hassan sebagai seorang modernis, sedangkan Allan Samson dalam
pembahasannya tentang religio-politi-behavior menjelaskan bahwa di kalangan tokoh-
tokoh politik Islam Indonesia posisi A. Hassan adalah seorang tokoh fundamentalist.44
Tipologi ini, menurut Allan Samson, didasarkan pada keyakinan A. Hassan bahwa hanya
Islam yang memberikan dasar dan moral bagi negara, dan bahwa undang-undang dan
peraturan-peraturan yang mewujudkan perintah Al-Qur’an haruslah dilaksanakan.
Alasan ini didukung oleh fakta bahwa A. Hassan adalah tokoh yang tidak kompromi
khususnya dalam masalah-masalah tertentu yang ia anggap prinsip45 sehingga sering
dipandang sebagai orang yang “konservatif”. Akan tetapi, aksi A. Hassan seperti ini
mendapatkan justification (pembenaran) secara konstitusional seperti yang dituangkan
dalam manifesto Persatuan Islam tahun 1953 yang menyebutkan bahwa pandangan model
A. Hassan adalah pandangan Persatuan Islam dan menjelaskannya sebagai:
Pandangan yang “revolusioner-radikal” karena ingin mengubah masyarakat sampai
ke akar-akarnya dan juga menghancurkan penyakit umat Islam dengan cara radikal
dan revolusioner; secara jelas, tanpa samar-samar, tanpa sungkan-sungkan dengan
penuh kepastian.46

Diistilahkannya dengan revolusioner-radikal dalam manifesto Persatuan Islam sebagai


usaha untuk meyakinkan bahwa apa yang dianggap sebagai fundamentalis dalam masalah
agama tetap berfungsi dalam masyarakat. Seperti sikapnya juga pada masa sebelum

43
A.A. Hassan, ABC Politik, (Bangil: Persatuan Islam Bahagian Pustaka, 1947), h. 85. Dalam Syafiq A.
Mugni, Ibid. h. 37.
44
Ibid. h. 38.
45
Yang dimaksud dengan perbedaan prinsip-prinsip dalam pemahaman A.A. Hassan adalah
perdebatan di antara umat Islam mengenai taqlîd dan ijtihâd. Bagi A.A. Hassan perdebatan perbedaan
pemikiran itu disebut khilafiyyah. Sedangkan perdebatan berikutnya talqin dan ushalli, misalnya, dipandang
sebagai derivasi dari berkembangnya perbedaan-perbedaan prinsip dan bukan perbedaan prinsip-prinsip itu
sendiri, ini yang dikatakan sebagai furu’. Lihat A.A. Hassan, Masalah chilafiyyah, (Hikmah, IX, NO. 37-38, 12
Oktober 1956), h. 34. Dikutip dari Howard M. Fedespiel, Persatuan Islam…, h. 202-203.
46
Howard M. Federspiel, Persatuan Islam..., h. 202.
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
11

perang kemerdekaan, yang sangat menekankan bahwa pengamalan kewajiban-kewajiban


dasar agama, seperti salat, zakat, haji dan lain-lainnya ini secara benar, bebas dari bid’ah,
merupakan langkah esensial dalam menciptakan langkah umat Islam yang kuat, sehat dan
efektif. Sebab ini menyangkut pada pola hubungan antara manusia dan Tuhan yang sangat
tergantung pada interpretasi dan implementasi yang benar terhadap hukum agama.
Karena itu, bagi A. Hassan (dan seluruh komponen anggota PERSIS) tidak ada kamusnya
untuk menerima sebuah pandangan bahwa untuk memperkuat persatuan, permasalahan-
permasalahan furu’ dan khilafiyyah hendaknya disimpan dan diabaikan.
Sehingga Robaie Widjaja melukiskan secara padat tentang karakteristik pemikirannya
sebagai berikut:
Kehidupan seorang Muslim menurut A. Hassan tidaklah terpisah dengan hukum-
hukum Islam (dan) sebagai konsekuensinya manusia harus menghargai kehidupan
Islami, individu Muslim harus…beribadah kepada Allah, yang dibersihkan dari unsur-
unsur non akidah yang berasal dari luar Islam atau tradisi-tradisi yang tidak
dibenarkan oleh islam.
.....ulama-ulama terkenal dan imam-imam besar Islam…hanya dianggap sebagai
“guru” yang pendapat-pendapatnya tidak boleh diterima secara buta. Karena alasan
inilah maka A. Hassan tidak mengikuti salah satu dari empat mazhab besar…tetapi
pendapat-pendapat empat mazhab besar (tidaklah) salah, asalkan pendapat-
pendapat mereka tentang suatu masalah tidak bertentangan dengan sumber-sumber
hukum islam (yaitu, Qur’ân dan Sunnah).

Kehidupan secara umum, menurut A. Hassan, bergantung pada kehendak Allah. Jika
orang ingin menempatkan diri di suatu tempat maka penempatan di tempat tertentu itu
adalah karena takdir Allah; jika mereka tidak ingin berada di suatu tempat maka sikap itu
adalah karena takdir.47

c. Apropriasi : Pembacaan atas Metode Pemurnian dan Eklektik


Sistem teologi yang dikembangkannya adalah teologi tradisional yang tidak banyak
menggunakan pena’wilan, sebagai carbon copy Abu Hasan al-Asy’ari. Konsekwensinya ia
menggunakan metode pemurnian (puritan) dan eklektik. metode pemurnian yaitu berpikir
keislaman dengan hanya kembali kepada al-Qur’an dan as-sunah dengan pendekatan
literalis-tekstualis. Dari kedua metode ini Tamar Djaya menilai terjadi shift paradigm dari
cara berpikir kolot ke modernis dengan membawa paham ideologi Wahabi.

Pertama, Metode Pemurnian


Surat Al-Nisa ayat 59 yang ditafsirkan dalam bangunan pemikiran A. Hassan
merupakan hal yang prinsipil dan pada perkembangannya penafsirannya itu menjadi
landasan bagi visi dan orientasi dirinya dan organisasi yang dipimpinnya, sebagaimana
ditulis dalam QA/QD PERSIS Bab I Fasal 248, artinya Persatuan Islam bertujuan untuk
menempatkan kaum Muslimin pada ajaran aqidah dan syari’ah yang murni berdasarkan
Qur’ân dan Sunnah. Pada ayat ini dipahami oleh A. Hassan harus secara mentah-mentah,
karena itu pada beberapa kasus misalnya, khususnya dalam kaitan politik penafsiran
seperti ini dapat dibaca.

47
Roebaie Widjaja, Biografia A.A. Hassan, h. 36. Dikutip dari Howard M. Federspiel, Persatuan Islam…,
h. 18.
48
Syafiq A. Mugni, A. Hassan Bandung…, h. 138.
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
12

Pertama, kesaksian G.F. Pijper tentang A. Hassan Bandung dalam masalah


Kebangsaan yang bersikap tidak acuh (masa bodoh) terhadap Jepang ketika menjajah
Indonesia (1942-1945). Mengapa A. Hassan Bandung selama itu berhasil mempertahankan
sikap acuhnya terhadap Jepang. Dan sikap tidak peduli terhadap Jepang dapat diartikan
sebagai silent confrontation mengingat ratusan ulama melakukan sikap akomodatif
terhadap Jepang?49 Kesaksian ini sangat penting mengingat kolonialis Jepang memakai
taktik “mencumbu” umat Islam. Apakah karena pada masa itu, A. Hassan sudah menetap
di kota kecil Bangil?50 Jika alasannya jauh dari pusat pergumulan intelektual bukankah ia
merupakan ulama yang terkemuka, dengan kekreativitasan intelektualnya menghasilkan
sejumlah karya yang begitu banyak, baik karya ilmiah, fatwa ataupun anekdot-anekdot
yang jenaka?
Begitu juga pada masa kolonial Belanda, A. Hassan adalah insan politik. Majalah yang
diasuhnya, Pembela Islam, yang terbit sampai 70 nomor bukanlah sekedar dimeriahkan
oleh masalah furu’, tetapi artikel-artikelnya yang dimuatnya menyorot juga masalah Kristen
dan menurut Ridwan Saidi: “persoalan itulah sebab berakhirnya umur Pembela Islam”.51
Kesimpulan yang dapat kita tarik, dari kesaksian Pijper bahwa A. Hassan itu tokoh
pembaharu yang berkepribadian. Dengan kepribadiannya, baik Belanda ataupun Jepang
tidak dapat “menggunakan” A. Hassan, karena ia mempunyai sikap dasar
antikolonialisme.52
Sekarang pemahaman apa yang melatarbelakangi A. Hassan seperti ini? Hemat
penulis ini tidak lain dilandasi oleh spirit Surat Al-Nisa ayat 59 yang penafsirannya harus
murni (baca: membaca secara tekstual), dalam surat Al-Nisa ayat 59 itu dikatakan segala
perkara haruslah bersumber Al-Qur’ân dan Al-Sunnah. Konsekuensi logisnya dalam Al-
Qur’ân pada surat Al-Baqarah ayat 120 mengharamkan umat Islam terlibat dengan sikap
akomodatif pada mereka, bahkan dalam sebuah Riwayat atau Hadis Nabi mengatakan
secara tegas bahwa jika umat Islam bertemu dengan kaum Kafir untuk bersikap
memarjinalisasikannya.53
                  

               

Kedua, seperti yang diungkapkan oleh Harry A. Poeze dalam Politiek Politioneele
Overzichten Van Nederlandsch-Indie Deel tentang keterlibatan A. Hassan menghadiri
pertemuan-pertemuan rahasia Syarekat Islam yang kemudian berkelanjutan hingga zaman
kemerdekaan. Dan bersama-sama dengan tokoh kawakan SI Syafei Wirakusumah, A.

49
Untuk lebih jauhnya tentang tema ini. Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam
Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985)
50
A. Hassan pindah ke Bangil (1940), masuknya Jepang ke Indonesia (1942) dan masa-masa permulaan
kemerdekaan tahun 1951.
51
Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia, (Jakarta: LSIP, 1985), h. 30-31. Menurut analisis
Ridwan Saidi, artikel-artikel tajam yang dimuat di Majalah Pembela Islam mengandung dua dimensi, Pertama,
dimensi akidah adalah yang tampak secara harfiah, Kedua, dimensi siasah berupa sindiran terhadap Belanda
yang memberi perlindungan istimewa terhadap Agama tersebut. Singkatnya, dengan menyorot Kristen
secara tidak langsung kolonial Belanda juga ikut disorotnya.
52
Ibid.
53
Al-Asqalânî, Subul As-Salâm, (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), Jilid ke-IV, Hadis yang keempat dari
Kitâb Al-Jâmi’, Bab Al-Adb. h. 155. Adapun redaksi hadisnya sebagai berikut:
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
13

Hassan duduk menjadi Menteri Agama pada Kabinet Negara Pasundan.54 Penunjukan A.
Hassan pada Kabinet itu oleh Wiranatakusumah (Wali Negara Pasundan) menimbulkan
insiden kecil (kontroversi) dalam tubuh Masyumi, sebab akan ada alasan untuk
memperkuat kedudukan Negara Pasundan. Masyumi dalam hubungan ini tidak dapat
menyetujuinya, karena menurut strategi partai Negara Pasundan akan dilikuidasi selekas-
lekasnya. Akan tetapi A. Hassan sendiri mempunyai pendapat lain, seperti yang ditulis
dalam biografi Yusuf Wibisono oleh Subarjo I.N. menyatakan: “Bagi saya yang teramat
penting ialah syi’arnya Agama Tuhan. Soal Masyumi hendak melebur Negara Pasundan, itu
bagi saya kurang penting.”55
Mengenai keterlibatan A. Hassan dalam Negara Pasundan, Ridwan Saidi pernah
menanyakan kepada Syafei Wirakusumah. Ia membenarkan dan menambahkan, bahwa
dirinya juga duduk selaku Menteri Sosial –Syafei adalah tokoh SI yang sempat menghadiri
Kongres SI pertama di Bandung pada tahun 1916. Dan menurut Ridwan Saidi keterlibatan
A. Hassan dalam Negara Pasundan terutama disebabkan keterikatan selaku anggota
rahasia SI di masa penjajahan. Karena itu, walau Masyumi pada 1949 berkeberatan dengan
duduknya A. Hassan dalam kabinet Negara Pasundan, A. Hassan lebih merasa SI ketimbang
Masyumi.56
Sepintas dari gambaran di atas, A.A. Hassan kelihatannya tidak komitmen dengan ide
Islam dan Kebangsaan yang dinyatakannya bahwa:
Mendirikan perkumpulan (kebangsaan), mengajak orang kepada kebangsaan,
menolong partai kebangsaan itu, dilarang oleh Agama Islam, dan pendapatnya ini
didasarkan pada kenyataan bahwa orang Islam di Indonesia, karena kebangsaan,
menjadi terpisah dari orang Islam di bagian lain dunia, sedangkan menurut Qur’ân
semua Muslimin adalah bersaudara. Karenanya berpartai kebangsaan berarti keluar
dari Islam, sebab sudah barang tentu asas kebangsaan ini berlawanan dengan asas
Islam. Maka orang yang keluar dari Partai Islam itu dipandang keluar dari islam. Dan
sudah barang tentu bahwa Partai Kebangsaan itu tidak akan menjalankan hukum
Islam, karena partai ini perlu netral agama, yaitu tidak boleh mengambil satu agama
yang tertentu buat dijadikan azas kempulannya atau asas pemerintahannya kelak.
Padahal Islam menyuruh kita bersatu secara Islam dan dengan asas Islam. Islam
mewajibkan kita merdeka, bukan lantaran senang atau susah, tetapi untuk
menjalankan perintah-perintah Islam dengan sempurna di sekalian perkara. Dunia
dan akhirat. Islam tidak mengaku ummatnya akan seseorang yang berasas
kebangsaan, menolong partai kebangsaan, mengajak orang kepada partai
kebangsaan, marah karena kebangsaan, tetapi Islam perintah ummatnya (bukan
ummat lain) supaya mengejar kemerdekaan dan mengejarkan apa-apa yang
berhubungan dengan itu, semata-mata karena islam dan atas nama Islam.57

Hemat penulis masuknya A. Hassan pada kabinet Negara Pasundan tidak menyalahi
terhadap ide awal tentang ide Islam dan Kebangsaan, karena dalam pandangan A.Hassan
justru Negara Pasundan itu menggunakan asas Islam dengan indikasi dibentuknya
“mentri” yang mengurus keagamaan, malah dengan hak yang penuh dalam menjalankan
pekerjaannya. Hal ini sangat berbeda dengan pemerintahan baru pimpinan Bung Karno,

54
Lihat Ridwan Saidi, Islam…, h. 57.
55
Ibid.
56
Ridwan Saidi, Islam…, h. 58.
57
Deliar Noer, Gerakan Moderen…, h. 280-281.
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
14

yang menggunakan asas Pancasila. Apalagi pada beberapa kasus tentang kebijakan yang
dibuatnya sangat merugikan umat Islam, misalnya kasus Nasakom.
Alasan lain bahwa kabinet Negara Pasundan ini bukan negara yang bermuara pada
chauvinisme, tapi tetap dipandang sebagai “Negara Islâmi” adalah bahwa karena ia
menerima asas Islam. Alasan normatif yang dikemukakan oleh A. Hassan adalah sepanjang
pemerintahan (negara) menjalankan syari’ah dalam pengertian yang berkaitan ibadah
(seperti salat, puasa, haji, upacara-upacara penguburan mayit, dan sebagainya), perkara-
perkara temporal, prilaku pribadi, mengatur kebanyakan ritual, maka pemerintahan
tersebut harus didukung walaupun tidak memakai embel-embel “Negara Islam”,
misalnya58. Sebagaimana alasan tersebut pernah dikemukan pada halaman-halaman yang
telah lalu, yaitu “Bagi saya yang teramat penting ialah syiarnya agama Tuhan…”59.
Dari sini dapat diketahui bahwa A. Hassan itu mencoba menafsirkan pada sisi lain
sangat “kontekstual” sesuai dengan kebutuhan, yaitu bagaimana ia ingin menerapkan
bahwa segala persoalan atau masalah pada ayat-ayat Al-Qur’ân atau Al-Sunnah, jika dilihat
pada kasus ini.
Kedua, Metode Talfiq
Sedangkan mengenai pembahasan metodologi penafsirannya, A.A. Hassan menulis
dalam satu artikel pendeknya menyebutkan :
Pertama, ketika terdapat pertentangan pandangan mengenai satu masalah
keagamaan, maka harus melihat Al-Qur’ân dan As-Sunnah. Apapun yang dinyatakan
dalam kedua sumber itu, “kita menerima” dan “apa yang tidak ada dasarnya, kita
tolak”. Kedua, dalam satu masalah yang pertentangan konfliknya masing-masing
didukung oleh Hadîs (tanpa penjelasan dari Al-Qur’ân), harus menolak Hadîs dhaif,
dan harus mengambil pandangan Hadîs yang lebih sahih. Ketiga, ketika Al-Qur’ân dan
Hadîs bertentangan mengenai satu masalah, maka harus menolak Hadîs itu.60

A. Hassan menggunakan bangunan metodologis dengan metode talfiq (memilih) saat


tidak ada sumber yang sahih atau kuat dari Al-Qur’ân dan Al-Sunnah --yaitu suatu usaha
seorang Muslim memilih salah satu mazhab. Dalam terminologi filsafat skolastik disebut
dengan eklektik, yang berasal dari bahasa Yunani ek [keluar] dan lego [pilih, pilah]. Maka
eklektikos, yang bermakna seseorang yang memilih, dan dari eklegein, berarti mengambil,
memilih dari. Dengan demikian eklektik adalah filsafat atau teori yang tidak asli, tetapi
memilih unsur-unsur dari berbagai teori atau sistem.61
Kecenderungan menggunakan metode eklektik pada diri A.Hassan didasari pada
ucapan imam-imam mazhab, misalnya Imam Abu Hanîfah yang mengatakan bahwa:
“Apabila pandangannya itu tidak sesuai dengan apa yang diisyaratkan oleh Al-Qur’ân
dan Al-Sunnah, maka tinggalkan pandangan kami itu.” 62
Kemudian Imam Mâlik Ibn Anas:

58
A.A. Hassan, Pemerintahan Cara Islam, (Bangil: Toko Timor, 1964), h. 8. Dikutip dari Howard M.
Federsfiel, Persatuan Islam…, h. 52-54.
59
Ridwan Saidi, Islam…, h. 57.
60
A.A. Hassan, Masalah Chilafiyyah, (Jurnal Hikmah, IX, NO. 37-38, 12 Oktober 1956) h. 34. Dikutip dari
Howard M. Federsfiel, Persatuan Islam…, h. 202-203.
61
Lihat A. H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran A. Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi
Tradisi Keilmuan, (yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), h. 22-23.
62
Lihat kitab Sifatusolât An-Nabi saw., h. 25. Lihat juga pada K.H. A. Zakaria, Al- Hidayah fi Masaili
Fiqhiyyah Muta’aridoh, Garut: Pesantren Persatuan Islam, 1996), h. 16.
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
15

“Sesungguhnya kami ini seorang manusia yang bisa benar dan bisa salah, maka jika
kamu sekalian melihat pandangan kami ini sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah
Allah, jadikanlah sebagai pegangan, tetapi jika sebaliknya tinggalkanlah.”63
Sedangkan Imam Syâfi’î mengatakan bahwa:
“Setiap Hadis yang dari Nabi saw. adalah pandangan kami juga, maka sekali-kali
jangan dengar apapun (pandangan) yang dari kami.”64
Adapun yang dari Imam Ahmad Ibn Hambal adalah:
“Janganlah bertaqlid (mengikuti dengan cara buta) kepada Imam Mâlik, Imam Al-
Syâfi’î, Imam Al-‘Auzâ’î, dan Imam Al-Syaurî, akan tetapi ambilah (jadikanlah
pegangan) dari mana saja.”65
Argumentasi bahwa kecenderungan pada diri A. Hassan untuk bertalfiq ini dilukiskan
secara sistematik oleh K.H. A. Zakaria dalam bukunya itu, ketika memberikan catatan
tentang sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Anas sebagai berikut:
“Anas menceritakan tentang Nabi Muhamad saw. yang mengatakan bahwa apabila
kamu melihat sebuah persoalan-persoalan dunia (yang tidak ada sangkut-pautnya
secara operasional) kata Nabi saw. kamu sekalian punya wewenang untuk
memutuskan atau lebih tahu, akan tetapi jika masalah yang hubungannya dengan
agama baik secara teknis ataupun secara non teknis maka Aku (Nabi saw.) yang
harus dijadikan bahan acuan.”66

Pemahaman terhadap Hadîs ini adalah bahwa sepanjang bahan acuannya (yaitu Al-
Qur’ân dan Al-Sunnah) menawarkan solusi terhadap setiap persoalan maka bahan-bahan
acuan seperti Imam-imam Syeikh, madhab-madhab, organisasi kemasyarakatan, akal, syair-
syair, dan adat, bukan bahan acuan yang benar, kecuali sumber kedua itu tidak
menjelaskannya --minimalnya secara tersirat.
Sebab cara menafsir dengan metode talfiq ini sangat luwes, pleksibel dan efektif.
Misalnya para penafsir dapat membatasi usaha berfikirnya hanya dengan menguji hasil
karya intelektual lainnya. Metode ini dapat mengambil apa yang dinilainya benar dan
bernilai dan biasanya cenderung percaya dan beranggapan bahwa penggalan-penggalan
ide yang dipilih serta digabungkan dari berbagai metode yang ada itu merupakan yang
terbaik.67
Metode talfiq yang dipakai oleh A.Hassan dalam membangun pemikirannya
(reaktualisasi) yang tidak terikat pada salah satu madzhab, dengan cara memilih-milih
pemikiran suatu mazhab, seperti kecenderungan A. Hassan pada teologi Asy’ariyyah
(teologi)68, pemikiran Islam Ibn Taimiyyah dan Rasyid Ridha (“filsafat”), dan sebagian
besar Fiqih Hanbali (Fiqih)69. Dengan demikian sikap A. Hassan dalam memilih terhadap
model-model pemikiran dan penafsiran di atas adalah sesungguhnya diorientasikan dalam

63
Ibid. dan Ibid.
64
Sifat…, h. 29. Dan K.H. Zakaria, Al-Hidayah…, h. 17.
65
Ibid., h. 31. Dan Ibid.
66
Ahmad Ibn Hambal, Musnad Imam Ahmad Ibn Hambal, Jilid IV. (Bairut, Maktabah Al-Islami, t.t.h. 132.
67
Untuk lebih jelasnya dan contoh bagaimana A.A. Hassan menggunakan cara menafsir model ini
dipakai, akan dibahas pada bab-bab selanjutnya dan tersendiri.
68
Karya-karyanya yang khusus mengenai Ilmu Kalam dapat dilihat dalam Desertasi IAIN karya Noer
Iskandar Al-Barsany, Pemikiran Teologi Islam A.Hassan, (Yogyakarta: Desertasi IAIN Sunan Kalijaga tidak
diterbitkan, 1996)
69
Lihat juga hasil fatwa-fatwanya dalam Buku Soal-Jawab Jilid I s.d. IV, (Bandung: CV. Diponegoro,
1988).
DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan
16

kerangka mendefinisikan ideologi gerakan umat Islam --setidaknya bagi warga Persis-- yang
cocok bagi Bangsa Indonesia.

D. Penutup
Demikian penjelasan singkat tentang pemikiran Fiqih A. Hassan yang menunjukkan
adanya proses perubahan dan kesinambungan dari sebuah gerakan pembaruan, terutama
pembaruan yang ditunjukkan oleh Persatuan Islam sebagai Organisasi Masa.
Perubahan (change) terjadi ketika pemikiran Fiqih A. Hassan merupakan pemikiran
baru memiliki kekuatan dibanding pemikiran lama. Gerakan pemikiran Fiqih A. Hassan
merupakan artikulasi dari proses kesinambungan (continuity) dan perubahan (change), dan
purifikasi menjadi pendekatan untuk memaknai realitas sosial keislaman di Indonesia.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

DR.H.AHMAD HASAN RIDWAN.M.AG ------ Fiqh Tawil A. Hassan

Anda mungkin juga menyukai