Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah mengalami kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para
pemikir Islam berusaha keres untuk membangkitkan kembali Islam, termasuk
diantaranya pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi
terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan.
Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru.
Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu
wujud kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah
kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena
dampak Barat. Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang
menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif
dari Barat. Fase kebangkitan kembali ini merupakan fase dimana meluasnya pengaruh
barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang
kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual melalui
berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan intensitasnya.
Periode kebangkitan ini berlangsung mulai sejak abad ke 19, yang merupakan
kebangkitan kembali umat islam, terhadap periode sebelumnya, periode ini ditandai
dengan gerakan pembaharuan pemikiran yng kembali kepada kemurnian ajaran islam.

B. Rumusan Masalah
Sebagai arah dari penulisan ini maka akan dibatasi bahasan ini dengan pertannyaan
masalah, yaitu:
1. Bagaimana keadaan hukum Islam pada fase kebangkitan?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalan ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat mengetahui Bagaimana keadaan hukum Islam pada fase kebangkitan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Masa Kebangkitan Kembali Pemikiran Hukum Islam


Setelah mengalami kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para
pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan kembali Islam, termasuk
diantaranya pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi
terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan.
Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru.1
Menurut banyak pengamat , sejarah kebangkitan Islam dan hukum Islam terjadi
karena dampak Barat. Dan berkaitan erat dengan lapangan politik. Kebangkitan
kembali ini dimulai saat kaum muslim menyadari kemundurannya. Barat memang
memiliki pengaruh besar lahirnya pemikiran kebangkitan ini. Namun, yang perlu
disadari bahwa kemunculan gerakan-gerakam pembaharuan khususnya dalam hukum
Islam, telah membuka jalan bagi perkembangan-perkembangan modern. Tidak hanya
melalui usaha purifikasi, tetapi juga dengan jalan positif melalui cara menegaskan
kembali kepada al-Quran dan Hadist.
Gerakan Wahabiah dengan pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab yang terjadi
di Saudi Arabia merupakan usaha permulaan kearah kebangunan atau kebangkitan
umat muslimin. Gerakan tersebut menyerukan pemberantasan bid’ah-bid’ad dan
kurafat-kurafat yang merugikan dan menyerukan menjauhkan taqlid, membersihkan
islam dari kekotoran-kekotoran yang memasukinya, dan kembali kepada al-Qur’an
dan Hadist serta apa yang telah diwariskan oleh ulama salaf (ulama-ulama terdahulu).
Usaha yang sama timbul pula di Libia dengan pimpinan Muhammad bin As-Sanusi,
yang melancarkan dakwahnya di negeri-negeri Afrika Utara untuk membersihkan
agama Islam dari noda-noda yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam dan
menyerukan kembali kepada al-Qur’an, Hadist dan apa yang ditinggalkan oleh Ulama
salaf. Di Sudan juga ada Al-Mahdi yang berjuang mengembalikan Islam kepada
kesederhanaan dan toleransinya yang semula, dan dalam pengambilan dasar hukum
hanya berpedoman kepada al-Qur’an dan Hadist.2

1
Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta : Penerbit Teras, 2009) hlm. 107
2
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995) hlm. 211

2
B. Tokoh-tokoh Pembaharuaan
Pada abad ke 14 telah muncul mujtahid besar yang menghembuskan angin segar
dalam pemikiran keagamaan, yaitu Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim Al-
Jauziah. Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke-17 oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab yang kemudian dikenal dengan gerakan wahabi. Usaha Muhammad
bin Abdul Wahhab ini dilanjutkan oleh Jamaluddin Al-Afghani. Al-Afghani adalah
sosok pembaharu besar dalam dunia Islam. Cita-cita besar Jamaluddin Al-Afghani
memberi inspirasi kepada pemikir pada masa berikutnya. Salah satunya Muhammad
Abduh. Abduh pertama kalinta berinteraksi secara fisik dengan Al-Afghani di Paris,
Perancis. Mereka sempat mendirikan perkumpulan Al Urwatul Wusqa, dan
menerbitkan majalah dengan nama Al Urwatul Wusqa juga. Secara sederhana, pokok
pikiran Abduh dapat dikelompokkan ke dalam empat aspek. Pertama, kebangsaan.
Dalam pandangannya, kesadaran rakyat dalam bernegara dapat disadarkan melalui
pendidikan, surat kabar dan sebagainya. Kedua, aspek kemasyarakatan, usaha-usaha
pendidikan perlu diarahkan untuk mencintai dirinya, masyarakatnya dan negaranya.
Dasar-dasar pendidikan yang demikian akan membawa kepada seseorang untuk
mengetahui siapa dia dan siapa yang menyertainya. Ketiga, keagamaan, dalam
masalah ini, Abduh jelas tidak menghendaki adaya taqlid. Untuk itu, pintu ijtihad
harus selalu dibuka. Membebaskan taqlid dan membuka pinti ijtihad menjadi tujuan
pokok pembaharuan Abduh. Abduh berpendapat bahwa agama dan ilmu pengetahuan
tidak akan bertentengan. Al-Qur’an tidak saja sesuai dengan ilmu pengetahuan, tetapi
bahkan mendorong umat Islam untuk mengembangkannya. Keempat, aspek
pendidikan. Dalam bidang ini menurut Abduh, metode hafalan yang telah mendarah
daging perlu diganti dengan sistem penguasaan dan penghayatan materi yang
dipelajari.3
Cita-cita pembaharuan Abduh kemudian di tindaklanjuti oleh muridnnya, Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha. Mengenai masalah madzhab beliau menganjurkan adanya
toleransi madzhab. Tetapi hal ini harus diusahakan adanya persamaan dalam masalah
fundamental. Artinya msalah yang pokok hendaknta satu irama. Sedang masalah
furu’iyah hendaknya diserahkan kepada masing-masing.

3
Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta : Penerbit Teras, 2009) hlm. 112-113

3
C. Karakteristik Fase Kebangkitan Hukum Islam atau Fiqh
fase ini mempunyai karakteristik dan corak tersendiri, antara lain ; dapat
menghadirkan fiqh ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat
memberi saham dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul
pada hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan
mazhab atau kitab tertentu.

Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek;
pertama, pembahasan fiqh Islam, dan kedua, kodifikasi fiqh Islam.

Dua hal inilah yang akan dibahas pada kesempatan berikut ini.

1. Pembahasan Fiqh Islam


Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
fiqh Islam, baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji sehingga fiqh Islam
bisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan para ulama, menjauhi
metode yang rumit dan menyusahkan, menggunakan konsep inilah dengan kajian
yang mendalam dan terfokus4. Apabila kita ingin menuliskan beberapa indikasi
kebangkitan fiqh Islam pada taman ini dari aspek sistem kajain dan penulisan,
dapat kita rincikan sebagai berikut.
a) Memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab – mazhab utama dan
pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui dengan tetap mengedepankan
prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan
mazhab yang lain. Para penguasa pada zaman ini berpegang kepada mazhab
tertentu dalam ber- taqlid dan qadha’, serta memaksa rakyatnya untuk
mengikuti mazhab tertentu seperti yang dilakukan oleh Dinasti Fatimiyah di
mesir, ketika mereka membatasi kurikulum Al – Azhar hanya dengan mazhab
Syiah. Atau seperti yang dilakukan oleh Dinasti Ayyubiyah ketika mereka
membatasinya dengan salah satu Mazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah. Begitulah
mayoritas penguasa di negeri – negeri Islam, yang sudah tentu berdampak
pada kejahilan terhadap pendapat – pendapat fiqh yang ada dalam mazhab
lain. Pada zaman ini, kajian – kajian keislaman dilaksanakan di sekolah dan
kampus secara integral dan terbuka kepada semua mazhab ditambah dengan
4
Ngainun Naim ,Sejarah Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta : Penerbit Teras, 2009. Hlm.
131

4
pembahasan pendapat–pendapat yang sebelumnya belum ada disebabkan
belum sempat ditulis atau karena minimnya pengikut pendapat itu. Tentunya
hal ini membuka mata para pelajar betapa banyak warna – warni yang ada
dalam khazanah fiqh sehingga dapat memotivasi mereka untuk menambah
wawasan keilmuan mereka.
b) Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh tematik. Pembahasan fiqh
pada periode yang lalu bersifat ringkas, lafal yang penuh simbol dan rumus
yang memerlukan waktu banyak untuk memahaminya. Pada zaman ini, kajian
sudah beralih kepada pokok masalah berkat kajian terhadap kitab–kitab fiqh
klasik yang tidak memuat rumus dan kejumudan selain karena jasa para
penulis mutakhir yang menggunakan metodologi ilmiah dalam penulisan
mereka.
c) Memberikan perhatian khusus terhadap fiqh komparasi. Para peneliti fiqh di
zaman ini memberikan perhatian khusus dengan bentuk kajian fiqh
komparasai. Terkadang antara sesama mazhab fiqh Islam dengan undang–
undang konvensional denga tetap menjadikan kekuatan dalil sebagai kata
akhirnya. Metode ini memiliki kelebihan, yaitu dapat memunculkan teori–teori
umum dalam fiqh Islam dan menghasilkam teori baru seperti teori akad,
kepemilikan, harta, dan penyalah gunaan hak yang tidak proposional serta
yang lainnya yang bisa kita lihat dalam hasil karya ilmiah. Selain itu, para
peneliti fiqh Islam juga berhasil memunculkan mutiara makna dan rahasia
yang tersimpan dalam perundang–undangan Islam. Hasilnya, fiqh Islam dapat
lahir dengan tampilan yang menarik, detail, komperehensif, dan mampu
mengimbangi segala permasalahan yang muncul. Pada Muktamar
Internasional tentang perbandingan undang – undang yang dilaksanakan di
Lahore tahun 1931, kemudoian pada tahun 1937, dan Konferensi Advokasi
Internasional tahun 1948, para penulis mengatakan bahwa, “ Fiqh Islam
memiliki nilai perundang – undangan yang tinggi dan tidak bisa ditandingi
sehingga harus dijadikan sumber perundang–undangan civil, semua prinsipnya
bis mewujudkan peradaban dan kemajuan, lebih mampu dari perundang–
undangan lain dalam memenuhi keperluan umat manusia, merealisasikan
kemaslahatan bangsa, mudah dirujuk dan dikaji serta diambil produk
hukumnya”.

5
d) Mendirikan lembaga–lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqh.
Diantara indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini adalah didirikannya
beberapa lembaga kajian di berbagai negeri Islam dan terbitnya beberapa
ensiklopedi fiqh.
1) Lembaga Kajian Islam di Al – Azhar, didirikan di Mesir pada tahun 1961
M yang terdiri dari para ulama besar dari semua negeri Islam yang sudah
diakui kapasitas ilmu keislamannya dalam bidang perundan –undangan dan
sosial. Lembaga ini terdiri dari beberapa bidang ; Alquran dan sunnah,
kajian fiqh, khazanah Islam, dan kajian sosial. Lembaga ini membahas
permasalahan yang dihadapi oleh negara – negara Islam dan menawarkan
solusi Islam terhadap masalah yang muncul, menyebarkan warisan
keilmuan Islam sehingga mudah untuk dipahami orang banyak. Pertemuan
rutin tahunan juga sering dilakukan dengan mengundang para ulama Islam
untuk membicarakan masalah yang dihadapi atau tema–tema tertentu yang
perlu untuk diputuskan.
2) Kantor Pusat Urusan Islam, dibawah koordinasi Kementerian Waqaf Mesir,
yang bertugas menyebarkan buku–buku warisan ulama dahulu, dan
beberapa hasil karya ilmiah para dewan pakar dalm bidang ilmu fiqh dan
ilmu lain, yang bisa berkhidmat untuk Islam, mempermudah jalan bagi para
pencari petunjuk.
3) Ensiklopedi Fiqh di Kuwait, yang bertujuan agar negara Kuwait
mempunyai saham dalam membangun kemajuan fiqh Islam bersama negara
– negara yang lain. Ada beberapa ulama yang ikut andil dalam menjalankan
tujuan ini yang sudah dikenal memilki kemampuan kajian fiqh secara
tematik berdasarkan huruf abjad dengan gaya bahasa yang sangat mudah
untuk dipahami.
4) Ensiklopedia Fiqh di Mesir, dibawah koordinasi Kantor Pusat Urusan
Agama. Dalam ensiklopedia ini para penulis membubuhkan pendapat para
fuqaha’ dalam satu masalah secara amanah dan rinci dan tidak hanya
terbatas pada pendapat empat imam mazhab, namun mereka juga
menyebutkan pendapat empat mazhab yang lain tanpa terbawa rasa fanatik
mazhab. Diantara mazhab itu adalah Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah,
Hanabilah, Zhahiriyyah, Zaidiyyah, Imammiyah, Itsna’ Asyariyah, dan
Ibadhiyyah.

6
Para ulama dalam lembaga ini menghimpun semua masalah dengan
metode yang sama, yaitu menukil pendapat mazhab dengan gaya bahasa
yang lugas, ringkas tanpa men tarjih pendapat tertentu, dan biasanya kajian
berkisar tentang masalah-masalah fiqh sesuai dengan huruf abjad.

2. Kondifikasi Hukum Fiqh


Yang dimaksudkan dengan kondifikasi (taqnin) adalah upaya mengumpulkan
beberapa masalah fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor. Tujuan
dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut.
Pertama, menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki
kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tidih, masing-masing hakim memberi
keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi undang-
undang tertentu, dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang
kontradiktif.
Kedua, memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqh dengan
susunan yang sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.5
a. Permulaan Kondifikasi
Upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang-undang bukan sesuatu yang
baru terjadi pada zaman ini. Upaya tersebut sudah muncul sejak awal abad
kedua hijrah ketika Ibnu Muqqaffa menulis surat kepada Khalifah Abu Ja’far
Al Mansur agar undang-undang civil negara diambil dari Al Qur’an dan
Sunnah. Dan ketika tidak nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai
dengan kemaslahatan umat. Ketika beliau melihat banyak terjadi perbedaan
pendapat dalam satu masalah, ia berkata, “Diantara perkara yang harus
diperhatikan oleh Amirul mukminin dari urusan dua orang Mesir dan yang
lainnya dari setiap kota dan pelosok wilayah adalah terjadinya persilisihan
pendapat yang sudah memuncak, jika saja Amirul Mukminin dapat
memerintahkan agar semua perbedaan ini bisa dihilangkan, memberikan apa
yang menjadi hajat setiap kaum dari sunnah dan qiyas dengan cara menulis
sebuah kompilasi undang-undang. Hal tersebut bertujuan menyatukan semua
pendapat yang bisa saja salah atau benar dengan satu pendapat yang pasti dan
benar.”
5
Ibid Hlm. 134

7
Usulan Ibnu Muqaffa ini tidak mendapat sambutan pada saat itu karena para
fuqaha enggan untuk memikul beban taqlid, sedangkan mereka sendiri sudah
memberikan peringatan kepada murid-murid mereka agar menjauhi fanatisme
mazhab.
Mereka merasa cemas dan masih ragu-ragu jika saja ijtihad ini salah karena
yang mereka lakukan bukan membuat sebuah produk undang-undang buatan
manusia, namun mereka sedang berhadapan dengan syariat yang turun dari
langit.
Usaha yang sama juga pernah dilakukan oleh Imam Malik ketika ia
melaksanakan haji pada tahun 148 hijriah dan meminta untuk menyeru
masyarakat mengamalkan mazhabnya. Akan tetapi, sang imam tidak mau dan
berkata, “ wahai Amirul mukminin, setiap kaum ada pendahulu dan imamnya
sendiri maka barang siapa yang melihat keputusan para pendahulunya sesuai
dengan keadaannya maka hendaklah ia melaksanakan hal itu.
Sang khalifah memahami apa yang disampaikan oleh Imam Malik, atau
hanya berpura-pura setuju, namun ia menawarkannya kembali pada tahun 163
hijriah. Akan tetapi, sang imam tetap tidak mau menyeru umat untuk
mengikuti mazhabnya dan tetap pada pendiriannya.
Dan pada abad kesebelas hijriah, Sultan Muhammad Alimgher (1038-
1118), seorang raja india, membentuk sebuah lembaga yang terdiri dari ulama-
ulama kondang di India di bawah pimpinan Syaikh Nizham untuk menulis
sebuah buku yang memuat semua riwayat-riwayat yang sudah disepakati
dalam mazhab Hanafi, kemudian mereka menuliskannya dalam sebuah buku
yang dikenal dengan nama Al Fatawa Al Hindiyah.
Meskipun demikian, upaya ini belum secara resmi dan bersifat mengikat
bagi semua mufti atau hakim, sebagaimana corak penulisan dan pembuatan
bab belum seperti sebuah materi undang-undang dan hanya bersifat himpunan
pendapat fiqh yang masih diperdebatkan, kemudian lembaga ini memilih salah
satunya.
Semua upaya dan usaha baik ini belum bisa dikatakan sebuah bentuk
kondifikasi fiqh Islam dengan makna yang sempurna seperti yang sudah di
jelaskan sebelumnya.
b. Titik Tolak Kodifikasi (Majallah Al Ahkam Al Adliyyah)

8
Upaya dan pemikiran untuk melahirkan sebuah kodifikasi terhadap fiqh
Islam betul-betul dapat terwujud di Turki ketika muncul Majallah Al Ahkam
Al Adliyah (semacam Kitab Undang-undang Hukum Perdata) pada masa
Dinasti Usmaniyah yang berangkat dari keinginan Imperium ini untuk
mengacukan seluruh undang-undang sipil yang berlaku bagi umat Islam di
bawah pemerintahannya pada mazhab Imam Abu Hanifah sebagai mazhab
resmi negara. Kitab kodifikasi hukum Islam ini disusun oleh para fuqaha
kondang di bawah pimpinan Ahmad Jaudat Basya, Direktur Diwan Al Ahkam
Al Adliyah.
Lembaga ini mulai bekerja pada tahun 1286 H dan terus bekerja sampai
tahun 1292 H. Setelah bekerja selama tujuh tahun maka lahirlah sebuah karya
agung yang diberi nama Mujallah Al Ahkam Al Adliyah (yang kemudian
terkenal dengan istilah Al Majallah atau Majelle).
Pada bulan Sya’ban 1292 H, Sultan mengeluarkan surat perintah untuk
menerapkan isi kompilasi ini dalam sebuah pengadilan Turki dan semua
negara yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Turki Usmaniyah.
c. Kandungan Al Majallah Al Ahkam Al Adliyah
Kitab kompilasi hukum Islam Turki Usmaniyah ini memuat 1815 pasal
yang membahas berbagai hukum terhadap berbagai permasalahan yang masih
diperdebatkan dalam membangun hubungan sosial Islam yang terdiri dari
enam belas bab, dimulai dari bab jual beli dan berakhir dengan bab tuntutan
dan keputusan hakim (qadha).
Adapun yang menjadi catatan dari kompilasi ini adalah tidak ada
konsistensi untuk berpegang kepada pendapat yang rajih (kuat) dalam mazhab
Hanafi dan terkadang mengambil pendapat yang marjuh (dikuatkan) untuk
memberi kemudahan kepada masyarakat dan demi kemaslahatan bersama dan
di antara kekurangannya ia tidak membahas tentang al ahwal asy sykhsiyah.

9
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Menurut banyak pengamat , sejarah kebangkitan Islam dan hukum Islam
terjadi karena dampak Barat. Dan berkaitan erat dengan lapangan politik.
Kebangkitan kembali ini dimulai saat kaum muslim menyadari
kemundurannya. Barat memang memiliki pengaruh besar lahirnya pemikiran
kebangkitan ini. Namun yang perlu disadari bahwa kemunculan gerakan-
gerakam pembaharuan khususnya dalam hukum Islam, telah membuka jalan
bagi perkembangan-perkembangan modern. Tidak hanya melalui usaha
purifikasi, tetapi juga dengan jalan positif melalui cara menegaskan kembali
kepada al-Quran dan Hadist.
Pada abad ke 14 telah muncul mujtahid besar yang menghembuskan angin
segar dalam pemikiran keagamaan, yaitu Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu
Qayyim Al-Jauziah. Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke-17 oleh
Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian dikenal dengan gerakan
wahabi. Usaha Muhammad bin Abdul Wahhab ini dilanjutkan oleh
Jamaluddin Al-Afghani. Cita-cita besar Jamaluddin Al-Afghani memberi
inspirasi kepada pemikir pada masa berikutnya, salah satunya Muhammad
Abduh. Cita-cita pembaharuan Abduh kemudian di tindaklanjuti oleh
muridnnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
B. Saran
Sebagai seorang muslim tentulah kita harus mengetahui lebih dalam lagi
tentang Islam. Oleh sebab itu, dalam memandang sesuatu kami sarankan agar
dengan hati yang jernih sehingga mudah bagi kita menerima kebenarannya.

10
Karena segala sesuatu mempunyai manfaat. Kami menyadari bahwa makalah
ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami masih mengharapkan banyak
masukan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi Ahmad, 1995, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
Hasan Rasyad Khalil, 2009, TARIKH TASYRI’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta :
Amzah
Naim Ngainun, 2009, Sejarah Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta : Penerbit Teras.

11
12

Anda mungkin juga menyukai