1. Kegiatan fuqaha kala itu hanya berkisar pada pendapat- pendapat imam
mujtahidin yang lalu, seperti penertiban dan pengurutan masalah yang telah ada,
memisah-misah antara pendapat yang kuat dan lemah. Menyusun ikhtisar kitab-kitab
fiqih atau matan-matan yang terkadang sukar dimengerti, yang kemudian diberi
penjelasan dan dikenal
dengan sebutan syarah. Fakta tersebut dianggap sebagai akibat penjauhan para fuqaha
dari ijtihad, baik karena malas atau karena menerima penutupan pintu ijtihad sebagai
suatu konsensus (ijma’).
2.Hukum Islam menjadi terpisah dari gerak hidup, sebab gerak hidup ini dengan segala
persoalannya tidak pernah stagnan, sedang hukum Islam harus dihentikan dengan ijtihad-
ijtihad dari masa lalu. Hukum Islam yang berupa teori tidak bisa mengakomodir
kebutuhan masyarakat yang bersifat teknis dalam pergaulan hidupnya.
hukum barat
hukum barat nilainya tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, sehingga
terjadi kesenjangan antara hukum dan masyarakat Indonesia yang diaturnya. Hukum
Barat mengenal perbedaan antara public recht (hukum umum) dan privat recht (hukum
privat). Hukum barat apabila terjadi pelanggaran hukum maka akan diselesaikan dengan
cara hukum yang berlaku, apabila hukum yang dilanggar termasuk pelanggaran hukum
pidana maka akan diselesaikan dan diperiksa serta diberi sanksi oleh hakim Pidana dan
bila termsuk dalam pelanggaran perdata maka akan diselaikan secara perdata oleh hakim
perdata. Sedangkan dalam hukum Adat tidak terdapat pembagian sengketa hukum,
apabila ada sengketa adat maka akan diselaikan oleh kepala suku atau kepala adat jadi
sistemnya masih kekeluargaan.
4. yang dinyatakan bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam
maka akan diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila keadaan tersebut telah diterima
oleh hakim agama Islam, apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat
mereka dan sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonansi Ketentuan terakhir ini jelas
menempatkan hukum Islam di bawah hukum adat, karena hukum Islam baru dapat
berlaku setelah diterima oleh hukum adat.
Bersamaan dengan ketentuan pasal 134 ayat (2) IS ini, Teori Receptio in Complexu yang
dikemukakan oleh LWC Van den Berg di atas dibantah oleh Christian Snouck Hurgronje
(1857-1936) selaku penasihat pemerintah Hindia Belanda urusan Islam dan bumiputera.
Dia mendasarkan pada hasil penelitiannya terhadap orang Aceh dan Gayo Banda Aceh
sebagaimana termuat dalam bukunya De Atjehers. Ia berpendapat bahwa yang berlaku
bagi orang Islam di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam, tetapi hukum adat. Memang
telah masuk pengaruh hukum adat ke dalam hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru
mempunyai kekuatan hukum kalau telah benar- benar diterima oleh hukum adat.
Pendapat ini terkenal dengan receptie theorie (teori resepsi), yang kemudian
dikembangkan secara sistematis oleh Cornelis Van Vollenhoven dan Betrand ter Haar
beserta murid-muridnya. Menurut teori resepsi, hukum Islam (itu sendiri) bukanlah
hukum kalau belum diterima ke dalam dan menjadi hukum adat. Kalau telah diterima
oleh hukum adat (setempat), hukum Islam yang demikian, tidak lagi dikatakan hukum
Islam, tetapi hukum adat. Hukum adatlah yang menentukan apakah hukum Islam itu
hukum atau bukan. (Hazairin, 1964: 4).
Alfian57 menjelaskan bahwa teori receptie ini didasarkan pada asumsi bahwa kalau
orang Indonesia mempunyai kebudayaan yang sama dengan orang Eropa, maka
penjajahan Belanda akan berlangsung aman. Untuk itu, Belanda perlu “berkoalisi”
dengan kaum adat, karena merekalah yang dapat diajak bekerja sama oleh pemerintah
Hindia Belanda.
Politik Belanda ini disebut oleh Muhammad Iqbal sebagai politik belah bambu.
Pemerintah Hindia Belanda menciptakan keterasingan umat Islam dengan hukum agama
mereka sendiri. Padahal realitanya masyarakat pribumi tidak pernah mempertentangkan
dan membuat garis tegas pemisahan antara hukum Islam dan hukum adat. Kedua-
keduanya dapat berjalan beriringan dalam kehidupan masyarakat. Dan ini adalah bagian
penting yang dilupakan oleh pemerintah Hindia Belanda, karena dalam tatanan praksis,
hukum Islam dan hukum adat tidak dapat saling dipisahkan.
5. Jarimah hudud adalah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih
seseorang yang mejadikan pelakunya dikenakan sanksi had(Ali, Jarimah hudud yaitu
bentuk jamak dari had artinya batas, menurut syara’ (istilah fiqh) artinya batas-batas
(ketentuan-ketentuan) dari Allah tentang hukuman yang diberikan kepada orang-orang
yang berbuat dosa. Dengan demikian hukuman tersebut tidak mengenal batas minimal
serta tidak dapat ditambah dan dikurangi. Lebih dari itu, jarimah ini termasuk yang
menjadi hak Tuhan yang pada prinsipnya jarimah yang menyangkut masyarakat banyak
yaitu untuk memelihara kepentingan, ketentraman masyarakat. Oleh karena itu hak
Tuhan identik dengan hak jama’ah atau hak masyarakat maka pada jarimah ini tidak
dikenal pemaafan atas pembuat jarimah, baik oleh perorangan yang menjadi korban
jarimah (mujna alaih) maupun Negara
6. Hudud zina ialah perzinahan yang diancam dengan dengan hukuman ta’zir yaitu
perzinahan yang tidak memenuhi syarat untuk dijatuhi hukuman had atau terdapat
syubhat. Para ulama berbeda pendapat tentang menuduh zina dengan binatang,
homoseks dan lesbian. khamar yaitu Larangan minuman keras dijelaskan secara tegas
dalam alQur’an dan sunnah. Penetapan larangan tersebut diturunkan secara bertahap.
Mulanya dikatakan bahwa dari buah kurma dan anggur dapat dibuat minuman yang
memabukkan dan rezeki yang baik-baik (surat an-Nahl: 67). Setelah itu baru ditetapkan
larangan minuman keras dengan penegasan bahwa khamr, judi, dan undian adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan syetan dan haru dijauhi.