Anda di halaman 1dari 7

2.1. Kebangkitan Kembali Fiqih Islam 2.1.1.

Keharusan Kebangkitan Fiqih Menyadari akan kemunduran dan kelemahan yang disebabkan
oleh kaum penjajah Barat itu, maka pada awal abad XIII H, timbullah ide – ide, usaha –
usaha dan gerakan – gerakan pembebasan diri dan ilmu pengetahuan islam dari penjajah dan
pengaruh barat, merasa perlu mengadakan pembaharuan yang universal, meliputi bidang
pendidikan, sosial, politik, ekonomi, militer dan lain sebagainya di dunia islam.[1] Menurut
Dr. Rarrouq, keharusan kebangkitan fiqih bukan sekedar kebutuhan sejarah tetapi bahkan
kebutuhan fiqih itu sendiri. Ini berarti, mengabaikan fiqih dari perkembangannya sama
artinya dengan mengabaikannya dalam kehancuran. Karena perkembangan merupakan
kebutuhan dari keberadaan dirinya.Seperti itu pula yang kita lihat dalam era kejumudan dan
kebekuan fiqih. Fiqih tidak mampu lagi memberikan jawaban – jawaban atas kebutuhan dan
permasalahan – permasalahan baru yang muncul dalam dunia islam, bahkan yang lebih tragis,
ia mengalami kristalisasi sebagai akibat hancurnya bangunan masyarakat islam. Diantara
fuqaha yang diidentikkan bermazhab kepada mazhab hambali, muncullah ahmad ibnu
taimiyah dan muridnya, ibnu qayyim al jauziyah. Dia berdiri sebagai hamzah washol diantara
masa terdahulu dengan masa sesudahnya.Mereka memerangi fhurufat dan bid’ah serta
menganjurkan pemahaman syari’at dengan memakai pikiran, penalaran, dan akal sehat.
Mereka adalah penerus ahmad ibnu hanbali yang mengatakan bahwa pintu ijtihad itu terus
berlaku hingga hari kiamat. Mereka kembali pada mazhab salaf al – shalih yang berdasarkan
Al- Qur’an dan sunnah Rasul. Ibnu Qayyim aljauziyah memerangi taqlid buta dari
kejumudan serta mempertajam ber – ijtihad.[2] Meskipun semua sepakat bahwa kebekuan
fiqih itu telah melahirkan realitas baru dalam alam pikir islam berupa krisis pemikiran dan
krisis hokum, namun terjadu perbedaan yang cukup tajam dalam usaha menemukan
penyelesaiannya. Perbedaan tersebut kemudian berkembang dalam wujud pemikiran
dikalangan ulama’ dan fuqaha sejak akhir abad ke – 14 H hingga sekarang ini.[3] Menurut
para ulama dan fuqoha ada empat pola utama yang menonjol pada saat kebangkitan ilmu
fiqh, yaitu : 1. Modernisme, pola pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana
muslim, pendukung pola ini mendakwakan bahwa fiqh Islam tidak lagi mampu merespon
berbagai perkembangan baru yang muncul dari multidimensionalitas kebutuhan dan
kepentingan manusia yang kini cenderung lebih kritis akibat keluasan  informasi dan
pengalaman. Gagasan utama pendukung pola ini, untuk mengimbangi dan menjawab
tantangan – tantangan baru kita harus berani meninggalkan fiqh yang sudah ada dan
membangun fiqh baru yang kontekstual. 2. Survivalisme, pendukung pola ini bercita – cita
mebangun pemikiran fiqh dengan berpijak pada mazhab – mazhab fiqh yang sudah ada.
Keluasan tesarwah fiqhyah, menurut pendukung pola ini harus di kembangkan. Hingga
sampai saat ini. 3.  Tradisionalisme, pendukung pola ini menekankan keharusan kembali
kepada Al-qur’an dan As-sunnah. Satu hasl yang menarik dari cita – cita pola ini adalah
penolakannya yang sangat keras terhadap ikhtilaf atau perbedaan pendapat. Mereka menolak
bahwa ikhtilaf umat merupakan rahmat. Persoalan ikhtilaf ini, menurut mereka harus dirujuk
pada pada hadis, bukan pada pendapat – pendapat para imam mazhab. 4. Neo – survivalisme,
pola terakhir ini disebut neo – survivalisme, kerena para pendukungnya selain menawarkan
fiqh pengembangan juga menampakkan concernya yang besar terhadap kepedulian social.
Karenanya, dalam banyak hal, mereka mengajukan suatu pendekatan transformative dalam
memahami fiqih dan upaya mencari relefansinya dengan persoalan – persoalan kekinian.[4]
Karenanya dalam banyak hal, mereka mengajukan suatu pendekatan – pendekatan
transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari relevansinya dengan persoalan –
persoalan kekinian. Menurut pendukung pola ini, kegagalan fuqaha selama ini dikarenakan
kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat dalam perkembangan yang sedemikian rupa
sehingga muncul kesenjangan antara fiqih secara teoritis dengan kenyataan masyarakat secara
praktis. Untuk yang tersebut terakhir ini mereka mengajak pada suatu pemahaman yang lebih
dinamis dan tidak kaku, yaitu dengan menggabungkan pemahaman Tarikh Tasyri’ dengan
sosiologi hokum.[5] 2.1.2. Pembahasan Fiqih Islam Bermulanya zaman ini pada akhir tahun
ketiga belas Hijirah ketika zaman pemerintahan kerajaan Uthmaniah. Pada ketika itu,
kerajaan Uthmaniah telah menggunakan fiqh sebagai satu undang-undang dan dijadikan
dalam bentuk akta dan amandemen. Para hakim menggunakannya sebagai rujukan di dalam
menjalankan proses penghakiman. Ia dijadikan sebagai ganti kepada kaedah lama yaitu
dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqh di dalam mazhab yang satu. Tugas ini diberikan
kepada segolongan ulama besar diketuai oleh Menteri Keadilan untuk membentuk satu
undang-undang dalam urusan peradaban. Pekerjaan  tersebut diselesaikan oleh pihak Lujnah
pada tahun 1285-1293 H, bersamaan tahun 1869- 1876 M. Para ulama telah menyusun 1851
akta yang terkandung di dalam 16 buku yang diambil daripada fiqh Hanafi dengan memilih
perkara yang terbaik seiring dengan perubahan zaman dan juga yang mendatangkan kebaikan
kepada manusia. Himpunan akta-akta dinamakan ini sebagai Majallah alAhkam al-’Adliah
dan dijadikan sebagai perlembagaan negara. Ia digunakan pada zaman pemerintahan
Kerajaan Uthmaniah sehingga dihentikan penggunaannya selepas kejatuhan kerajaan
Uthmaniah. Majallah ini dibahagikan kepada bebarapa fasal seperti berikut; Jual beli, sewaan,
kafalah, hiwalah, pajak gadai, amanah, hibah (anugerah), rompak dan pencurian, paksaan,
syuf’ah, jenis-jenis syarikat, wakalah, sulh (rundingan), Iqrar, dakwaan, keterangan, dan
kehakiman.[6] Pada mukadimah kitab ini, dimulakan dengan fasal permulaan, mengandungi
sejumlah kaedah-kaedah kulliyyah berjumlah 77 kaedah. Kemudian berlaku banyak
perubahan pada undang-undang tersebut dan ada juga yang dibuang dan digantikan dengan
undang-undang lain pada tahun 1880 Masihi. Selepas itu terdapat undangundang lain yang
digazetkan di negara-negara Islam lain. Sebahagian besarnya disusun berkenaan dengan al-
Ahwal al-Syaksiyyah atau undang-undang keluarga yang dikuatkan dengan fiqh Islam tanpa
disempitkan dengan mazhab-mazhab tertentu. Negara Turki merupakan negara pertama yang
mengeluarkan undang-undang berkenaan dengan undang-undang keluarga dengan nama
Qanun Huquq al-A’ilah (undang-undang hak-hak kekeluargaan) dan dikeluarkan pada tahun
1917. Pada tahun tersebut diresmikan Undang-undang Hukum Keluarga menggunakan
prinsip Talfiq dan Tahayyur (Menggabungkan beberapa pendapat kemudian dirumuskan satu
hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan perkembangan semasa). Undang-undang
tersebut disebut The Ottoman Law of Family Rights. Pada zaman ini para ulama memberikan
perhatian yang sangat besar terhadap fiqih Islam, baik dengan cara menulis buku ataupun
mengkaji. Sehingga fiqih islam nisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan para
ulama’, menjahui metode yang rumit dan menyusahkan, menggunakan konsep ilmiah dengan
kajian yang mendalam dan terfokus.[7] Apabila kita ingin menuliskan beberapa indikasi
kebangkitan fiqih Islam pada zaman ini dari aspek sistem kajian dan penulisan, dapat
dirincikan sebagai berikut: 1. Memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab
dan pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah diakui tanpa ada perlakuan khusus antara satu
mazhab dengan mazhab lain. Penguasa pada zaman ini  berpegang kepada mazhab tertentu 
dalam ber – taqlid dan qadha’, serta memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhab tertentu
seperti yang dilakukan oleh Dinasti Ayyubiyah ketika mereka mambatasi kurikulum Al –
Azhar hanya dengan mazhab Syi’ah. 2. Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqih
tematik.Pada zaman ini, kajian fiqih sudah beralih pada kajian kitab – kitab fiqih klasik yang
tidak memuat rumus dan kejumudan. 3. Memberikan perhatian khusus terhadap fiqih
komparasi. Pada masa ini para peneliti fiqih lebih focus ke kajian fiqih komparasi. Metode ini
memilki kelebihan, yakni dapat memunculkan teori – teori umum dalam fiqih islam dan teori
baru seperti teori akad, kepemilikan, harta, dan pendayagunaan hak yang tidak proposional
serta yang lainnya yang dapat kita lihat dari hasil karya ilmiah. Dalam muktamar
internasional tentang perbandingan UU yang dilaksanakan di lohre tahun 1931, kemudian
1937, dan konfrensi Advokasi Internasional tahun 1948, para penelis menyatakan, “ Fiqih
islam memiliki nilai perundang – undangan yang tinggi dan tidak bisa ditandingi sehingga
harus dijadikan sumber perundang – undangan civil, semua prinsipnya bisa mewujudkan
peradaban dan kemajuan, lebih mampu dari perundang – undangan lain dalam memenuhi
kebutuhan umat manusia, merealisasikan kemaslahatan bangsa, mudah dirujuk dan dikaji
serta diambil produk hukumnya”. 4. Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan
menerbitkan ensiklopedi fiqih.Diantara indikasi kebangkitan fiqih pada zaman ini adalah
didirikannya beberapa lembaga kajian diberbagai negeri islam dan terbitnya beberapa
insiklopedi fiqh.[8] Beberapa contoh kreativitas di bidang ini : 1. Lembaga Kajian Islam di
Al-Azhar, didirikan di Mesir pada tahun 1961 M. lembaga ini mencakup bidang Al-Qur’an
dan Sunnah, kajian fiqih, khazanah islam, dan kajian social. 2. Kantor Pusat Urusan Islam, di
bawah koordinator Kementrian Waqaf Mesir. Ini bertugas menyebarkan buku – buku warisan
ulama’ terdahulu, dan karya ilmiah pakar ilmu fiqih dan ilmu lain. 3. Ensiklopedi fiqih di
Kuwait, yang bertujuan agar Negara Kuwait mempunyai saham dalam kemajuan fiqih
bersama Negara lain. Lembaga ini berhasil menyusun kajian fiqih secara tematik . 4.
Ensiklopedi fiqih di Mesir, dibawah kordinasi Kantor Pusat Urusan Agama. Dalam
ensiklopedi ini para penulis membubuhkan pendapat fuqaha’ secara amanah dan terperinci
serta tidak terbatas pada empat madzhab tanpa ada rasa fanatik. Para ulama dalam
menghimpun semua masalah menggunakan metode yang sama, dengan menukil pendapat
mazhab dengan lugas, ringkas tanpa men-tarjih pendapat – pendapat tertentu. Hari ini, kita
dapat lihat terdapat banyak sekali muktamar-muktamar nasional dan muktamar-muktamar
Islam yang membicarakan mengenai kepentingan fiqh Islam dan menggalakkan pembelajaran
secara perbandingan di antara fiqh. Ini dilaksanakan di peringkat pengajian universiti dan
peringkat tinggi di universiti Islam antarabangsa. Ramai juga sarjana undang-undang yang
membuat kajian perbandingan dengan fiqh Islam. Ada juga di antara mereka yang
menjalankan penyelidikan ilmiah secara mendalam di dalam peringkat sarjana dan juga Ph.D
di negara-negara Islam berkisar mengenai fiqh Islam. Ia sebagai tambahan kepada kitab-kitab
fiqh semasa yang semakin berkembang di perpustakaan di seluruh dunia Islam. Kemudian,
kewujudan internet banyak membantu perkembangan fiqh Islam dengan memudahkan untuk
berhubung dengan para ulama. Ia juga memudahkan urusan untuk berijma’ dan bertukar-
tukar fikiran di antara mereka. Penggunaan teknologi internet ini banyak membantu para
ulama di dalam mengembangkan fiqh Islam. Di atas asas inilah universiti-universiti Islam
mengambil langkah proaktif dengan mengadakan seminar-seminar antarabangsa dengan
mengfokuskan kepada hukum-hukum syariah dan juga undang-undang yang berkaitan
dengan perkara ini. Tidak ketinggalan wujud pelbagai laman-laman web yang menumpukan
kepada pengeluaran fatwa dan menjawab segala persoalan yang dihadapi oleh manusia dalam
kehidupan sehariannya. Selain itu, terdapat beberapa isu-isu syariah dan undang-undang yang
bercabang-cabang yang mungkin boleh dikaji di bawah tajuk hukum-hukum syariah
berkaitan dengan internet. Sebagai contoh: 1. Hukum-hukum mengenai penjagaan dan
keselamatan maklumat-maklumat sulit dan rahsia-rahsia. 2. Hak-hak seperti hak-hak penulis
dan penciptaan dan seumpamanya. 3. Hukum-hukum mengenai penjagaan persendirian dan
rahsia-rahsia individu . 4. Laman-laman web sebagai bukti. 5. Hukum-hukum mengenai
penghinaan, tuduhan qazaf, dan makluman melalui internet. 6. Bukti-bukti pensabitan
jenayah. 7. Hukum-hukum jual beli melalui internet. 2.1.3. Kodifikasi Hukum Fiqih
Kodifikasi adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqih dalam satu bab dalam
bentuk butiran bernomor.1Dan jika ada setiap masalah akan dirujuk kepada materi yang
sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi putus dalam menyelesaikan perselisihan.
Tujuan dari kodifikasi adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut : 1.
Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan, sehingga tidak
terjadi tumpang tindih. Contohnya para hakim tidak boleh memberikan keputusan di luar
undang-undang yang telah ditetapkan untuk menghindari keputusan yang kontradiktif. 2.
Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqih dengan susunan yang sitematik.
Menurut seorang orientalis inggris moderat, W. Montgomery bahwa bebrapa bagian dari
fiqih telah disusun dalam bentuk undang – undang sejak dari masa Nabi Saw masih hidup.
Undang – undang yang merupakan UUD islam tersebut, oleh ibnu Hisyam diberi nama
dengan Kitabun Nabi. Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan nama The
Constitution of Medina. Pada tahun 1956 oleh Montgomery sendiri dan pada tahun 1961 di
terjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh H. Zainal Abidin Ahmad, dengan nama Piagam
Nabi Muhammad SAW. Kemudian atas anjuran Ibnu Muqaffa’, khalifah al – Mansur (w 163
H) Meminta agar Imam Malik bersedia mengumpulkan bahasan Fiqih dalam satu madzhab
untuk dijidikan sebagai undang – undang yang berlaku bagi Daulah Umayyah. Akhirnya
Imam Malik menyusun kitab al – muwattha. Usaha kearah pengkodifikasian ini, kenudian
dilanjutkan oelh ilama india pada masa Sultan Muhammad (w 1138). Tetapi mereka hanya
dapat mengumpulkan sejumlah fatwa dan keputusan pengadilan kedalam sebuah kitab yang
diberikan nama al – fatwa al – Hindiyah.[9] a. Permulaan Kodifikasi Upaya pengkodifikasian
sudah muncul sejak awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’ menulis surat kepada Khalifah
Abu Jafar Al-Mansur agar undang-undang civil negara diambil dari Al-Qur’an dan sunah.2
Ketika tidak ada nash cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan uamat.
Usulan Ibnu Muqaffa’ tidak mendapat sambutan pada saat itu, karena para fuqaha’ enggan
untuk memikul beban taqlid, sedangkan mereka sendir memerintahkan murid – murid mereka
untuk menjauhi fanatisme mazhab. dan mereka cemas dan ragu-ragu, karena mereka bukan
membuat undang-undang buatan manusia, tetapi syariat yang turun dari langit. Meskipun
demikian, upaya tersebut belum secara resmi dan bersifat mengikat bagi semua mufti atau
hakim, sebagaimana corak penulisan dan pembuatan bab belum seperti sebuah materi
undang-undang dan hanya bersifat himpunan pendapat fiqih yang masih diperdebatkan,
kemudian lembaganya memilih salah satunya.[10] Semua upaya dan usaha baik ini belum
bisa dikatakan sebuah bentuk kodifikasi fiqih islam dengan makna yang sempurna. b. Titik
Tolak Kodifikasi (Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah) Sebuah kodifikasi terhadap fiqih Islam
betul-betul terwujud di Turki Ketika muncul Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (semacam
kitab undang-undang hukum perdata). Pada masa dinasti umayyah yang berangkat dari
keinginan iperium ini untuk mengacukan seluruh undang-undang sipil yang berlaku bagi
umat islam dibawah pemerintahannya pada madzhab Imam Abu Hanifah sebagai madzhab
resmi Negara. Kitab kodifikasi hokum islam ini disusun oleh para fuqoha’ kondang dibawah
pimpinan Ahmad Jaudat Basya, Direktur Diwan Al-Ahkam Al-Adliyah. Lembaga ini bekerja
pada tahun 1286 H sampai 1292 H. Setelah tujuh tahun, lahirlah Majallah Al-Ahkam Al-
Adliyyah. Pada bulan Sya’ban 1292 H. Sultan mengeluarkan surat perintah untuk
menerapkan isi kompilasi ini dalam semua pengadilan Turki dan semua negara yang berada
di bawah kekuasaan Dinasti Turki Usmaniah.[11] c. Kandungan Al-Majallah Al-Ahkam Al-
Adliyyah Kitab kompilasi ini memuat 1815 pasal membahas berbagai hukum terhadap
permasalahan yang masih diperdebatkan, terdiri dari 16 bab, dari bab jual beli sampai bab
tuntutan dan keputusan hakim. Adapun yang menjadi catatan dari kompilasi ini adalah  tidak 
ada konsistensi untuk berpegang kepada pendapat yang rajih (kuat) dalam madzhab hanafi
dan terkadang mengambil pendapat yang marjuh (dikuatkan) untuk memberi kemudahan
kepada masyarakat dan demi kemaslahatan bersama dan diantara kekurangannya ia tidak
membahas tentang al-ahwalus asy-syakhsiyah.[12] Pendapat serupa juga diungkapkan oleh
Mustafa Ahmad Az-Zarqa, yang mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai
perkembangan fikih: 1. Munculnya upaya pengkodifikasian fikih sesuai dengan tuntutan 
situasi dan zaman. 2. Upaya pengkodifikasian fikih semakin luas,bukan saja di wilayah
yuridiksi kerajaan turki usmani, tetapi juga di wilayah- wilayah yang tidak tunduk pada
yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. 3. Munculnya upaya
pengkodifikasian berbagai hukum fiqih yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fikih
tertentu. 2.1.4. Tokoh-Tokoh Kebangkitan Kembali Fiqih Islam Sebagai reaksi terhadap sikap
taqlid, pada abad ke-14 telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara
baru dan segar dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Namanya Ibnu Taimiyah (1263-
1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1356). Kemudian banyak tokoh-tokoh
yang mengikuti jejak para pendahulunya untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad dan
menolak taqlid, diantaranya :       Muhammad Abduh Muhammad Abduh lahir di suatu desa
di Mesir Hilir.Di desa di mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya
adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat tanggal lahir anak-
anaknya.Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.Muhammad
Abduh berpendapat, sebab yang membawa kemunduran fiqih Islam adalah faham jumud
yang terdapat dikalangan umat Islam.Karena dipengaruhi faham jumud, umat Islam tidak
menghendaki dan menerima perubahan. Taklid kepada ulama lama tidak perlu dipertahankan
bahkan mesti diperangai, karena taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam
kemunduran dan tidak dapat maju.Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama
yang menimbulkan faham taklid.Sikap ulama ini, membuat umat Islam berhenti berpikir dan
akal mereka berkarat.Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik,
dipandang berlainan betul dengan sikap umat Islam dahulu.AlQur’an dan Hadis, melarang
umat Islam bersifat taklid. Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan
taklid, berdasarkan kepercaan Muhammad Abduh pada kekuatan akal.Menurut pendapatnya
Al-Qur’an berbicara, bukan hanya kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya.Islam
memandang akal mempunyai kedudukan tinggi.Allah menunjukan perintah-perintah dan
larangan- laranganNya kepada akal. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat: ‫أفال‬, ‫أفال يعقلون‬
‫أفال يتدبرون‬,‫ ينظرون‬. Dan sebagainya.Oleh sebab itu Islam baginya adalah agama yang
rasional.Mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam.Iman seseorang tidak
sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar
peradaban suatu bangsa. Akal terlepas dari ikatan tradisi akan dapat memikirkan dan
memperoleh jalan-jalan yang membawa pada kemajuan. Pemikiran akallah yang
menimbulkan ilmu pengetahuan.       Syeikh Muhammad As-Sirhindi Dia bernama Ahmad
bin Abdul Ahad bin Zainal Abidin As-Sirhindi. Nasabnya bersambung pada Umar bin
Khattab. Dilahirkan pada malam Jum’at tanggal 14 Syawal tahun 971 H bertepatan dengan
tahun 1563 M di kota Sirhind di negeri India. Kedua orang tuanya memberikan nama Syeikh
Ahmad. Syeikh Ahmad mempunyai beberapa manhaj untuk mencapai fase kebangkitan :       
Dia banyak memberikan pengajaran dan pendidikan kepada umat untuk mempersiapkan
mereka berdakwah dalam level yang tinggi.       Dia mengkritik pada pemikiran filsafat yang
menyimpang dan pemikiran tasawuf yang batil, dari para penganut wihdatul wujud dan
ittihad (yakni orang bisa bersatu dengan Tuhan).        Dia memerangi semua bentuk syirik.
Dia mengajak manusia pada tauhid yang murni dan keabadian risalah Muhammad
Rasulullah, dan mengajak umat muslim untuk bersatu dalam pangkuan Islam.        Dia
menentang kalangan Syiah di lingkungan istana pada masa Nuruddin Jangahir bin Raja
Akbar dan mengangkat panjipanji Ahli Sunnah dengan terang-terangan.        Dia
memperhatikan para pemimpin yang tampak perilaku agamis dari mereka dan ada gelora
cinta pada kebaikan.       Imam As-Sirhindi mendekati raja dan menjadi orang dekatnya dan
dia tidak membiarkan orang-orang jahat berada bersamanya.       Sayyid Ahmad Syahid
Sayyid Ahmad Syahid lahir pada tahun 1786 di Rae Bareli, suatu tempat yang terletak di
dekat Lucknow. Ajaran Sayyid Ahmad Syahid mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut :
Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara yang
berlebih-lebihan.       Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh,
wali dan lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam
mengatasi kesulitannya.        Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunah
yang timbul di zaman Khalifah Yang Empat. Sayyid Ahmad Syahid juga menentang taqlid
pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena itu
berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguh pun ia sendiri adalah
pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang pintu ijtihad baginya terbuka dan
tidak tertutup. Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam fase
kebangkitan ini. Di Mesir, ada Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani,
Rasyid Rida dan para murid dari Muhammad Abduh. Di Turki, ada Sultan Mahmud II dan
Mutafa Kemal. Di India-Pakistan, ada Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal
dan Muhammad Ali Jinnah.Para ulama – ulama tersebut merupakan pelopor gerakan
pembaharuan. Gerakan ini menyerukan kepada kebangunan kaum muslimin, pengembangan
ilmu – ilmu islam, meninggalkan taqlid buta dan bid’ah, dan kembali pada ajaran Al-Qur’an
dan As – sunnah dan mengikuti metode ulama syalafiyin, seperti: sahabat dan ulama – ulama
sebelum masa kemunduran.[13] BAB III PENUTUP 3.1.  Kesimpulan Kebangkitan fiqih
dimulai dari akhir abad ketiga belas hijriyah sampai pada hari ini. fase ini mempunyai
karakter dan corak berbeda dengan fase – fase sebelumnya. Fiqih dihadapkan pada zaman
baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat member saham dalam menentukan
jawaban atas setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli,
menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu. Kebangkitan fiqih
ditandai oleh dua aspek, yaitu : 1. Pembahasan fiqih Islam, dengan memberikan perhatian
khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapatpendapat fiqhiyah, fiqih tematik, fiqih
komparasi, dan Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi
fiqih. 2. Kodifikasi hukum fiqih, di mulai pada awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’
menulis surat kepada Khalifah Abu Jafar Al-Mansur, kemudian kodifikasi terhadap fiqih
Islam betul-betul terwujud di Turki Ketika muncul Majallah AlAhkam Al-Adliyyah
(semacam kitab undang-undang hukum perdata ). 3. Tokoh-tokoh yang berjasa dalm
kebangkitan fiqih Islam, mereka adalah; Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad AsSirhindi,
Sayyid Ahmad Syahid, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid
Rida, Sultan Mahmud II, Mutafa Kemal, Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad
Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah. khalifah al – Mansur (w 163 H) Upaya pengkodifikasian
sudah muncul sejak awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’ menulis surat kepada Khalifah
Abu Jafar Al-Mansur agar undang-undang civil negara diambil dari Al-Qur’an dan sunah.2
Ketika tidak ada nash cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan uamat.
khalifah al – Mansur (w 163 H)Meminta agar Imam Malik bersedia mengumpulkan bahasan
Fiqih dalam satu madzhab untuk dijidikan sebagai undang – undang yang berlaku bagi
Daulah Umayyah. Dalam proses pengkodifikasian hokum fiqih melalui tiga tahap, yakni: 1.
Permulaan Kodifikasi 2. Titik Tolak Kodifikasi (Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah) 3.
Kandungan Al-Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah DAFTAR PUSTAKA Djatnika, Rahmat,
Dkk, Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam,Dept. Agama RI, Jakarta, 1986. Praja, Juhana
S, Dkk, Hukum islam diIndonesia. Pustaka Rosdakarya Offset, Bandung, 1991. Sirrry,
Mun’im A, Sejarah Fiqih Islam, Risalah Gusti, Islambad, 1995. Kholil, Rasyad Hasan, Tarikh
Tasyri’;sejarah legislasi hukum islam, Amzah, Jakarta, 2009.
http://www.e-infad.my/i-fms/pdf/sejarah%20perkembangan/zaman%20moden.pdf/
03/04/2011/ 01:15 [1] Rahmat Djatnika, Dkk. 1986. Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia
Islam. Jakarta: Dept. Agama RI. Hlm: 46 [2] Juhana S. Praja. Dkk. 1991.Hukum islam
diIndonesia. Bandung: Pustaka Rosdakarya Offset. Hlm: 7 [3] Mun’im A. Sirrry. 1995.
Sejarah Fiqih Islam. Islamabad: Risalah Gusti. Hlm: 152 [4] Ibid . Hlm: 153 [5] Ibid. Hlm:
155 [6] http://www.e-infad.my/i-fms/pdf/sejarah%20perkembangan/zaman%20moden.pdf/
03/04/2011/ 01:15 [7] Rasyad hasan kholil. 2009, Tarikh Tasyri’;sejarah legislasi hukum
islam. Jakarta: amzah. Hlm. 131. [8] Ibid: Hlm: 133 [9] Rahmat Djatnika , Dkk. 1986.
Perkembangan IlmuFiqih Di Dunia Islam. Jakarta:Departemen Agama RI. Hlm: 51. [10]
Rasyad hasan kholil. 2009, Tarikh Tasyri’;sejarah legislasi hukum islam. Jakarta: amzah.
Hlm. 135. [11] Ibid. Hlm: 136 [12] Ibid. Hlm: 137 [13] Rahmat Djatnika, Dkk. 1986.
Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Dept. Agama RI. Hlm: 46

Anda mungkin juga menyukai