Anda di halaman 1dari 13

ISU-ISU KONTEMPORER DALAM STUDI ISLAM

A. Liberalisme
Liberalisme Menurut bahasa, kata liberal berasal dari bahasa Inggris, liberal, yang berarti
penganut liberalisme, dan berarti pula bebas, liberal, tidak picik. Dengan demikian, Islam
liberal berarti Islam yang serba bebas, luas, dan tidak picik dalam memahami Islam. Kata
liberal atau bebas yang berada di belakang kata Islam tersebut adalah bebas dari belenggu
taklid (mengikuti pendapat orang tanpa sikap kritis), bebas untuk kembali dan mengakses
Al-Qur’an dan AsSunnah secara langsung. 1 Liberalisme adalah paham yang berusaha
memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme
merupakan paham kebebasan, artinya manusia mempunyai kebebasan atau kalau kita lihat
dari perspektif filosofi, merupakan tata pemikiran yang landasan pemikirannya adalah
manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berfikir dan bertindak sesuai dengan
yang diinginkan.
Prinsip-prinsip liberalisme itu sendiri yaitu kebebasan dan tanggungjawab. Salah satu
agenda liberalisme adalah mengandalkan rasio dan kesadaran sosial para individu untuk
menunaikan kewajiban-kewajibannya. 2 Liberalisme dalam Islam adalah keinginan
menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang. Jembatannya adalah melakukan
penafsiran-penafsiaran ulang sehingga Islam menjadi agama yang hidup. Karena kita hidup
dalam situasi yang dinamis dan selalu berubah, sehingga agar agama tetap relevan perlu
cara pandang baru dalam melihat dan memahami agama. Dalam tradisi filsafat Islam ada
kebebasan berpikir yang berusaha memberikan alternatif bagi pemahaman ortodoks.
Oleh sebab itu wajar bila sekarang banyak para sarjana muslim yang mengatakan
akarakar liberalisme dalam Islam bisa ditelusuri pada dua disiplin keilmuan Islam, yaitu
filsafat dan tasawuf, filsafat memberi landasan intelektual dan rasional, sementara tasawuf
memberi landasan spiritual.3 Islam liberal adalah Islam yang memilih akses penafsiran Al-
Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan metode dan pendekatan dalam penafsiran,
melakukan reinterpretasi terhadap penafsiran Islam masa lalu yang tidak sesuai, ingin
keluar dari belenggu taklid dan kembali melakukan ijtihad dalam rangka melahirkan gagasan
dan pemikiran yang sesuai dengan zaman, serta ingin keluar dari ikatan tradisi yang tidak
sesuai dengan spirit Al-Qur’an dan AsSunnah, sebagai sumber Islam yang membawa
kemajuan.4 Islam liberal sendiri keberadaannya di Indonesia di pelopori oleh Nurcholis
Madjid, seorang tokoh yang sebelumnya sudah meluncurkan gagasan sekularisasi dan ide-
ide teologi inklusif-pluralis. Lewat Islam liberal inilah Nurcholis Madjid mengembangkan
1
Abudin Nata, Studi Islam Komperhensif, Jakarta: Kencana, 2011, hlm 522
2
Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam untuk Liberalisme, Jakarta: Gramedia, 2010, hlm 3-4
3
Budhy Munawar-Rachman, Membela Kebebasan Beragama Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, Jakarta: LSAF,
2010, hlm ii
4
Abudin Nata, Studi Islam Komperhensif, Jakarta: Kencana, 2011, hlm. 523-524.
gagasannya lebih intensif yang lebih dikenal dengan Jaringan Islam liberal (JIL). Mulai aktif
pada Maret 2001, lewat diskusi maya (milis), koran jaringannya dan radio jaringannya, JIL
meluncurkan gagasan-gagasannya di Indonesia.
Di kalangan masyarakat pada umumnya, Islam liberal di nilai sebagai Islam yang tidak
baik, karena Islam liberal dihubungkan dengan sikap yang bebas dalam memahami Islam,
bahkan bebas untuk tidak tunduk pada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak mengikuti
ketentuan syariat (fikih), dan berbagai tindakan bebas lainnya. Ali Abdul Raziq (1866-1966)
tampaknya adalah tokoh pertama yang merupakan rujukan kaum Islam liberal. Karya dari
Ali Abdul Raziq, Islam wa ushul al-hukum Islam dan DasarDasar pemerintahan. Para ulama
memutuskan untuk mencabut Ijazah Raziq dan mengeluarkannya dari kelompok ulama Al-
Azhar. Tujuh butir kesalahan fatal yang dibuat Raziq yaitu:           
1. Menjadikan syariat Islam sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya dengan
pengaturan atau pelaksanaan duniawi.
2. Berpendapat bahwa jihad Rasulullah ditujukan untuk meraih kekuasaan setingkat raja
dan bukan untuk mensyiarkan agama ke seluruh dunia.
3. Menyatakan bahwa lembaga pemerintahan di masa Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau,
tidak komplit, dan membingungkan.
4. Berpendapat bahwa tanggung jawab Muhammad hanya menyebarluaskan syariat tanpa
menjadi penguasa dan pemerintah.
5. Menganggap sepi ijma’ para sahabat Rasulullah yang menganggap umat mesti
menunjukkan seseorang untuk mengolah urusan keagamaan dan keduniawian serta
mengakui adanya kewajiban mengangkat seorang imam.
6. Mengingkari bahwa kehakiman merupakan fungsi syariat.
7. Berpendapat bahwa pemerintahan Abu Bakar Assidiq adalah pemerintahan yang
sekuler.
Tapi ulama model Raziq inilah yang digandrumi kaum Islam liberal (para pemikir barat),
pemecatan Raziq dari anggota ulama Al-Azhar, dilakukan oleh Haiah Kibaril Ulama (dewan
ulama terkemuka) yang terdiri dari 19 orang ulama. Bila dicermati, intinya Ali Abd Raziq
menolak Daulah Islamiah atau khalifah Islamiah bagi kaum muslim. 5

B. Pluralisme
1. Pengertian Pluralisme
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut pencerahan
(Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke 18 Masehi, masa yang sering disebut
sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang
diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang
berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari
kungkungan-kungkungan agama. Setidaknya terdapat dua faktor utama penyebab
munculnya gagasan pluralisme agama. Pertama, yaitu faktor internal berupa realitas
5
Adian Husaini, Nuim Hidayat, Islam Liberal, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, hlm. 12-13
perbedaan keyakinan antar agama yang sifatnya mendasar. Perbedaan tersebut
terutama nampak pada bidang-bidang aqidah/keimanan/ideologis, bidang sejarah
yang mempengaruhi secara langsung unsurunsur keyakinan agama dan juga masalah
konsep superioritas agama. Kedua, yaitu faktor eksternal yang bisa diklasifikasikan
menjadi dua kategori. Pertama, faktor yang bersifat sosio-politis, yang erat berkaitan
dengan wacana-wacana sosio-politis, demokrasi, nasionalisme, dan HAM yang telah
melahirkan sistem "Negara-Bangsa" dan kemudian mengarah pada apa yang dewasa
ini dikenal dengan globalisasi. Kedua, faktor ilmiah akademis yang terejawantahkan
dalam kerangka maraknya kajian keagamaan kontemporer, dimana sebagian pakar
keagamaaan mencoba memformulasikan teori pluralismenya berdasarkan kesimpulan-
kesimpulan yang telah mereka capai. Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari
dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama".
Dalam bahasa Arab diterjemahkan "Al-ta'addudiyah al-diniyyah" dan dalam bahasa
Inggris "religous pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari
bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada
kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jamak" atau lebih dari satu. Dalam kamus
bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama pengertian kegerejaan: (i)
sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur
kegerejaan, (ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat
kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis: berarti sistem
pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari
satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui
koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai
dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik
diantara kelompok-kelompok tersebut.
Ketiga, pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna,
yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap
terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing. Adapun secara
terminologis, pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar
agama (dalam artian yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan
tetap mempertahankan ciri-ciri spesisifik atau ajaran masing-masing agama. Namun
dari segi konteks dimana "pluralisme agama" sering digunakan dalam studistudi dan
wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan definisi
dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula pada (dictionary definition).
Jhon Hick misalnya, menegaskan bahwa: ”.....pluralism is the view that the great world
faiths embody different perceptions and conseptions of, and corespondingly different
responses to, the real or ultimate from within the major variant cultural ways of being
human; and that within each of them the transformation of human existence from
self-centredness to reality centredness is manifestly taking place--and taking place, so
far as human observation can tell, to much the same extent." (....pluralisme agama
adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan
konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang
beragam terhadap, yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural
manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri
menuju pemusatan-hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata
kultural manusia tersebut--dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas
yang sama) Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama
adalah merupakan "manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu". Dengan demikian,
semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Sangat jelas, rumusan
Hick tentang pluralisme agama diatas adalah berangkat dari pendekatan substansif,
yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang
agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang
transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.
Dengan demikian telah terjadi proses pengebirian dan "reduksi" pengertian agama
yang sangat dahsyat. Dan yang sungguh mengejutkan, ternyata "pemahaman
reduksionistik" inilah justru yang semakin populer dan bahkan diterima dikalangan
para ahli dari berbagai disiplin ilmu dan pemikiran yang berbeda, hingga menjadi
sebuah fenomena baru dalam dunia pemikiran manusia yang jelas tentunya berbeda
dengan apa yang sudah dikenali secara umum. Yaitu suatu fenomena pemikiran baru
yang unik tentang "persamaan agama" (religious equality). Sesungguhnya pemahaman
agama yang reduksionistik inilah yang merupakan "pangkal permasalahan" sosio-
teologis modern yang sangat akut, yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan
solusinya kecuali dengan mengembalikan agama itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik
orbitnya yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komperehensif,
tak reduksionistik.
2. Pluralisme Islam 
Istilah pluralisme tidaklah dikenal secara populer dan tidak banyak dipakai
dikalangan Islam kecuali sejak kurang lebih dua dekade terakhir abad ke-20 yang lalu.
Yaitu ketika terjadi perkembangan penting dalam kebijakan Internasional barat yang
baru, yang memasuki sebuah fase yang dijuluki Muhammad Imarah sebagai "Marhalat
al-Ijtiyah" (fase pembinaan). Yakni sebuah perkembangan yang prinsipnya tergurat
dan tergambar jelas dalam upaya barat guna menjajakan ideologi modern-nya yang
mereka anggap universal. Seperti Demokrasi, pluralisme, HAM, serta pasar bebas,
yang kemudian mengekspornya untuk luar dalam rangka mencapai berbagai
kepentingannya yang beragam.
Suatu kebijakan yang telah dikemas atas dasar "superioritas" ras dan kultur barat,
serta peremehan atau penghinaan terhadap segala sesuatu yang bukan barat. Islam
khususnya, dengan berbagai macam tuduhan yang menyakitkan, seperti intoleran,
anti-demokrasi, fundamentalis, sektarian dan sebagainya. Maka sebagai respons
terhadap perkembangan politis baru ini, masalah pluralisme mulai mencuat dan
concern kalangan cerdik-cendekia Islam, yang pada gilirannya menjadi komoditas
paling laku dipasar pemikiran Arab Islam kontemporer. Menurut hemat penulis, isu-isu
pluralitas keagamaan dalam pandangan para ulama Islam lebih mengupas masalah
yang berhubungan dengan bagaimana mengatur dan mengurus individu-individu dan
kelompok-kelompok yang hidup didalam sebuah tatanan masyarakat yang satu, baik
yang menyangkut hak ataupun kewajiban, untuk menjamin ketentraman dan
perdamain umum. Jadi, permasalahannnya lebih merupakan masalah aplikatif, praktis
dan historis, daripada masalah keimanan atau teologis.
Di Indonesia sendiri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwanya di
tahun 2005, yang menyebut bahwa paham pluralisme agama adalah paham yang
bertentangan dengan Islam. Dengan lebih menitikberatkan pada soal definisi
pluralisme agama itu sendiri, karena seperti kita ketahui bersama bahwa istilah ini
telah mengalami perubahan definisi seperti yang sudah dijelaskan di bagian atas. Jika
istilah pluralisme agama tidak terjadi pergeseran makna, maka tidaklah perlu umat
Islam dan juga umat agama lain repot-repot untuk menjawabnya. Selain MUI, Vatikan
sudah terlebih dahulu bersikap tegas terhadap paham ini, dengan keluarnya Dekrit
Dominus Jesus (2000).
Di kalangan Protestan pun muncul reaksi keras terhadap paham ini. Dalam sebuah
buku Pendidikan Agama Kristen untuk mahasiswa yang berjudul Beriman dan Berilmu:
Panduan Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa dijelaskan: "Pluralisme bukan
sekadar menghargai pluralitas agama tetapi sekaligus menganggap (penganut) agama
lain setara dengan agamanya. Ini adalah sikap yang mampu menerima dan
menghargai dan memandang agama lain sebagai agama yang baik dan benar, serta
mengakui adanya jalan kesempatan di dalamya. Di satu pihak, jika tidak berhati-hati,
sikap ketiga ini dapat berbahaya dan menciptakan polarisasi iman. Artinya keimananya
atas agama yang diyakininya pada akhirnya bisa memudar dengan sendirinya, tanpa
intervensi pihak lain."6
Dalam Islam, Pluralitas merupakan "hukum ilahi" yang abadi di semua bidang
kehidupan, sehingga pluralitas itu sendiri telah menjadi karakteristik utama mahluk
Allah. Pluralitas merupakan realitas yang mewujud dan tidak mungkin dipungkiri. Yaitu
suatu hakikat perbedaan dan keragaman yang timbul semata karena memang adanya
kekhususan dan karakteristik yang diciptakan Allah SWT, dalam setiap ciptaan-Nya.
Dan pluralitas yang menyangkut agama, yaitu topik yang sedang kita bicarakan, dalam
konteks Islam yang tepat adalah berarti pengakuan akan eksisitensi agama-agama
yang berbeda dan beragam dengan seluruh kararkteristik dan kekhususannya, dan
menerima ke-"lain-"an yang lain beserta haknya untuk berbeda dalam beragama dan
berkeyakinan.   Namun setelah itu semua, disini perlu ditambahkan bahwa mengakui
eksistensi praktis agama-agama yang lain, dalam pandangan Islam, tidak secara
otomatis mengakui legalitas dan kebenarannya seperti yang diajarkan oleh kaum
pluralis. Melainkan lebih tepatnya, menerima kehendak Allah SWT, dalam
menciptakan agama-agama ini sebagai berbeda-beda dan beragam. Karena Allah SWT
6
Adian Husaini,Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta: Gema Insani, 2009, hlm 132
yang Maha Bijaksana telah menghendaki untuk menciptakan jagad raya dan segala
isinya ini dengan bentuk dan kondisi yang demikian sistematis dan seimbang
(balanced); ada baik dan buruk, haq dan batil, malaikat dan setan, siang dan malam,
cahaya dan gelap, laki-laki dan perempuan dan lain sebagainya.                    
Apabila kita berhasil menempatkan problem pluralitas agama dalam konteks
penciptaan ilahi, dan dalam konteks kehendak ilahi ini, maka kita pasti akan mampu
keluar dari problem ini dengan pemahaman yang benar tentang problem ini sendiri
dan rahasiarahasia yang yang berada di sebaliknya, dan pada saat yang sama kita juga
akan mampu keluar dengan solusi yang memuaskan dan tuntas terhadap problem ini
dan problemproblem yang lahir darinya.7 .   

C. Terorisme
1. Pengertian Terorisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror diartikan dengan: 1.  Perbuatan
(pemerintahan dan sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis, dsb) 2.  Usaha
menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Terorisme berarti penggunaan kekerasan untuk menimbulkan kekuatan dalam usaha
mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik); praktik-praktik tindakan teror. Dari
berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa dalam terorisme terdapat unsur-
unsur: 1. Tindakan yang disengaja untuk menimbulkan ketakutan. 2. Tujuan atau
kepentingan yang akan di capai oleh pembuat ketakutan dengan tindakan itu, 3. korban
tindakan itu tidak selalu berkaitan langsung dengan tujuan yang hendak dicapai. Dengan
demikian, tindakan atau penampilan tertentu yang tanpa disengaja menyebabkan orang
lain ketakutan tidak dapat dimasukkan dalam kategori ketakutan. Demikian hukum atau
ketentuan yang membuat orang takut untuk melakukan pelanggaran, tidak termasuk
kategori terorisme. Pembahasan melalui terorisme tidak dapat secara tersendiri dalam
kitab-kitab fiqh lama. Biasanya pembahasan mengenai terorisme terdapat dalam pasal
atau bab tentang pembegal dan selalu berkenan dengan hukuman atas pelakunya.
Dalam kitab al-Umm misalnya, Imam asy- Syafi’I mengatakan: 129 ‫ وإذا أﺧﺎﻓﻮا اﻟﺴﺒﻴﻞ وﻟﻢ‬5‫ص‬
‫) ﺳﻠﺴﻠﺖ ﻛﺘﺎ ب اﻟﺜﻌﺐ ج‬.‫“ ﻳﺄﺧﺬوا ﻣﺎﻻ ﻧﻔﻮا ﻣﻦ اﻷ رض‬Jika mereka menakut-nakuti orang yang lewat
di jalan dan tidak mengambil harta, maka hukumanya adalah di buang ketempat yang
jauh.” ‫ ﻓﻜﺎ& ن& ﻣﻨﻬﻢ& ﻣﻦ‬.‫ﻓﺈذا& ﻋﺮ& ض& اﻟﻠﺼﻮ& ص& ﻟﺠﻤﺎﻋﺖ& أو& واﺣﺪ& ﻣﻜﺎﺑﺮ& ت& ﺑﺴﻼ& ح& ﻓﺎﺧﺘﺎف& أﻓﻌﺎل& اﻟﻌﺎ& ر& ﺿﻴﻦ‬
140 ( ‫ وأﺧﺬ اﻟﻤﺎل وﻣﻨﺤﻢ‬  &‫ وﻟﻮ& ﻫﻴﺒﻮا& وﺟﺮ& ﺣﻮا& أﻗﺺ& ﻣﻨﻬﻢ‬.‫وﻟﻮ& ﺣﻴﺒﻮا& و& ﻟﻢ& ﻳﺒﻠﻐﻮا& ﻗﺘﻼ& و& ﻻ& أ ﺧﺬ& ﻣﺎل& ﻋﺰ& ر& وا‬... &‫ﻗﺘﻞ‬
‫ )ﻧﻔﺲ& اﻟﻤﺼﺪر& ص‬...‫“ ﺑﻤﺎ& ﻓﻴﻪ& اﻟﻘﺼﺎ& ص& و& ﻋﺰ& ر& وا& وﺣﺒﺴﻮا‬Jika pencuri-pencuri menghadang
sekelompok atu satu orang seraya mengancam dengan senjata, maka perbuatan mereka
itu  bermacam-macam. Ada yang membunuh dan mengambil harta, ada yang…jika
mereka menakut-nakuti dan tidak sampai membunuh atau mengambil uang, maka

7
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis,…, hlm 209-210
hukumannya adalah di takzir. Jika mereka menakut-nakuti dan melukai, maka mereka
diqishash kalau luka yang ditimbulkannya termasuk luka yang berhukum qhisash,
ditakzir dan dikurung. Pembahasan yang serupa juga ditemukan dalam kitab dua Imam
Syafi’iyyah yang lain, yakni Imam al-Nawawi dan Ibnu Hajar al-Haitami. Imam al-Nawawi
dalam kitabnya, ‫ بْ اﻟﻤﺠﻤﻮع ﺷﺮح اﻟﻤﻬﺪ‬  menyatakan: ‫ا ﺗﺮك ﻗﻮﻳﺖ ﺛﻮﻛﺘﻪ وﻛﺜﺮ ْ ﻣﻦ ﺛﻬﺮ اﻟﺴﻼح وأ ﺧﺎف‬
‫ ﻓﺈن وﻗﻊ ﻗﺒﻞ أن ﻳﺄﺧﺬ اﻟﻤﺎل وﻳﻘﺘﻞ اﻟﻨﻔﺲ ﻋﺰر وﺣﺒﺲ‬.‫اﻟﺴﺒﻴﻞ ﻓﻲ ﻣﺼﺮ او ﺑﺮﻳﺔ وﺟﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻺﻣﺎم ﻃﻠﺒﻪ ﻷﻧﻪ إد اﻷﻣﻮال‬
‫ ﻷ& ﻧﻪ& ﺗﻌﺮض& ﻟﻠﺪﺧﻮل& ﻓﻰ& ﻣﻌﺼﻴﺔ& ﻋﻈﻴﻤﺔ& ﻓﻌﺰرﻛﺎ‬,‫ﻋﻠﻰ& ْ& اﻟﻔﺴﺎد& ﺑﻪ& ﻓﻲ& ﻗﺘﻞ& اﻟﻨﻔﻮس& وأﺧﺪ& ﺣﺴﺐ& ﻣﺎﻳﺮ& ا& ه& ا& ﻟﺴﻠﻄﺎن‬
‫ج‬,‫]داراﻟﻔﻜﺮ‬.‫ ض ﻟﻠﺰ ﻧﺎ ﺑﺎﻟﻘﺒﻠﺔ‬20‫ ص‬140[ &‫“ ﻟﻤﺘﻌﺮض& ﻟﻠﺴﺮﻗﺔ& ﺑﺎﻟﻨﻘﺐ& وا& ﻟﻤﺘﻌﺮ‬Jika ada orang yang
memamerkan senjata dan menakut-nakuti orang yang lewat di jalan, maka imam
(penguasa politik)wajib mencarinya (dan menangkapnya ), karena jika dibiarkan, akan
menjadi bertambah kekuatannya dan terjadi banyak kerusakn dengan senjata itu dalam
bentuk pembunuhan dan perampasan. Jika ia tertangkap sebelum mengambil harta dan
membunuh, maka ia mesti dihukum takzir dan dibui sesuai dengan pendapat penguasa,
karena ia menunjukkan tanda-tanda akan melakukan kedurhakaan besar, sebagaimana
orang yang menunjukkan tanda-tanda akan mencuri dengan merusak pagar dan orang
yang menunjukkan tanda-tanda akan berzina dengan mencium.” Dalil yang biasa dipakai
untuk menentukkan hukuman-hukuman di atas adalah ayat 33-34 dari surat al-Maidah:
“Bahwasanya balasan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta
melakukan kerusakan dimuka bumi ialah dengan dibalas bunuh, atau dipalang, atau
dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang, atau dibuang negeri. Hukuman
yang demikian itu adalah suatu kehinaan didunia bagi mereka beroleh azab siksa
yang amat besar. Kecuali orang-orng yang bertaubat sebelum kamu dapat
menangkapnya, (mereka terlepas dari hukuman itu). Maka ketahuilah, bahwasannya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Mengasihi.” (QS. Al-Maidah [5]: 33-34)
Hukum teroris sekarang, dalam kitab Fiqh, seperti yang dikutip diatas walaupun
terdapat pembicaraan mengenai orang yang hanya menakut-nakuti, kesan yang
diperoleh adalah bahwa tindakan menakut-nakuti itu berhubungan dengan perampasan
harta atau pembunuhan dan dilakukan dijalan. Dalam tafsir atas ayat tersebut diatas
disebutkan bahwa variasi hukuman itu berdasarkan atas yang membunuh saja dengan
tidak merampas, pemalangan atu penyaliban untuk mereka yang membunuh dan
merampas, pemotongan tangan dan kaki untuk mereka yang hanya merampas,
sedangkan pembuangan untuk mereka yang hanya mengganggu ketentraman umum.
Dalam tafsir al- Jalalain, misalnya, dinyatakan: ‫اﻟﻤﺎل وا ﻟﻘﻄﻊ ﻟﻤﻦ أﺧﺬ اﻟﻤﺎل وﻟﻢ ﻳﻘﺘﻞ وا ﻟﻨﻔﻰ ﻟﻤﻦ أﺧﺎف‬
‫ ﻗﺎﻟﻪ& اﺑﻦ& ﻋﺒﺎس& وﻋﻠﻴﻪ& ااﻟﺜﺎﻓﻌﻰ& وأﺻﺢ& ﻗﻮﻟﻴﻪ& أن& اﻟﺼﻠﺐ& ﺛﻼﺛﺎ& ﺑﻌﺪ‬.‫ﻓﺎ& ﻟﻘﺘﻞ& ﻟﻤﻦ& ﻗﺘﻞ& ﻓﻘﻂ& وال& ﺻﻠﺐ& ﻟﻤﻦ& ﻗﺘﻞ& وأﺧﺬ& ﻓﻘﻂ‬
‫“ اﻟﻘﺘﻞ وﻗﻴﻞ ﻗﺒﻠﻪ ﻗﻠﻴﻼ وﻳﻠﺤﻖ ﺑﺎﻟﻨﻔﻲ ﻣﺎ أﺛﺒﻬﻪ ﻓﻲ اﻟﺘﻨﻜﻴﻠﻤﻦ اﻟﺤﺒﺴﻮﻏﻴﺮ ه‬Hukum bunuh merupakan
hukuman bagi orang yang membunuh; penyaliban untuk orang yang membunuh dan
mengambil harta; potong tangan untuk yang mengambil harta tapi tidak membunuh
dan pembuangan untuk orang yang hanya menakut-nakuti. Demikian pendapat yang
dikemukakan Ibn’Abbas dan diikuti asy-Syafi’ adalah bahwa penyaliban tiga kali
disebutkan setelah hokum bunuh; dikatakan oleh sebagian ulama: sedikit sebelum
hukuman mati. Hukuman-hukuman yang menyerupainya seperti pengurungan
dikatagorikan dalam pembuangan.” Ini berarti bahwa terorisme pada umumnya, baik
untuk tujuan mengambil harta maupun untuk tujuan-tujuan politik dan lainnnya, masuk
dalam bab memerangi Allah dan Rasul-Nya atau al-hirabah, yang hukum dasarnya jelas
haram.
Bagaimana memperbaikinya?
Perlu disebarkan dan ditekankan bahwa perang adalah keadaan darurat, bukan keadaan
yang dikehendaki Islam. Perang yang telah terjadi dalam sejarah Islam dapat dikatakan
sebagai kecelakaan sejarah, yang sebagiannya dapat dimengerti dan dibenarkan,
misalnya ketika umat Islam di Madinah harus mempertahankan diri dari kemungkinan
kehancuran fatal oleh kekuatan kaum kafir atau musyrik Quraisy di Makkah. Islam dari
awal kehadirannya mengajarkan kasih sayang dan memaafkan, namun ajaran ini
tertutup oleh kesibukan dalam berperang dan terlupakan untuk waktu yang sangat
lama. Perang memang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW, tetapi pada waktu itu
tidaak ada pilihan lain untuk mempertahankan diri. Pilihan yang ada hanyalah berperang
atau mati. Akan tetapi, ketika kemudian perang juga menghasilkan keuntungan material
yang berupa perluasan wilayah kekuasaan dan harta rampasan, kaum muslimin Arab
kebablasan dalam melakukan perang. Selanjutnya, perang-perang terus terjadi
sebagaimana lazimnya pada masa itu baik baik yang dapat dibenarkan maupun yang
yang tidak dan membentuk kebudayaan kekerasan yang didukung ajaran agama.
Dukungan ini terjadi, antara lain, karena banyak dari ajaran agama pun dirumuskan
pada masa-masa perang. Pengentasan orang-orang yang tertindas dan malang dari
keadaannya yang terpuruk merupakan salah satu kunci penyelesaian masalah terorisme.
Demikian pula pendidikan yang menekankan pada perdamaian dan apresiasi kepada
keberagaman. akan tetapi ini menuntut perombakan banyak dari ajaran atau bahakan
keseluruhan bangunan ajaran Islam, terutama bagaimana mengambil ajaran dari
alQur’an dan Hadits, dua sumber utamanya. Dalam kedua “kitab suci” ini penyembutan
kekerasan sebagai alat untuk mencapai kebaikan sangat banyak sehingga menutupi
pesan dasar tentang penghormatan kepada kemanusiaan. Orang yang tidak hati-hati
dalam membacanya dapat terjebak dalam pemahaman bahwa memang Islam tidak
menghendaki perdamaian, kasih sayang, kesabaran dan nilai-nilai kesantunan yang lain.
Misal anggapan al-Qurthubi, dan tafsirnya atas ayat 208 dari surat al-Baqarah, bahwa
kaum muslimin tidak boleh mendahului mengajukan inisiatif perdamaian. Kaum
muslimin harus menerima uluran tangan perdamaian, tetapi tidak boleh mendahului
mengulurkan tangan. Pendapat seperti ini sangat besar kemungkinannya untuk dianut
oleh kaum muslimin sendiri, dengan sedikit moderasi misalnya, dengan menyimpulkan
bahwa karena dalam al-Qur’an banyak perintah memerangi orang kafir dan Nabi
Muhammad SAW sendiri sewaktu di Madinah memmpin beberapa peperangan dengan
kaum kafir maka memerangi orang kafir itu memang kewajiban seorang muslim.
Berdamai dengan orang kafir adalah kesalahan, penyimpangan dari ajaran murni Islam
Sementara itu, firman Allah SWT, “Balasan perbuatan buruk adalah perbuatan buruk
yang serupa, namun barang siapa memaafkan dan membuat perdamaian, maka
pahalanya pasti akan diberikan Allah. Sesungguhnya Allah tidak suka orang-orang
zalim.” (QS.al-Syura [42]:40)

D. Gender
1. Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris, yang artinya jenis kelamin. Di dalam
Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak
antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Menurut Heyzer
(1991), gender adalah peranan laki-laki dan perempuan dalam suatu tingkah laku sosial
yang terstruktur. Sedangkan Illich (1983) berpendapat bahwa gender dimaksudkan
untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan secara sosial, yang mengacu pada
unsur emosional, kejiwaan, dan tingkah laku. Kata gender selalu dikaitkan dengan seks.
Menurut paham feminisme, terdapat perbedaan antara konsep seks dan gender.
Persoalan-persoalan yang menyangkut perbedaan biologis fisiologis merupakan wilayah
seks. Misalnya, laki-laki memiliki penis dan memproduksi sperma. Sedangakan
perempuan memiliki rahim dan memproduksi telur.
Oleh karenanya, demikian merupakan suatu yang kodrati dan tidak dapat di ubah.
Sementara, yang menyangkut fungsi, peran, hak, dan kewajiban masuk dalam wilayah
gender. Misalnya, perempuan memiliki sifat lemah lembut, emosional, cantik.
Sedangakan laki-laki memiliki sifat kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri itu, baik
yang melekat pada perempuan maupun laki-laki tidaklah permanen. Dengan demikian,
gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, dan yang menyangkut aspek-aspek non
biologis lainnya.8 Oleh karena itu, Bates berpendapat bahwa gender merupakan
interpretasi mental dan kultur terhadap perbedaan kelamin dan hubungan laki-laki dan
perempuan. Selain itu, ia juga digambarkan sebagai pemisah antara ruang gerak
domestik materi dalam keluarga dan ruang gerak publik di mana laki-laki menjadi aktor
utamanya. Dengan demikian, gender adalah persoalan nature dan nurture. Jika yang
natural bercorak kodrati (datang dari sananya), maka yang nurture merupakan hasil
konstruksi sosial dan budaya masyarakat tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. 9
2. Gender dalam Perspektif Islam
Islam tidak mengenal diskriminasi antara kaum laki-laki dan perempuan. Islam
menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar kaum laki-laki. Kalaupun ada
perbedaan, maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan
agama kepada masingmasing jenis kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidak
8
Mohamad Nor Ichwan, Prof.M. Quraish Shihab, Membincang Persoalan Gender, Semarang: RaAIL Media Group, 2013, hlm 2-3
9
Nur Syam, Agama Pelacur, Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang, 2010, hlm. 13-16
mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain. Keduanya saling
melengkapi dan bantu membantu dalam memerankan fungsinya dalam hidup dan
kehidupan.10 Baik laki-laki maupun perempuan yang muslim, yang mukmin, dan yang
sejenisnya dihadapan Allah sama kedudukannya. Bahwa mereka akan mendapatkan
ampunan dan pahala dari sisi Tuhannya selama mereka berbuat baik. Lagi-lagi ampunan
dan pahala itu tidak diberikan kepada mereka hanya karena status seksnya. 11
Konsep Islam dalam Kesetaraan Gender
1. Perspektif Pengabdian Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan
dalam pengabdian, satusatunya perbedaan yang dijadikan ukuran untuk
meninggikan atau merendahkan derajat mereka hanyalah nilai pengabdian dan
ketakwaan kepada Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt: ”Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.”
2. Perspektif Asal Kejadian Perempuan Al-Qur’an menerangkan bahwa perempuan dan
laki-laki diciptakan Allah dengan derajat yang sama. Tidak ada isyarat dalam Al-
Qur’an bahwa perempuan pertama (Hawa) yang diciptakan oleh Allah adalah suatu
ciptaan yang mempunyai martabat lebih rendah dari laki-laki pertama (Adam).
3. Perspektif Kejiwaan Ada anggapan bahwa dari segi kejiwaan, perempuan memiliki
jiwa yang lemah sehingga mudah terkena godaan atau rayuan. Anggapan ini
biasanya menyandarkan diri pada peristiwa keberhasilan iblis merayu Adam untuk
memkan buah surga disebabkan keberhasilan iblis merayu Hawa terlebih dahulu.
Anggapan ini jelas tidak benar karena dalam Al-Qur’an terlihat bahwa godaan dan
rayuan iblis ditujukan kepada laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa), bukan
hanya kepada Hawa saja, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Maka syaitan
membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk Menampakkan kepada keduanya
apa yang tertutup dari mereka Yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu
tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak
menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga).”
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa setan membisikkan pikiran jahat kepada
keduanya. Dengan demikian, tidak benar tuduhan bahwa perempuanlah sebagai
sumber segala bencana.
4. Perspektif Kemanusiaan Salah satu tradisi bangsa Arab sebelum kedatangan Islam
ialah mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena alasan takut miskin atau
tercemar namanya Islam hadir dengan mereformasi dan melakukan revolusi
terhadap tradisi yang telah menginjak-nginjak kemanusiaan, terutama terhadap
10
Huzaimah Tahido Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, hlm 91
11
Mohamad Nor Ichwan, Prof.M. Quraish Shihab, Membincang Persoalan Gender, Semarang: RaAIL Media Group, 2013, hlm 5
kaum perempuan. Islam melarang tradisi penguburan hidup-hidup bayi perempuan
dan mengecamnya sebagai perbuatan yang sangat biadab.
5. Perspektif Pendidikan dan Pengajaran Dalam Islam, menuntut ilmu dibuka seluas-
luasnya kepada perempuan seperti halnya laki-laki. Perempuan diwajibkan
menuntut ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad saw:
“Dari Anas bin Malik berkata, Bersabda Rasulullah saw, “Menuntut ilmu adalah
kewajiban bagi setiap muslim”.
Selain dari beberapa perspektif diatas, peran kaum perempuan sebagai mitra kaum
laki-laki dalam berbagai aktivitas sosial, politik, dan lain-lain juga sangat diharapkan,
dicontohkan antara lain sebagai berikut: a. Perempuan dalam kegiatan sosial Dalam
Al-Qur’an banyak ayat yang memerintahkan supaya muslimin dan muslimat
mengeluarkan zakat harta benda. Dengan demikian, sebagaimana laki-laki,
perempuan pun bekewajiban ikut memikirkan masalah sosial dan melaksanakan
penanggulangannya. b. Perempuan dalam kegiatan politik Islam memberikan
kesempatan kepada kaum perempuan untuk berkecimpung dalam kegiatan politik,
ini bisa terlihat pada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan amar ma’ruf
dan nahi munkar. Ini berlaku untuk segala macam kegiatan, tidak terkecuali bidang
politik dan kenegaraan. Perempuan juga turut bertanggung jawab atas bidang ini.
Itulah antara lain peranan perempuan di rumah tangga dan masyarakat, dimana hal
ini menunjukkan bahwa perempuan itu adalah mitra sejajar laki-laki, baik di rumah
tangga maupun di masyarakat.12 .    
Sejarah ISIS ISIS sebelumnya adalah bagian dari Al-Qaidah. Dibawah kepemimpinan
Abu Bakar alBaghdadi ISIS sempat menyatakan diri bergabung dengan Front Al
Nusra, kelompok yang menyatakan diri sebagai satu-satunya afiliasi Al-Qaidah di
Suriah. Namun karena metode ISIS/ISIL dianggap bertentangan dengan Al-Qaidah
lantaran telah berbelok dari misi perjuangan nasional dengan menciptakan perang
sektarian di Irak dan Suriah, ISIS dianggap tidak lagi sejalan dengan Al-Qaidah.
Sebagai balasannya, Front Al-Nusra lalu melancarkan serangan perlawanan terhadap
ISIS/ISIL guna merebut kembali kontrol atas Abu Kamal, wilayah timur Suriah yang
berbatasan dengan Irak. Namun karena kebrutalan dan ambisi dari ISIS yang tidak
segan melakukan penyiksaan bahkan pembunuhan terhadap para penentangnya,
ISIS bisa menguasai sebagian besar wilayah Irak. Bahkan dibawah kepemimpinan
Abu Bakar Al-Baghdadi ISIS mendeklarasikan Negara Islam di sepanjang Irak dan
Suriah dan juga menyatakan Al-Baghdadi akan menjadi pemimpin bagi umat muslim
di seluruh dunia. Pada 15 Mei 2010 diangkatlah pemimpin baru yaitu Abu Bakar Al-
Baghdadi untuk menggantikan Abu Umar Al Baghdadi yang telah meninggal. Seiring
dengan Revolusi di Jazirah Arab yang dikenal dengan Musim Semi Arab dalam
menumbangkan para diktator seperti yang terjadi di Tunisia, Libya dan Mesir, maka
terjadi pula revolusi di Suriah, hanya saja demonstrasi rakyat di Suriah disambut

12
Huzaimah Tahido Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, hlm 91-101
dengan kekerasan dari Tentara Presiden Bashar Assad. Akibatnya Rakyat Suriah
melakukan perlawaan dalam kelompok-kelompok bersenjata. Kelompok-kelompok
ini dibantu oleh para pejuang dari luar negeri termasuk dari Negara Islam Irak. Dan
ketika kelompok-kelompok pejuang rakyat Suriah ini akhirnya mampu
membebaskan beberapa kota termasuk wilayah perbatasan dengan Irak maka
menyatulah beberapa kota di Irak dan di Suriah dalam kontrol Negara Islam Irak. ISIS
dianggap lebih berbahaya ketimbang Al-Qaidah karena mempunyai ribuan personel
pasukan perang, yang siap mendeklarasikan perang terhadap mereka yang dianggap
bertentangan atau menentang berdirinya negara Islam. Mereka menjadi kekuatan
politik baru yang siap melancarkan serangan yang jauh lebih brutal daripada Al-
Qaidah.
Gerakan revolusi yang mulanya mempunyai misi mulia untuk menggulingkan rezim
otoriter ini berubah menjadi tragedi. ISIS menjadi sebuah kekuatan baru yang siap
melancarkan perlawanan sengit terhadap rezim yang berkuasa yang dianggap tidak
mampu mengemban misi terbentuknya negara Islam. Ironisnya, mereka
mengabsahkan kekerasan untuk menindas kaum minoritas dan menyerang rezim
yang tidak sejalan dengan paradigma negara Islam. ISIS menjadi kekuatan politik riil
dengan ideologi yang jelas dan wilayah yang diduduki dengan cara-cara kekerasan.
Ideologi dan Kepercayaan ISIS mengikuti ekstrim anti-Barat yang menurutnya
sebagai penafsiran Islam, mempromosikan kekerasan agama dan menganggap
mereka yang tidak setuju dengan tafsirannya sebagai kafir dan murtad. Secara
bersamaan, ISIS (sekarang IS) bertujuan untuk mendirikan negara Islam Salafi yang
berorientasi di Irak, Suriah dan bagian lain dari Syam.
Ideologi ISIS berasal dari cabang Islam modern yang bertujuan untuk kembali ke
masamasa awal Islam, menolak "inovasi" dalam agama yang mereka percaya telah
"korup" dari semangat aslinya. Mengutuk kekhalifahan terakhir dan kekaisaran
Ottoman karena menyimpang dari apa yang mereka sebut sebagai Islam murni dan
karenanya telah berusaha untuk membangun kekhalifahan sendiri. Namun, ada
beberapa komentator Sunni, Zaid Hamid, misalnya, dan bahkan Salafi dan mufti
jihad seperti Adnan al-Aroor dan Abu Basir al-Tartusi, yang mengatakan bahwa ISIS
dan kelompok teroris yang terkait tidak mempresentasikan Sunni sama sekali, tapi
menuduh Khawarij bidah yang melayani agenda kekaisaran anti-Islam. Salafi seperti
ISIS percaya bahwa hanya otoritas yang sah dapat melakukan kepemimpinan jihad,
dan bahwa prioritas pertama atas pertempuran di daerah lain, seperti berperang
melawan negara-negara non-Muslim, adalah sebagai pemurnian masyarakat Islam.
Misalnya, ketika memandang konflik Israel-Palestina, karena ISIS menganggap
kelompok Sunni Palestina Hamas sebagai murtad yang tidak memiliki kewenangan
yang sah untuk memimpin jihad, mereka anggap melawan Hamas sebagai langkah
pertama sebelum menuju konfrontasi dengan Israel. 13

13
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Irak_dan_Syam
Daftar Pustaka
Husaini, Adian dkk. 2002. Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani Press
Husaini, Adian. 2009. Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. Jakarta: Gema Insani
Ichwan, Mohamad Nor. 2013. Prof.M. Quraish Shihab, Membincang Persoalan   Gender.
Semarang: RaAIL Media Group.
Nata, Abudin. 2011. Studi Islam Komperhensif. Jakarta: Kencana
Rachman, Budhy Munawar. 2010. Argumen Islam untuk Liberalisme. Jakarta: Gramedia
Syam, Nur. 2010. Agama Pelacur. Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang.
Thoha, Anis Malik. 2007. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Gema Insani
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Irak_dan_Syam
Yanggo, Huzaimah Tahido. 2010. Fiqih Perempuan Kontemporer.  Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai