Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KAJIAN METODOLOGI STUDI AL-QURĀN JARINGAN ISLAM


LIBERAL (JIL) INDONESIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Studi Al-Qurān dan Hadis
Dosen Pengampu: Dr. Mohamad Arja Imroni, M.Ag

Disusun oleh:
Moh. Fadllur Rohman Karim (2202048020)

MAGISTER ILMU FALAK


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2022
A. Latar Belakang
Pergulatan pemikiran dalam era kontemporer global, Islam saat ini ditandai
dengan dua paradigma pemikiran yaitu moderat dan puritan atau fundamentalis. Dua
pola wajah ini oleh Stephen Sulaiman Schwartz (L. 1948) digambarkan secara
provokatif dalam penyajian potret Islam dengan pendekatan sosio-kultural. Dua wajah
yang saling berseberangan ini saling mengklaim sebagai manifestasi ajaran Islam.
Wajah Islam pertama dikategorikan sebagai Islam yang kontekstual yang
mencerminkan moderasi, kesejajaran (egaliter), kesabaran, kejujuran, yang merupakan
penampilan yang santun, toleran dan inklusif. Sedangkan wajah yang kedua adalah
wajah tekstual yang menampilkan sikap garang, mudah marah, tidak toleran dan
eksklusif. Keduanya membangun basis teologi sebagai landasran pijakan aktivitasnya. 1
Manifestasi keduanya telah muncul di permukaan dalam konfigurasi yang
berbeda. Menurut Arkoun, dengan menyebut keduanya sebagai ortodoksi dan
heterodoksi. Ortodoksi adalah ajaran yang menjadi kesadaran kelompok mayoritas
yang dengannya kelompok itu melihat berbagai kesadaran lain yang dikembangkan
oleh kelompok minoritas sebagai heterodoksi.2 Kritik kepada kaum ortodoks di
Indonesia terepresentasikan oleh Jaringan Islam Liberal3 (JIL). Ia mengemuka dalam
ranah publik secara terang-terangan dengan jargon “Islam yang membebaskan”.
Jaringan Islam Liberal adalah salah satu lokomotif yang menggerakkan tata
nilai pemikiran keagamaan yang menekankan pada pemahaman Islam yang terbuka,
toleran, inklusif dan kontekstual. Di Indonesia penyebaran Islam liberal telah
berlangsung sejak awal tahun 70-an. Tokoh yang mempengaruhi dan menggawangi
antara lain adalah Nurcholis Madjid (w. 2005), Masdar F. Mas’udi (lahir 1954), dkk.
Baru pada tahun 2001 secara kelembagaan sejumlah aktivis dan intelektual muda Islam
lebih terorganisir.
Pemikiran JIL acapkali menuai reaksi keras karena dianggap kontroversi yang
terlalu jauh keluar dari “pakem” ajaran Islam sendiri. Rekontruksi pemikiran terhadap

1
Tasmuji, “Teologi Transformatif Jaringan Islam Liberal”, Teosofi Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vo. 1
No. 2 Desember 2011. 252
2 Mohammed Arkoun, Nalar Islami Islami dan Nalar Modern:Berbagai Tantangan dan Jalan Baru (Jakarta:
INIS, 1994), 264; Mohamed Arkoun, “Pemikiran tentang Wahyu dari Ahl al-Kitab sampai Masyarakat Kitab”,
dalam Jurnal Ulumul Qur’an (Jakarta: LSAF, 1992) Vol. 4, 37.
3 Istilah liberal mengacu pada keadaan atau sikap orang atau sebuah gerakan pemikiran tertentu dengan
merekonstruksi perubahan-perubahan baik sosial, ekonomi, politik atau kegamaan melalui pembebasan pemikiran
dari pandangan dan sikap literal-dogmatis, reaksioner arau pro statu quo. Lihat Azyumardi Azra, Konflik Baru
Antara Peradaban, Globalisasi, Radikalisme dan Pluralisme, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), 112.

1
hukum Islam hingga reinterpretasi al-Qur’an dengan membuat metodologi penafsiran
baru atas prinsip kebebasan, persamaan hak asasi manusia dan kebersamaan.

B. Pembahasan
1. Sejarah Jaringan Islam Liberal (JIL) Indonesia
Secara etimologi, kata ‘liberal’ berasal dari kata liberte dalam bahasa Prancis
dan liberty dalam bahasa Inggris yang berarti kebebasan atau kemerdekaan. Secara
epistemologi, liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah
kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Manusia memiliki kebebasan
dalam landasan pemikirannya dan mampu untuk bertindak sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Tetapi kebebasan yang dimaksud yaitu kebebasan yang
bertanggungjawab karena tanpa adanya sikap tanggungjawab, tatanan masyarakat
liberal tak akan pernah terwujud.4 Islam liberal berarti faham Islam yang
akomodatif terhadap ide kebebasan individu untuk mendorong kemajuan sosial.
Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde Baru yang
memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan Muslim
mencoba memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi
kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang
"Pembaharuan Pemikiran Islam". Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak
hanya secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual. Mereka dapat
digolongkan sebagai Islam liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan ijtihad,
serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu yang berhak
menafsirkan ajaran Islam.5
Lambat laun perkembangan komunitas Islam liberal ini terlihat pada tahun
2001. Pertama kali muncul di ruang publik diskusi mailing list di internet atau
eletronik grup. Media itu merupakan wadah sosialisasi dan diskusi gagasan atas
penafsiran baru doktrin agama Islam. Hingga pada 8 Maret 2001 Jaringan Islam
Liberal (JIL) didirikan. Jaringan Islam Liberal adalah salah satu lokomotif yang
menggerakkan tata nilai pemikiran keagamaan yang menekankan pada pemahaman
Islam yang terbuka, toleran, inklusif dan kontekstual.6

4 Budi Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam, (Jakarta: The Asian Foundation, 2018), 321-322.
5 M. Atho Mudzhar, Perkembangan Islam Liberal di Indonesia, diakses di
https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/perkembangan-islam-liberal-di-indonesia pada 11 September 2022
6 Muh. Idris, “Potret Pemikiran Radikal Jaringan Islam Liberal (JIL) Indonesia”, Jurnal Kalam: Jurnal Studi
Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 8 Nomor 2 Desember 2014. 369

2
Kegelisahan akademik dari adannya Jaringan Islam Liberal ini berangkat dari
maraknya gerakan Islam militan, dengan reaksi yang dia sebut dengan ekstrimisme,
fundamentalisme, radikalisme dan revivalisme. Yakni kelompok umat Islam yang
anti-barat dengan membabi buta dan masih teguh memegang ajaran dakwah dan
jihad. Demi meredakan fenomena tersebut JIL membuka pemahaman publik
terhadap pemahaman keagamaan yang pluralis dan demokratis. Secara khusus
kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk: 1) Menciptakan intellectual discourses
tentang isu-isu keagamaan yang pluralis dan demokratis serta berperspektif gender;
2) Membentuk intellectual community yang bersifat organik dan responsif serta
berkemauan keras untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan yang suportif
terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi di Indonesia; 3) Menggulirkan
intellectual networking yang secara aktif melibatkan jaringan kampus, lembaga
swadaya masyarakat, media massa dan lain-lain untuk menolak fasisme atas nama
agama.7
Tepatnya pada tanggal 18 November 2002, Ulil Abshar Abdallah (lahir 1967)
menulis sebuah artikel yang bejudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”.
Akibat artikel tersebut menuai banyak reaksi keras dari sejumlah pihak yang kontra,
setidaknya ada 10 artikel yang menyerang balik, diantaranya Haidar Bagir, Husni
Muadz, dll.
Kini gaung gerakan Islam liberal (JIL Indonesia) tidak begitu muncul secara
aktif, bahkan website https://islamlib.com/ postingan terakhir tahun 2016. Akan
tetapi karena gerakan pemikiran bersifat abraktasi dan tidak bisa diberhentikan
bahkan disudahi, maka tumbuh subur ide dan gagasan Islam liberal hanya berupa
pemikiran.

2. Metodologi Penafsiran JIL Indonesia


Memperlakukan al-Quran dalam pandangan JIL adalah dengan menggangap
bahwa Al-Qurān adalah teks yang terbuka, dalam pengertian, ia terbuka kepada
upaya penafsiran dari pihak manapun. Yang behak atas penafsiran al-Qurān
bukanlah hanya kelompok ortodoks saja yang selama ini mendaku sebagai
pemegang “pakem” kebenaran, melainkan kelompok non-ortodoks: heterodoks pun

7 M. Atho Mudzhar, Perkembangan Islam Liberal...

3
memilihi hak yang sama untuk menafsir dan memahami al-Qurān sesuai dengan
kerangka doktrinal dan pandangan keagaman yang mereka anut.8
Tidak hanya soal ranah kewenangan menafsirkan al-Quran. Menurut pandangan
JIL, Pesan-pesan Al-Qurān harus dipahami secara kontekstual. Pemahaman Al-
Qurān secara harfiyah dapat mengakibatkan pada dampak yang fatal seperti dalam
penggunaan “ayat-ayat jihad” untuk membenarkan Tindakan terorisme akhir-akhir
ini. Pemahaman kontekstual yakni memperhitungkan baik konteks turunnya ayat
(siyaq al-nuzul) dan konteks penerapan pada zaman tertentu (siyaq al-tathbiq).
Sebagaimana pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010), hubungan Al-Qurān dan
realitas sosial adalah sebuah hubungan dialektis saling terhubung bersifat dua arah.
Sama seperti prinsip Fazlur Rahman (w. 1988) dalam penafsiran Al-Qurān, Prinsip
gerak ganda (Double Movement) gerak ke belakang (konteks saat ayat turun) dan
gerak ke depan (ke zaman sekarang).9
Kritik yang dilontarkan JIL, menganggap bahwa banyak pemikir Muslim
memandang ilm tafsir al-Wuran dan metodologi pembacaan (ushul fiqih) klasik
tanpa cacat epistimologis apapun. Pandangannya, sebuah metodologi yang setianya
lahir dari pabrik intelektual manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu
yang mutlak, tak terbantahkan. Sehingga JIL menilai bahwa mereka telah
melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang
provisionaris.
Mendalami kajian penafsiran dengan pembacaan ulang (rereading) atas
interpertasi yang “perlu” dibongkar karena kelemahan dan kerapuhan metodologi
dengan fakta akademis kontemporer. JIL menyebutkan, 1) Metodologi lama terlalu
memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih
bahkan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak
lagi relevan. 2) Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia
dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk manusia sendiri. Manusia
tidak memiliki reputasi dalam ruang ushul fiqih klasik, kecuali sebagai sasaran
huum yang tak berdaya (mukallaf). 3) pemberhalaan teks (bibliolatri teks) dan
pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad

8 Ulil Abshar Abdalla, Pandangan Muslim Liberal Tentang Quran, diakses


https://islamlib.com/kajian/quran/pemahaman-tentang-quran/ pada 12 September 2022.

9 Ulil Abshar Abdalla, Pandangan Muslim Liberal Tentang Quran, diakses


https://islamlib.com/kajian/quran/pemahaman-tentang-quran/ pada 12 September 2022.

4
selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks
adalah ilegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem.
Konseptual metodologi penafsiran al-Quran versi JIL dituangkan dalam buku
“Metodologi Studi Al-Quran” karya tiga serangkai, yakni Abd Moqsith Ghazali
(lahir 1971), Luthfi Assyaukanie, Ulil Abshar Abdalla (lahir 1967). Metodologi
dengan maksud merekonstruksi kaidah tafsrir dan usul fiqih yang problematis dari
sudut ontologis-epistimologis tersebut itu agar lebih solutif bagi problem-problem
kemanusiaan. Berikut prinsip dan kaidah penafsiran yang diterapkan
a. Prinsip Penafasiran JIL
1) Tekstualitas dan kontekstualitas Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan wahyu yang turun dalam sebuah konteks yang
senantiasa berubah-ubah. Ia adalah fakta dan teks historis. Mengutip
pemikir progresif muslim, Hassan Hanafi. Ia menyatakan “al-wahyu laysa
kharij al-zaman tasbitan la yataghayyaru, bal dakhil al-zaman
yatathawwaru bi tahtawwurihi” (wahyu bukanlah sesuatu yang berada di
luar konteks yang kokoh tak berubah, melainkan berada dalam konteks
yang mengalami perubahan demi perubahan). Dengan maksud menegaskan
sebuah tesis bahwa Islam bulan wahyu yang jauh di langit yang terlepas
sama sekali dari kenyataan konkret masyarakat. Islam bukannya suatu
ciptaan yang mengisi ruang kosong. Nabi Muhammad sebagai penerima
wahyu adalah seseorang yang “diasuh” oleh lokalitas Arab yang tidak
terisolasi dari konteks.
Menekankan sebuah kenyatan yang menunjukkan bahwa wahyu Tuhan
itu telah memasuki “pemukiman” yang historis. Al-Quran adalah bagian
dari fakta historis, karenannya ia diyakini sebagai transkripsi firman Tuhan
bersifat teks historis yang “tunduk” pada hukum kesejarahan. Panndangan
ini dikukuhkan oleh empat argumen, berikut:10
a) Tuhan memilih Bahasa manusia (bahasa Arab) untuk kode komunikasi
antara Tuhan dan Muhammad. Dalam proses komunikasi itulah
pengujaran menyatakan diri dengan cara pengungkapan yang khas.
Semua literatur mengenai ‘ijaz Quran itu paling tidak sejauh
menyangkut pesoalan liguistik.

10
Abd Moqsith Ghazali, dkk., Metodologi Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), 142-145

5
b) Keterlibatan Nabi Muhamad sebagai penerima pesan di satu sini dan
sebagai penafsir di sisi yang lain ikut menentukan proses pengujaran
dan tekstualiasi al-Quran. Nabi Muhammad merupakan orang yang
cerdas, maka tatkala menerima wahyu Muhammad ikut aktif
memahami dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arabnya
sendiri. Karena itu, menurut Nashr Hamid Abu Zayd, tidak
bertentangan jika dikatakan bahwa al-Quran adalah wahyu Tugan
dengan teks Muhammad (Muhammadan text).
c) Gradualisme turunnya al-Qur’an dalam menyicil ajaran-ajarannya, di
dalamnya terdapat proses dialektika antara wahyu dan realitas kultural
sangat terang benderang. Dengan itu mengindikasikan kuat betapa al-
Qurān tidak hidup di ruang hampa melainkan hidup dalam alir
kemanusiaan yang khawadist. Contoh dalam kekhamaran khamr. Al-
Quran menurunkan ayat yang berbeda sampai tiga kali dengan
evolutifnya yang khas.
d) Sejak turunnya, al-Quran telah berdialog dengan realitas. Banyak
sekali peristiwa yang mengiringi turunnya ayat dan yang merupakan
jawaban atas pertanyaan umat waktu itu. Respon yang diberikan kadan
hanya satu potong ayat atau beberapa ayat. Tidak jarang al-Quran juga
menjelaskan peristiwa khusus menjadi motif kehadirannya.
2) Maqāshid al-Syarī’ah sebagai Rujukan Utama
Substansi atas literal teks al-Quran menjadi pijakan kuat dengan
menerpakan maqāshid al-syarī’ah sebagai rujukan utama. Paradigma
pandangan paradigma ilmu tafsir dan ushul fiqih klasik selalu dinyatakan
bahwa sumber hukum paling pokok (mashadir ashliyah asasiyah) dalam
Islam secara hirarkis hanya ada empat, yaitu al-Qur’an, hadis, ijma’
(konsensus) dan qiyas (analogi). Sementara mashalat mursalah, istihsan,
syar’u man qablana (syari’at umat atau nabi-nabi terdahulu), ’urf (tradisi,
kebiasaan), dan yang lain-lain merupakan deretan sumber pada level
sekunder, atau disebut dengan mashadir taba’iyah.11
Menurut JIL, tidak bisa diingkari bahwa telah terjadi sejumlah
kontradiksi di dalam al-Qur’an, yang diklaim sebagai poros dari seluruh

11
Abd Moqsith Ghazali, dkk., Metodologi Studi Al-Qur’an,... 147-148

6
dalil yang lain. Kontradiksi bukan hanya satu lafaz dan lafaz yang lain,
melainkan juga antara satu gagasan dan gagasan yang lain dalam al-Qur’an.
Dari sisi penyelesaian terhadap kontradiksi lafzhdiyah sudah banyak
dilakukan oleh suhu fiqih klasik. Akan tetapi, penanganan terhadap
kontradiksi yang bersifat isu dan gagasan belum banyak dilakukan.
Misalnya gagasan pluralisme dalam al-Qur’an.12
Gagasan yang menitik beratkan pada aspek Maqāshid al-syarī’ah, JIL
menawarkan bahwa maqashid al-syariah merupakan sumber hukum
pertama dalam Islam, baru kemudian diikuti secara beriringan al-Quran dan
al-Sunnah. Maqāshid al-syarī’ah merupakan inti dari totalitas ajaran Islam.
Maqāshid al-syarī’ah menempati posisi tertinggi dari ketentuan-ketentuan
spesifik al-Quran. Oleh karena itu, sekiranya ada ketentuan baik dalam al-
Quran maupun al-Hadits ada yang bertentangan secara substantif terhadap
Maqāshid al-syarī’ah, ketentuan secara substantif tersebut mesti ditakwil
demi logika maqāshid al-syarī’ah.13
Khazanah ushul fiqih klasik telah merumuskan maqashid al-Syari’ah
yang mencakup lima hal: keadlian (al-’adl), kemaslahatan (al-mashlahah),
kesetaraan (al-musawah), hikmah kebijaksanaan (al-hikmah), dan cinta
kasih (al-rahmah), dan belakangan kemudian ditambah dengan pluralisme
(al-ta’addudiyah), hak asasi manusia (huquq al-insan), dan kesetaraan
gender. Sedangkan al-Ghazali menyatakan bahwa maqāshid al-syarī’ah itu
adalah hak hidup (hifzh al-nafs aw al-hayah), hak beragama (hifzh al-din),
hak untuk berfikir (hifzh al-’aql), hak untuk memiliki harta (hifzh al-,mal),
hak untuk mempertahankan nama baik (hifzh al-’irdh), dan hak untuk
memiliki garis keturunan (hifzh al-nasl). Menurut al-Ghazali, pada
komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan inilah seluruh ketentuan
hukum dalam al-Qur’an (Islam) diacukan.14
b. Kaidah tafsir Al-Qur’an Alternatif
1) Al-’Ibrah bi al-Maqāṣid lā bi al-Alfāẓ

12 Masalah penanganan terhadap kontradiksi yang bersifat isu dan gagasan semisal pluralisme dalam al Quran
dari kalangan JIL telah melakukan penelitian dalam bentuk disertasi. Lihat edisi bukunya dalam, Abd. Moqsith
Ghazali, Argumen Pluralisme Agama (Jakarta: Katakita, 2009)
13
Abd Moqsith Ghazali, dkk., Metodologi Studi Al-Qur’an,... 150.
14 Abd Moqsith Ghazali, dkk., Metodologi Studi Al-Qur’an,... 151-152.

7
Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di
dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah bukan huruf
dan aksaranya melainkan dari maqāshid yang dikandungnya. Yang menjadi
aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi
spesifik atau formulasi literalnya. Disinilah, menurut JIL untuk mengetahui
maqashid ini seseorang dituntut untuk memahami konteks—tentu saja
bukan hanya konteks personal yang juz’iy-partikular, melainkkan juga
konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang
lebih dari sekedar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu
merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqāshid al-syarī’ah.
Mengenai perihal ini JIL memberikan contoh dalam ulumul Qur’an
ditegaskan bahwa hal-hal yang menjadi petunjuk suatu sabab al-nuzul,
diantaranya: pertama, ketika al-Qur’an menjelaskan sendiri. Misal, “mereka
bertanya kepadamu” (yas’alunaka), “katakan kepada mereka” (was’alhum).
Kedua, sebagaimana dikatakan sebelumnya, al-Qur’an langsung menyebut
nama dari objek yang disasarnya seperti penyebutan Abu Lahab, atau Zaid
(ibn Haritsah).15
Membaca teks di atas tampak bahwa ayat tersebut turun dalam konteks
spesifik, yaitu menyangkut hubungan tiga subjek: Nabi Muhammad, Zaid
(anak angkat Nabi) dan Zainab yang awalnya menjadi istri Zaid. Tapi
setelah Zainab diceraikan, ia kemudian dinikahi Nabi. Sejak itu, Zaid tidak
lagi dipanggil sebagai Zaid bin Muhammad melainkan Zaid inb Haritsah
(Haritsah memang ayah kandung Zaid). Dari kasus partikular itu para ulama
melakukan generasiliasi dengan merujuk pada kaidah al-‘ibrah bi ‘umum al-

15 Tentang peristiwa Zaid ini, Allah berfirman dalam al-Qur’an: “Dan (ingatlah), ketika engkau (Nabi) berkata
kepada dia (Zaid) yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan engkau (juga) telah pula memberinya
kebahagiaan. Pertahankanlah terus isterimu (Zainab) dan bertakwalah kepada Allah, sedang engkau (Nabi)
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan engkau (Nabi) takut kepada manusia,
sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk engkau takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan
(menceraikan) terhadap istrinya (Zainab), kami nikahkan engkau dengannya supaya tidak ada keberatan bagi
orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menceraikan isteri-isteri mereka. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. Tidak sepatutnya bagi nabi ada
perasaan enggan mengenai apa yang diwajibkan Allah kepadanya, sesuai dengan sunnah (hukum) Allah pada
mereka yang telah lewat sebelumnya. Dan perintah Allah adalah sesuatu yang sangat pasti. Mereka (yang telah
lalu sebelumnya) itu adalah orang-orang yang menyapaikan risalah (pesan-pesan suci) Allah, mereka takut
kepada-Nya, dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai
pembuat perhitungan. Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab:
37-49).

8
lafzh la bi khusush al-sabab (yang menjadi perhatian adalah keumuman
teksnya dan bukan kekhususan sebabnya), akhirnya para ulama fiqih
berkesimpulan tentang: [1] anak angkat tak bernasab pada ayah angkatnya.
Akan tetapi hanya bernasab pada ayah kandungnya, [2] dengan demikian,
sekitarnya berkenan, ayah angkat diperbolehkan menikahi mantan istri anak
angkatnya.
Penjelasan tersebut sebagai bukti bahwa mengetahui konteks yang
melatarikehadiran al-Quran amat diperlukan. Syathibi di dalam al-
Muwafaqat menjelaskan bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk
melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan
kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat Muslim yang menjadi
sasaran pertama wahyu.16 Pengetahuan tentang konteks (kontekstualiasasi)
tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan
memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah
maqāshid al-syarī’ah.
2) Jawāz Naskh al-Nuṣūṣ (al-Juz’iyyah) bi al-Mashlahah
Sesungguhnya syariat (hukum) Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali
untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-
mashalih), dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar’u al-mafasid). Ibn
al-Qayyim al- Jawziyyah seoarang tokoh bermadzhab hanbali sebagaimana
dikutip oleh Moqsith dalam bukunya Metodologi Studi al-Qur’an—
menyimpulkan bahwa syari’at Islam dibangun untuk kepentingan manusia
dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan,
keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip-prinsip ini
harus menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan hukum. Ia harus
senantiasa ada dalam pikiran para ahli fiqih ketika memustuskan suatu kasus
hukum. Penyimbangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-
cita hukum Islam.17
Menjelaskan yang berhak mendefinisikan kemashlahatan, JIL
menjawab dengan membedakan kemashlahatan yang bersifat individual-
subjektif dan kemashlahatan sosial-objektif. Yang pertama kemashlahatan

16 Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syahri’ah, (Kairo: Musththafa Muhammad, Tanpa Tahun, Juz II), 12.
17 M. Nurdin Zuhdi, “Maqasyid Asy-Syari’ah sebagai Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Alternatif “ala” Jaringan
Islam Liberal”, Jurnal An-Nur, Vol IV No. 2 Agustus 2012.137-138

9
bersifat independen yang terpisah dengan orang lain, karenanya hak
menentukan mashlahat dan tidaknya adalah pribadi yang bersangkutan.
Sedangkan kemashlatan yang bersifat sosial-objektif, dalam hal ini otoritas
diberikan penilaian oleh orang banyak, melalui mekanisme syura untuk
mencapai kesepakatan (ijma’).18
3) Tanqih al-Nushush bi ‘Aql al-Mujtama’ Yajuzu
Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan
untuk menyortir sejumlah ketentuan “partikular” agana yang menyangkut
perkara-perkara publik, baik dalam al-Quran maupun al-Sunnah, sehingga
ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiyah teks ajaran,
akal publik punya otoritas untuk mengedit, memodifikasi dan
menyempurnakan. Modifikasi ini -mengutip pendapat Moqsith Ghazali
dalam Metodologi Studi Al-Quran- terasa sangat dibutuhkan ketika
berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat ‘uqubat dan hudud,
qishah, waris dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang,
alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan, yang terjadi
bisa-bisa merupakan bagian dari masalah-masalah yang harus dipecahkan
melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al’aql, takhshish bi al-‘aql
dan tabyin bi al-‘aql.19
Kerja tanqih ini pada hakikatnya inheren di dalam diri setiap manusia
yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat inplus abadi yang tak
pernah padam untuk ber-tanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk
senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada
kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan
menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini
dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme
dalam merumuskan dan memecahkan urusan–urusan publik. Bagaimanapun
di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam
masyarakat yang berhak memaksakan pandangannya pada orang lain,
karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan
derajat yang sama.20

18 Moqsith Ghazali, dkk. Metodologi Studi,... 161.


19 Moqsith Ghazali, dkk., Metodologi Studi...., 166-167.
20 Moqsith Ghazali, dkk., Metodologi Studi...., 167

10
3. Kontroversi Pemikiran Jaringan Islam Liberal (JIL)
Fenomena gerakan jaringan islam liberal di Indonesia menuai reaksi pro dan
kontra baik dari kalangan akademisi dan pemikir konservatif-fundamentalis.
Karena dianggap terlalu jauh menyimpang dari ajaran (kaidah) Islam yang sudah
disepakai mayoritas ulama, dalihnya pemikiran yang dipengaruhi ideologi
liberalisme, sekularisme, fenisme dan pluralisme ini “terlalu berani” mendobrak
tatanan khazanah keilmuan metodologis yang sistematis.
Menurut Muh Idris, JIL dengan pemikiran-pemikirannya, mencoba menyatukan
komunitas Islam dalam bingkai modernitas. Salah satu pemikiran JIL yang perlu
diapresiasi adalah konsep tentang pluralisme, modernisasi, demokrasi dan
sejenisnya, yang sampai saat ini bagi sebagian umat Islam masih dianggap sebagai
bukan ajaran orisinal Islam. Bagi JIL konsep tersebut memiliki pijakan teologis
yang kuat dalam al-Qur’an bahkan Sunnah Rasul dan generasi-generasi awal Islam.
Bila tidak, maka fenomena yang akan berkembang merebaknya kekerasan yang
dalam kasus-kasus tertentu sarat dengan muatan agama, atau minimal dilakukan
oleh umat beragama, terutama umat Islam. Dengan Maraknya tindakan kekerasan
ini, selain muncul akibat ketidak mampuan manusia dalam menyikapi modernitas
yang sangat kompleks, juga berpeluang pada pola keberagamaan mereka yang
mengedepankan eksklusivisme dan klaim kebenaran sepihak, serta tidak bisa
membedakan Islam normatif dengan Islam sejarah.21
Berbeda Hamidah A. Latif, ia mengatakan bahwa Jaringan Islam liberal (JIL)
terus aktif menyuarakan perlunya penyegaran dan pembaharuan pemahaman Islam.
Bahkan JIL juga fasih mengartikulasikan isu-isu kontemporer semisal Hak Asasi
Manusia (HAM), demokrasi serta konsep dan pandangan Islam terhadap kedua isu
tersebut. Namun disayangkan manakala spirit revivalisme dan liberalisme yang
dibawanya itu tidak diimbangi dan disokong dengan metodologi pemahaman,
epistemologi dan penafsiran keagamaan yang bernas. Implikasi lebih jauh dari itu
adalah penggiringan penafsiran kepada relativisme dan nihilisme nilai-nilai.
Ketiadaan metodologi dalam melakukan pembaharuan dan penafsiran agama pada
titik tertentu akan kian menguatkan kesan di kalangan kaum Muslimin lain bahwa
Jaringan Islam Liberal (JIL) sebenarnya adalah suatu konspirasi manipulatif untuk
menggerus Islam justru dengan meng-abuse (menyalahgunakan) sebutan Islam itu

21 Muh. Idris, “Potret Pemikiran Radikal....386.

11
sendiri. Karenanya JIL harus segera merumuskan metodologi pembaharuan yang
menjadi acuannya dan bukan hanya sebatas menyerukan perlunya penafsiran dan
ijtihad baru.22

C. Simpulan
1. Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah salah satu lokomotif yang menggerakkan tata
nilai pemikiran keagamaan yang menekankan pada pemahaman Islam yang
terbuka, toleran, inklusif dan kontekstual. Kegelisahan akademik dari adannya
Jaringan Islam Liberal ini berangkat dari maraknya gerakan Islam militan, dengan
reaksi yang dia sebut dengan ekstrimisme, fundamentalisme, radikalisme dan
revivalisme. Ia didirikan pada tahun 2001 dengan menunjuk Ulil Abshar Abdalla
sebagai koordinatornya.
2. Corak pendekatan dalam metodologi penafsiran al-Quran ala JIL lebih menekankan
pada aspek pesan-literal dibalik teks. Maqhasid syari’ah menjadi penting dalam
pisau interpretasi atas teks. Dengan mendudukkan pada konsep tekstualiasi dan
kontekstualiasi al-Qur’an, menggunakan maqashid syari’ah sebagai rujukan utama
dan penggunaan kaidah penafsiran alternatif. Kaidah ramuan JIL merupakan sintesa
yang sudah ada sebelumnya, hanya direkontruksi dan rekontekstualisas.
3. Kontroversi pemikiran JIL pada tataran teoritis dan praktis memunculkan pro dan
kontra. Pendukung pemikiran ini menggangap kajian yang anti-mainstream
menambah khazanah pemikiran Islam untuk penerapan Islam Rahmatan Lil Alamin
dalam kerangka Islam Progresif, Terbuka dan Inklusif. Penolak juga
menyampaikan kritiknya dengan menganggap pemikiran JIL sudah terlampau jauh
dari rel pakem. Akibatnya berujung pada penafsiran kepada relativisme dan
nihilisme nilai-nilai.

22 Hamdiah A. Latif, “Mengkritisi jaringan Islam Liberal (JIL): Antara Spirit Revivalisme, Liberalisme dan
Bahaya Sekularisme, Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. X, No. 2, Februari 2011.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Ulil Abshar, Pandangan Muslim Liberal Tentang Quran, diakses


https://islamlib.com/kajian/quran/pemahaman-tentang-quran/ pada 12 September 2022.
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syahri’ah. Kairo: Musththafa Muhammad, Tanpa Tahun,
Juz II.
Arkoun, Mohammed. 1994 Nalar Islami Islami dan Nalar Modern:Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru Jakarta: INIS.
Azra, Azyumardi. 2002. Konflik Baru Antara Peradaban, Globalisasi, Radikalisme dan
Pluralisme .Jakarta: Rajawali Press.
Ghazali, Abd Moqsith dkk., 2009. Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
____. 2009. Argumen Pluralisme Agama. Jakarta: Katakita.
Hamdiah A. Latif, “Mengkritisi jaringan Islam Liberal (JIL): Antara Spirit Revivalisme,
Liberalisme dan Bahaya Sekularisme, Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. X, No. 2,
Februari 2011.
Idris, Muh. “Potret Pemikiran Radikal Jaringan Islam Liberal (JIL) Indonesia”, Jurnal Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 8 Nomor 2 Desember 2014
Mohamed Arkoun, “Pemikiran tentang Wahyu dari Ahl al-Kitab sampai Masyarakat Kitab”,
dalam Jurnal Ulumul Qur’an. Jakarta: LSAF, 1992. Vol. 4.
Mudzhar, M. Atho. Perkembangan Islam Liberal di Indonesia, diakses di
https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/perkembangan-islam-liberal-di-indonesia
pada 11 September 2022
Tasmuji, “Teologi Transformatif Jaringan Islam Liberal”, Teosofi Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam, Vo. 1 No. 2 Desember 2011
Rachman, Budi Munawar. 2018. Reorientasi Pembaharuan Islam, Jakarta: The Asian
Foundation.
Zuhdi, M. Nurdin. “Maqasyid Asy-Syari’ah sebagai Metodologi Penafsiran Al-Qur’an
Alternatif “ala” Jaringan Islam Liberal”, Jurnal An-Nur, Vol IV No. 2 Agustus 2012.

13

Anda mungkin juga menyukai